2016 TEOLOGI KRISTEN UNTUK PERGURUAN TINGGI
Imelda Christy Poceratu, M. Teol ISBN : 978-602-72713-5-7
TEOLOGI KRISTEN UNTUK PERGURUAN TINGGI BUKU REFERENSI
Penulis: Imelda Christy Poceratu, M.Teol.
TEOLOGI KRISTEN UNTUK PERGURUAN TINGGI Penulis
:
Imelda Christy Poceratu, M.Teol.
ISBN : 978-602-72713-5-7
Editor : Exaudi Missi D.Simbolon
Penyunting
:
Yohanes lukmantoro
Desain Sampul dan : Tata Letak Claudia Clarentia Ciptohartono
Penerbit
:
CV. Mulia Jaya
Redaksi
:
Jalan Anggajaya II No. 291-A, Condong Catur Kabupaten Sleman, Yogyakarta Telp: 0812-4994-0973
[email protected] cvmuliajaya.wordpress.com
Cetakan Pertama Oktober 2016 Hak Cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
ii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis hanturkan kepada Allah yang penuh kasih setia yang telah menolong, melindungi dan menganugerahkan hikmat kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ini. Penyelenggaraan Pendidikan Agama Kristen (PAK) di Perguruan Tinggi tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk menjawab berbagai persoalan aktual mahasiswa dan masyarakat secara menyeluruh. Alasannya, PAK tidak sekedar menekankan pengetahuan keagamaan semata, tetapi juga merupakan pendidikan afektif. Sebagai pendidikan afektif, PAK mampu menawarkan sejumlah nilai etik moral dan spiritual untuk merespon berbagai persoalan. Tidak hanya itu, PAK juga mampu membentuk pribadi mahasiswa yang berkualitas dan memampukan mereka untuk menentukan pilihan yang tepat di tengah berbagai pilihan yang ditawarkan. PAK di Perguruan Tinggi, juga hendaknya merupakan perwujudan dari upaya menyerasikan secara dinamis dan kreatif antara penghayatan iman Kristiani dengan kehidupan riil dalam menghadapi berbagai pergumulan hidup yang semakin kompleks dan rumit. Karenanya, penyelenggaraan PAK sebaiknya merupakan usaha-usaha pembimbingan, ajakan, bantuan dan mengantar mahasiswa agar secara sadar mengenal kasih Tuhan, serta mendorong mereka untuk dapat mengambil keputusan etis secara bertanggung jawab berdasarkan imannya kepada Tuhan. Buku ini diharapkan dapat menyuguhkan sesuatu yang bermakna bagi para pembaca, khususnya para mahasiswa untuk menyatakan peran dan tanggung jawab di tengah kehidupan gereja dan masyarakat. Penulis sadar, kehadiran buku ini belum sepenuhnya menjawab harapan para pembaca, teristimewa para mahasiswa. Tentu saja, di dalamnya terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, Penulis dengan rendah hati membuka diri untuk menerima kritik dan saran demi penyempurnaannya. Atasnya, disampaikan terima kasih yang tulus disertai doa: Tuhan menyertai dan memberkati kita semua. Amin.
Agustus 2016
iii
BAB I PERSPEKTIF KRISTIANI MENGENAI HAKIKAT DAN TANGGUNG JAWAB MANUSIA
A. Hakikat Manusia Menurut Kesaksian Alkitab Berdasarkan kesaksian Alkitab, ditemukan sekurang-kurangnya 13 (tiga belas) hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, antara lain: (a) Manusia diciptakan sebagai makhluk yang termulia Kesaksian Alkitab yang paling awal tentang manusia adalah manusia diciptakan sebagai makhluk yang termulia. Kesaksian ini menunjukkan bahwa manusia tidak terjadi dengan sendirinya melalui proses evolusi. Sebagai makhluk ciptaan, Tuhan adalah sumber hidup yang berdaulat penuh atas hidup dan tujuan hidup manusia. Sebagai makhluk ciptaan, manusia tidak akan pernah sama dengan Tuhan. Betapa hebatnya potensi rasional manusia, ia tetap makhluk dengan segala keterbatasannya. Karenanya, manusia harus bergantung kepada Tuhan dan mengakui kedaulatan Tuhan atas hidupnya dengan penuh kerendahan hati. Sebagai pencari makna hidup, manusia tidak mungkin menemukan makna hidup di luar Tuhan, penciptanya. Sedikitnya, ada 2 (dua) alasan manusia disebut sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang termulia, antara lain: Pertama, dengan manusia, Allah membuat rencana penyelamatan. Allah menghendaki supaya manusia dapat menyelamatkan (menjaga, memelihara, melestarikan) ciptaan Tuhan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar karya-karya ciptaan Tuhan tidak binasa atau punah. Rencana itu dimulai ketika Allah menempatkan dan memberikan mandat kepada manusia pertama di taman Eden. Kedua, Allah melengkapi manusia dengan akal, perasaan dan kehendak. Manusia, dengan kelengkapannya tersebut, dimaksudkan untuk dimampukan dalam merealisasikan rencana penyelamatan Allah, sekaligus membedakan manusia dari makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Dengan akal, manusia dapat berpikir, mengemukakan ide, gagasan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi dirinya, sesama dan lingkungannya. Binatang tidak memiliki akal.
1
Karenanya, binatang tidak dapat berpikir, mengemukakan ide, gagasan, serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Melalui perasaan, manusia dapat menciptakan keindahan dan menilai mana yang indah dan tidak indah. Binatang tidak memiliki perasaan, sehingga ia tidak dapat menciptakan keindahan, menilai dan menikmatinya. Dengan kehendak, manusia dapat membedakan perbuatan-perbuatan baik dan tidak baik; perbuatan mana yang perlu dilakukan dan tidak perlu dilakukan. Binatang tidak memiliki kehendak. Karenanya, binatang tidak memiliki kemampuan untuk membedakan perbuatan yang baik dan buruk. (b) Manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah Pengertian segambar dan serupa dengan Allah dalam narasi penciptaan tidak boleh dipahami sebagai kesamaan fisik, sekalipun kesamaan seperti itu tidak dapat dipungkuri keberadaannya. Segambar dan serupa dengan Allah lebih menunjuk pada relasi
manusia
dengan
Tuhan. Sebagai
ciptaan, manusia
selalu
mendambakan relasi yang harmonis dengan Tuhan. Hal inilah yang telah memungkinkan adanya fenomena agama dalam kehidupan manusia. (c) Manusia diciptakan dengan memiliki unsur badani dan rohani Yang dimaksud dengan manusia diciptakan dari unsur badani yaitu manusia diciptakan oleh Allah dari debu tanah. Sedangkan, unsur rohani berasal dari Allah, Sang Khalik. Pada diri manusia, Allah mempertemukan, menghubungkan dan menyatukan dua unsur yang bertentangan sifatnya itu menjadi satu kesatuan yang perlu dibedakan, namun tidak boleh dipisahkan. Allah menciptakan manusia menjadi tubuh yang berjiwa dan jiwa yang bertubuh. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang bertubuh, sebagai daging. Manusia tidak mempunyai tubuh atau daging, melainkan manusia adalah tubuh atau daging itu. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia bersifat daging; dan memiliki unsur kemanusiaan yang sangat besar. Kedagingan atau kemanusiaan manusia inilah yang membuat manusia bersifat tidak kekal. Manusia dengan kerendahannya, bergantung kepada Allah dan Allah melimpahkan berkat dan pengasihanNya (Mazmur 103: 14; 78: 39).
2
Selain, manusia diciptakan sebagai makhluk yang bertubuh, ia juga diciptakan sebagai makhluk yang bersifat rohani. Allah menghembuskan nafas hidup kedalam hidung manusia, sehingga menjadi suatu jiwa yang hidup. Manusia tidak mempunyai suatu jiwa, melainkan ia sendiri adalah jiwa. Kedua unsur dimaksud, yakni: tubuh (basar) dan jiwa (nefes) saling melengkapi. Melaluinya (tubuh dan jiwa), manusia dapat hidup; sekaligus menunjukkan salah satu unsur kesempurnaan manusia. Keadaan manusia sebagai jiwa dan tubuh mencerminkan pertemuan antara Allah dan ciptaan-Nya, Khalik dan makhluk; Roh Allah yang dititipkan kepada manusia menjadi lambang dari kuasa yang menghidupkan persekutuan antara kedua pihak (Allah dan manusia). Paulus juga menggunakan istilah-istilah untuk menggambarkan berbagai segi manusia, yakni: nyawa (psukhe), Roh (pneuma), daging (sarx) dan tubuh (soma). Istilah nyawa (psukhe) digunakan untuk menunjukkan hidup manusia (Roma 11: 3; 16: 4; Filipi 2: 30). Manusia sebagai makhluk hidup sangat terikat pada nyawanya. Sedangkan, istilah Roh (pneuma) banyak digunakan oleh Paulus dalam kaitan dengan Roh Kudus. Roh berkarya untuk membaharui hidup manusia menjadi ciptaan baru
(II Korintus 5: 17). Roh Kudus bersaksi pada roh manusia, yaitu
bagian dalam diri manusia yang mampu menanggapi pengaruh Ilahi (Roma 8: 16). Pneuma berarti keadaan manusia yang lebih tinggi, tidak semata-mata baik dan tidak
pula jahat. Pneuma dapat dicemarkan (II Korintus 7: 1) dan dapat
dikuduskan (I Korintus 7: 34). Menurut Paulus, Pneuma orang Kristen harus dikuasai oleh Roh Allah. Selanjutnya, istilah daging (sarx) berarti materi, jasmani. Istilah ini kemudian dipakai untuk pengertian manusia alami dalam bentuk aslinya yang duniawi (I Korintus 1: 29; Roma 13; 3:20; Galatia 1: 16). Karenanya, sarx digunakan untuk menyatakan manusia dalam kelemahannya. Kata sarx dapat pula digunakan untuk hal yang menyangkut diri seseorang, seperti dalam pernyataan Paulus bahwa tidak pernah orang membenci sarx-nya sendiri (Efesus 5: 29). Penggunaan kata sarx dalam surat-surat kiriman Paulus terdapat aspek ganda yang berhubungan dengan dosa. Sarx dilihat sebagai wadah kegiatan yang mengakibatkan dosa, bahkan
3
dapat merangsang tindakan dosa selanjutnya. Karena itu, sarx berhubungan erat dengan hawa nafsu. Paulus berbicara mengenai keinginan daging (Galatia 5:16) dan ia memperlihatkan suatu daftar perbuatan daging yang tidak layak ditiru. Paulus mengemukakan jenis-jenis perbuatan dosa sebagai gambaran tentang perbuatan daging, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora, dan sebagainya (Galatia 5: 1921). Perbuatan-perbuatan dosa seperti itu menghalangi seseorang untuk mengambil bagian dalam Kerajaan Allah. Hal ini memperlihatkan adanya pertentangan antara sarx dengan Kerajaan Allah. Berbeda dengan sarx, tubuh (soma) dapat diubah. Tubuh itu dijelaskan sebagai hal yang fana sifatnya (Roma 8: 10-11), tetapi Allah dapat menghidupkannya melalui Roh. Tubuh tidak diciptakan untuk percabulan. Siapa melakukan percabulan, berbuat dosa di hadapan Allah (I Korintus 6: 13-18). Tubuh merupakan tempat kediaman Bait Roh Kudus. Karena itu, Allah dapat dimuliakan dalam tubuh (I Korintus 6: 19-20). Hal ini membedakan tubuh (soma) dengan daging (sarx) dan memperlihatkan bahwa tubuh lebih unggul dari pada daging. Tubuh itu akan dibangkitkan dan dibebaskan (Roma 8: 23). Apa yang kini dibatasi oleh kuasa daging akan dibaharui. Tubuh yang hina ini akan dirubah secara berangsur-angsur, sehingga serupa dengan tubuh Kristus yang mulia (Filipi 3: 21). (d) Manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan Kebersamaan
laki-laki
dan
perempuan
dipandang
sebagai
lembaga
persekutuan yang diciptakan oleh Allah sesuai dengan berkat yang dilimpahkanNya kepada manusia. Pada Kejadian 2: 18 dikatakan: Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Bahkan setelah Allah melihat segala sesuatu yang dibuat-Nya itu, lalu mengatakan: sesungguhnya, semuanya baik sekali (Kejadian 1: 31). Lakilaki diciptakan sebagai bapak dan perempuan sebagai ibu. Laki-laki dikatakan sebagai pekerja (Kejadian 2: 15) dan perempuan sebagai penolong (Kejadian 2:18b). Laki-laki berperan sebagai suami dan perempuan sebagai istri dalam ikatan pernikahan yang sah.
4
Umumnya, seorang laki-laki selalu terpanggil menjadi penanggung jawab, pelindung dan pemimpin bagi perempuan. Sebaliknya, perempuan terpanggil untuk menunjukkan keibuan, ketaatan dan pelayanan kepada laki-laki. Walaupun demikian, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sebagai manusia yang setingkat: duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Allah tidak memandang bulu, tidak membuat diskriminasi antara jenis kelamin yang satu dengan lainnya. Justru dengan kelainannya masing-masing, laki-laki dan perempuan saling melengkapi, saling menolong untuk menjadi manusia yang sesungguhnya. Injil-Injil sinopsis dalam Perjanjian Baru (PB), juga memberikan perhatian terhadap kesejajaran dan kemitraan yang saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan. Kita dapat mempelajari ajaran dan sikap Yesus terhadap laki-laki dan perempuan: ibu dan ayah harus sama-sama dihormati sesuai dengan perintah Allah (Matius 15: 4 dstnya, band. Keluaran 20: 12; Ulangan 5: 16). Ketika Yesus menjelaskan tentang siapa yang menjadi sanak saudara murid-murid-Nya, Ia menyebutkan tentang saudara laki-laki, saudara perempuan dan ibu (Matius 12: 50). Singkatnya, Yesus sungguh memperhatikan kesamaan kedudukan antara lakilaki dan perempuan. (e) Manusia diciptakan sebagai tuan yang berkuasa dan memerintah, tetapi sekaligus sebagai hamba yang bekerja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya Manusia berkuasa sambil bekerja dan bekerja sambil berkuasa, menunjuk pada rahasia kesempurnaannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Status manusia sebagai tuan dan hamba memperlihatkan dua peran yang berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan. Keduanya (tuan yang berkuasa dan memerintah serta hamba yang bekerja) menyatu dalam diri manusia. Pada waktu yang sama, keduanya saling bergandengan tangan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Status ganda yang dimiliki menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia harus bekerja. Dengan begitu, cara-cara pemenuhan kebutuhan hidup di luar kerja, tidak dibenarkan. Manusia harus bekerja, barulah ia menikmati hasil kerjanya. Manusia memang disebut sebagai tuan yang berkuasa dan memerintah, tetapi tidak berarti secara otomatis semua kebutuhan hidup terpenuhi dengan sendirinya. Manusia perlu bekerja, tidak sekedar berkuasa dan memerintah.
5
(f) Manusia diciptakan sebagai mandataris Allah Mandat yang diberikan Allah kepada manusia terdapat dalam Kejadian 1:28 “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”. Mandat ini memperlihatkan bahwa manusia berbeda dengan makhluk ciptaan lainnya. Tugas dan tanggung jawab ini diberikan agar manusia mengambil prakarsa dan berkarya bagi kepentingan dirinya, sesama dan makhlukmakhluk lain. Hal ini dimulai pada saat manusia pertama (Adam dan Hawa) ditempatkan di taman Eden. Sebagai mandataris Allah, manusia tidak hanya memperbanyak keturunan, tetapi juga bertanggung jawab untuk mengatur jumlah penduduk di bumi, mengelola bumi dan isinya bagi kesejahteraan bersama. Di samping, memelihara makhluk-makhluk ciptaan lainnya agar tidak punah. (g)
Manusia diciptakan dalam kebebasan dan keterbatasan Umumnya, kebebasan diartikan sebagai kemungkinan manusia untuk
menentukan sendiri apa yang dilakukan, terutama kemungkinan memilih salah satu dari dua hal: baik dan jahat. Kebebasan diberikan oleh Allah kepada manusia dalam konteks bahwa Allah menciptakan manusia dengan akal, pikiran, perasaan dan kehendak bebas. Allah tidak menciptakan manusia seperti robot. Sehingga manusia bebas menentukan keputusan, sikap atau apapun yang dianggap baik oleh manusia. Sementara itu, keterbatasan manusia dipahami dari manusia dijadikan dari debu tanah. Makna dari manusia dijadikan dari debu tanah adalah bahwa manusia memiliki hubungan khusus dengan Allah, namun tidak sama dengan Allah. Jadi, keterbatasan manusia itu menunjuk pada status manusia sebagai makhluk ciptaan Allah. (h) Manusia diciptakan sebagai makhluk individu dan sosial Hakikat manusia yang satu ini tidak akan diuraikan secara antropologis, sekali pun hal ini sulit dihindari. Perhatian utama adalah membicarakan relasi manusia, baik secara individual dengan Allah maupun secara bersama-sama 6
(sosial) dengan Allah dan dampak hubungan-hubungan itu dengan lingkungan sekitar. Manusia pertama (Adam dan Hawa) diciptakan oleh Allah dari debu tanah. Setelah itu, Allah menghembuskan nafas kedalam hidung mereka. Ketika Allah menciptakan Adam, Allah berkata “tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja” (Kejadian 2:18a). Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia membutuhkan manusia lain. Atas dasar itulah Allah menciptakan Hawa untuk Adam. Jadi pada hakekatnya manusia telah diciptakan sebagai mahkluk sosial. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa manusia, baik secara individual (Adam, Hawa) maupun secara sosial (Adam dan Hawa) memiliki hubungan khusus dengan Allah. Larangan Allah supaya Adam dan Hawa tidak mengambil dan makan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat, dapat diartikan sebagai larangan yang bersifat individu dan bersifat bersama-sama (sosial). Tindakan Hawa untuk mengambil dan memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat adalah tindakan individu, namun buah pengetahuan itu juga diberikan kepada Adam, suaminya. Akibat dari tindakan manusia itu adalah dosa yang dirasakan bersama-sama (sosial). Selanjutnya, karya penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus bagi manusia, juga diterima secara personal (individu) dan secara bersama-sama (sosial). (i) Manusia adalah orang-orang berdosa Awal kejatuhan manusia pertama kedalam dosa adalah ketika mereka ingin menjadi sama dengan pencipta-Nya. Mereka tidak mengikuti perintah Tuhan, malah menentang, setelah iblis memperdaya mereka. Iblis menggunakan argumentasi-argumentasi yang rasional sebagai kekuatan untuk menggoyahkan ketahanan iman manusia pertama. Akhirnya, manusia mengambil keputusan untuk menuruti keinginan iblis dengan memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Keinginan untuk menjadi sama dengan Allah hanya menjadi suatu impian belaka. Akibatnya, manusia menjalani hidup dengan penderitaan. Sejak itu, manusia tidak lagi memiliki hubungan yang harmonis dengan Allah. Dosa menghalangi relasi Allah dengan manusia, sehingga relasi itu terputus.
7
(j) Manusia adalah orang-orang yang telah diampuni Setelah kejatuhan manusia kedalam dosa, Allah tidak membiarkan manusia begitu saja. Karya pengampunan dosa telah dikerjakan Allah melalui Yesus Kristus, sekali untuk selamanya. Penderitaan dan kematian-Nya, menandakan karya penebusan dimaksud. Melalui karya penebusan yang dilakukan oleh Yesus, hubungan atau relasi antara manusia dengan Allah yang sempat terputus kembali menjadi harmonis. Karenanya, sebagai orang-orang yang telah ditebus dan diselamatkan, hendaknya meninggalkan ciri-ciri hidup manusia lama dan mengenakan ciri-ciri hidup manusia baru. Manusia tidak boleh hidup dalam dosa, tetapi memuliakan Kristus dengan seluruh hidupnya. Manusia harus mampu mengimplementasikan pola hidup yang berkenaan kepada Allah sebagai wujud ketaatan terhadap firman-Nya. (k) Manusia sebagai makhluk rasional dan berbudaya Menurut Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) rasional adalah menurut pikiran dan pertimbangan yang logis, menurut pikiran yang sehat, cocok dengan akal. Menurut KBBI budaya diartikan sebagai pikiran, akal budi atau adat istiadat. Secara tata bahasa, pengertian kebudayaan diturunkan dari kata budaya yang cenderung menunjuk pada pola pikir manusia. Menurut E.B Taylor budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Linton budaya adalah keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu. Salah satu keistimewaan manusia adalah memiliki rasio atau akal. Manusia, dengan rasio atau akal, dapat mengembangkan kebudayaan dalam arti luas. Artinya, manusia sebagai makhluk rasional (cara berpikir yang logis, masuk akal) harus dapat menciptakan hal-hal yang bersifat positif untuk menghasilkan suatu kebudayaan yang baik.
8
(l)
Manusia sebagai makhluk etis Sebagai makhluk etis, manusia memiliki potensi dan kapasitas untuk
mempertanyakan dan membedakan apa yang baik, benar, dan sebaliknya, apa yang tidak baik, salah. Manusia tidak saja mampu membedakan mana yang baik dan tidak baik secara etis, tetapi juga mempunyai kebebasan untuk memilih salah satu diantaranya. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, sekaligus bertanggung jawab atas pilihannya. Tegasnya, ada nilai-nilai etis yang mengatur relasi manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta. Di samping, selalu ada dimensi tanggung jawab etis dalam setiap relasi manusia. (m) Manusia diciptakan dengan memiliki talenta Allah memberikan kepada setiap orang talenta, tetapi talenta masing-masing orang tidak sama. Perumpamaan tentang seorang tuan yang memberikan talenta kepada hamba-hambanya memperlihatkan bahwa setiap orang menerima talenta yang berbeda-beda (secara kuantitatif). Tujuan pemberian talenta adalah untuk diperlabakan bagi kesejahteraan hidup manusia, baik secara personal maupun komunal. Selain dipertanggung-jawabkan kepada Allah, Sang Pemberi talenta. Talenta yang berbeda pada setiap orang tidak boleh dijadikan sebagai sumber kecemburuan. Sebaliknya, dilabakan. Jadi, bukan soal masing-masing orang mendapat berapa talenta, tetapi bagaimana memperlabakannya. Karenanya, setiap talenta yang dimiliki perlu dilipat-gandakan, sehingga menjadi saluran berkat bagi sesama. Kepemilikan talenta yang tidak sama menunjukkan betapa Tuhan itu adil karena Ia memberikan talenta kepada setiap orang berdasarkan kesanggupannya. B. Pengertian Tanggung Jawab secara Teologis Istilah
tanggung
jawab
bergandengan
maknanya
sebab
yang
satu
memaknakan yang lain secara teologis. Tanggung adalah beban (kuk), pikulan. Sedangkan jawab adalah respons atau reaksi terhadap beban atau pikulan. Tanggung jawab juga berarti wajib menanggung, wajib memikul beban, wajib memenuhi segala akibat yang timbul dari sesuatu perbuatan, rela mengabdi dan berkorban untuk sesama.
9
Jadi, tanggung jawab adalah tanggungan yang harus dijawab seumur hidup dan jawaban yang harus ditanggung seumur hidup. Jawaban-jawaban yang akan terus tertanggung di pundak kita seumur hidup adalah dalam bentuk ketaatan dan kesetiaan iman, tanpa batas waktu. Tanggung jawab itu bersifat abadi. Manusia, tanpa tanggung jawab akan kehilangan arti kehidupannya selaku mandataris Allah. Hal ini memberikan implikasi kepada manusia bahwa setiap tanggung jawab yang diterima, harus dilaksanakan sebagai penegasan terhadap eksistensinya sebagai mandataris Allah. Manusia, melalui pelaksanaan tanggung jawab menyatakan ketaatan, kesetiaan dan bertanggung jawab kepada Allah. Karenanya, sekecil apa pun suatu tanggung jawab harus dilaksanakan dengan baik. Manusia diciptakan dan ditempatkan di antara sesama dan lingkungannya, agar ia mewujudkan tanggung jawabnya. Tanggung jawab itu berkaitan dengan kewajiban. Status dan peranan seseorang sering menentukan kewajibannya. Orang yang bertanggung jawab akan merasa senang dan bahagia, sebab ia telah menunaikan kewajibannya. Sebaliknya, orang yang tidak melakukan kewajibannya, akan merasa gelisah karena suara hati selalu mengejarnya. Apalagi, kalau ia hanya menuntut hak semata, tanpa disertai dengan melaksanakan tanggung jawab. Dewasa ini, kita melihat tidak sedikit orang yang kurang sungguh-sungguh melaksanakan tugas dan tanggung jawab atau bekerja asal-asalan, tetapi menuntut hak-haknya secara penuh. Padahal, perlu ada kesimbangan antara hak dan kewajiban. Seseorang perlu melakukan kewajiban barulah ia menuntut haknya, dan bukan sebaliknya. Jadi, manusia hendaknya bertanggung jawab atas suatu kepercayaan yang diberikan.
C. Bentuk-bentuk Tanggung Jawab Manusia Manusia, baik secara personal maupun komunal, memiliki tanggung jawab sebagai berikut: (a) Tanggung jawab terhadap dirinya sendiri Setiap orang dipanggil untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Tanggung jawab tersebut dapat mengurangi rasa ketergantungan kepada orang lain. Selain itu, perwujudan tanggung jawab dimaksud menunjukkan bahwa setiap
10
orang juga mengasihi dirinya sendiri, dan mengasihi sesamanya. Jelasnya, siapa yang tidak bertanggung jawab atas dirinya, sama artinya dengan ia tidak mengasihi dirinya sendiri dan sesamanya. Wujud tanggung jawab terhadap diri sendiri dapat berupa: memelihara keselamatan di dunia dan di akhirat; menjaga kesehatan; mengejar masa depan yang lebih baik; mencari pekerjaan; dan sebagainya. Tanggung jawab seperti ini dapat pula berbias pada berbagai tanggung jawab lainnya. Artinya, jika seseorang telah menunjukkan tanggung jawab pada dirinya sendiri, ia juga dapat merealisasikan tanggung jawab lainnya, baik terhadap sesama, masyarakat, Gereja, lingkungan alam, dan lain-lain. Sebaliknya, jika seseorang belum bertanggung jawab sepenuhnya atas dirinya, belum tentu ia dapat mempedulikan berbagai tanggung jawab lainnya. (b) Tanggung jawab terhadap sesama Menurut Alkitab, sesama adalah penolong yang diciptakan Allah (Kejadian 2:18). Ketika ada orang yang bertanya kepada Yesus: siapakah sesamaku manusia? Yesus menjawab melalui perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (Lukas 10: 29-37). Hal ini mengindikasikan bahwa sesama kita adalah semua orang yang dijumpai dalam hidup ini, tanpa membedakan atau mempersoalkan perbedaan-perbedaan yang ada padanya. Apa pun perbedaan yang dimiliki, itulah sesama kita. Dengan tanggung jawab terhadap sesama, setiap orang dipanggil untuk saling memberi pertolongan, saling membantu, menghargai, mempedulikan, dan seterusnya. Tegasnya, setiap orang dipanggil untuk mengasihi sesamanya (lihat Hukum Taurat ke 5-10 dalam Keluaran 20: 12-17) dan perintah Tuhan: kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri. Kasih kepada sesama adalah kasih tanpa pamrih, kasih tanpa menuntut balas dari sesama. Kasih seperti itu diajarkan oleh Yesus. Pengorbanan-Nya adalah bukti nyata dari ajaranNya. Ia adalah kasih dan membuktikan kasih itu dalam hidup dan pelayanan. Bahkan, kematian di kayu salib merupakan puncak dari ajaran kasih. Orang percaya yang mengasihi sesama tanpa meminta balas, sesungguhnya ia telah memahami kasih Yesus. Di samping itu, ia telah membuka ruang bagi Yesus untuk membalas kebaikannya. Meminta balas jasa, sama artinya dengan menutup
11
ruang bagi Yesus untuk tidak mengasihi kita. Alasannya, kita telah menerima sesuatu dari sesama. Mengasihi sesama berarti kita bersedia untuk berkorban karena kasih membutuhkan pengorbanan. Mengasihi sesama juga berarti menyangkal diri sendiri. Artinya, kita mengasihi sampai kita lupa bahwa diri sendiri perlu dikasihi. Kasih yang tidak peduli dengan diri sendiri. Kasih seperti ini sudah jarang ditemukan dimana-mana karena orang lebih senang memperhatikan kepentingan dirinya dari pada kepentingan sesama. Manusia dapat saja berasumsi bahwa mengasihi sesama membawa kerugian secara material bagi dirinya. Karenanya, kurang ada kepedulian bagi sesama. Kehadiran sesama mungkin hanya membawa beban bagi dirinya. Apa pun pilihan dan sikap kita, perlu diingat bahwa Yesus menghendaki adanya kasih kepada sesama, tanpa pamrih. Itulah wujud kasih kita kepada-Nya. (c) Tanggung jawab terhadap keluarga Setiap individu dalam satu persekutuan keluarga, memiliki tanggung jawab tertentu. Orang tua bertanggung jawab kepada anak (anak-anaknya); anak-anak menunjukkan tanggung jawab kepada orang tuanya; Orang tua dipanggil untuk membina dan mendidik anak-anaknya (Ulangan 6: 6-9, Kolose 3: 21). Anak-anak dipanggil untuk menghormati orang tua supaya lanjut umur (Keluaran 20: 12, Kolose 3: 20). Demikian pula, suami harus memenuhi kewajiban terhadap istrinya. Sebaliknya, istri harus memenuhi kewajiban kepada suaminya (I Korintus 7: 3-4, Kolose 3: 18-19). Tanggung jawab seperti ini perlu dihidupkan dan dibiasakan dalam setiap keluarga, sehingga masing-masing orang memahami dan mewujudkan berbagai tanggung jawabnya. Di samping menjadi anutan bagi orang lain, kasih Kristus perlu diletakkan sebagai dasar hidup keluarga. Kasih Kristus yang mampu mengikat dan mempersatukan hidup keluarga. Dengan kasih itu pula, setiap anggota keluarga hidup saling mengasihi dan membangun karakter hidup yang baik, terutama bagi kelanjutan hidup anak-anak dikemudian hari. (d) Tanggung jawab terhadap masyarakat Di samping sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu ingin hidup berkelompok atau
12
hidup bermasyarakat. Karenanya, manusia ingin mewujudkan tujuan hidupnya bersama orang lain. Seseorang tanpa hidup bersama orang lain, sulit mewujudkan impiannya. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat, manusia bertanggung jawab untuk memajukan masyarakat melalui peran serta dalam menunjang berbagai program pemberdayaan, membangun dan mengusahakan kesejahteraan hidup bersama, menciptakan suasana hidup yang aman, tenteram, tertib dan damai; memelihara, melestarikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai budaya dalam kehidupannya, menjaga kebersihan lingkungan, menciptakan lapangan pekerjaan, dan seterusnya. Berbagai tanggung jawab yang dimaksud, dapat terealisir, jika semua komponen yang ada dalam masyarakat dapat bekerja secara bersama-sama. Karenanya, dibutuhkan kesatuan dan persatuan antarwarga masyarakat, sehingga dalam hidup bersama tercipta cita-cita bersama. (e) Tanggung jawab terhadap bangsa dan negara Umat Kristen sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia, memiliki dan mengemban tanggung jawab sosial dan politik, sama dengan warga negara lainnya. Hal ini berarti umat Kristen, baik secara individu maupun kelompok atau golongan juga mengemban tugas untuk turutserta mewujudkan cita-cita bangsa sesuai amanat pembukaan UUD 1945, alinea ketiga, yakni: memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selain itu, umat Kristen bertanggung jawab untuk menyalurkan aspirasiaspirasi politik secara sehat, kritis dan santun. Umat Kristen juga bertanggung jawab untuk mendoakan pemerintah, menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mempertahankan Pancasila sebagai idiologi negara; mengisi pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila secara bertanggung jawab dan berkelanjutan, dan sebagainya.
13
(f) Tanggung jawab terhadap lingkungan alam Manusia diberikan mandat oleh Allah untuk menguasai dan menaklukan (Kejadian 1: 28) seluruh isi bumi (hewan, ternak, binatang, ikan, unggas, tumbuhtumbuhan, dan lain-lain) di dalam keselarasan dan keutuhan yang saling menghidupkan serta mencukupkan sesuai dengan kasih karunia pemeliharaan Tuhan (Kejadian 1: 31; Mazmur 24: 1-2; 86: 12; 104: 10-18; Kolose 1: 16). Mandat untuk menguasai dan menaklukan, tidak dimaksudkan agar manusia bertindak semena-mena terhadap lingkungan alam. Sebaliknya, manusia ditugaskan untuk menjaga, memelihara dan mengelola lingkungan alam bagi kepentingan hidup bersama. Kenyataannya, tugas ini belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik. Kita menyaksikan di berbagai tempat betapa manusia berlomba-lomba untuk mencari kekayaan bagi kepentingan diri, keluarga dan kelompok, sehingga lingkungan menjadi rusak, dan tidak ramah dengan manusia. Hal ini tentu akan berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup generasi mendatang. Karenanya, mandat untuk menguasai dan menaklukan harus dikembalikan
dalam
perspektif
keselarasan
dan
keutuhan
yang
saling
menghidupkan, dan bukan saling menghancurkan atau membinasakan. Tanggung jawab ini dapat terwujud, bilamana manusia memahami maksud pemberian mandat oleh Tuhan. Selain adanya kesadaran bahwa hidup dan masa depan generasi berikut juga bergantung pada lingkungan alam. Dengan begitu, manusia tidak seenaknya mengeksploitasi lingkungan alam demi kenikmatan dan kepuasan sesaat, tanpa mempedulikan nasib lingkungan dan sesama manusia. (g) Tanggung jawab terhadap Tuhan Orang-orang percaya sering bertanya bagaimana wujud tanggung jawabnya kepada Tuhan? Atau hal-hal apa saja yang dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan? Jawabannya sangat mudah sekali, yakni setiap individu mempertanggungjawabkan totalitas hidup, termasuk pemikiran, perkataan, perasaan dan perbuatan sehari-hari kepada Tuhan. Singkatnya, setiap orang bertanggung jawab atas seluruh perbuatannya bagi Tuhan. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia tidak sedikit pun memiliki kehendak bebas untuk melakukan suatu tindakan yang terlepas dari tanggung jawab kepada Tuhan. Oleh sebab itu, perbuatan-perbuatan manusia harus diselaraskan dengan
14
kehendakNya. Tujuannya, supaya perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan dapat mengekspresikan Tuhan yang baik bagi orang banyak. (h) Tanggung jawab terhadap Gereja Setiap orang percaya adalah anggota Gereja (persekutuan orang-orang percaya). Sebagai anggota Gereja, setiap orang dipanggil untuk melaksanakan Tri Panggilan Gereja, yakni: (1) bersekutu, (2) bersaksi, dan (3) melayani. Pertama, Gereja dipanggil untuk bersekutu (I Petrus 1: 9-10). Tujuannya, supaya Gereja dapat bertumbuh, baik secara kedalam maupun keluar; baik kualitas maupun kuantitas, dan kesaksiannya dapat diterima oleh dunia. Secara internal, panggilan Gereja untuk menyatakan hidup bersekutu dapat dilakukan melalui keluarga, sekolah minggu, katekisasi dan ibadah-ibadah. Secara eksternal, hal ini dapat dilaksanakan melalui pemberitaan Injil dan pelayanan bagi sesama dan dunia. Kedua, Gereja dipanggil untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah kepada dunia (Kisah Para Rasul 1: 8) dari Yerusalem sampai ke ujung bumi (Matius 28: 19-20), agar dunia percaya bahwa ada keselamatan di dalam Yesus Kristus. Panggilan yang dimaksud harus dijalankan melalui kata dan perbuatan nyata, supaya dunia dapat menyaksikan dan percaya Yesus Kristus. Ketiga, panggilan untuk melayani mencakup berita keselamatan jasmani dan rohani. Manusia bukan hanya memiliki unsur jasmani, tetapi juga rohani. Olehnya itu, pelayanan yang diberikan juga utuh, menyangkut hidup manusia secara totalitas. Melalui pelayanan, Yesus membawa tanda-tanda keselamatan itu dalam bentuk penyembuhan orang sakit, penglihatan kepada orang buta, kebebasan bagi orang tertawan, dan sebagainya. Gereja pun dipanggil untuk melayani sesama dalam bentuk memberikan bantuan kepada para janda, anak yatim-piatu, fakir miskin, dan lain-lain. Tanggung jawab ini akan menjadi nyata dan bermakna, bila setiap orang, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama (persekutuan) terlibat untuk melaksanakan berbagai program pelayanan dan kewajiban-kewajiban sebagai anggota Gereja, dimana pun berada.
15
Latihan Petunjuk: Buatlah kelompok yang terdiri dari 4 orang. 1. Berikan beberapa perbandingan hakikat manusia seperti bidang ilmu biologi dibandingkan dengan teologi. 2. Berikan perbandingan antara tanggung jawab umum dan tanggung jawab secara teologis? 3. Kemukakanlah bentuk-bentuk tanggung jawab manusia?
16
BAB II PERSPEKTIF KRISTIANI MENGENAI KETUHANAN
A. Pengertian Agama 1. Pengertian Agama secara Etimologis Menurut Dadang Kahmad (2002: 13), istilah agama diambil dari 2 (dua) suku kata, yaitu a berarti tidak dan gama berarti kacau. Jadi, agama berarti tidak kacau. Alasannya, agama berisi suatu peraturan yang mengatur hubungan manusia agar tidak kacau. Agama dapat disamakan dengan kata religion dalam bahasa Inggris; religie dalam bahasa Belanda. Kedua istilah ini berasal dari bahasa Latin: religio dari akar kata religare, artinya mengikat. Berdasarkan pengertian kata religare tersebut, dapat dikatakan bahwa agama adalah keterikatan sekelompok manusia dengan yang ilahi. Atau dengan kata lain, agama adalah kepercayaan dan keyakinan terhadap kuasa yang lebih tinggi dari manusia, dan dianggap sebagai yang ilahi. Kuasa yang lebih tinggi itu dipersonifikasikan di dalam wujud dewa, ilah, allah, dan sebagainya. Kepada kuasa itu, manusia merasa bergantung atau berusaha untuk mendekatinya. Hal senada juga diungkapkan oleh Herbert Spencer dan E.B. Taylor. Menurut Spencer, seperti dikutip oleh Dadang Kahmat (2002: 17) bahwa faktor utama dalam agama adalah iman akan adanya kekuasaan tidak terbatas, atau kekuasaan yang tidak dapat digambarkan batas waktu atau tempatnya. Sedangkan, menurut Taylor, agama adalah keyakinan tentang adanya makhluk spiritual (roh-roh). Jadi, dapat dikatakan bahwa agama selalu berhubungan dengan yang ilahi. Ia disembah karena diyakini memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari manusia. Ia dapat menentukan jalan hidup manusia. Karena itu, manusia bergantung padanya.
17
2. Pengertian Agama secara Sosiologis Para sosiolog melakukan deskripsi atau gambaran mengenai kehidupan beragama dalam masyarakat. Hasilnya, agama dilihat sebagai suatu fenomena sosial dan dimiliki oleh seluruh masyarakat, baik pada masyarakat tradisional, sedang berkembang maupun modern. Agama merupakan salah satu aspek dari kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial masyarakat. Agama juga dapat dilihat sebagai salah satu unsur kebudayaan masyarakat, di samping unsur kesenian, bahasa, sistem mata pencaharian, sistem peralatan, sistem organisasi sosial, dan sebagainya. Sebagai bagian dari sistem sosial, agama diciptakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat. Berdasarkan perspektif sosial-budaya, agama adalah sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya, yang berporos pada kekuatan-kekuatan supranatural. Kekuatan ini dipercaya dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan individu dan masyarakat. Dengan mengatakan agama sebagai sistem sosial, hendak ditegaskan bahwa agama berurusan dengan kekuatan dari ‘dunia luar’, yang lebih tinggi dari kekuatan manusia. Kekuatan dari ‘dunia luar’, dipercayai sebagai arwah, roh-roh dan roh tertinggi. Kepercayaan kepada kekuatan dimaksud, diekspresikan dalam kultus atau upacara-upacara keagamaan. Kultus adalah tindakan-tindakan tertentu, pada tempat-tempat tertentu, dan pada waktu-waktu tertentu untuk membangun relasi antara manusia dengan kekuatan dari ‘dunia luar’. Senada dengan itu, Emile Durkheim juga memberikan batasan pengertian mengenai agama. Menurut Durkheim, seperti dicatat oleh Ishomuddin (2002: 51), mengartikan agama sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan sesuatu yang suci (sacred), yang mempersatukan para pemeluknya menjadi satu komunitas moral yang tunggal. Bagi Durkheim, sesuatu yang suci itu memiliki 7 (tujuh) macam ciri, yakni: (a) diakui sebagai kekuasaan atau kekuatan, (b) ambigius: fisik-moral, human-cosmic, positif-negatif, menarikmenjijikkan, membantu-membahayakan, (c) tidak utilitarian, (d) tidak empirik, (e) tidak melibatkan pengetahuan, (f) memperkuat dan mendukung para pemuja, (g) membuat tuntutan moral bagi para pemujanya.
18
Jadi, secara sosiologis, agama diciptakan sebagai sarana bagi masyarakat untuk berelasi dengan kekuatan yang lebih tinggi. Manusia menyadari keterbatasannya dan mencari kekuatan lain di luar dirinya. Kekuatan lain itu dianggap mampu untuk menolong manusia dalam keterbatasannya.
3.
Pengertian Agama secara Antropologis
Pada perspektif antropologi budaya, agama dipahami sebagai produk manusia. Manusia menciptakan agama karena memiliki kepentingan dengan agama. Kepentingannya, supaya melalui agama, manusia dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya sendiri, lingkungan masyarakat dan dengan lingkungan lain yang dirasakan sebagai suatu yang transenden. Untuk itu, manusia membuat ritus-ritus tertentu dan simbol-simbol tertentu, agar dapat beradaptasi dengan berbagai lingkungan yang ada. Sehubungan dengan itu, para ahli antropologi memandang agama dipahami sebagai sistem keyakinan yang dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan anggota masyarakat (Ishomuddin, 2002: 50). Hal ini dimaksudkan, agar tindakan anggota masyarakat dapat sesuai atau tidak menyimpang dari sistem keyakinan yang dimiliki. 4.
Pengertian Agama secara Psikologis
Pada sudut pandang psikologis, Sigmund Freud, seperti dikutip oleh Jason Lase, dkk (1995/1996: 79), mengatakan bahwa agama dipahami sebagai ciptaan manusia. Menurut Freud, manusia dilengkapi oleh insting dan kematian. Pada satu sisi, manusia ingin hidup bahagia, aman dan damai. Namun, pada sisi yang lain, manusia juga diperhadapkan dengan bahaya, kesukaran dan kesulitan yang mengancam eksistensi hidupnya. Berdasarkan pengalaman, manusia sadar bahwa kehidupannya di dunia terbatas, ia pasti mati. Kematian itu sangat menakutkan karena sulit untuk diprediksikan. Bagaimana manusia mengetahui realitas kehidupan seperti ini? Menurut Freud, cara yang paling mudah yaitu memproyeksikan tokoh Bapak
19
sebagai orang yang memberikan rasa aman, bebas dari ketakutan dan suatu tempat yang indah, dimana tidak ada lagi rasa takut. Upaya manusia seperti itu, disebut agama. Agama merupakan suatu ilusi manusia yang tidak berdaya menghadapi realita hidup yang sulit. Bila manusia sudah mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi dan telah menguasai IPTEK, sehingga manusia dapat mengatasi berbagai persoalan, agama dengan sendirinya tidak berfungsi lagi. Tuhan sebagai tokoh Bapak, tidak dibutuhkan lagi. Apakah benar agama merupakan ilusi manusia yang tidak berdaya? Apakah kita hanya berdoa kepada Tuhan, bila sakit atau ditimpa musibah? Jika kita memiliki kehidupan beragama seperti ini, kritik Freud itu benar. Bagi saya, kita tidak boleh memahami cara beragama dan cara memperlakukan tokoh Bapak seperti itu. Kita selalu membutuhkan agama dan tokoh Bapak, sekali pun manusia dapat mengatasi berbagai persoalan dengan segala kemampuan yang dimiliki. 5. Pengertian Agama secara Teologis Menurut Calvin, seperti dicacat oleh Jason Lase, dkk (1995/1996: 79-80), bahwa dalam diri manusia selalu ada kerinduan untuk menjadi mirip dengan Allah. Kerinduan itu dinamakan semen religionis atau sensus devenitis atau dasar keagamaan yang ada secara laten, kemudian berkembang menjadi agama murni. Semen religionis menyebabkan manusia mencari Tuhan. Manusia diciptakan segambar dan serupa dengan diri-Nya (imago Dei), artinya diciptakan dalam relasi dengan Tuhan. Melalui relasi itu, Tuhan menghendaki supaya manusia berbakti dan memuliakan namaNya.
B. Fungsi Agama dalam Kehidupan Manusia Sebagai produk manusia, agama tentu memiliki berbagai fungsi karena manusia mempunyai kepentingan dengan agama. Menurut Ishomuddin (2002: 5456), dalam praktiknya, agama dalam masyarakat memiliki 8 (delapan) fungsi, yaitu:
20
(a) Fungsi edukatif Para penganut agama berpendapat bahwa agama memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Secara yuridis, agama berfungsi menyuruh dan melarang. Tujuannya, supaya para penganut menjadi orang-orang yang baik dan terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan baik, sesuai ajaran agama masing-masing. (b) Fungsi penyelamatan Manusia selalu mendambakan keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat. Agama berfungsi untuk mengajarkan dan membimbing para penganut pada jalan keselamatan. Perlu dikemukakan bahwa agama tidak menyelamatkan manusia, tetapi agama menunjuk jalan menuju keselamatan. Keselamatan hanya diperoleh dari Tuhan. (c) Fungsi pendamaian Melalui agama, seseorang yang bersalah atau berdosa dapat memperoleh kedamaian batin dengan cara mengaku kesalahan atau dosanya, dan bertobat dari perbuatannya. (d) Fungsi kontrol sosial (social control) Para pemeluk agama meyakini bahwa ajaran-ajaran agama merupakan norma dalam menuntun langkah hidupnya. Karenanya, agama juga memiliki fungsi kontrol sosial bagi perilaku hidup pemeluknya. Melalui fungsi kontrol sosial dapat dilihat apakah perilaku yang ditunjukkan telah sesuai atau tidak sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang dianutnya. (e) Fungsi pemupuk rasa solidaritas Secara psikologis, agama dapat memupuk rasa solidaritas para pemeluknya. Mereka memiliki kesamaan dalam kesatuan iman dan kepercayaan. Bahkan, dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh menembusi berbagai perbedaan yang dimiliki.
21
(f) Fungsi transformatif Ajaran agama dapat mengubah kehidupan pribadi seseorang dari yang tidak baik menjadi baik. Hal ini dapat terwujud, bilamana manusia bersedia hidup menurut kehendak Pencipta-Nya dan menjauhkan diri dari perbuatanperbuatan tercela. (g) Fungsi kreatif Ajaran agama mengajak dan mendorong para penganutnya untuk bekerja produktif, bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri, melainkan juga untuk orang lain. Karenanya, manusia tidak hanya bekerja secara monoton (apa adanya), tetapi juga bekerja secara kreatif. Maksudnya, manusia dapat meningkatkan hasil pekerjaannya atau menciptakan sesuatu yang baru. Hal ini menunjuk bahwa manusia adalah makhluk yang dinamis (progres), bukan statis (order). (h) Fungsi sublimatif Ajaran agama dapat menguduskan segala usaha manusia, sejauh dilakukan dengan niat yang tulus dan tidak bertentangan dengan ajaran agama yang dianut (lihat pula Hendropuspito, 1998: 38-57 mengemukakan fungsi agama sebagai edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan, dan transformatif). Selanjutnya, E.K. Nottingham mengedepankan 4 (empat) fungsi agama secara sosiologis, seperti dikutip oleh Ishomuddin (2002: 51), yakni: (a) mengintegrasikan masyarakat, (b) mendisintergrasikan masyarakat, (c) ikut melestarikan nilai-nilai sosial, (d) ikut memainkan peranan yang bersifat kreatif, inovatif dan revolusioner. Sementara itu, menurut Jason Lase, dkk (1995/1996: 78, 83), fungsi agama dalam kehidupan manusia, sebagai berikut: (a) mengantar penganut agama untuk mengenal pencipta-Nya, baik melalui hasil ciptaan maupun ajaranajaran-Nya, (b) mengajak penganut agama untuk melaksanakan kehendak pencipta-Nya, (c) membimbing penganut agama di jalan yang aman dan sejahtera, (d) mempersatukan masyarakat yang berbeda latar belakang hidup, (e) mendorong penganut agama untuk membangun masyarakat, bangsa dan
22
negara, (f) mendukung adat istiadat masyarakat yang searah dengan nilainilai keagamaan, (g) menginternalisasi nilai-nilai yang baik kepada penganut. Berdasarkan fungsi-fungsi agama sebagaimana telah dikemukakan, dapatlah dikatakan setiap agama senantiasa mengantarkan para pemeluk untuk mengenal Tuhan, Sang Pencipta; mengajarkan nilai-nilai, norma-norma, kaidah-kaidah, aturan-aturan yang bersumber pada ajaran agama, dan diaktualisasikan dalam hidup sehari-hari; mendorong para pemeluknya untuk ikut membangun masyarakat, bangsa dan negara dengan berbagai nilai etik, moral dan spiritual. Singkatnya, agama selalu mengedepankan kebaikan, dan bukan yang jahat. Untuk itu, umat beragama perlu memfungsikan agama secara bertanggung jawab demi kebaikan dan kesejahteraan semua umat manusia di muka bumi. Sebaliknya, agama jangan difungsikan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tidak terpuji.
C. Konsep Tuhan sebagai Pencipta, Penyelamat dan Pembaharu Agama Kristen percaya kepada satu Tuhan yang menyatakan diri dalam 3 (tiga) cara, yakni sebagai Pencipta, Penyelamat dan Pembaharu. Ketiga cara penyataan diri ini dimaksudkan untuk menjadi intisari kepercayaan Kristen mengenai Tuhan Yang Maha Esa. 3.1. Tuhan sebagai Pencipta Konsep ini menjadi titik tolak yang tepat untuk mulai membicarakan Tuhan. Alasannya, tanpa dasar kepercayaan seperti ini, kita akan kehilangan dasar kepercayaan agama dan perannya dalam hidup manusia maupun membicarakan kodrat dan sifat-sifat-Nya. Melalui pembahasan mengenai karya-karya Allah, kita akan tiba pada pemahaman akan sifat-sifat-Nya. Alkitab memulai kesaksian tentang Allah sebagai Pencipta langit dan bumi beserta seluruh isinya, termasuk manusia. Dengan adanya pengakuan tentang Tuhan sebagai Pencipta, kita dapat mengenal sifat Tuhan sebagai Pribadi Yang Maha Kuasa. Tuhan dalam kebijaksanaan-Nya, berpikir, membuat keputusan dan membangun
relasi
dengan
ciptaan-Nya,
termasuk
manusia.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa Tuhan adalah Sang Pribadi, Maha Kuasa dan
23
membangun relasi subjek dengan manusia. Kita sulit membayangkan kepribadian Tuhan. Namun, kita ditolong bila membayangkan kepribadian manusia, karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Tuhan. Hal ini tidak berarti bahwa kepribadian manusia dijadikan sebagai patokan untuk memahami kepribadian Tuhan, sebab kepribadian manusia hanyalah refleksi dari kepribadian Tuhan. Tuhan bukan sekedar pribadi, tetapi pribadi yang Maha Kuasa. Artinya, Tuhan menciptakan dari ketiadaan menjadi ada, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Karenanya, Tuhan, kekal adanya. Selain, Tuhan sebagai pribadi yang maha kuasa, ditambahkan pula atribut lain, seperti: maha tahu, maha hadir, maha mulia, maha adil, dan lain-lain, sebagai penegasan terhadap perbedaan hakiki antara Pencipta (Tuhan) dan ciptaan (manusia). Ada 3 (tiga) implikasi yang muncul dari pengakuan terhadap Tuhan sebagai Pencipta, yakni: Pertama, sebagai Pencipta, Tuhan adalah sumber kehidupan manusia dan manusia adalah milik Tuhan. Sebagai pemilik, Tuhan juga berdaulat atas hidup dan tujuan hidup manusia. Hal ini membawa kita pada kenyataan bahwa manusia adalah makhluk pencari makna. Makna hidup manusia hanya dapat ditemukan dalam Tuhan pencipta, pemilik, dan yang berdaulat atas hidup serta tujuan hidup manusia (band. Roma 11: 36). Dengan mengakui bahwa manusia adalah milik Tuhan, manusia terdorong untuk memuliakan Tuhan dengan seluruh hidupnya (band. I Korintus 6: 20). Kedua, pengakuan akan kemahakuasaan dan kebesaran Tuhan, mendorong manusia untuk mengagumi kebesaran penciptaan-Nya. Perasaan kagum, heran dan syukur menjadi dasar kehidupan ibadah orang percaya. Ketiga, Tuhan pencipta adalah juga pribadi dan bukan sekedar konsep abstrak. Karenanya, manusia dipanggil untuk merespons penyataan diri Tuhan dengan cara memasuki hubungan pribadi dengan-Nya. Hubungan pribadi ini dipelihara, dipertahankan melalui ketaatan dan ibadah kepada-Nya. Manusia dipanggil bukan hanya untuk mengetahui siapa Tuhan, tetapi juga mengenal-Nya. Itu berarti manusia memiliki relasi pribadi dengan Tuhan.
24
3.2.
Tuhan sebagai Penyelamat dalam Yesus Kristus
Ajaran mengenai keselamatan mendapat tempat dalam semua agama, mulai dari agama yang primitif sampai pada yang lebih modern, baik agama yang politheis maupun monotheis. Patut diakui bahwa makna keselamatan dalam setiap agama berbeda, mulai dari pengertian yang bersifat material jasmaniah sampai yang bersifat spiritual, baik menyangkut hidup kini maupun hidup akan datang (hidup sesudah kematian). Karenanya, tidak mengherankan, jika ajaran keselamatan menjadi salah satu faktor pendorong manusia beragama. Hal ini bukan berarti bahwa mereka yang tidak beragama, tidak memiliki harapan mengenai keselamatan. Ajaran tentang keselamatan juga menempati tempat yang sentral dalam keKristenan, sehingga Yesus Kristus, Juruselamat menjadi pusat pemberitaannya. Ajaran mengenai makna keselamatan ini sudah ada dalam Perjanjian Lama dan ajaran tersebut mengalami pergeseran makna. Awalnya, makna keselamatan dipahami dari pengertian jasmaniah, material. Misalnya: manusia terhindar dari segala ketidak-beruntungan, perbudakan, sakit penyakit, kekeringan dan kelaparan, kelepasan dari kuasa jahat dan bahaya, dan seterusnya. Akhirnya, makna keselamatan itu bergeser ke makna yang bersifat moral dan spiritual (band. Yesaya 59: 1; 62: 11), yakni bebas dari kuasa dosa, perubahan hati, pengampunan dan pembaharuan relasi dengan Tuhan. Makna keselamatan yang diberitakan dalam Perjanjian Lama itu, tidak dapat dipisahkan dari pribadi dan pelayanan Yesus dalam Perjanjian Baru. Bahkan, Yesus dikenal dengan sebutan Juruselamat. Keselamatan menjadi tujuan utama dari kehadiran dan pelayanan Yesus di dunia. Tuhan Yesus dan para penulis Perjanjian Baru menggunakan istilah ‘menyelamatkan’ sebagai suatu yang menyeluruh untuk menggambarkan misi-Nya. Yesus disambut dalam arena sejarah dunia dengan pernyataan para malaikat bahwa “Ia akan dinamai Yesus, yang berarti menyelematkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka” (Matius 1: 21). Namun demikian, Ia harus menjelma menjadi manusia, sehingga di dalam diri Yesus hakikat Ilahi dan kodrat manusia menyatu. Betapa sulit memahami yang Ilahi dan manusia dalam diri Yesus, sehingga penjelasan apa pun yang diberikan,
25
tidak akan memuaskan keterbatasan pemikiran manusia. Pribadi Yesus yang unik ini merupakan suatu misteri dari Tuhan. Yesus melakukan perbuatan-perbuatan spektakuler dan menakjubkan, seperti: menyembuhkan, membangkitkan orang dari kematian, mengusir roh-roh jahat, dan lain-lain, sebagai bukti kasih-Nya. Namun, wujud kasih-Nya yang paling besar adalah penderitaan dan kematian-Nya. Pengorbanan Yesus membuktikan bahwa Tuhan tidak hanya mengasihi dunia, tetapi Ia adalah kasih yang sejati. Karenanya, dikatakan: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari kasih yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatNya” (Yohanes 15: 13). Implikasi dari Yesus sebagai Penyelamat adalah bahwa karya keselamatan itu ditunjukkan kepada dunia seantero. Kehidupan religius, termasuk kehidupan Kristiani bukanlah manifestasi dari upaya manusia untuk menyuap Tuhan karena didorong oleh ketakutan akan Tuhan. Namun, sebagai ungkapan syukur dan didorong oleh motivasi kasih sebagai respons terhadap kasih Tuhan. Tuhan bukanlah kuasa yang memaksa, tetapi kasih yang persuasif. Itulah sebabnya, inti dari kepercayaan Kristen adalah kasih, baik kasih kepada Tuhan melalui kasih kepada sesama maupun kasih bagi ciptaan lainnya.
3.3. Tuhan sebagai Pembaharu dalam Roh Kudus Kata Ibrani untuk Roh ialah Ruach dan dalam bahasa Yunani disebut Pneuma. Kedua istilah ini menunjuk pada: (a) Gerakan udara yang disebabkan oleh nafas (Mazmur 33: 6; 135: 17; Yesaya 11: 14;
Gerakan udara yang disebabkan oleh angin. Jadi, Ruach dan
Pneuma diartikan dengan angin sepoi-sepoi, angin kencang, angin ribut, angin badai, angin tofan, dan lain-lain (Kejadian 3: 8; Keluaran 15: 8, 10; Mazmur 55: 9, 78: 39;Yesaya 32: 2, 41: 16, 57: 13; Yeremia 13: 24). (b)
Allah sebagai Ruach (Roh). Roh yang memberi daya hidup dari sifat Ilahi. Jadi, Allah Pada Perjanjian Baru (PB), Pneuma memiliki kesamaan arti dengan Ruach yaitu nafas, angin (Yohanes 3: 6; 20: 22; Kisah Para Rasul 2: 2-4), nyawa dan prinsip hidup (Lukas 1: 46-47; 23: 46; Kisah Para Rasul 5: 5, 17: 16).
26
(c)
Roh juga mempunyai pengertian antropologi dengan menunjuk pada salah satu dimensi manusia, yakni dimensi batiniah yang tidak kelihatan (I Korintus 5: 3-5; II Korintus 7: 1; Kolose 2: 5. Jadi, Roh itu berbeda dengan badan (soma).
(d) Roh juga dapat diartikan dengan jiwa atau psykhe (I Tesalonika 5: 23; Filipi 1: 27; Ibrani 4: 12). (e) Roh juga mempunyai arti psikologi, yaitu sebagai tempat aktivitas kejiwaan, pengetahuan, pikiran, sikap, dan lain-lain (Markus 2: 8; 8: 12). (f)
Pada falsafah Yunani, terutama di dalam kelompok stoa, Roh dianggap saleh sebagai pancaran dari yang Ilahi atau transenden. Roh terpancar dari yang Ilahi dan Roh juga disebut Ilahi.
(g)
Pada falsafah Yahudi, Roh tidak dipahami sebagai bagian dari jasmaniah. Ia tidak dipertentangkan dengan materi, tetapi dengan daging (bazar). Daging adalah segala sesuatu yang bersifat sementara, lemah, insani, tetapi Roh adalah yang Ilahi dan bersifat kekal (abadi). Berdasarkan kesaksian Perjanjian Lama, kita dapat mencatat karya-karya Roh
Kudus, sebagai berikut: Pertama, Roh Kudus berkarya menyanggupi orang-orang yang dipanggil dan diutus oleh Allah untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu. Berbagai cerita dalam Perjanjian Lama memberikan kesaksian kepada kita bahwa Roh Kudus diberikan oleh Allah untuk memampukan para pemimpin dalam pelaksanaan tugasnya. Hal ini terungkap dalam kepemimpinan Musa. Pada kitab Keluaran 31: 3 dikatakan bahwa Musa berhasil mengeluarkan orang-orang Israel keluar dari Mesir, tanah perbudakan karena Allah yang memimpin Musa melalui Roh-Nya. Selain itu, Kitab Hakim-hakim 3:10; 6: 34 memberikan keterangan bahwa Roh Allah melengkapi dan memampukan Otniel dan Gideon untuk menjadi pemimpin. Sebelumnya, mereka berdua tidak memiliki bakat alamiah untuk menjadi seorang pemimpin. Mereka menjadi orang bijaksana dalam pengambilan keputusan, dan berhasil mengalahkan musuh-musuh karena Roh Allah. Selanjutnya, Kitab Hakim-hakim 14: 6, 19; 15: 14 menyaksikan pula bahwa Simon mampu melakukan peristiwa-peristiwa luar biasa karena ia dikuasai oleh 27
Roh Allah. Pada zaman raja-raja, kita juga menyaksikan hal serupa. Raja Saul dan Daud, misalnya, berhasil memenangkan berbagai peperangan melawan musuh karena Roh Allah memberikan kekuatan kepada mereka untuk berperang. Namun demikian, dalam Perjanjian Lama disaksikan pula bahwa Roh Allah dapat ditarik dari para pemimpin umat, bila mereka tidak setia kepada Allah, Sang Pemberi Roh itu. Misalnya: cerita tentang Simson. Dikatakan bahwa karena Simson membiarkan dirinya jatuh dalam bujukan istrinya, Delila. Allah menarik kembali Roh-Nya dari padanya, sehingga ia gagal melaksanakan tugasnya sebagai hakim (Hakim-hakim 13: 5). Demikian pula cerita tentang Saul. Dikisahkan, Saul tidak setia kepada Allah dan melakukan hal-hal yang jahat di hadapan Allah, Roh Allah ditarik dari padanya, sehingga ia gagal dalam kepemimpinannya sebagai raja di Israel (I Samuel 15: 26; 16: 14). Bahkan, dalam kitab I Samuel 18: 6 dikatakan bahwa Saul kerasukan roh jahat, sehingga kejahatannya bermuara pada praktik animisme (I Samuel 28: 1 dan seterusnya). Jadi, bila Roh Allah ditarik dari seseorang, tugasnya menjadi hampa, tanpa makna. Walaupun begitu, Allah akan mengembalikan Roh-Nya, apabila para pemimpin mengakui kesalahannya dan bertobat. Daud, misalnya, karena menyadari dosanya, Allah mengampuni dan Roh Allah kembali menguasai hidupnya. Daud, melalui doanya, mengakui semua kesalahannya di hadapan Allah (Mazmur 51: 11). Kedua, Roh Allah juga berkarya untuk menguasai kehidupan umat yang setia kepada-Nya. Disaksikan dalam kitab Hagai 2: 5 bahwa Allah menyertai seluruh bangsa Israel, tetapi penyertaan itu menuntut ketaatan yang mutlak kepada Allah. Kasih Allah akan diberikan melalui Roh-Nya, apabila Israel setia memberlakukan hukum-hukum Allah. Hal yang sama kita temukan pula dalam Nehemia 9:20, dimana Nehemia memanjatkan permohonan kepada Allah untuk memberikan Roh-Nya kepada para pemimpin umat, agar mereka dapat mengajarkan jalan Allah kepada umat. Permohonan ini dikabulkan, bila umat Israel setia kepada Allah, sebaliknya ditolak, bila umat Israel menunjukkan ketidak-setiaannya. Ketiga, Roh Allah juga berkarya dalam rangka mempersiapkan manusia melaksanakan tugas-tugas tertentu. Menurut kesaksian PL, sebelum seorang
28
pemimpin melaksanakan tugasnya, terlebih dahulu disiapkan oleh Roh Allah karena tugas itu berasal dari Allah. Biasanya, para nabi diutus oleh Allah sebagai utusan untuk menegur dan memberi petunjuk kepada para pemimpin (raja). Untuk maksud itu, apabila seorang raja tidak mendengar suara nabi, ia akan gagal dalam kepemimpinannya. Sebaliknya, apa bila seorang raja mendengar apa yang disampaikan oleh nabi, raja itu akan berhasil dalam kepemimpinannya. Keempat, Roh Kudus juga berkarya dalam pemeliharaan terhadap manusia dan seluruh ciptaan (Mazmur 104: 29-30). Kelima, Roh Kudus juga berkarya untuk menghidupkan manusia. Pekerjaan ini diungkapkan dalam Kejadian 6: 3, “RohKu tidak akan selama-lamanya tinggal di dalam manusia”. Ungkapan ini mirip dengan Ayub 27: 3, “Roh Allah masih di dalam lubang hidungku”. Bahkan dalam Ayub 32: 8 dan 33: 4 dikatakan bahwa nafas (ruach) Yang Maha Kuasa ada di dalam manusia. Keenam, Roh Allah juga berkarya untuk menganugerahkan keterampilan, akal budi dan seni kepada manusia (Keluaran 35: 31-35). Selanjutnya, dikemukakan pula karya-karya Roh Kudus dalam Perjanjian Baru (PB), sebagai berikut: Pertama, Roh Kudus berkarya pada kelahiran Yohanes Pembaptis. Berdasarkan Injil Lukas 1: 5-25 dapat dikatakan bahwa kelahiran Yohanes Pembaptis adalah bukti karya Roh Kudus terhadap pergumulan Zakaria dan Elisabeth, orang tuanya. Dikatakan, Yohanes Pembaptis akan menjadi besar di hadapan Tuhan, Ia tidak akan minum anggur atau minuman keras lainnya, tetapi akan penuh dengan Roh Kudus, semenjak ia berada dalam rahim ibunya (Lukas 1: 15, 41, 67). Kedua, Roh Kudus juga berkarya pada peristiwa kelahiran Yesus. Pemberitahuan malaikat Gabriel kepada Maria bahwa ia akan melahirkan seorang anak laki-laki dan akan diberi nama: Yesus, menimbulkan ketidak-percayaan. Alasannya, Maria belum bersuami (Lukas 1: 34) dan Yusuf tidak bersetubuh dengan Maria (Matius 1: 25). Namun, hal ini merupakan rencana Allah. Maria telah melahirkan seorang anak laki-laki, Yesus, nama-Nya, yang dikandung oleh Roh Kudus.
29
Jadi, dengan mengatakan bahwa Yesus dikandung oleh Roh Kudus, itu berarti seluruh misi dan inkarnasi Yesus diarahkan oleh Roh Kudus. Dengan peristiwa kelahiran-Nya, terungkap kemanusiaan dan ke-Allah-an Yesus. Keduanya menyatu dan bersatu padu. Yesus disebut Anak Manusia karena lahir dari seorang manusia (Maria) dan Anak Allah karena dikandung oleh Roh Kudus. Ketiga, Roh Kudus juga berkarya pada peristiwa pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis. Para penginjil mencatat bahwa pada saat Yesus dibaptis, terjadi peristiwa turunnya Roh Kudus seperti seekor burung merpati (Matius 3: 16-17; Markus 1: 10-11; Lukas 3: 21-22; Yohanes 1: 32-34). Para penginjil juga sepakat bahwa Roh Kudus itu tidak identik dengan burung merpati. Penginjil Lukas mengatakan bahwa turunnya Roh itu “dalam rupa burung merpati”. Para penginjil, nampaknya sepakat untuk menekankan objektivitas dari peristiwa yang dimaksud, artinya bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi. Selanjutnya, terdengar ungkapan: “Kepada-Nya Aku berkenan”, menunjukkan bahwa turunnya Roh Kudus merupakan tanda kelihatan bahwa Allah menerima dan berkenan atas Sang Anak dalam pelayanan yang akan dimulai-Nya. Pada peristiwa pelayanan Yesus, dapat dicatat 5 (lima) hal yang menjadi karya Roh Kudus, yakni: (a) Yesus diurapi oleh Roh Kudus untuk melaksanakan tugasNya sebagai Mesias (Lukas 4: 18, band. Kisah Para Rasul 10: 38). Dengan kuasa Roh Kudus, Yesus dimampukan untuk menyelesaikan karya penyelamatan Allah bagi dunia. Dengan kata lain, Yesus tidak dapat melaksanakan tugas, bila tidak menerima kuasa Roh Kudus. Yesus diurapi dalam 3 (tiga) jabatan yang menunjuk pada dimensi pelayanan-Nya yang sempurna, paripurna. Pada jabatan Raja, Yesus adalah Raja di atas segala raja. Ia memerintah segala kerajaan dan kerajaan-Nya kekal. Kekuasaan-Nya meluas, tidak sempit dan terbatas pada kerajaan tertentu, seperti raja-raja dalam PL; Sebagai Imam, Ia tidak hanya bertugas dalam Bait Allah saja. Lebih dari itu, Ia adalah Imam Agung yang telah mati di kayu salib. Sebagai Nabi, Ia adalah utusan Allah yang hadir di dunia untuk memberitakan kabar sukacita.
30
(b) Yesus dimateraikan dengan Roh Kudus, menunjuk bahwa Ia berasal dari Allah dan Anak Allah yang diurapi untuk melaksanakan karya penyelamatan Allah bagi manusia. (c)
Roh Kudus tinggal dan berkarya dalam diri Yesus. Hal ini dikatakan oleh Yesus mengenai diri-Nya sendiri. Ketika Ia berbicara tentang perombakan Bait Allah. “Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali” (Yohanes 2: 9). Bait Allah yang dimaksudkan di sini adalah Tubuh Yesus sebagai tempat bertakhtanya Roh Kudus. Selanjutnya, Bait Allah itu ditujukkan kepada pribadi-pribadi orang percaya.
(d)
Pada pribadi dan pelayanan Yesus ada buah-buah Roh: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Galatia 5: 22-23). Buah-buah Roh dimaksud merupakan ciri khas dari kehidupan Yesus. Ia selalu melakukan kebaikan dan menentang perbuatan jahat.
(e)
Oleh karena karya Roh Kudus, Yesus mempersembahkan hidup-Nya menjadi korban tebusan bagi manusia (Ibrani 9: 14). Keempat, Roh Kudus juga berkarya pada peristiwa kebangkitan Yesus.
Menurut Paulus, Roh Kuduslah yang membangkitkan Yesus dari kematian (Roma 1: 4 dan 8: 11). Kebangkitan menunjukkan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Kematian-Nya tidak mengakibatkan Yesus berlalu dalam pentas dunia. Setelah Yesus mati, pada hari yang ketiga, dibangkitkan dari kematian-Nya. Kelima, Roh Kudus juga berkarya melalui peristiwa pentakosta. Yesus, sebelum berpisah dengan para murid, menjanjikan turunnya Roh Kudus. Janji ini bukan suatu kebohongan belaka, tetapi digenapi pada peristiwa pentakosta. Ada beberapa bukti yang dapat disebutkan, antara lain: (a)
Sebelum kebangkitan Kristus, para murid belum memiliki kuasa untuk melaksanakan tugas. Mereka merasa takut dan berkumpul di suatu ruangan yang tertutup untuk merenungkan nasib mereka dan merasa kuatir mengenai apa yang bakal terjadi, seandainya Yesus tidak bangkit. Pada suasana ketakutan dan kecemasan (kuatir) itu, Yesus hadir dan menyatakan diri kepada para murid bahwa Ia telah bangkit. Dengan kebangkitan itu, Ia akan
31
memberikan Roh Kudus agar para murid mendapat kekuatan, keberanian dan kuasa untuk menjadi saksi (Yohanes 14: 16-17; 16: 8, 13). (b)
Roh Kudus belum diberikan sebelum Yesus dipermuliakan (Yohanes 7: 39). Dengan kebangkitan, Ia berhak menerima kemuliaan Allah. Allah
memuliakan Yesus karena Ia menang melalui kebangkitan-Nya (Kisah Para Rasul 2: 33). (c) Setelah kebangkitan, Yesus naik ke surga, masuk dalam kemuliaan Allah Bapa dan dari sana Ia mengirim Roh Kudus sebagai bukti penyertaan bagi para murid agar mereka dapat melanjutkan misi-Nya (Yohanes 16: 7). (d) Yesus, sebelum naik ke sorga, melarang para murid untuk meninggalkan Yerusalem, sebelum mereka menerima janji pemberian Roh Kudus. Setelah 10 hari yaitu genap 50 hari sesudah kebangkitan-Nya, janji pemberian Roh Kudus digenapi. Pemenuhan para murid dengan Roh Kudus merupakan tanda kesiapan melaksanakan misi Yesus. (e)
Keutuhan suatu
persekutuan merupakan wujud
kehadiran Kristus.
Karenanya, jemaat mesti mewujudkan suatu persekutuan yang utuh (Efesus 4: 16). (f)
Keberhasilan para murid untuk mendirikan suatu jemaat atau persekutuan Kristen merupakan karya Roh Kudus. Tanpa Roh Kudus, para murid tidak mampu melaksanakan tugas dengan baik. Keenam, Roh Kudus juga berkarya sesudah peristiwa pentakosta.
Sesudah peristiwa pentakosta, Roh Kudus memberi kuasa kepada semua orang percaya untuk melaksanakan tugas pekabaran Injil. Diantaranya, Barnabas dipenuhi oleh Roh Kudus, sehingga ia mampu mengantar banyak orang kepada pertobatan (Kisah Para Rasul 11: 24); Atas kuasa Roh Kudus, Paulus dapat menguasai seorang tukang sihir yang bernama: Elymas (Kisah Para Rasul 3: 9); Rasul-rasul memiliki pembantu-pembantu untuk melaksanakan tugas pelayanan karena kuasa Roh Kudus (Kisah Para Rasul 6: 3); Rasul Petrus tanpa rasa takut berbicara di tengah-tengah orang banyak, termasuk tua-tua, ahli-ahli Taurat, orang-orang Farisi dan saduki karena Roh Kudus memimpinnya. Ia berani
32
menegur orang-orang Yahudi atas berbagai kesalahan mereka dan mengarahkan pada jalan Kristus (Kisah Para Rasul 4: 8). Selain itu, Roh Kudus juga berkarya sesudah pentakosta juga terlihat dari karunia-karunia Roh yang diberikan oleh Allah kepada jemaat-jemaat untuk membangun tubuh Kristus. Karunia-karunia itu berupa karunia untuk: berkatakata dalam hikmat, berpengetahuan, beriman, menyembuhkan, melakukan mujizat, bernubuat, membedakan bahasa roh, berbahasa lidah, menjadi rasul, mengajar, sebagai nabi, memimpin, untuk melayani (I Korintus 12: 8, 9, 10, 28); karunia sebagai pemberita Injil, karunia sebagai gembala (Efesus 4: 11); karunia untuk menasihati, memberi pimpinan dan karunia untuk menunjukkan kemurahan (Roma 12: 8). Ketujuh, Roh Kudus juga berkarya dalam doa orang-orang percaya. Allah adalah Roh, karenanya, manusia harus menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran (Yohanes 4: 24). Salah satu bentuk penyembahan manusia kepada Allah dilakukan melalui doa. Berdoa dengan Roh berarti Roh yang mengajarkan manusia untuk berdoa. Roh Kudus-lah yang menggerakkan orang-orang percaya pada saat berdoa (Roma 8: 26-27). Sikap yang diminta dalam berdoa adalah keyakinan dan kepasrahan kepada kehendak Allah. Dengan begitu, Allah akan menjawab setiap doa yang dinaikkan kepada-Nya (I Yohanes 5: 14). Kedelapan, Roh Kudus juga berkarya dalam ibadah orang-orang percaya. Pada Filipi 3: 3, Paulus mengemukakan bahwa ibadah tidak boleh dipahami secara lahiriah, tetapi secara rohani. Maksudnya, ibadah harus dimengerti sebagai suatu tindakan Roh Kudus dalam kehidupan orang-orang percaya untuk merespons kasih Allah yang menyelamatkan. Roh Kuduslah menggerakkan hati orang-orang percaya untuk beribadah kepada Tuhan. Karenanya, seluruh bentuk ibadah yang dilakukan harus didasarkan pada kepemimpinan Roh Kudus, sebab Allah adalah Roh (I Yohanes 4: 2). Kesembilan, Roh Kudus juga berkarya membimbing seseorang, seperti cerita tentang perjumpaan malaikat dengan sida-sida dari Etopia dalam Kisah Para Rasul 8. Walaupun Penginjil Lukas mencatat bahwa seorang malaikat Tuhan mengarahkan Filipus untuk meninggalkan Samaria menuju ke arah Gaza (Kisah
33
Para Rasul 8: 26), tetapi Roh Kudus-lah yang memimpin langkah Filipus untuk mendekati orang Etiopia itu (Kisah Para Rasul 8: 29). Kesepuluh, Roh Kudus juga berkarya dalam peristiwa pertobatan Saulus dari Tarsus. Roh Kudus-lah yang telah menyadarkan dirinya terhadap penghambatan yang dilakukan bagi orang-orang Kristen dan misi Yesus. Dengan kerja Roh Kudus, Saulus bertobat dan percaya kepada Yesus (Kisah Para Rasul 9: 17). Peristiwa pertobatan Kornelius juga merupakan karya Roh Kudus. Roh Kudus-lah yang mengukuhkan bagi Kornelius dan seisi rumahnya pengampunan dosa oleh karena nama Kristus (Kisah Para Rasul 10: 43). Ketika Petrus melaporkan peristiwa-peristiwa yang membawa kepada pertobatan Kornelius, ia menyebut pimpinan Roh (Kisah Para Rasul 11: 12). Kesebelas, Roh Kudus juga berkarya dalam nubuatan-nubuatan. Pada Kisah Para Rasul 11: 28 dikatakan bahwa Agabus oleh kuasa Roh Kudus menubuatkan kelaparan yang bakal menimpa seluruh dunia. Berdasarkan nubuatan itu, orangorang Kristen Anthiokhia segera mengirim sumbangan kepada Saudara-saudara mereka di Yudea. Bagi orang-orang Kristen Anthiokhia, nubuat melalui Roh Kudus memberikan tanggung jawab untuk bertindak. Sedangkan sumbangan yang diberikan menunjuk pada respons mereka terhadap pimpinan Roh Kudus. Selanjutnya, dalam Kisah Para Rasul 21: 10, Agabus kembali bernubuat tentang nasib Paulus di Yerusalem yang menderita karena pemberitaannya tentang Kristus. Boleh jadi nubuat ini juga merupakan sarana yang digunakan Roh untuk mengarahkan jemaat di Anthiokhia agar mengutus Barnabas dan Saulus (Kisah Para rasul 13: 1-3) dan menahan Paulus dan rombongannya agar tidak masuk ke daerah Asia dan Bitinia (Kisah Para Rasul 16: 7). Keduabelas, Roh Kudus juga berkarya untuk menyelesaikan pertikaian. Misalnya, ketika masalah penyunatan orang-orang bukan Yahudi dikemukakan kepada sidang di Yerusalem, di sana Petrus menceritakan bahwa Roh Kudus telah dikaruniakan kepada orang-orang bukan Yahudi, sama seperti kepada orang Yahudi (Kisah Para Rasul 15: 8). Roh Kudus tidak membedakan orang Yahudi dan bukan Yahudi. Ketigabelas, Roh Kudus juga berkarya bagi pelaksanaan misi untuk orang bukan Yahudi. Hal ini terlihat ketika jemaat Anthiokhia merencanakan misi bagi
34
orang-orang bukan Yahudi. Roh Kudus berprakarsa menyuruh jemaat untuk mengutus Barnabas dan Saulus untuk melaksanakan tugas tersebut (Kisah Para Rasul 13: 2). Pengutusan seperti ini dipahami sebagai karya Roh Kudus (Kisah Para Rasul 13: 4) Selanjutnya, dikemukakan sifat-sifat Roh Kudus. Perlu dikemukakan bahwa sifat-sifat Roh Kudus tidak dapat dilepas-pisahkan dari sifat-sifat Allah dan Kristus. Alasannya, ketiga oknum ini (Bapa, Anak dan Roh) merupakan satu pribadi saja. Pribadi yang satu (Allah Bapa) menyatakan diri dalam tiga wujud, yaitu Allah di atas kita (Allah Bapa), Allah di tengah kita (Yesus Kristus) dan Allah di dalam kita (Roh Kudus). Dengan demikian, orang-orang Kristen tidak percaya kepada tiga Allah, tetapi hanya kepada satu Allah, Allah Yang Esa. Karenanya, ketiga oknum yang Esa juga memiliki sifat-sifat yang sama. Bertolak dari dasar pemikiran tersebut, dapatlah dikedepankan sifat-sifat Roh Kudus, sebagai berikut: Pertama, Roh Kudus bersifat pribadi. Sama seperti Allah Bapa dan Allah Anak adalah satu pribadi, Roh Kudus juga merupakan satu pribadi. Ia memiliki status, kedudukan dan fungsi yang sama dengan Allah Bapa dan Allah Anak. Bukti-bukti yang mengungkapkan Roh Kudus sebagai suatu pribadi, adalah: (a) Roh Kudus memiliki kecerdasan. Ia mengetahui segala sesuatu dari Allah (I Korintus 2: 10-11); Ia memiliki pikiran (Roma 8: 27), dan Ia dapat mengajar manusia (I Korintus 2: 13), (b) Roh Kudus dapat menyatakan perasaan. Ia berdukacita karena tindakan orang-orang percaya yang tidak sesuai dengan kehendak Allah (Efesus 4: 30), (c) Roh Kudus memiliki kehendak. Ia melakukan kehendak dengan memberikan karunia-karunia kepada jemaat sebagai tubuh Kristus (I Korintus 12: 11). Ia juga memimpin seluruh kegiatan orang-orang percaya (Kisah Para Rasul 16: 6-11). Kedua, Roh Kudus memiliki sifat transenden atau ke-Ilahi-an. Sifat ini dapat dibenarkan karena Roh itu berasal dari Allah dan Ia adalah Allah. Ketiga, Roh Kudus memiliki daya atau kekuatan yang berasal dan bersumber dari Allah. Hal ini terlihat dalam berbagai aktifitas untuk melakukan hal-hal yang
35
spektakuler. Dengan demikian, Roh Kudus merupakan simbol dari dinamika Allah yang hadir dan berkarya bagi manusia. Keempat, sama seperti Allah adalah suatu pribadi yang unik, Roh Kudus juga bersifat unik. Keunikan itu terlihat dalam 2 (dua) hal, yakni: (a) Allah tidak dapat berubah. Alkitab menyaksikan bahwa Allah yang telah menyatakan diri-Nya pada masa lampau adalah pribadi yang sama, yang kini menyatakan diri dalam Kristus (Mazmur 102: 25-27; Ibrani 1: 10-12) dan melalui Roh Kudus yang kini sementara bekerja bersama-sama orang-orang percaya melanjutkan karya penyelamatan bagi dunia (band. Yohanes 16: 12-14). Demikian juga Roh Kudus tidak berubah-ubah. Ia tetap sama dengan Bapa. Roh inilah yang terus bekerja hingga Bapa kembali untuk kedua kali, (b) Sama seperti Allah tidak kelihatan, Roh Kudus juga tidak kelihatan (Yohanes 1: 18). Ia hanya dapat dilihat melalui karya-karya Allah (Roma 1: 19-20). Kelima, sama seperti keesaan Bapa, Roh Kudus juga esa karena Ia berasal dari Allah yang esa. Roh Kudus tidak dapat dipahami dan dimengerti oleh manusia terlepas dari keesaan Allah (Matius 28: 19; II Korintus 13: 13; Efesus 4: 4-6, dan lain-lain). Keenam, sama seperti Allah setia pada janji-janji-Nya, Roh Kudus juga setia kepada Allah. Kesetiaan Roh itu nampak dalam perbuatan seperti: Roh mengajar segala sesuatu kepada para murid dan mengingatkan mereka pada segala sesuatu yang diajarkan oleh Kristus (Yohanes 16: 8); Roh berkarya untuk memuliakan Kristus (Yohanes 16: 14); Roh selalu menyangkal diri, tidak pernah berbicara berdasarkan kewibawaan-Nya sendiri; Roh tidak mencari kemuliaan sendiri, tetapi mencari kemuliaan Allah. Roh itu tetap setia dan terus setia sampai Bapa kembali dan menggenapi karya Roh Kudus. Ketujuh, Roh itu bersifat kudus. Dengan sifat-Nya ini, hendak ditegaskan bahwa Ia berbeda dengan roh-roh lain, seperti: roh manusia, roh zaman, roh kebudayaan, roh sejarah, roh jahat, dan lain-lain. Selain itu, Ia dikhususkan untuk melanjutkan, menyelesaikan dan menyempurnakan pekerjaan Allah Bapa dan Allah Anak (Yohanes 16: 13-14). Sifat-Nya yang kudus juga mencerminkan kebaikan dan kebenaran Kristus di dunia.
36
Kedelapan, Roh kudus itu penuh dengan kasih Allah yang tidak pernah berakhir. Dengan kasih-Nya, Roh Kudus bersedia menyerahkan diri kepada manusia serta bersama-sama dengan Allah Bapa dan Allah Anak, Roh Kudus bersedia menyelesaikan karya penyelamatan Allah bagi manusia dan dunia. Kesediaan Roh Kudus ini dinyatakan dengan penuh ketulusan hati, tanpa didorong, dipaksa dan ditekan oleh pihak mana pun. Kesembilan, Roh Kudus itu penuh dengan kuasa. Sama seperti Allah Bapa dan Allah Anak memiliki segala kekuasaan di surga dan di bumi, demikian juga Roh Kudus memiliki kekuasaan itu. Kejadian 1: 1-2 dikatakan Roh Allah menjadikan kosmos oleh kemahakuasaan-Nya; Roh Allah juga mengubah jiwa manusia yang telah rusak karena dosa menjadi rumah Allah; Orang yang mati rohaninya dihidupkan kembali oleh Roh Allah. Hal-hal ini menunjuk pada kuasa Roh Kudus. Kesepuluh, Roh Kudus bersifat kekal (Ibrani 9: 14) dan bebas dalam tindakan-Nya (I Korintus 12: 11). Roh Kudus itu adalah Allah, yang berkuasa dan berwibawa yang memberi pimpinan dan pengajaran (Yohanes 14: 26; 16: 13; II Korintus 3: 17). Kesebelas, Roh Kudus bersifat penglipur (bahasa Yunani: parakletos, yang datang dari Allah untuk memberi nasehat dan penghiburan kepada manusia (Yohanes 14: 16). Implikasinya, tugas Roh Kudus adalah menghibur, mengingatkan dan membaharui segala sesuatu, termasuk kehidupan manusia agar menjadi baru. Tuhan akan membaharui segala sesuatu dan menghadirkan bumi baru dan langit baru. Roh itu juga menggerakkan orang percaya untuk tetap melanjutkan kabar sukacita bagi dunia, sambil berjuang untuk mewujudkan kasih, keadilan, perdamaian, keutuhan ciptaan dan kesamaan derajat manusia.
37
Latihan Petunjuk : Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini 1. Bandingkanlah definisi agama menurut para ahli (yang telah dijelaskan dalam materi) dan definisi agama menurut konsep sosiologis, antropologis, psikologis dan teologis. 2. Bandingkanlah fungsi agama dalam kehidupan manusia. 3. Jelaskanlah konsep Tuhan sebagai Pencipta, Penyelamat dan Pembaharu.
38
BAB III PERSPEKTIF KRISTIANI MENGENAI MORAL
A. Pengertian Moral Manusia seringkali menyamakan istilah etika dan moral. Kedua istilah ini dianggap memiliki kesamaan arti karena menunjuk pada perbuatan atau tingkah laku manusia. Anggapan seperti ini tidak dapat diterima sepenuhnya. Alasannya, kata etika dan moral memiliki keluasan pengertian, walaupun sama-sama menyinggung soal perbuatan atau perilaku manusia. Cicero, misalnya, menterjemahkan kata ethikos dengan moralis untuk mengatakan bahwa kedua kata ini mempunyai maksud yang sama. Namun, bila dipelajari lebih jauh, keduanya memiliki cakupan pengertian yang cukup luas. Kata etika berasal dari kata Yunani: ethos, yang berarti tempat kediaman yang biasa dari seseorang, kebiasaan, kelaziman, adat istiadat, cara mengungkapkan diri, tingkah laku, sikap, kecenderungan kepada kesusilaan. Etika adalah ilmu atau studi mengenai norma-norma yang mengatur perilaku manusia. Sementara itu, kata moral berasal dari bahasa Latin: mores
Kata ini dimengerti sebagai
moralitas, yaitu mengenai kesusilaan (mores) atau kebiasaan baik yang berlaku pada sesuatu kelompok tertentu. Jadi, moral atau mores berarti perilaku yang sesuai dengan norma-norma moral, namun relatif gampang berubah. Untuk memahami kesadaran etis seseorang, kita perlu mengetahui kerangka teori perkembangan moral oleh Kohlberg. Melaluinya, kita dapat mengetahui tingkat kualitas kesadaran etis seseorang. Menurut Kohlberg, seperti dikutip D. Nuhamara, dkk (2006: 34) bahwa tahap-tahap perkembangan moral seseorang terdiri dari: pra konvensional, konvensional, dan pasca konvensional. Masing-masing dibagi menjadi 2 (dua) jenjang, sehingga seluruhnya menjadi 6 (enam) jenjang. Jenjang pertama, kesadaran etis berorientasi pada kesadaran hukum. Jenjang kedua, tindakan moral masih kanak-kanak, tetapi sudah lebih rasional, tidak mekanistis membabi buta, sudah mulai menghitung-hitung dan memilih-milih. Jenjang ketiga, kesadaran etis lebih berorientasi untuk menjadi anggota kelompok yang baik. Jenjang keempat,
38
kesadaran etis yang menunjuk pada suatu prinsip atau hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum objektif yang tidak hanya satu kelompok, tetapi hukum yang mempunyai keabsahan yang lebih luas. Jenjang kelima, kesadaran etis yang berorientasi pada akal, hukum/peraturan yang kritis, akal manusia mempunyai fungsi kreatif, ia menciptakan yang lebih benar dan lebih baik. Jenjang keenam, pemikiran moral seseorang mencapai puncaknya, yaitu moralitas yang berpusat pada suara hati nurani dan keyakinan tentang yang baik dan benar. Teori kohlberg mengenai perkembangan moral setiap individu, setidaknya menyadarkan kita agar tidak terlalu cepat menilai moralitas orang lain. Alasannya, perkembangan moral seseorang bertumbuh dan berkembang sesuai dengan tahaptahapnya. B.
Hubungan Moral Kristen dengan Alkitab Moral Kristen dan Alkitab tidak dapat dilepas-pisahkan. Keduanya memiliki
pertautan yang saling kait-mengkait. Moral Kristen adalah moral yang bersumber dari Alkitab. Moral Kristen adalah moral (perilaku) yang harus bersesuaian dengan Firman Allah. Norma yang menjadi acuan penilaian bagi moral Kristen adalah Alkitab. Penilaian terhadap baik-buruknya perbuatan seseorang dilihat dari normanorma yang terdapat dalam Alkitab. Apabila penampakan moral seseorang sesuai dengan norma-norma yang terdapat dalam Alkitab, ia dianggap memiliki moral yang baik. Sebaliknya, jika moralnya tidak sesuai dengan norma-norma yang ada dalam Alkitab, orang tersebut dianggap memiliki moral yang tidak baik. Jadi, Alkitab dijadikan sebagai cermin bagi moral atau perilaku orang Kristen. Contoh: seseorang mencuri barang kepunyaan sesamanya, dianggap memiliki moral yang tidak baik karena perbuatan itu dinilai tidak sesuai dengan norma dalam Firman Allah: jangan mencuri. Sebaliknya, jika seseorang menolong sesama yang tertimpa bencana alam, dikatakan memiliki moral yang baik karena perbuatannya tidak bertentangan dengan kehendak Allah.
39
C. Beberapa Contoh Masalah Moralitas dalam Masyarakat Persoalan-persoalan moralitas yang sering mengemuka dalam realitas hidup masyarakat kita dewasa ini, antara lain: seks bebas, narkoba dan obat-obat terlarang, HIV/AIDS, pornografi, mengkonsumsi minuman keras, tindakan kekerasan, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), kumpul kebo, homoseks, lesbian, kemiskinan, konsumerisme, materialisme, hedonisme, suap, dan sebagainya. D. Pandangan Alkitab mengenai Masalah-masalah Moralitas Pada bagian ini hanya dikemukakan pandangan Alkitab mengenai perilaku seks bebas. Alkitab memberikan keterangan bahwa perilaku seks bebas adalah suatu perbuatan yang tidak bersesuaian kehendak Tuhan. Seks adalah ciptaan Tuhan. Seks adalah sesuatu yang baik dan dinikmati dalam institusi pernikahan. Menikmati perbuatan seks di luar lembaga ini tidak dibenarkan, apapun alasannya. Bagian-bagian Alkitab yang merujuk pada hal dimaksud, antara lain: Keluaran 20: 14; I Korintus 6: 13-20, 10: 8; Galatia 5: 19; Efesus pasal 4 dan 5; I Tesalonika 4: 3; I Timotius 5: 22.
Study Kasus Euthanasia Hukuman mati.
40
BAB IV PERSPEKTIF KRISTIANI MENGENAI IPTEK
A. Pengertian Iman Kristen Setiap orang percaya pasti memiliki rumusan tersendiri mengenai pengertian iman Kristen. Hal ini tentu dilatar-belakangi oleh berbagai pergumulan hidup bersama Tuhan, ataupun dengan mempelajari Firman Tuhan. Hal ini dapat dibenarkan, sejauh tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan. Terlepas dari itu, perlu dikemukakan beberapa pengertian mengenai iman Kristen menurut kesaksian Alkitab, sehingga kita dapat memahaminya. Kata iman dalam bahasa Ibrani disebut: emunah, artinya percaya (Habakuk 2: 4) dan dalam kitab Ulangan diterjemahkan dengan kata kesetiaan (Ulangan 32: 20). Padanan kata emunah dalam bahasa Yunani adalah kata pistis, artinya iman (Roma 1: 17; Galatia 3: 11; Ibrani 10: 38, dan sebagainya). Berdasarkan pengertian secara etimologis itu, dapatlah dirumuskan beberapa pengertian iman Kristen, sebagai berikut: (a) Iman harus dipahami sebagai sikap batin terhadap Allah (baca Roma 3: 2231, 5: 1, 3, 9: 30; Galatia 3: 26; Yohanes 3: 36, 5: 24, 6: 40, 11: 25). Iman adalah suatu keyakinan atau kepercayaan kepada Allah yang diakui sebagai Penyelamat. Dengan meyakini Allah sebagai Penyelamat, berarti mengakui Allah sebagai satu-satunya sumber keselamatan hidup kita. Pengakuan tersebut juga sekaligus meniadakan andalan manusia terhadap kuasa lain, di luar Allah. (b) Iman adalah penyerahan diri pribadi kepada Allah. Orang yang beriman adalah orang yang secara bebas menyerahkan diri secara utuh kepada Allah. Orang yang demikian selalu percaya bahwa tidak ada sesuatu apa pun yang terjadi dalam hidupnya tanpa seizin Allah. Ia selalu menunjukkan sikap pasrah pada kehendak Tuhan, betapa pun nasib yang menimpa dirinya.
41
(c) Iman adalah hidup karena mengandung kepastian hidup (Yohanes 20). Iman yang demikian selalu mendorong manusia untuk melihat masa depan dan tidak sekedar melihat masa lampau. Iman yang dimaksud, tidak membuat orang pesimis untuk memandang masa depan, tetapi selalu membangun sikap hidup yang optimis. (d) Iman adalah suatu kekuatan yang menguatkan manusia dalam perjuangan hidup. Iman seperti ini sekaligus menjadi harapan. Iman yang mendorong manusia untuk mencari Allah dalam kehendak-Nya untuk perjuangan hidup. (e) Iman adalah keberanian untuk hidup berdasarkan janji Tuhan. Iman yang demikian adalah iman yang sanggup menerima segala macam resiko hidup, betapa pun berat resiko itu. (f) Iman berhubungan dengan ketaatan (II Korintus 10: 6; Roma 1: 5; 16: 26). Ketaatan iman bukan hanya berarti menjalankan perintah semata, tetapi juga secara bebas menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. (g) Iman berhubungan dengan kesetiaan. Kesetiaan pada keputusan yang keluar dari pusat hati dan kesetiaan pada pelaksanaan dalam tindakan nyata dengan segala konsekuensinya di tengah perubahan atau pergolakan dan situasi baru sekali pun. Jelasnya, iman Kristen adalah iman yang mesti tertancap masuk kedalam pusat kehidupan. Iman seperti ini bagaikan orang yang membangun rumah di atas batu karang. Bila rumah itu diterpa oleh angin, badai, ombak dan gelombong, ia tidak akan goyah, rusak dan roboh. Dengan iman yang demikian, sekali pun manusia mendapat berbagai tantangan, pencobaan dan penderitaan, tidak pernah akan mundur. Bahkan, ia mampu untuk mengatasinya. Iman orang percaya jangan seperti orang yang membangun rumah di atas pasir. Bilamana tiba angin, hujan, badai, ombak dan gelombang rumah itu tidak dapat bertahan berdiri, tetapi roboh karena tidak dibangun di atas fondasi yang kuat.
42
B. Hubungan Iman Kristen dan IPTEK Secara singkat, hubungan iman dan ilmu pengetahuan dalam sejarah keKristenan dapat dibagi dalam dua bagian besar, yakni: (a) Dominasi iman atau agama terhadap ilmu pengetahuan Pada peradaban Barat selama abad pertengahan, kita menyaksikan dominasi iman atas ilmu pengetahuan. Teologi pada saat itu, dianggap sebagai ratu ilmu pengetahuan, telah menempatkannya sebagai ukuran kebenaran untuk segala hal, lebih luas dari pada sekedar soal iman dan etika. Akhirnya, Gereja sebagai pemegang otoritas kebenaran ajaran teologi, menjatuhkan hukuman yang mengerikan bagi Galileo. Ia dihukum karena temuannya bahwa bukan matahari yang berputar dari Timur ke Barat, melainkan bumi yang berputar atau beredar mengelilingi matahari. Penemuan itu dianggap bertentangan dengan diskripsi Alkitab yang ditafsirkan secara literal (harafiah) dan dikenal dengan istilah Biblical Literalism, tanpa memperhatikan konteks budaya, ketika Alkitab ditulis. Alkitab ditulis dalam konteks masyarakat agraris dan masih sederhana, serta diskripsinya tentang berbagai fenomena alam semata sesuai pengamatan empiris. (b) Dominasi ilmu atas iman Sejak zaman pencerahan, dominasi iman atas ilmu mulai dipertanyakan. Bahkan akhirnya berkembang menjadi dominasi ilmu atas iman. Tantangan utama bagi agama atau iman dalam abad ilmu pengetahuan adalah keberhasilan ilmu pengetahuan. Nampaknya, ilmu pengetahuan (sains) memberikan satu-satunya jalan yang dapat dipercaya menuju kepada pengetahuan (knowledge). Banyak orang yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan bersifat objektif, universal, rasional, dan didasarkan pada bukti observasi atau pengamatan yang kuat. Sedangkan, agama bersifat subjektif, parokial (sempit skopanya), emosional, dan lebih sering didasarkan pada tradisi atau sumber kewibawaan yang ada kalanya saling bertentangan satu sama lain. Bagi mereka yang lebih yakin terhadap metode ilmu pengetahuan, lama kelamaan, mulai meragukan keyakinannya. Bahkan, tidak sedikit orang yang meninggalkan agama sebagai sesuatu yang tidak berdasar.
43
Demikianlah ilmu pengetahuan menempatkan rasio manusia menjadi pembenar segala-galanya, bukan hanya dalam bidang ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam hal-hal yang bersifat imaniah dan kepercayaan. Akibatnya, ada juga teolog yang mengadaptasi pernyataan Alkitab dengan berbagai temuan ilmu pengetahuan. Ian
Barbour,
sebagaimana
dikutip
oleh
Liek
Wilardjo
mencoba
mengemukakan 4 (empat) tipologi hubungan iman dan ilmu pengetahuan, kemudian Liek mengelompokkan menjadi 4 P, yakni: (a) pertentangan (conflict), (b) perpisahan (independence), (c) perbincangan (dialogue), (d) perpaduan (integration). Makna dari keempat tipologi hubungan iman dan ilmu pengetahuan dimaksud, sebagai berikut: (a) Pertentangan (Conflict) Pertentangan adalah hubungan yang bertelingkah atau bertentangan (conflicting), dan dalam kasus yang ekstrim barangkali bermusuhan (hostile). Ian Barbour menunjukkan bahwa contoh historis dari masalah ini adalah kasus Galileo. Menurutnya, mereka (pihak ilmu pengetahuan) menganut materialisme ilmiah berada pada pertentangan yang tidak terdamaikan dengan mereka (dari pihak iman) yang menganut literalisme Alkitab. Materialisme ilmiah maupun literalisme Alkitab percaya bahwa ada konflik yang serius antara ilmu pengetahuan masa kini dengan kepercayaan-kepercayaan agamawi yang klasik. Keduanya mencari pengetahuan dengan landasan yang pasti: pada satu sisi, berdasarkan pada data logika dan inderawi, dan pada pihak yang lain, berdasarkan pada kitab suci yang tidak ada salahnya (infallible scripture). Keduanya mengklaim bahwa, baik ilmu pengetahuan maupun agama membuat pernyataan-pernyataan yang bertentangan tentang hal yang sama: misalnya sejarah dari alam ini. Karenanya, seseorang harus memilih salah satu diantaranya. Bagi Barbour, keduanya justru mewakili penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Penganut materialisme ilmiah, mulai dengan ilmu pengetahuan, tetapi kemudian berakhir dengan membuat klaim-klaim filosofi yang luas. Sebaliknya, literalisme Alkitabiah, bergerak dari teologi, kemudian berakhir dengan membuat klaimklaim tentang hal-hal yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Kedua aliran
44
atau kubu ini kurang memberi penghargaan yang memadai kepada perbedaanperbedaan kedua disiplin itu.
(b) Perpisahan (Independence) Ilmu pengetahuan dan iman berjalan sendiri-sendiri dengan bidang garapan, cara, dan tujuannya masing-masing tanpa saling mengganggu atau mempedulikan. Hal ini merupakan salah satu cara untuk menghindari konflik atau saling menyalahkan. Masing-masing mempunyai bidang yang berbeda, dan dengan metode yang khas dapat dibenarkan atas dasar termenologinya sendiri-sendiri. Pendukung dari pandangan ini berpendapat bahwa ada dua juridiksi (otoritas), dan tiap pihak tidak boleh mencampuri urusan pihak yang lain, melainkan berurusan dengan urusannya sendiri. (c) Perbincangan (Dialogue – diperbincangkan) Adanya hubungan yang saling terbuka dan saling menghormati, karena kedua belah pihak ingin memahami persamaan dan perbedaan. Namun, dalam kategori ini pun ada berbagai pendapat yang masih berbeda. Ilmu pengetahuan dan iman dapat berdialog satu sama lain untuk saling memperkaya dalam memenuhi panggilannya untuk memanusiakan manusia, menjaga kelestarian alam semesta, dan memperkuat iman kepada Allah. Misalnya, mengembangkan spiritualitas yang berpusat pada alam (nature). Sehubungan dengan itu, teologi Kristen sebaiknya menjaga keseimbangan antara imanensi Ilahi (Allah) dalam alam, dan pada saat yang sama transendensi Ilahi (Allah) atas alam. (d) Perpaduan (Integration) Ian Barbour mengemukakan 3 (tiga) versi integrasi yang saling berbeda, yakni: Pertama, teologi natural (alamiah) mengklaim bahwa eksistensi Allah dapat disimpulkan dari bukti-bukti rancangan dalam alam. Keteraturan alam membuktikan adanya sang perancang dibaliknya. Keteraturan ini tidak terjadi dengan sendirinya. Melalui metode ilmu pengetahuan, manusia ditolong untuk semakin menyadarinya. Kedua, dalam teologi tentang alam, sumber utama dari teologi terletak di luar ilmu pengetahuan. Namun, teori-teori ilmiah dapat mempengaruhi perumusan ulang dari doktrin-doktrin tertentu dalam agama,
45
khususnya doktrin mengenai penciptaan dan hakikat manusia. Ketiga, pada sintesa sistimatis, baik ilmu pengetahuan maupun agama, menyumbang untuk pengembangan dari suatu metafisik yang inklusif, seperti dalam filsafat proses. J.A.B. Jongeneel mengemukakan 3 (tiga) pola hubungan iman Kristen dan ilmu pengetahuan, yakni: Pertama, iman mendahului ilmu pengetahuan; Kedua, ilmu pengetahuan memaksa iman menjalani proses terus menerus mengoreksi diri sendiri dalam terang perkembangan ilmu pengetahuan; Ketiga, iman melampaui ilmu pengetahuan. Di bidang teologi, ilmu pengetahuan menunjang pemahaman baru terhadap relasi manusia dengan Allah. Sehubungan dengan otonomi alam dan kebebasan manusia, ilmu pengetahuan memungkinkan keterbukaan masa depan, yang secara teologis mempertanyakan pemahaman mengenai predestinasi. C. Hubungan Iman Kristen dan IPTEK Adakah IPTEK dalam Alkitab? Pertama, dalam sejarah air bah dengan jelas bahwa Allah memerintahkan Nuh membuat kapal untuk menyelamatkan ia dan keluarganya dari kebinasaan akibat air bah dan kebobrokan moral dunia pada waktu itu. Dimensi ruang dalam kapal ataupun bahan telah ditentukan oleh Allah (Kej 6:14-15). Kedua, ketika Musa diperintahkan untuk membuat Kemah Suci (Kel 25:9), Allah sendiri telah menjadi arsitek yang merencanakan ruang-ruang, dimensi dan bahan untuk kemah suci tersebut (Kel 25:1-27:21). Kemudian kita membaca bahwa kemuliaan Allah memenuhi Kemah Suci tersebut (Kel 40:35). Ketiga, tentang Bait Suci dan istana yang dibangun oleh Salomo (1 Raj 78).
Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa Allah tidak pernah
menghalangi ataupun menutup segala perkembangan IPTEK. Kita pun melihat dalam contoh-contoh ini bahwa setiap teknologi selalu di kaitkan dengan keselamatan dan maksud Allah terhadap manusia dan dunia. Akan tetapi di sisi lain, kita akan melihat bahwa Allah juga menentang setiap penciptaan teknologi yang bermotivasikan kebesaran diri, kelompok, ataupun bangsa. Beberapa contoh dapat saya ketengahkan sebagai berikut:
46
Keempat, ketika Allah memporak-porandakan Babel (Kej 11:1-9), yang ditentang bukanlah pendirian kota dan menara Babelnya tapi motivasi mereka yang mencari nama dan ingin menyamai Allah (Kej 11:4). Kelima, kemewahan, gemerlap teknologi di zaman Salomo dapat menyebabkan dia banyak mengoleksi wanita asing sehingga dia kemudian jatuh kepada penyembahan berhala (I Raj 11:1-13). Keenam, Ketika murid-murid menunjuk pada bangunan Bait Suci, Yesus mengatakan bahwa bangunan tersebut akan diruntuhkan (Mat 24:1-2). Ketujuh, Tuhan Yesus juga menentang penyalahgunaan fungsi Bait Suci yang dibangun selama empat puluh enam tahun menjadi arena komersil (Yoh 2:16). Dari tinjauan Alkitab ini bisa disimpulkan bahwa IPTEK telah dimulai sejak awal sejarah manusia. Manusia memiliki daya cipta IPTEK karena dia diciptakan sebagai gambar Allah dan sebagai pribadi yang berakal budi. Allah sendiri adalah pencipta alam semesta, pendorong dan pencetus ide terhadap lahirnya IPTEK. Kita harus ingat bahwa Yesus sendiri adalah tukang kayu (Mrk 5:3). Ia adalah seorang yang mengerti pondasi dan mekanika tanah (Mat 7:2427). Allah tidak pernah membatasi daya cipta dan kreasi manusia akan IPTEK. Namun perlu juga dicatat bahwa ide dan tujuan penciptaan IPTEK dan produknya oleh manusia akan dipengaruhi oleh pandangan-pandangannya terhadap Allah, manusia dan alam semesta. D. Pandangan Iman Kristen mengenai IPTEK Iman Kristen memandang IPTEK sebagai alat atau kelengkapan dari anugerah Allah. Melaluinya, manusia dapat mewujudkan panggilan untuk mengembangkan kehidupan yang manusiawi. IPTEK adalah pemberian Tuhan. IPTEK adalah karunia Ilahi. Allah merupakan sumber dari segala ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia dengan akalnya berupaya untuk mencari, menemukan, menggali dan mengelola ilmu pengetahuan dan teknologi dengan rasa takut kepada Tuhan, demi membangun hidup pribadi maupun hidup bersama. Namun, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan oleh manusia memiliki keterbatasan. Alasannya,
47
manusia tidak dapat menyingkap dengan pancaindranya, semua realitas yang ada di sekitarnya secara utuh dan tuntas. Karenanya, IPTEK harus tunduk pada keterbatasan manusia. Atas kesadaran ini, manusia merendahkan diri dan bergantung sepenuhnya pada Tuhan. Sehubungan dengan itu, orang Kristen tidak boleh mengagung-agungkan ilmu pengetahuan sebagai penyelamat, karena Tuhanlah penyelamat. Mengandalkan IPTEK dapat berkembang menjadi sikap mendewakan IPTEK. Akibatnya, orang Kristen dapat menyangkali kedaulatan dan kekuasaan Tuhan. IPTEK sebaiknya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dengan demikian, IPTEK merupakan perwujudan dan ekspresi yang sah dari kapasitas kreatif manusia serta merupakan kontribusi esensial bagi kesejahteraannya. Pada dunia yang penuh dengan penyakit dan kelaparan, dan sebagainya, IPTEK harus dijadikan sebagai ekspresi keprihatinan kepada sesama. Karenanya, pengembangan dan penggunaan IPTEK diarahkan untuk dapat menjamin: Pertama, harkat dan martabat manusia, termasuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kedua, kelestarian alam, yakni menjaga keseimbangan antara kepentingan manusia pada saat ini dan waktu yang akan datang. Ketiga, keadilan sosial dari distribusi hasil teknologi. Sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) sikap dasar Kristiani yang perlu dimiliki oleh seorang ilmuwan dalam mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, yakni: Pertama, memiliki profesionalisme dalam bidang ilmunya. Ilmuwan Kristen harus sungguh-sungguh menguasai ilmunya sedemikian rupa, sehingga menjadi profesional. Kedua, memiliki integritas intelektual atau moral yang baik, sehingga dapat mengembangkan dan menerapkan IPTEK secara bertanggung jawab bagi manusia dan lingkungan alam sekitar. Jelasnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan hendaknya berfaedah untuk membangun hidup bersama dan bukan untuk menghancurkan atau membawa malapetaka bagi kehidupan orang banyak. Karenanya, manusia bertanggung jawab atas IPTEK yang diproduksinya. Ilmuwan Kristen selalu bertanya apakah IPTEK yang dihasilkannya membawa manfaat atau merugikan sesama. Untuk itu, manusia harus memiliki kesadaran etis, sehingga pilihan
48
pengembangan dan penerapan IPTEK selalu diarahkan untuk membangun kesejahteraan hidup orang banyak. Agama Kristen dengan ilmu pengetahuan dapat saling menopang satu sama lain, sebaliknya dapat menjadi berlawanan, dimana seringkali ilmu pengetahuan menyerang ajaran-ajaran fundamental dalam agama yang dapat menggoyahkan iman percaya Kristen. Agama mengalami pergeseran cara pemahaman yang diakibatkan oleh ilmu pengetahuan. Alkitab yang tidak pernah berubah, tetapi dibaca oleh orang orang yang tidak sama cara pemikirannya dari zaman ke zaman. Apakah Iman dan Ilmu bertentangan? Di dalam dunia ini tidak ada hal yang baru untuk diciptakan. Science is discovery of truth yang berarti segala sesuatu di dunia ini telah ada, namun perlu ditemukan oleh manusia itu sendiri melalui ilmu pengetahuan. Iman mengandung makna “percaya walau tidak melihat”. Sama seperti otak manusia dimana kita percaya bahwa kita memiliki otak yang menjadi pusat hidup manusia walau kita tidak pernah melihat otak itu. Oleh sebab itu, dibutuhkan ilmuan-ilmuan untuk meneliti dan menemukan bagaimana bentuk dan cara kerja otak itu. Ilmu pengetahuan adalah sebagai penopang Iman untuk sesuatu hal yang mustahil namun tidak semua hal Iman dapat dijelaskan melalui ilmu pengetahuan. Hal-hal Iman tersebut banyak kita temukan dalam Alkitab; Laut Tiberau yang terbelah dua, Tembok kota Yeriko yang runtuh, air biasa manjadi anggur, hingga kebangkitan Yesus. IMAN KRISTEN adalah percaya mendahului pengetahuan yang berarti “Percaya dulu pada Allah baru kita dapat mengenal DIA” karena DIA tidak dapat dibuktikan melakui ilmu pengetahuan manusia yang terbatas. Untuk memperoleh ilmu sejati, pertama-tama orang harus mempunyai rasa hormat dan takut kepada TUHAN. Orang bodoh tidak menghargai hikmat dan tidak mau diajar (Amsal 1:7-BIS). Hiduplah dengan takut akan Allah dengan menghormati-NYA sebagai Tuhan, maka DIA akan menolong kita untuk mengerti akan hal-hal yang sulit dipahami. Iman Kristen memandang IPTEK sebagai alat atau kelengkapan dari anugerah Allah. Melaluinya, manusia dapat mewujudkan panggilan untuk mengembangkan kehidupan yang manusiawi. IPTEK adalah pemberian Tuhan.
49
Latihan 1.
Uraikanlah pengertian iman Kristen
2.
Jelaskanlah pandangan iman Kristen mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi.
3.
Rumuskanlah
bentuk-bentuk
hubungan
iman
Kristen
dan
ilmu
pengetahuan.
50
BAB V PERSPEKTIF KRISTIANI MENGENAI MASYARAKAT MAJEMUK YANG BERKEADABAN A. Pengertian Masyarakat Majemuk yang Berkeadaban Masyarakat majemuk yang berkeadaban adalah suatu masyarakat yang memiliki keberagaman latar belakang kehidupan yang berbeda (multiple identities), baik dari aspek suku bangsa, ras, agama dan keyakinan maupun kulturalnya, dimana dalam hidup bersama, setiap orang atau kelompok masyarakat saling menunjukkan akhlak atau kesopanan dan kehalusan budi berdasarkan norma-norma yang berlaku. Pengertian ini menunjuk pada 2 (dua) hal, yakni: Pertama, masyarakat (society) Indonesia mencirikan sebuah masyarakat yang majemuk (plural), bukan homogen. Pada realitasnya, masyarakat Indonesia memiliki multi suku - sub suku. Misalnya suku Ambon dengan sub sukunya: Seram, Saparua, Kei, Tepa, Kisar, Larat, Saumlaki, dan seterusnya. Suku Flores dengan sub-sukunya: Manggarai, Ngada, Sikka, Riung, Nage-Keo, Ende dan Larantuka, dan berbagai suku dan subsuku lainnya. Multi ras yakni memiliki ciri-ciri bawaan yang berbeda (warna kulit: hitam, putih, sawo matang; rambut: keriting, ikal atau lurus, hidung: mancung, pesek, dan lain-lain). Multi agama dan keyakinan: Islam, Kristen, Hindu, Budha, aliran kebatinan. Multi budaya, semisal di Maluku: budaya pelagandong, masohi, badati, maanu, pela, (di Maluku Tengah), hamaren, yelim, yanur-mangohoi, woma, dan teabel (di kepuluan Kei), duan-lolat (di Tanimbar), kalwedo (di Selatan Daya), rosong (di Kisar), budaya sarumah, kai wai (di Buru), budaya sarumah (di Maluku Utara), ur-sia dan ur-lima (di kepulauan Aru). Kemajemukan (plural) tersebut bukan secara kebetulan ada di bumi Indonesia dan khususnya di Maluku, tetapi merupakan anugerah Tuhan. Karenanya, realitas kemajemukan dimaksud, perlu disyukuri dan diterima secara tulus oleh seluruh lapisan masyarakat. Pada perspektif itu, kenyataan kemajemukan tidak boleh saling dipertentangkan. Sebaliknya, dijadikan sebagai kekayaan bersama seluruh masyarakat untuk membangun kesejahteraan hidup.
51
Kedua, setiap anggota atau kelompok masyarakat diharapkan dapat berinteraksi, beradaptasi dan hidup atau bertingkah laku sesuai norma-norma yang berlaku dalam masyarakat maupun di dalam dunia keagamaan. Kesesuaian perilaku atau pola hidup masyarakat dengan norma-norma tersebut, diharapkan dapat tercipta suatu kondisi hidup masyarakat yang berkeadaban. Karenanya, masyarakat tidak hanya menerima, menghargai dan menjunjung tinggi normanorma itu sebagai pengarah dan pengendali perilaku hidup, tetapi sekaligus menjadikannya sebagai pilihan hidup. Pilihan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kehidupan demi membangun masyarakat yang berkeadaban. Pilihan tersebut, sekaligus mematikan kecenderungan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada kebiadaban. Tegasnya, inti membangun masyarakat majemuk yang berkeadaban adalah pro-norma-norma hidup dan menjadikannya sebagai pilihan hidup (choice of existence) serta gaya hidup (life style). Hidup yang tidak berkeadaban (biadab) adalah hidup yang menjauh dari pengaktualisasian norma-norma hidup. Hidup yang menjauh dari norma-norma hidup akan menimbulkan berbagai persoalan sosial dan merusak citra keagungan kehidupan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hal ini dapat mengakibatkan kesengsaraan yang tiada habisnya karena ia bukan pilihan hidup yang membahagiakan.
B. Ciri-ciri Masyarakat Majemuk yang Berkeadaban Adapun ciri-ciri masyarakat majemuk yang berkeadaban, antara lain: Pertama,
adanya
keterbukaan
(transparancy)
terhadap
adanya
realitas
kemajemukan (plural) masyarakat dan perbedaan sebagai kekayaan hidup bersama. Sikap keterbukaan ini ditunjukkan melalui kesediaan untuk saling menerima, menghargai dan menghormati berbagai perbedaan yang terdapat dalam masyarakat. Perbedaan itu tidak hanya diterima karena ia ada dalam suatu kenyataan hidup bersama, tetapi juga harus diterima ketika yang ada itu, hendak menunjukkan eksistensinya sebagai wujud keberadaannya yang konkrit. Karenanya, masing-masing orang atau kelompok masyarakat tidak boleh bersikap
52
eksklusif dan menutup mata sebelah, ketika ada orang lain memiliki latar belakang hidup yang berbeda dengannya. Hal seperti ini membutuhkan ketulusan untuk saling menyapa dalam kejujuran dan tidak dibungkusi dengan kemunafikan. Pada suatu komunitas yang memiliki multi perbedaan (plural) seperti ini, masing-masing pihak saling berbagi, saling mengisi dan saling melengkapi untuk membangun hidup bersama sebagai cara hidup, lebih dari hanya sloganisme, ungkapan klise atau suatu retorika kosong. Kedua, adanya cara berpikir yang progresif dan konstruktif. Cara berpikir untuk mengembangkan masyarakat agar lebih maju melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengembangan IPTEK tidak diperuntukkan bagi pengrusakan ekosistem dan manusia. Sebaliknya, pengembangan IPTEK mengarah pada mensejahterakan manusia, mengabdi pada kemanusiaan karena ia dikembangkan dan dibingkai oleh nilai-nilai etika dan moral. Dengan begitu, IPTEK dimanfaatkan untuk kepentingan dan masa depan manusia. Ketiga, adanya kesadaran untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma dan hukum yang berlaku. Norma-norma dan hukum menjadi sumber penataan kehidupan dalam masyarakat. Karenanya, setiap warga masyarakat harus menerima norma-norma dan hukum yang berlaku sebagai pedoman agar mengarahkan kehidupannya menjadi beradab. Pola hidup yang demikian dapat dijadikan sebagai sumber belajar bagi sesama. Keempat, adanya pengakuan terhadap hak-hak azasi manusia (human right). Hak-hak azasi manusia adalah hak-hak yang telah dimiliki oleh seseorang sejak ia lahir dan merupakan pemberian Tuhan. Dasar-dasar hak-hak asasi manusia tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1 dan pasal 31 ayat 1. Beberapa contoh hak asasi manusia: hak untuk hidup, hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama, hak untuk mendapat pekerjaan, dan lain-lain.
53
C. Sifat-sifat Masyarakat Majemuk yang Berkeadaban Suatu masyarakat majemuk yang berkeadaban harus memiliki sifat-sifat, sebagai berikut: Pertama, sukarela (voluntary). Terciptanya masyarakat majemuk yang berkeadaban bukan karena paksaan dari luar dirinya, tetapi karena kesadaran diri dan tanggung jawab moral untuk menata kehidupan yang lebih baik. Kedua, swasembada (self-generating), yaitu masyarakat dapat hidup oleh karena kesanggupan dan kemampuannya. Kesanggupan dan kemampuan masyarakat
merupakan
spirit
yang
harus
ditumbuh-kembangkan
dalam
kehidupannya. Karenanya, diperlukan penyadaran terhadap kesanggupan yang dimaksud, sehingga dengan rasionya, masyarakat dapat melakukan sesuatu yang lebih baik. Ketiga, swadaya (self-supporting), yakni menggali dan mendayagunakan potensi yang ada pada diri sendiri. Hal ini dapat dilakukan melalui penyadaran terhadap individu dan kelompok-kelompok yang hidup secara kolektif dalam masyarakat. Cara seperti ini dipahami sebagai salah satu ciri khas manusia sebagai makhluk kesosialan (zoon politikon). Warga masyarakat perlu saling mendukung, bekerjasama, sehingga dapat menghasilkan kekuatan untuk menata dan mengubah kehidupan yang jauh lebih baik. Keempat, kemandirian, yaitu suatu sikap yang harus selalu disadari, digerakkan dan diperjuangkan. Melaluinya, manusia sungguh-sungguh dapat melakukan segala sesuatu, tanpa harus bergantung secara terus-menerus kepada orang lain. D. Cara-cara Mengembangkan Masyarakat Majemuk yang Berkeadaban Adapun cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan suatu masyarakat majemuk yang berkeadaban, antara lain: Pertama, internalisasi (internalized), adalah proses menjadikan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, khususnya adat-istiadat (customs) sebagai bagian integral bagi kehidupan seseorang atau sekelompok warga masyarakat. Melalui proses tersebut, norma-norma yang dimaksud dapat mendarah daging dan menjiwai lakon hidup warganya. Hal ini akan membuat mereka (terutama generasi tua) cenderung mempertahankan atau sulit merubah norma-norma yang sudah
54
meresap di dalam kepribadiannya. Karenanya, generasi tua tidak mudah untuk menerima norma-norma baru yang ditawarkan kepadanya. Bahkan, norma-norma baru sering ditolak karena tidak sesuai dengan norma-norma yang telah diyakini kebenarannya. Setiap individu atau sekelompok warga masyarakat, hendaknya melalui proses internalisasi, dapat mempelajari dan mengambil norma-norma yang baik, dan berfaedah untuk kehidupan pribadi dan masyarakat luas sebagai upaya pengembangan masyarakat yang berkeadaban. Kedua, eksternalisasi (externalized), adalah suatu proses pencurahan kedirian manusia secara terus-menerus kedalam dunia, baik secara fisis maupun mentalnya. Manusia secara empiris, tidak dapat dibayangkan terpisah dari dunia yang ditempatinya. Manusia juga tidak dapat tinggal diam di dalam kediriannya. Sebaliknya, ia selalu bergerak keluar untuk mengekspresikan dan merealisasikan kehidupan bagi proses pembentukan kehidupannya. Alasannya, keadaan organisme manusia ketika lahir belum lengkap (jika dibandingkan dengan binatang) dan berada dalam proses “menjadi manusia”. Karenanya, manusia selalu berusaha untuk membentuk dunianya sendiri (kebudayaan) dengan aktifitasaktifitasnya. Manusia dengan akalnya, menciptakan berbagai jenis peralatan dan digunakan untuk mengubah lingkungan fisisnya dan mengubah alam menurut keinginannya. Hal ini menunjukkan bahwa hakikat manusia sebagai homo faber dapat membuktikan dirinya sebagai potensi kultural yang mampu membuat alat atau sarana untuk mencapai tujuan hidupnya. Kemampuan menciptakan berbagai jenis peralatan dimungkinkan oleh adanya daya pengetahuan yang khas manusiawi. Selain itu, manusia juga menciptakan bahasa dan digunakan untuk mengembangkan diri dan daya berpikirnya, baik secara sederhana maupun secara abstrak
dan
kompleks
melalui
simbol-simbol
yang
meresapi
seluruh
kehidupannya. Manusia menciptakan bahasa, supaya melaluinya manusia merealisasikan eksistensinya yang bermakna bagi dunia. Manusia juga menciptakan bagi dirinya, nilai-nilai (values) supaya menuntun, mengarahkan
dan
mengendalikan
perilakunya
menjadi
lebih
beradab.
55
Kesemuanya ini menunjukkan bahwa secara eksternal, manusia bertanggung jawab untuk membangun diri dan dunianya menjadi lebih baik, beradab dengan potensi yang ada pada diri dan lingkungannya. Ketiga, sosialisasi (socialization), adalah proses dimana seorang anggota masyarakat yang baru (semisal, seorang bayi) mulai mempelajari norma-norma dan kebudayaan di lingkungan masyarakatnya. Sosialisasi juga dimaksudkan sebagai proses mendapatkan pembentukan sikap untuk berperilaku sesuai dengan perilaku kelompok masyarakatnya. Secara sosiologis, proses ini dimulai sejak seseorang dilahirkan. Awalnya, seseorang mempelajari pola-pola perilaku yang berlaku dalam masyarakatnya dengan cara menjalin relasi dengan orang tua, saudara-saudara di rumah, kemudian dengan masyarakat yang lebih luas. Melaluinya, seorang anak akan memperoleh petunjuk-petunjuk mengenai perbuatan mana yang baik dan perbuatan mana yang tidak baik. Perbuatan mana yang perlu dilakukan dan perbuatan mana yang tidak perlu dilakukan. Dengan perspektif yang dimaksud, secara bertahap, seorang anak akan mendapatkan gambaran tentang dirinya sendiri dalam perjumpaan perilakunya dengan perilaku orang lain. Perbuatannya yang baik akan disukai sesama dan perbuatan yang tidak baik akan ditegur. Walaupun dalam masyarakat terdapat juga perilaku yang menyimpang (deviant behavior), tetapi yang membatasi perilaku seorang anak adalah kepribadiannya. Keempat, imitasi (imitation), adalah proses meniru tingkah laku yang baik dari orang lain dan dijadikan sebagai bagian dari tingkah lakunya. Biasanya, proses ini berlangsung dalam relasi seseorang dengan orang lain yang dianggapnya sebagai tokoh atau idola, dimana melaluinya perilaku dari tokoh, idola itu ditransformasikan menjadi perilakunya. Kelima, conformity, adalah proses penyesuaian diri dengan masyarakat, dengan cara mengindahkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai masyarakat. Biasanya, conformity menghasilkan ketaatan atau kepatuhan. Dengan demikian, bila ada perilaku yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat akan mengakibatkan adanya celaan-celaan. Misalnya, cara
56
berpakaian yang kurang sopan dengan memperlihatkan organ-organ tubuh tertentu, mengucapkan kata-kata yang tidak etis, dan lain-lain. Keenam, menjadikan perbuatan yang baik sebagai suatu kebiasaan (folkways). Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Contoh, kebiasaan memberi hormat kepada orang yang lebih tua. Apabila perbuatan tersebut tidak dilakukan, dianggap sebagai suatu penyimpangan (deviation) terhadap kebiasaan umum dalam masyarakat. Karena itu, aspek yang penting dalam proses pemberadaban (civilizing) adalah mensosialisasikan kebiasaan-kebiasaan yang baik kepada warga masyarakat. Dengan kata lain, membiasakan perbuatan-perbuatan terpuji bagi anggota masyarakat (keluarga), sehingga dilakukan berulang-ulang menjadi suatu kebiasaan yang mentradisi secara regeneratif. Nobert Elias, dalam G. Ritzer dan D.J. Goodman (2004: 491-496), mengemukakan beberapa contoh kebiasaan yang salah dalam masyarakat dan perlu ditinggalkan. Baginya, kebiasaan-kebiasaan berikut, merupakan pelanggaran berat dan tidak mencerminkan masyarakat yang berkeadaban. Contohnya: mengorek-ngorek telinga atau mata dengan jari, mengupil sambil makan, menggerogoti tulang dan meletakkannya kembali ke dalam piring, mengambil makanan dengan tangan dan menyuapnya dengan tangan, mengaduk kuah dengan jari, memasukkan roti kedalam kuah dengan garpu lalu menelannya, meludah di atas lantai, membuang ingus dengan menggunakan tangan, kentut dikeluarkan dengan bunyi, dan sebagainya. Bagi Nobert Elias, perbuatan-perbuatan tersebut dilarang bukan karena pertimbangan mengganggu kesehatan, melainkan menimbulkan pemandangan yang tidak sopan dan pergaulan yang tidak menyenangkan. Karenanya, perbuatanperbuatan dimaksud tidak boleh dipraktikan dalam hidup keseharian.
57
E. Faktor-faktor Penghambat Masyarakat Majemuk yang Berkeadaban Faktor-faktor berikut dapat dianggap sebagai penghambat pengembangan masyarakat majemuk yang berkeadaban, yakni: Pertama, kebijakan politik. Biasanya, kebijakan-kebijakan politik dalam suatu bangsa atau negara dituangkan melalui perundang-undangan atau hukum. Karenanya, sangat penting untuk melihat sejauh mana perundang-undangan itu memberikan ruang psikologis bagi masyarakat untuk mengambil bagian dalam membangun peradaban (civilization) bangsa. Sejauh mana pula suatu produk perundang-undangan memberikan kebebasan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam menentukan budaya bangsa. Seperti diketahui bahwa sering kali produk perundang-undangan atau hukum lahir dari sebuah penyelesaian konflik politik, sehingga tidak memberikan ruang psikologi untuk membangun peradaban dan budaya bangsa. Dengan kata lain, produk perundang-undangan dan hukum sering memberikan dampak negatif bagi warganya sendiri. Kedua, eksklusivisme dan fundamentalisme agama. Eksklusivisme agama merupakan sikap yang tidak menerima dan membenarkan pandangan-pandangan agama lain. Eksklusivisme mengklaim kebenaran yang ada padanya, karena ia berasal dari wahyu Tuhan. Sementara itu, pandangan-pandangan kebenaran di luar agamanya adalah buatan manusia belaka. Karenanya, ia harus disingkirkan dan bila perlu dimatikan. Akibatnya, sikap seperti ini dapat memunculkan fundamentalisme agama. Fundamentalisme agama adalah suatu sikap hidup beragama yang militan, yang juga tidak menghendaki idiologi-idiologi lain hidup di sampingnya, karena nilai-nilai kebenaran hanya ada pada dirinya. Fundamentalisme agama muncul akibat cara menafsirkan teks-teks kitab suci secara literer (harafiah), tanpa penafsiran (hermeneutic), sehingga segala sesuatu yang tertulis dalam kitab suci itu dianggap turun dari Tuhan. Tugas manusia adalah menerima begitu saja dan melaksanakannya (taken for granted). Jelasnya, ekskusifisme dan fundamentalisme agama tidak menerima dan menghargai pandangan-pandangan atau idiologi-idiologi lain, tidak menghargai sesama manusia karena berbeda agama atau pandangan. Sikap demikian akan 58
menghambat terciptanya sebuah masyarakat majemuk yang berkeadaban. Alasannya, salah satu syarat keberadaan masyarakat majemuk yang berkeadaban adalah menghargai rasionalitas, kebebasan dan kesetaraan manusia, apa pun latar belakang agama atau idiologinya. Ketiga, identitas primordialisme. Konsepsi identitas primordial hendak menyatakan bahwa akulah yang lebih berharga, yang baik, hebat dan paling benar. Manusia adalah aku dan di luar aku adalah orang asing. Identitas primordial mengejawantah di dalam suku-suku, etnis dan kelompok-kelompok keagamaan. Siapa yang berasal dan masuk dalam suku, etnis dan kelompok agama tertentu, mereka adalah keluarga dan saudara. Di luar itu adalah musuh, sehingga tidak perlu dibantu, diperhatikan, dan jika perlu dihancurkan. Konsep seperti ini tidak relevan dengan konteks hidup bersama-sama (living together) dalam masyarakat majemuk yang menuntut adanya solidaritas, demokratisasi, persamaan, persaudaraan, kebebasan, keadilan dan peluang yang sama untuk memperjuangkan kehidupan yang baik. Dengan demikian, identitas primordialisme telah merusak tatanan keadaban humanis, sehingga dapat menghambat pengembangan masyarakat majemuk yang berkeadaban. Keempat, kemiskinan. Apabila suatu masyarakat memiliki ekonomi yang cukup baik, ia dapat memperkembangkan atau memberikan penguatan bagi terlaksananya masyarakat majemuk yang berkeadaban. Faktor kemiskinan telah membuat masyarakat tidak berdaya, tidak dapat berdikari dan menjadikannya bergantung pada orang lain. Sebelum masalah kemiskinan ini diatasi dengan baik, sangat sulit diharapkan terwujudnya masyarakat yang berkeadaban. Kelima, irasionalisme. Irasionalisme merupakan paham yang melihat kosmos sebagai tempat yang magis, ilahi dan karena itu manusia harus tunduk dan taat kepadanya, kalau manusia ingin hidup baik dan bahagia. Manusia dipercayai sebagai bagian dari kosmos yang sifatnya lemah dan tidak berdaya. Karenanya, tugas manusia adalah patuh dan tunduk kepada kosmos dan dengan berbagai cara manusia menjaga hubungan baik dengannya karena tanpa kosmos, manusia tidak akan bahagia. Irasionalisme memandang manusia sebagai “yang dikuasai” oleh emosi-emosi dan nafsu, ketimbang rasio tanpa bersikap kritis terhadap kosmosnya.
59
Dengan begitu, irasionalisme dapat menghambat terciptanya masyarakat majemuk yang berkeadaban. Alasannya, salah satu faktor yang turut memperkembangkan terwujudnya masyarakat majemuk yang berkeadaban adalah wacana yang rasional, sikap bernalar kritis, dimana dinamika berpikir dikembangkan dan didayakan.
F. Fungsi Lembaga Keluarga dalam Mengembangkan Masyarakat Majemuk yang Berkeadaban Fungsi lembaga keluarga dalam mengembangkan masyarakat majemuk yang berkeadaban, antara lain: Pertama, memberikan pedoman kepada anggota keluarga mengenai bagaimana mereka bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat. Misalnya, seorang ibu mendidik anak-anaknya agar dapat menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Kedua, melakukan pengendalian sosial (social control) terhadap tingkah laku anggota keluarga. Misalnya, menegur anak-anaknya, ketika ia melihat perbuatan mereka tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Hal ini sering dilakukan oleh orang tua, walaupun ia sendiri belum menyadari bahwa ia telah melakukan suatu social control. Pengendalian sosial dapat dilaksanakan dengan cara-cara tanpa kekerasan (persuasive), ataupun dengan paksaan (coecive).
G. Tanggung Jawab Orang Kristen dalam Mengembangkan Masyarakat Majemuk yang Berkeadaban Adapun tanggung jawab orang Kristen dalam rangka mengembangkan masyarakat majemuk yang berkeadaban, antara lain: Pertama, menghidupkan, memelihara, melestarikan dan meneruskan nilainilai budaya lokal masyarakat setempat secara regenerasi. Biasanya, oleh masyarakat, nilai-nilai itu dijunjung tinggi karena berfaedah untuk membangun kehidupan bersama. Selain itu, nilai-nilai budaya lokal selalu dijadikan sebagai acuan norma dalam berperilaku. Karenanya, masyarakat pemiliknya selalu diharapkan untuk berperilaku sesuai nilai-nilai budaya lokalnya. Bila demikian, setiap orang Kristen dipanggil untuk ikut menghidupkan, melestarikan dan
60
menjadikan nilai-nilai budaya lokalnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan personal dan komunitasnya. Kedua, menanamkan dan mewariskan nilai-nilai etik, moral dan spiritual yang bersumber pada Alkitab dalam rangka pembentukan kepribadian (personality) warga Gereja. Karenanya, tugas Gereja adalah menggali kembali nilai-nilai etik, moral dan spiritual yang terdapat dalam Alkitab dan menjadikannya sebagai sumber pewartaan bagi pendewasaan kehidupan umat. Hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan masyarakat yang berkeadaban tidak cukup hanya dengan mengandalkan nilai-nilai budaya lokal masyarakat, tetapi juga didasari pada nilai-nilai keagamaan. Jadi, nilai budaya dan nilai keagamaan (kekristenan) memiliki pertautan yang saling mengisi dan saling melengkapi bagi pengembangan masyarakat yang berkeadaban. Keduanya (budaya dan agama) memiliki kandungan sumber nilai-nilai kehidupan yang baik untuk memanusiakan manusia. Ketiga, mengembangkan dan memprakarsai dialog lintas agama dan budaya dalam upaya menemukan solusi bersama untuk mengembangkan masyarakat yang berkeadaban. Dialog tersebut dibuat karena di dalam setiap agama dan budaya pasti ditemukan sesuatu yang baik, spesifik dan berguna untuk dikembangkan. Jelasnya, dialog dimaksudkan untuk memahami bagaimana agama-agama dan pemilik budaya-budaya lain mengembangkan masyarakat dengan nilai-nilai agama serta budayanya. Melalui dialog itu pula, masing-masing pihak terbuka untuk saling belajar melalui proses take and give untuk saling mengisi dan memperkaya. Walaupun demikian, sikap kritis dan selektif dibutuhkan, sehingga masing-masing pihak tidak serta-merta mengadopsi nilai-nilai pihak lain begitu saja. Alasannya, belum tentu semua nilai yang ditawarkan dalam proses take and give itu berguna dan relevan bagi pihak lain. Karenanya, dibutuhkan pengkajian kembali terhadap nilai-nilai yang diterima secara arif dan bijaksana, disertai kejernihan dalam berpikir, sehingga tidak berapriori negatif terhadap nilai-nilai dimaksud.
61
Latihan 1.
Jelaskanlah pengertian masyarakat majemuk yang berkeadaban.
2.
Kemukakanlah ciri-ciri masyarakat majemuk yang berkeadaban.
3.
Identifikasikanlah sifat-sifat masyarakat majemuk yang berkeadaban.
4.
Uraikanlah cara-cara mengembangkan masyarakat
majemuk
yang
berkeadaban. 5.
Kemukakanlah
faktor-faktor
yang
menghambat
pengembangan
masyarakat majemuk yang berkeadaban. 6.
Rumuskanlah
fungsi-fungsi
lembaga
kemasyarakatan
dalam
mengembangkan masyarakat majemuk yang berkeadaban. 7.
Rumuskanlah tanggung jawab orang Kristen dalam mengembangkan masyarakat majemuk yang berkeadaban.
62
BAB VI PERSPEKTIF KRISTIANI MENGENAI BUDAYA
A. Tanggung Jawab Manusia sebagai Makhluk Berbudaya Salah satu pemahaman inti tentang budaya (bahasa sansekerta: buddhaya: budi) ialah sesuatu yang berpangkal pada manusia, sebagai wujud ekspresif insani kemanusiaannya. Manusia diciptakan dengan memiliki kemampuan akal budi. Manusia yang sanggup ‘berani berpikir sendiri’ (sapere aude), demikian pendapat Imanuel Kant (1724-1804). ‘Berani berpikir sendiri’ menjadi suatu tuntutan jati diri manusia. Akal budi merupakan penyebab manusia menjadi makhluk berbudaya, yang mampu menyadari dirinya dan memiliki daya kreasi-inovatif. Hal ini dimaksudkan supaya manusia tidak pernah berhenti menjadi subjek bagi dirinya sendiri, sebagai bentuk ketaatan pada Tuhan yang telah mengaruniakan akal budi. Dengan akal budi, manusia diminta untuk bertanggung jawab terhadap akal budinya itu. Akal budi diberikan oleh Tuhan dengan maksud agar manusia dapat melaksanakan tanggung jawabnya, baik tanggung jawab terhadap pengembangan akal budi maupun terhadap pemeliharaan dan pelestarian keutuhan ciptaan (the integrity of creation). Hal ini dimaksudkan supaya akal budi tetap bermakna dan fungsional dalam merespons tanggung jawabnya. Karenanya, akal budi sebagai hak, tidak boleh diartikan sebagai semacam hak prerogatif pribadi manusia yang dapat digunakan semau-maunya. Akal budi tidak boleh digunakan untuk merusak dan mematikan citra keagungan akal budi itu sendiri dan lingkungan sekitar demi pemenuhan kepuasaan yang bersifat temporer.
63
B. Budaya Kerja sebagai Salah Satu Panggilan Manusia Tanggung jawab manusia untuk memelihara dan melestarikan ciptaan Allah, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, mengantar kita pada suatu pemahaman iman bahwa kerja merupakan salah satu panggilan manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Manusia adalah seorang pekerja pada dasarnya (Man is a worker by nature). Sifat khas kerja manusia adalah penggunaan secara sadar daya-daya rohani dan badani untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuannya, untuk pemenuhan kebutuhan pribadi dan melayani sesama. Karenanya, setiap orang dipanggil untuk bekerja keras, sehingga tidak menjadi beban bagi orang lain. Untuk itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak bekerja. Jika seseorang tidak mau bekerja, sama artinya dengan tidak mengasihi diri sendiri, sesama dan Tuhan, sebagai seorang pekerja. Pekerjaan yang dikerjakan oleh manusia harus dilakukan dalam persekutuan dengan Allah dan selalu tertuju pada maksud-maksudNya. Itu berarti, tidak ada pekerjaan manusia yang berada di luar kontrol dan maksud-maksud Allah. Ia berkenaan mengangkat kita dalam persekutuanNya. Kita diperkenankan berdiri dihadapanNya. Kita diperkenankan bernafas di hadiratNya. Itulah dasar dari awal manusia bekerja. Panggilan bagi manusia untuk bekerja, tidak boleh dipandang sebagai kutukan Allah, setelah manusia melanggar kehendakNya. Alasannya, jauh sebelum manusia jatuh kedalam dosa, yakni penempatan manusia di Taman Eden, mandat untuk bekerja sudah diberikan oleh Allah. Kerja harus dilihat sebagai pembawa berkat, sebab dengan kerja seseorang mendapat upah. St.Thomas Aquino mendefinisikan kerja sebagai suatu keharusan demi kelanjutan hidup. Upah harus diperoleh melalui kerja keras dan dilandaskan oleh rasa takut kepada Tuhan. Dengan demikian, manusia terhindar dari cara-cara kerja yang tidak bertanggung jawab dan tidak menghalalkan berbagai cara dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Sebaliknya, setiap pekerja dipanggil pula untuk menunjukkan etos kerja yang baik. Etos kerja yang dimaksud adalah jiwa dan semangat kerja yang didasari oleh cara pandang yang menilai pekerjaan sebagai pengabdian terhadap diri sendiri, masyarakat dan Tuhan. Etos kerja seperti inilah
64
yang membentuk karakter para pekerja, sehingga dapat bekerja dengan penuh kesungguhan.
C. Budaya Maluku Dalam Perspektif Kristiani Percaya kepada Tete Manis dan Upu Lanite Tete Manis adalah sebuah nama yang sangat dikenal oleh masyarakat Maluku, baik orang Kristen dan juga orang Islam. Bagi orang Kristen, sebutan ini menunjuk kepada Tuhan yang diimani di dalam Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat dunia. Biasanya orangtua mengenalkan kepada anak-anaknya tentang Tuhan yang pengasih dengan nama Tete Manis ketika anak-anaknya berperilaku baik : “Kalau nyong/nona (putraku/putriku terkasih) rajin ke Sekolah Minggu, maka Tete Manis sayang. Tetapi kalau nyong nakal, nyong/nona akan menjadi teman Tete Momo.” Ungkapan-ungkapan ini biasanya orangtua sampaikan sebagai nasehat dan petunjuk ketika mendongeng atau menasehati anak-anaknya sebelum mereka tidur. Ketika mereka mendengar nama Tete Manis, maka itulah pribadi Tuhan Yesus yang diimaninya sebagai seorang anak Kristen. Kata Tete berati kakek atau seorang tua yang baik hati dan pemurah. Ia suka akan perbuatan-perbuatan yang baik. Tetapi jika anak-anak nakal, maka ia menjadi teman seorang kakek yang jahat dan biasa menghukum mereka, dialah Tete Momo (Momo atau momok adalah gambaran orang tua atau kakek yang menjadi momok atau pengganggu anakanak). Bagi masyarakat adat, mereka tetap meyakini akan kuasa Upu Lanite atau leluhur. Kuasa rohnya diyakini sebagai yang selalu hadir, melindungi, menghukum, memberkati dan menyertai masyarakat adat di mana dan kapan pun. Bagi warga masyarakat adat yang setia melakukan tuntutan adat dengan baik, maka ia akan disertai, dilindungi dan diberkati. Roh leluhur tetap akan menyertainya kemana pun ia pergi. Tetapi sebaliknya, jika tuntutan adat tidak dipenuhi, atau dilawan, maka roh leluhur akan menghukumnya dengan kegagalan, sakit, bahkan sampai mati. Bukti akan kebaikan roh leluhur yang memberkati dan melindungi dan juga dengan kemurkaannya yang menghukum, sangat meyakinkan masyarakat adat. Contoh bisa dilihat dari kasus berikut. Ada seorang Maluku Tengah yang tinggal di Belanda, Ia berjanji untuk pulang ke desanya di pulau
65
Seram untuk menyelesaikan pembayaran harta kawinnya. Tetapi karena kesibukan pekerjaannya, ia lupa. Kesulitan dan tantangan hidup melandanya, ia dan anakanaknya menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh dokter. Beberapa waktu berselang baru ia ingat akan janjinya. Setelah pulang dan menyelesaikan tuntutan adat di desanya, ajaib, ia dan keluarganya sembuh dan pekerjaannya bisa pulih lagi seperti semula. Karena bukti atas kepenuhan janji tuntutan adat itu, orang yang percaya akan sanksi atas pelanggaran adat, selalu mengaitkan hubungan kegagalan hidup, sakit, bahkan kematian dengan perlunya memenuhi tuntutan adat (cf. Jensen 1963:296-303). Dengan sendirinya, mereka akan melirik ke bentuk-bentuk ritus upacara adat sampai pemenuhan kaul atau janji adat yang mesti dipenuhi (Prins, 1973:13-14). Karena itu tidak heran jika si orang dari Belanda itu harus pulang kampung sebab ia harus datang di pusat siklus materialnya, ke dunia hierofani, tempat pemenuhan penempatan diri, pusat janji, yang diyakininya akan memberikan kepenuhan harapan, yakni buah kesembuhan baginya (Kirchberger & Prior 1996:298-300). Lalu bagaimana dengan pandangan agama Kristen tentangnya ? Bagaimana tidak, sebab kasus kesembuhan atas janji bayar harta dan pulang kampung itu sangat menantang dan menohok keyakinan iman Kristen. Mengapa bisa demikian; perawatan dokter tidak mempan, doa pendeta ditambah perawatan dokter juga tidak mempan, tapi dengan memenuhi janji barulah kesembuhan didapat. Respons yang muncul pasti bisa bersifat kontra, afirmasi atau peneguhan dan transformasi atau kontekstualisasi. Sikap kontra melawan pemahaman dan praktek adat telah lama mewarnai perjumpaan agama Kristen Protestan dengan adat di Maluku Tengah. Konsekuensi sikap itu melahirkan banyak kehancuran simbol-simbol adat. Patung-patung, mesbah-mesbah penyembahan, baileo dan berbagai benda keramat adat telah dimusnahkan oleh Gereja. Sikap destruktif Gereja itu bertolak dari pemahaman bahwa keyakinan akan kesembuhan dari kuat kuasa roh leluhur adalah pandangan yang tidak bisa diterima. Orang Krisren, anggota Jemaat dan Pendeta mesti meyakini imannya yang tak tergantikan. Memang kesulitan yang dihadapai adalah menjawab bukti sebab akibat dari kesembuhan itu sendiri. Mengapa ketika memenuhi kaul baru bisa sembuh,
66
sekalipun sudah berdoa dan mencari kesembuhan ke dokter ? Sayangnya banyak orang belum bisa menerima bahwa kesembuhan itu bisa terwujud akibat dorongan kekosongan kejiwaan. Secara sederhana patut ditanyakan, dapatkah seseorang merasakan kekosongan jiwanya ketika ia belum memenuhi kaul-nya ? Apalagi ia sementara sakit ? Tokh jika ia sehat ia tidak akan ingat akan kaul-nya. Pada umumnya hanya ketika bencana menimpa baru evaluasi hidup muncul ke permukaan. Di lain pihak harus diakui bahwa ada juga banyak mujizat kesembuhan yang terjadi di atas doa dan perawatan dokter. Sikap afirmasi (peneguhan) agama Kristen Protestan terhadap nilai-nilai adat dapat diterima, misalnya dalam memaknakan pembayaran mahar atau harta kawin atau juga perkunjungan ke kubur orangtua kita. Di kalangan orang Kristen Protestan telah lama muncul pandangan yang keras melihat kedua bentuk pemenuhan tuntutan adat itu sebagai penyembahan kepada leluhur atau orang mati. Bagi masyarakat timur, aspek hubungan kekerabatan masyarakat adat adalah sangat kuat, sehingga jika ada seseorang dalam kekerabatan itu yang tidak taat terhadap nilai-nilai adat nya, maka ia akan dikucilkan. Resiko ini akan dialaminya jika ia tidak membayar mahar, atau pulang kampung tanpa datang ke kubur orangtuanya, sekalipun itu dilakukan sekedar melihat saja. Perubahan dan pergeseran pemahaman di kalangan Kristen Protestan mulai melihat bahwa tradisi di atas itu bukanlah sebagai sebuah penyembahan kepada leluhur tetapi sebuah penghormatan atas nilai adat yang dikandungnya. Eben Nuban Timo (2005) mengatakan bahwa dalam semua peristiwa sejarah, budaya dan agama, di sana ada sidik jari Allah. Tuhan Allah meninggalkan maksud khusus dibalik semua peristiwa hidup, entah senang atau pun duka supaya manusia mencari jalan untuk melakukan kehendak-Nya demi kebaikan hidupnya bersama orang lain ke masa depan. Maksudnya, membayar mahar harus dipenuhi bukan sebagai manifestasi rasa takut atas ancaman Upu Lanite atau leluhur. Tetapi dilakukan karena apresiasi atas sebuah nilai hubungan hidup yang mengikat, baik di antara kedua suami isteri maupun juga di antara kedua pihak keluarga orangtua mereka. Di dalamnya ada sebuah komitmen moral yaitu menjaga keutuhan hidup keluarga. Demikian juga dengan perkunjungan ke kuburan orangtua adalah sebuah apresiasi. Sebab, dari almarhum atau
67
almarhumah orangtua didapat banyak nilai-nilai hidup yang daripadanya si anak mampu mencapai kehidupan yang ada dialaminya sekarang. Tuhan memberikan dan mewariskan hikmat dan kebaikan yang mereka ajarkan sebagai warisan hikmat kepada anak-anaknya, maka selayaknya mereka dihormati. Wujudnya adalah datang berkunjung ke kuburan mereka. Langkah transfomasi atau kontekstualisasi bisa dilihat dalam contoh sasi dan pemakaian bahasa daerah. Semula sasi negeri, yang bermakna pelestarian potensi sumber alam, sepenuhnya dilakukan menurut cara adat. Di dalamnya ada ritus upacara penyertaan roh leluhur untuk menjaga, memberkati dan memberi sanksi kepada masyarakat jika terjadi pelanggaran atas sasi tersebut. Gereja mengambil alihnya menjadi sasi Gereja karena kandungan makna pelestarian yang penting bagi kesejahteraan manusia. Demikian juga dengan pemakaian bahasa daerah. Dulu ia dipandanag sebagai yang kafir, dari roh leluhur dan dimusuhi Gereja. Tetapi ketika seorang Pendeta berkhotbah dengan memakai bahasa daerah atau sedikitdikitnya menggunakan istilah atau faham falsafi daerah, maka anggota jemaat merasa kerasan (nyaman) mendengar dan menikmatinya. Rasa dihormati dan hubungan akrab si pengkhotbah dengan anggota Jemaatnya menjadi akrab ketika ia memakai apa yang ada di dalam Jemaatnya, desanya sendiri. Sang Pendeta tidak semata-mata membawa “barang asing” seperti bahasa dan nilai-nilai luar yang dipandang asing dan aneh ke dalam Jemaatnya. Rasa ‘kerasan’ muncul dibenak anggota Jemaat ketika Pendeta memakai simbol-simbol lokal seperti di atas. Dengan pendekatan ini, memori anggota Jemaatnya dilahirkan kembali. Apa yang menjadi milik kesenangan-nya yang tersembunyi jauh dan dalam, kembali ditampilkan, identitasnya dimuliakan dan martabat dirinya ditinggikan (Geertz 1992:50-53; Kobong 1994:24-27). Di Maluku, atau di Gereja Protestan Maluku, penghargaan atas bahasaa daerah belum sepenuhnya dilaksanakan seperti Gereja Gereja di Jawa, Papua dan Batak. Bagaimana cara memperjuangkannya demi pemberdayaan berteologi umat adalah sebuah upaya membaca, mengartikan dan memanfaatkan secara tepat dan bermanfaat demi menghadirkan kasih Tuhan yang menyelamatkan dunia. D. A. Carson & John D. Woodbridge (ed, 2002:3-17) mengatakan bahwa upaya berteologi dengan memberi makna yang sejalan dengan
68
konteks harus menempuh interpretasi nilai-nilai budaya lokal yang diyakini relevan dan berperspektif keselamatan.
Harmoni Dalam Pelayanan Adat Dan Gereja Uraian di atas menyiratkan bahwa bisa muncul dua sikap dalam berteologi yaitu secara positif dan juga secara negatif. Berteologi secara positif bukan dengan cara membangun konflik di antara Gereja dengan adat. Tetapi menunjukkan apresiasi dan solidaritas dalam pemaknaan nilai yang dikandung adat. Nilai adat mesti dijunjung tinggi oleh warga masyarakat adat dan demikian juga oleh warga Gereja. Dengan penempatan sikap dan perilaku seperti itu, maka hidup berdamai dengan harmonis dan solider akan terwujud. Berteologi secara negatif membawa Gereja melihat segala nilai adat adalah musuh, lawan, produk iblis dan harus dimusnahkan. Dengan berlaku seperti itu, kita lalu menutup pintu kasih Allah untuk melihat karya keselamatan-Nya yang ada dan juga mampu berkarya di dalamnya. Ini bahaya besar sebagaimana yang diwariskan dalam “teologi lama” yang bergelora memusnahkan adat. Pertanyaan muncul, adilkah kita ketika hanya mengklaim bahwa percaya kepada Tete Manis saja yang lebih benar, tinggi dan agung ketimbang praktek ritusritus adat yang percaya kepada Upu Lanite atau leluhur ? Bukankah sebelum datangnya agama samawi, Islam, Kristen Katolik dan Kristen Protestan, kuasa yang dihormati dan diyakini melindung dan memberkati mereka yang disebut kuasa tertinggi dan daripada-nya orang beragama berrefleksi dan menyebutnya Tuhan Allah Yang Maha Kuasa ? Saya menekankan tentang berlaku adil, berarti hendak memberi ruang kepada agama Kristen dengan berita keselamatan dari Allah, yang disuarakan dari Gereja kepada manusia. Di situ juga mesti ada ruang kepada adat untuk melaksanakan ritus-ritusnya kepada manusia. Soal ruang bukan semata-mata sebuah tuntutan sikap etis sosial, tetapi juga sebuah keharusan misioner. Sebab tanpa adat, sebagai salah satu fakta sosial budaya, dengan ritusritusnya yang dipandang lawan oleh Gereja, maka ke manakah kita bisa melihat karya keselamatan Allah ? Bukan hanya melihat, tetapi juga dengan melihat ritus dan upacara-upacara adat, maka seseorang akan mengagungkan karya cipta Allah yang abadi dan daripadanya ia semakin menghargai sesama manusia dan alam
69
sekitarnya yang telah Tuhan ciptakan untuk diselamatkan. Dengan memberi ruang berarti Gereja melestarikan identitas hakiki manusia dan sekaligus mengenalkan karya kasih keselamatan Allah kepada dunia. Tidak memberi ruang bagi adat, sama saja dengan Gereja menghambat karya keselamatan Allah. Untuk itu penghargaan dan pemeliharaan wilayah pelayanan di antara Gereja dan adat, akan menciptakan rasa tentram, aman dan damai kepada manusia yang satu dengan dua statusnya, yaitu sebagai anggota Jemaat dan sebagai anggota masyarakat. J. Prins (1973:28-29) menegaskan, hendak-nya sikap Gereja kepada adat diberi batas dengan rapih; pagarnya jangan dibongkar dan sebaiknya diberi jalan keluar-masuk yang dijaga dengan baik-baik supaya hubungan di antara keduanya tetap harmonis.
LATIHAN 1. Jelaskanlah tanggung jawab manusia sebagai makluk yang berbudaya! 2.
Bandingkanlah budaya sebagai kutukan dan budaya sebagai panggilan manusia?
3.
Bandingkanlah budaya kekristenan dengan budaya di Maluku?
70
BAB VII PERSPEKTIF KRISTIANI MENGENAI POLITIK
A. Pengertian Politik Secara etimologis, istilah politik berasal dari bahasa Yunani: Polis dan Politeia. Polis berarti benteng, kota, negara dan suatu bentuk negara tertentu (semisal: demokrasi, kesatuan, dan sebagainya). Politeia, artinya penduduk atau warga negara, hak warga negara dan kewarganegaraan, tata negara dan bentuk pemerintahan. Berdasarkan kedua istilah yang dimaksud, para ahli mencoba merumuskan pengertian politik menurut sudut pandangnya masing-masing. Menurut Meriam Budiardjo, seperti dikutip Ng.Philipus dan Nurul Aini (2004: 90) mengatakan: politik adalah berbagai macam kegiatan yang terjadi di suatu negara, menyangkut proses menentukan tujuan dan cara untuk mencapainya. Menurut Budiardjo, pengertian politik ini mencakup 6 (enam) konsep pokok, yaitu: (1) politik berkaitan dengan negara (state), (2) kekuasaan (power), (3) pengambilan keputusan (decesion making); (4) kebijaksanaan umum (public policy), (5) pembagian (distribusion), dan (6) alokasi (alocation). Baginya, 6 (enam) konsep pokok politik ini menunjukkan peranan pemerintah dan warga negara untuk merumuskan tujuan yang ingin dicapai dan adanya berbagai upaya bersama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Selain itu, Ramlan Surbakti merumuskan 5 (lima) pandangannya mengenai politik, sebagaimana dikutip oleh Ng.Philipus dan Nurul Aini (2004: 93), yakni: Pertama, politik adalah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik adalah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik adalah segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari atau mempertahankan sumbersumber yang dianggap penting. 71
Jelasnya, menurut Surbakti, politik adalah kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat mengenai kebaikan bersama dalam suatu wilayah pemerintahan. Bila demikian, dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, kepentingan publik perlu diakomodir, sehingga setiap warga masyarakat sebagai insan politik turut berperanserta dalam setiap pengambilan keputusan (decesion making). Tegasnya, dalam suatu sistem pemerintahan, dibutuhkan adanya karjasama dan partisipasi pemerintah dan seluruh komponen masyarakat untuk merumuskan dan mengimplementasikan kepentingan-kepentingan politik berdasarkan tujuantujuan yang disepakati bersama. Karenanya, politik dianggap sebagai sarana untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
B. Apakah Gereja Boleh berpolitik Praktis? Dalam pemahaman Calvin, politik identik dengan negara. Artinya, kalau gereja berpolitik berarti gereja menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah di dunia ini untuk mendatangkan “syaloom” baik secara rohani, jasmani maupun materi. Dalam konteks pandangan Calvin tersebut, gereja tidak terlibat dengan mendirikan partai politik atau pendukung salah satu partai politik. Gereja menyadari perannya sebagai hamba Allah dalam membina rohani umat-Nya. Gereja memiliki kedaulatan tersendiri yang tidak boleh diintervensi oleh pemerintah. Kedudukan gereja dan negara sejajar di hadapan Allah dan tidak saling mencampuri secara internal. Secara esensi, sesungguhnya kehadiran gereja di dunia sudah berpolitik dalam arti menjalankan amanat Yesus menjadi garam dan terang (Mat. 5:13-16). “kamu adalah garam dunia”. Pada waktu itu, Yesus berkhotbah diantara orang banyak, tetapi secara khusus menunjuk kepada pengikut-Nya bahwa mereka adalah “saksi-saksi Allah”. Berpolitik bagi gereja bukan dalam arti aktif dalam partai politik, melainkan gereja mentransformasi nilai-nilai keadilan, kebenaran, kesejahteraan, dan kemajuan peradaban baru dalam masyarakat (bnd. Mat. 5:1316). Pemerintah adalah hamba Allah untuk mensejahterakan rakyat (Rm. 13). Demikian juga gereja adalah hamba Allah dengan tugas utama menggembalakan
72
umat-Nya. Keduanya adalah hamba Allah, tetapi dengan tugas yang berbeda. Keduanya tidak boleh saling mencampuri. Keduanya saling melengkapi. Politik Yesus tidak berorientasi merebut kekuasaan atau pemerintahan, tapi politik moral (etik). Politik Yesus adalah politik memperjuangkan tegaknya nilainilai keadilan, kebenaran, kesejahteraan, dan kemajuan peradaban dalam masyarakat. Dengan demikian, politik adalah panggilan dan amanah Allah. Demikian juga menjadi hamba Allah adalah panggilan. C. Visi Kristiani mengenai Politik Visi Kristiani mengenai politik dan keterlibatan orang Kristen di dalamnya dapat dilihat pada hidup dan perjuangan Yesus Kristus. Pada diri Yesus, orang Kristen mendapat sumber inspirasi dan bercermin pada-Nya. Karenanya, pada bagian ini akan dikemukakan bagaimana Yesus menggunakan kekuasaan yang dimiliki-Nya untuk berpolitik di dalam menyikapi berbagai persoalan yang ditemui dalam masyarakat. Gereja Kristen zaman dahulu telah memasuki dunia politik dengan credo “Yesus Kurios” (Yesus adalah Tuhan). Pengakuan ini menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan, Dialah Raja di atas segala raja di bumi. Kepada-Nya telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi (Matius 28). Pengakuan ini merupakan suatu pengakuan politis terhadap tokoh Yesus. Namun, perlu dikemukakan bahwa Yesus Kristus bukanlah seorang politisi dalam arti formal, sebab Ia tidak memegang kekuasaan apa pun dalam struktur pemerintahan Romawi dan Yahudi. Apa yang dilakukan Yesus adalah kritik terhadap prosesproses kekuasaan yang menindas, menekan dan tidak memberikan apresiasi terhadap kemanusiaan serta persoalan-persoalannya. Yesus dalam pelayanan berhadapan dengan realitas masyarakat Yahudi yang termaginal, tertindas, terbelenggu karena dibodohi oleh elit kekuasaan. Karenanya, sebagai seorang Yahudi yang baik, Yesus melakukan tindakantindakan pembelaan dan pemulihan atas hak-hak mereka. Jadi, walaupun Yesus bukan seorang politisi dalam arti formal, tetapi tindakan-tindakan yang dilakukan memiliki dampak sosial-politik bagi masyarakat. Pada perspektif ini, politik tidak ditempatkan sebagai cara untuk berkuasa, tetapi dijadikan sebagai sarana
73
melayani masyarakat. Karenanya, visi dan idiologi politik Yesus diarahkan pada pembebasan kemanusiaan. Pembebasan kemanusiaan yang dilakukan oleh Yesus bersifat rohani dan sosial (kemasyarakatan). Ia tidak hanya menebus dosa manusia, menegakkan keadilan, kebenaran dan pembebasan, tetapi juga menghadirkan tanda-tanda syaloom Allah bagi dunia dan manusia (band. Lukas 4: 18-19). Tindakan menyembuhkan orang sakit, buta, kusta, bergaul dengan pemungut cukai, mengampuni perempuan pelacur, melayani orang miskin dan orang-orang yang terabaikan, adalah bukti konkrit dari kehadiran tanda-tanda syaloom Allah itu. Jelasnya, situasi sosial politik dimana penindasan dan pemerkosaan hak-hak rakyat terjadi, pemutarbalikan kebenaran, eksploitasi terhadap rakyat kecil dan proses-proses pemiskinan yang berlangsung secara struktural membuat Yesus tidak mengambil sikap netral. Netralitas bukanlah pilihan tepat, ketika keberpihakan kepada kelompok termarginal diperlukan. Yesus, karenanya, melakukan kritik dalam bentuk perkataan dan perbuatan konkrit. Ia menjadi prototipe yang ideal dari sebuah perjuangan, tanpa pamrih kepada rakyat. Ia selalu tegar dan siap menghadapi segala macam resiko dari perjuangan politik-Nya. Yesus memiliki komitmen terhadap rakyat kecil dan mengantar-Nya untuk berhadapan dengan para penguasa. Ia adalah seorang pemimpin rakyat yang memiliki sense of politics yang sangat baik. Apa yang dipilih Yesus adalah suatu resiko yang dijalani-Nya. Kevokalan-Nya terhadap masalah-masalah sosial dan agama diakhiri dengan penyaliban. Pembelaan-Nya bagi orang tertindas dan marginal dibayar dengan kematian di Golgota. Salib telah menjadi momen dimana Yesus menyatukan raga dengan perjuangan yang dilakukan-Nya. Pada perspektif ini, orang percaya mesti belajar dan meneladani perjuangan politik Yesus. Kekuasaan yang kita miliki jangan digunakan untuk pengabdi kembali kepada kekuasaan. Sebaliknya, kekuasaan dipakai sebagai alat untuk memperjuangkan hak-hak rakyat, menegakkan keadilan dan kebenaran yang semakin menjauh dari harapan kita bersama. Kekuasaan digunakan untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penderitaan, tekanan, ketakutan, ketidakberdayaan, kemiskinan, keterbelakangan, dan lain-lain.
74
Tegasnya,
kekuasaan
difungsikan
untuk
melayani,
memberdayakan,
memulihkan hak-hak rakyat, menghidupkan dan membebaskan, tanpa pamrih. Oleh karena itu, persepsi yang negatif bahwa Gereja harus menjauhkan diri dari pentas politik, justru akan semakin melemahkan keberpihakannya terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Dengan demikian, keterlibatan politik dalam arti yang luas harus menjadi orientasi dan pergumulan setiap warga Gereja. Warga Gereja, baik secara personal maupun komunal, melalui pentas politik, menyatakan peran sertanya sebagai warga negara (polis); sekaligus menyatakan sense of calling and sense of belonging-nya terhadap masalah kemanusiaan yang tidak pernah tuntas. Karenanya, Gereja memiliki tugas untuk memberikan penguatan iman dan memperlengkapi warganya dengan norma-norma dan etika, sehingga warganya semakin peka, tanggap, kritis, selektif dalam menentukan pilihan. Bahkan, segala sesuatu yang diperjuangankan demi kemanusiaan sejati dapat dipertanggung jawabkan secara iman. D. Nilai-nilai yang Perlu Diacu Oleh Umat Kristen dalam Melaksanakan Tanggung Jawab di Bidang Politik J. Sirait (2006) mengemukakan berbagai nilai yang perlu diacu oleh umat Kristen dalam melaksanakan tanggung jawab di bidang politik, yaitu: (a) kasih, yakni mengasihi Tuhan, sesama, diri sendiri dan lingkungan alam serta mengakui bahwa semua manusia adalah orang bersaudara yang diciptakan Tuhan sesuai dengan citra-Nya (Imago Dei), (b) keadilan, yakni mengusahakan agar setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan memberlakukan keadilan serta mewujudkan keadilan dengan memperhatikan hak dan kewajiban setiap orang, (c) kebenaran, mengacu pada kebenaran konsensus, yakni hasil kesepakatan nasional bangsa Indonesia serta kebenaran Tuhan yang bersifat abadi dan universal, (d) kerendahan hati, dalam arti tidak menyombongkan diri, tidak meremehkan orang lain, dan bersedia melayani sesama demi kesejahteraan bersama, (e) ketulusan: bersedia menerima kenyataan, termasuk menerima kekalahan; konsisten dalam perkataan dan perbuatan; tidak menyembunyikan niat buruk dibalik perhatian, (f) kejujuran: mengatakan yang benar untuk hal yang benar dan salah untuk hal yang salah serta bersikap objektif dan berani mengakui
75
kekurangan, (g) kepeloporan: kesiapan mengambil prakarsa untuk meningkatkan prestasi demi kepentingan bersama dan bersikap pro-aktif, (h) kebangsaan: merasa senasib sepenanggungan dengan kelompok masyarakat yang lemah dan tertindas, (i) kesamaan: semua orang memiliki harkat, derajat dan martabat yang sama; semua orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan, (j) kebebasan: kebebasan berbicara, berkumpul dan berserikat; kebebasan beragama dan berkeyakinan; kebebasan untuk memilih pekerjaan, tempat tinggal dan kewarganegaraan, (k) kemerdekaan, dalam arti bebas untuk berbicara, berkumpul dan berserikat, bebas memilih agama dan keyakinan, bebas memilih pekerjaan, tempat tinggal dan kewarganegaraan, tanpa rasa takut, serta bebas dari penindasan, penjajahan, ketakutan dan intimidasi dari pihak mana pun, (l) kesetiaan: setia menjalankan tugas yang dipercayakan; setia kepada bangsa dan negara, (m). kesetiakawanan: bersikap empati terhadap kesuksesan dan kegagalan sesama; setia kepada kawan, tetangga dan masyarakat, terutama ketika mereka menderita; serta suka menolong orang yang menderita. E. Bentuk-bentuk Tanggung Jawab Umat Kristen di Bidang Politik Umat Kristen, baik secara individu maupun secara kolektif merupakan bagian integral dari masyarakat Indonesia. Karenanya, umat Kristen terpanggil pula untuk mengembang tanggung jawab yang sama dengan warga negara lainnya serta memiliki hak dan kewajiban untuk turut menentukan kehidupan politik di Indonesia. Adapun bentuk-bentuk tanggung jawab umat Kristen di bidang politik, antara lain: mendorong terjadinya emansipasi politik masyarakat yang setara maknanya dengan pembebasan atau pemerdekaan. Hal ini dimaksudkan untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap esensi politik sebagai usaha bersama untuk melakukan tindakan-tindakan pembebasan terhadap berbagai macam penderitaan yang dialami oleh masyarakat. Mendorong proses terwujudnya masyarakat sipil (civil society) di Indonesia. Masyarakat sipil adalah suatu kenyataan hidup masyarakat yang menghargai hakhak kemanusiaan. Karenanya, umat Kristen harus mampu membangun
76
keseimbangan dengan kekuasaan negara, agar kekuasaan yang ada dapat digunakan bagi kepentingan banyak orang. Umat Kristen harus menjadi bagian dari kekuatan sosial bangsa Indonesia untuk
menolak
munculnya
gagasan-gagasan
federalisme,
pemekaran
provinsi/kabupaten/kota, dengan semangat egoisme dan primordialisme. Umat Kristen harus memberikan kontribusi pemikiran sebagai hasil refleksi teologinya terhadap persoalan etnisitas yang makin marak. Dengan berbuat seperti itu, umat Kristen menunjukkan keseriusan dan komitmennya dalam membangun kehidupan masyarakat yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang abadi, absolut dan universal. Umat Kristen harus memberikan perhatian kepada kaum perempuan di bidang politik. Politik Yesus memberikan kepada Gereja suatu keteladanan untuk membangun kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perhatian ini diberikan, ketika Yesus merombak tatanan tradisi bangsa Yahudi yang tidak menghargai perempuan. Kritik Yesus terhadap tradisi Yahudi yang tidak berpihak pada kesetaraan dan menganggap rendah perempuan merupakan gambaran dari kritik Yesus yang tidak hanya berorientasi pada nilai, tetapi juga pada kekuasaan (power) yang ada pada laki-laki, yang bersembunyi di dalam tradisi Yahudi. Pada konteks yang demikian, Yesus bermaksud merubah pandangan yang salah dan memberikan perspektif baru terhadap peranan gender dalam pentas sosial politik masyarakat. Tanggung jawab politik umat Kristen juga berorientasi pada tugas untuk menghadirkan tanda-tanda syaloom Allah bagi manusia dan dunia sejagad. Tandatanda syaloom Allah harus dinyatakan di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang jauh dari kesejahteraan, jauh dari rasa keadilan, jauh dari kebenaran, jauh dari kedamian dan lain-lain. Gereja, dengan menghadirkan tandatanda syaloom Allah, menyatakan kemuliaan Allah bagi masyarakat luas. Walaupun sebagai Gereja, ada kesadaran bahwa gagasan-gagasan tentang terwujudnya tanda-tanda syaloom Allah bersifat eskatologis. Artinya, secara otomatis tidak akan pernah terwujud dalam dunia yang nyata saat ini, tetapi ia memiliki pengharapan bahwa apa yang diperjuangkannya adalah sesuatu yang benar.
77
Umat Kristen harus menolak sikap yang menjauhi kehidupan politik hanya karena alasan bahwa politik itu kotor, penuh intrik, perseteruan, kepentingan kelompok dan sebagainya. Gereja harus belajar dari Yesus bahwa sikap netral adalah sesuatu yang tidak selamanya baik. Bahkan, netralitas pun pada saat tertentu adalah sesuatu yang buruk. Sikap untuk tidak berpihak adalah tindakan yang tidak bijaksana karena sikap semacam itu sama saja dengan memberikan legitimasi atau justifikasi terhadap praktek-praktek yang jauh dari syaloom Allah. Konteks masyarakat Indonesia yang penuh dengan berbagai masalah, justru memberikan
peluang
bagi
Gereja
untuk
menyatakan
keberpihakannya.
Keberpihakan Gereja yang diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang miskin, terlantar, diperlakukan secara tidak adil dan benar, dan sebagainya, adalah wujud Gereja yang memahami panggilannya (sense of calling) dan merasakan penderitaan sesama (sense of belonging). Gereja selaku institusi harus memberikan pelayanan kepada warganya agar dapat terlibat secara aktif dalam bidang politik dan menyalurkan aspirasi-aspirasi politiknya secara bertanggung jawab. Misalnya, dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, Bupati dan Wakil Bupati, Kepala Desa dan anggota legislatif. Warga Gereja pada momen seperti ini tidak hanya menyalurkan hak suaranya, tetapi juga ikut mengkritisi proses penyelenggaraannya, jika ternyata terjadi penyelewenganpenyelewengan yang cukup signifikan bagi demokrasi. Selain itu, Gereja perlu melaksanakan pelayanan pastoral, jika terbukti ada warga Gereja melakukan suatu kesalahan. Pelayanan pastoral dimaksud, dipandang sebagai aksi penyadaran dan penguatan bagi proses politik selanjutnya. Akhirnya, umat Kristen perlu memperjuangkan terwujudnya kestabilan kehidupan sosial politik sesuai tujuan nasional seperti dirumuskan dalam alinea ke-3 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
78
LATIHAN 1. Jelaskanlah pengertian politik! 2. Kemukakanlah tujuan perjuangan politik di Indonesia. 3. Bandingkanlah visi Kristiani tentang politik dengan visi politik di Indonesia. 4. Kemukakanlah nilai-nilai yang perlu diacu oleh umat Kristen dalam melaksanakan tanggung jawab di bidang politik. 5. Rumuskanlah bentuk-bentuk tanggung jawab umat Kristen di bidang politik di Indonesia.
79
BAB VIII PERSPEKTIF KRISTIANI MENGENAI HUKUM
A. Pengertian Hukum Pada dasarnya, hukum adalah perlindungan kepentingan manusia yang berbentuk kaidah atau norma. Setiap komunitas (kolektif dan individu) membutuhkan hukum untuk melindungi harta milik atau kekayaan, nama baik, golongan atau komunitas, kebebasan, dan sebagainya. Kepentingan ini sangat beragam, baik jenis maupun kadarnya, sehingga jika tidak ada hukum yang mengaturnya dapat menimbulkan pertentangan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Pertentangan seperti ini berpotensi menimbulkan kerugian. Bahkan, mengancam kehidupan manusia. Misalnya: pencurian, perusakan, penculikan, perzinahan, pembunuhan, dan sebagainya. Hukum diciptakan untuk melindungi kepentingan manusia dan mengatur cara manusia memenuhi kepentingannya itu. Dengan demikian, manusia dapat hidup tentram. Komunitas yang tidak memiliki hukum dengan jelas, terancam menjadi kacau, sebab setiap orang akan berbuat semaunya (bersikap anarkhis). Hukum juga berperan untuk mengikat dan memaksa seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Orang yang melanggar hukum perlu diberikan sanksi atau hukuman, agar didorong untuk bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Hukum harus dibuat sesuai dengan kepentingan komunitasnya. Karenanya, hukum harus melayani komunitasnya, bukan sebaliknya. Hukum sebagai penguasa (Rule of Law) berarti setiap orang harus tunduk kepada hukum, tanpa kecuali, dan dalam segala keadaan.
80
B. Pandangan Iman Kristen mengenai Hukum Orang Kristen sependapat bahwa Tuhan adalah pusat dan sumber dari segala yang baik (Markus 10: 18). Tuhan adalah hakim terakhir yang memutuskan apa yang benar dan apa yang salah. Karena itu, salah satu tanggung jawab manusia adalah melakukan apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Pada pengambilan keputusan tentang apa yang harus dilakukan, orang Kristen mencari kehendak Tuhan, walaupun kita tidak selalu setuju tentang apa yang dikehendaki Tuhan (Roma 12: 2). Kehendak Tuhan dinyatakan dalam hukum-Nya, perintah-Nya, dan kaidah-Nya. Orang Kristen dimintakan untuk menaatinya melalui hidup yang tidak bertentangan dengan kehendak-Nya. Umat Kristen harus menjalankan apa yang tertulis di dalam hukum Tuhan, tidak dapat ditawar-tawar lagi karena ia bersifat konstan dan abadi. Orang Kristen merupakan nabi Tuhan yang ditugaskan memberitahukan hukum Tuhan dan Injil kepada segala makhluk. Selain itu, perlu menaati hukum yang berlaku dalam negara. Apabila ternyata melanggarnya, harus bersedia menjalani sanksi. Sehubungan dengan hukum Tuhan, perlu dikemukakan 3 (tiga) hal penting, yakni: Pertama, manusia berdosa dan dibaharui. Manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Tuhan. Namun, citra yang baik ini telah hilang akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa. Manusia tidak taat kepada Tuhan, tetapi juga tidak taat kepada kehendaknya sendiri. Akibatnya, manusia melanggar, mengabaikan dan menentang kehendak Tuhan. Hal ini membuat manusia membutuhkan hukum untuk membatasi kebebasannya, sebab kehendaknya tidak lagi sejajar dan searah dengan kehendak Tuhan. Namun, hal ini saja belumlah cukup. Manusia membutuhkan juga Juru Selamat untuk membebaskannya dari kuasa dosa, sekaligus dibaharui dan dipulihkan kembali. Kedua, hukum Taurat sebagai pedoman dan pengajaran. Tuhan memberi petunjuk kepada manusia tentang bagaimana melaksanakan kehendak-Nya dengan memberikan hukum Taurat. Hukum Taurat berperan sebagai penolong yang membimbing manusia, bukan sebagai pembatas yang mengurangi kebebasan manusia. Karenanya, orang Kristen membutuhkan hukum, aturan, pedoman atau kaidah dalam hidupnya. Hal ini bukan untuk membebaskan manusia dari dosa dan
81
kejahatan, melainkan sebagai pedoman yang membimbing melaksanakan kehendak Tuhan. Kristus
datang
untuk
menggenapi
hukum
Taurat,
bukan
untuk
meniadakannya (Matius 5: 17). Karena itu, pada hakikatnya, hukum Taurat bersifat tetap, tidak berubah, walaupun bentuk dan penjelmaannya di dalam sejarah harus selalu disesuaikan dengan situasi dan keadaan. Hukum Taurat adalah Undang-Undang Dasar Kerajaan Allah yang kekal. Jadi, segala hukum apa pun yang ada di muka bumi ini tidak boleh bertentangan dengannya. Bahkan, berperan sebagai pengejewantahan dari kehendak Tuhan yang ada di dalamnya. Ketiga, hukum Kasih. Yesus menyimpulkan bahwa hukum yang terutama adalah hukum Kasih: kasih kepada Tuhan dan sesama manusia (Matius 22: 3740). Kasih kepada Tuhan berarti mengasihi Tuhan secara total, dengan segenap keberadaan kita. Hal seperti ini hanya dapat dilakukan, bila kita membangun hubungan yang hidup dengan Tuhan. Hubungan yang berlangsung tidak hanya sekedar formalitas saja. Kasih kepada Tuhan terungkap dalam ketaatan melakukan perintah-perintah-Nya, dan hidup menurut segala yang ditunjukkan-Nya. Kasih kepada Tuhan juga merupakan wujud nyata dan pencerminan dari kasih kepada sesama. C. Fungsi Profetis Umat Kristen Terhadap Hukum Yesus mengajar kita untuk berdoa: “Datanglah Kerajaan-Mu”. Yesus, melalui doa ini, mengajak kita bekerja dan mengusahakan agar Kerajaan Allah semakin nyata di bumi ini. Hal ini secara hukum dimaksudkan bahwa manusia turut bertanggung jawab untuk menciptakan produk hukum-hukum yang adil dan benar di bumi Indonesia, baik dalam proses pembentukannya, penetapan maupun penerapannya. Tuhan memanggil umat-Nya agar turut bekerja mengusahakan kesejahteraan kota, dimana mereka ditempatkan Tuhan (Yeremia 29: 4-7). Salah satu caranya adalah berpartisipasi dalam mewujudkan hukum-hukum yang adil dan benar sesuai kehendak Tuhan, jangan diam dan berhenti berinisiatif menyuarakan Firman Tuhan, agar kejahatan dalam masyarakat dapat diberantas. Orang percaya yang berhenti menyuarakan kebenaran dan keadilan, yang kehilangan gairah
82
untuk memprakarsai terciptanya damai sejahtera di dunia pada zamannya, melalaikan panggilannya.
LATIHAN 1. Berikanlah pendapatmu tentang pengertian hukum. 2. Bagaimanakah pandangan iman kristen terhadap penyalahgunaan hukum dalam berbagai aspek kehidupan yang terjadi di Indonesia? Kemukakanlah pendapatmu! 3. Jelaskan fungsi profetis umat Kristen terhadap hukum!
83
BAB IX PERSPEKTIF KRISTIANI MENGENAI PLURALISME
Pluralisme (bahasa Inggris: pluralism), terdiri dari dua kata plural (=beragam) dan isme (= paham) yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham, Untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu. Pluralisme Agama (Religious Pluralism) adalah istilah khusus
dalam kajian
agama agama. Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan,
misalnya
disamakan
dengan
makna
istilah
‘toleransi’,
‘saling menghormati’(mutual respect), dan sebagainya. Sebagai satu paham (isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-agama yang ada, istilah ‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan dalam studi agama agama (religious studies). Dalam tradisi Kristen, dikenal ada tiga cara pendekatan atau cara pandang teologis terhadap agama lain.
eksklusivisme, yang memandang hanya orang-orang yang mendengar dan menerima Alkitab yang akan diselamatkan. Di luar itu, ia tidak selamat.
inklusivisme, yang berpandangan meskipun Kristen merupakan agama yang benar, tetapi keselamatan juga mungkin terdapat pada agama lain.
pluralisme, yang memandang semua agama adalah jalan yang sama - sama sah menuju inti dari realitas agama. Dalam pandangan Pluralisme Agama, tidak ada agama yang dipandang lebih superior dari agama lainnya. Semuanya dianggap sebagai jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan.
84
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula:
Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidaktidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang samasama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama.
Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi dalam satu agama.
Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun denominasi yang berbeda-beda. Tidak dapat dipungkiri ke-Kristenan bukan hanya satu-satunya agama di
dunia ini. Ke-Kristenan juga bukan merupakan agama tertua. Jauh sebelum ada agama Kristen, Budha telah ada, Yahudi telah ada, bahkan Hindu dan Taoisme juga telah ada. Meskipun demikian, agama Kristen telah disejajarkan bersama dengan agama besar lainnya. Setiap agama adalah UNIK dalam pandangan tiap umatnya. Setiap agama adalah SPESIAL dalam penghayatan tiap umatnya. Karena itulah, isu agama merupakan isu yang rentan terhadap pergolakan sosial maupun dalam kehidupan berbangsa. Menghina maupun merendahkan agama yang berbeda merupakan suatu sikap yang rendah dan sekaligus kesombongan yang berlebihan.
85
Agama adalah sistem kepercayaan yang diwujudkan melalui tata ibadah dan aturan perilaku yang berhubungan dengan Tuhan maupun sesama. Banyak definisi tentang agama. Dalam agama, terkandung nilai-nilai transcendent dan immanent. Nilai ini terwujud dalam penghayatan iman dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Religi adalah nama bentuk lain dari agama. Setiap religi memiliki sistem tersendiri. Setiap religi mempunyai penghayatan iman tersendiri. Penghayatan iman ini sangat penting dan merupakan dasar seseorang memilih masuk ke dalam religi tersebut. Ke-Kristenan adalah sistem keagaamaan. Karena itu, sistem itu sama seperti sistem keagamaan yang lain. Mulai dari metodologis standar yang digunakan sampai kepada perumusan pernyataan teologis, hampir semua agama memakai kerangka logika yang sama. Ke-Kristenan mengklaim kitab sucinya sebagai standar tertinggi, demikian juga agama yang lain terhadap kitab sucinya. Memaksakan bahwa agama lain HARUS menerima Alkitab sebagai standar tertinggi adalah sama seperti memaksakan Al Quran sebagai standar tertinggi bagi orang Kristen. Karena itu, kita harus berhati-hati dalam merumuskan pernyataan teologis yang berkaitan dengan realitas agama lain. Tentu saja kehati-hatian ini tidak boleh sampai pada kesimpulan bahwa pada akhirnya semua agama adalah sama. Secara esensi pembentukan semua agama adalah sama, karena sama-sama lahir dari adanya penghayatan iman kepada realitas YANG DI ATAS maupun yang Holy. Pembentukan agama adalah reaksi semua manusia, baik yang dipilih maupun tidak. Karena itu, sikap arogansi yang memusuhi agama lain perlu kita waspadai dan hindarkan. DEFINISI PLURALISME AGAMA Pluralisme agama bisa dipahami dalam minimum tiga kategori. Pertama, kategori sosial. Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti ”semua agama berhak untuk ada dan hidup”. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan bahkan menghormati iman atau kepercayaan dari penganut agama lainnya. Kedua, kategori etika atau moral. Dalam hal ini pluralisme agama berarti bahwa ”semua pandangan moral dari masing-masing agama bersifat relatif dan sah”. Jika kita
86
menganut pluralisme agama dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak menghakimi penganut agama lain yang memiliki pandangan moral berbeda, misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman gantung, eutanasia, dll. Ketiga, kategori teologi-filosofi. Secara sederhana berarti ”agama-agama pada hakikatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan”. Mungkin kalimat yang lebih umum adalah ”banyak jalan menuju Roma”. Semua agama menuju pada Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda.
FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PLURALISME AGAMA Fundamentalisme agama disertai dengan manifestasinya yang salah adalah racun berbahaya yang sedang berkembang luas. Walaupun demikian, saat ini pluralisme agama sebagai ”lawannya” juga menjelma menjadi virus yang cepat menular. Pluralisme agama kenyataannya makin populer di kalangan orang-orang yang beragama maupun tidak beragama, berpendidikan tinggi maupun rendah, teolog maupun kaum awam. Ada banyak faktor yang mendorong orang untuk mengadopsi pluralisme agama. Beberapa faktor yang signifikan adalah: 1. Iklim demokrasi Dalam iklim demokrasi, kata toleransi memegang peranan penting. Sejak kecil di negara ini kita diajar untuk saling menghormati kemajemukan suku, bahasa dan agama. Berbeda-beda tetapi satu jua. Begitulah motto yang mendorong banyak orang untuk berpikir bahwa semua perbedaan yang ada pada dasarnya bersifat tidak hakiki. Beranjak dari sini, kemudian toleransi terhadap keberadaan penganut agama lain dan agama-agama lain mulai berkembang menjadi penyamarataan semua agama. Bukankah semua agama mengajarkan kebaikan? Jadi, tidak masalah Anda menganut yang mana!
2. Pragmatisme Dalam konteks Indonesia maupun dunia yang penuh dengan konflik horisontal antar pemeluk agama, keharmonisan merupakan tema yang digemakan dimana-mana. Aksi-aksi ”fanatik” dari pemeluk agama yang bersifat destruktif dan tidak berguna bagi nilai-nilai kemanusiaan membuat banyak orang menjadi muak. Dalam konteks ini, pragmatisme bertumbuh subur. Banyak orang mulai
87
tertarik pada ide bahwa menganut pluralisme agama (menjadi pluralis) akan lebih baik daripada seorang penganut agama tertentu yang ”fanatik”. Akhirnya, orangorang ini terdorong untuk meyakini bahwa keharmonisan dan kerukunan lebih mungkin dicapai dengan mempercayai pluralisme agama daripada percaya bahwa hanya agama tertentu yang benar. Yang terakhir ini tentu berbahaya bagi keharmonisan masyarakat. Begitulah pola pikir kaum pragmatis.
3. Relativisme Kebenaran itu relatif, tergantung siapa yang melihatnya. Ini adalah pandangan yang populer, sehingga seorang tukang sapu pun memahaminya. Dalam era postmodern ini penganut relativisme percaya bahwa agama-agama yang ada juga bersifat relatif. Masing-masing agama benar menurut penganut dan komunitasnya. Kita tidak berhak menghakimi iman orang lain. Akhirnya, kita selayaknya berkata ”agamamu benar menurutmu, agamaku benar menurutku. Kita sama-sama benar”. Relativisme agama seolah-olah ingin membawa prinsip winwin solution ke dalam area kebenaran.
4. Perenialisme Mengutip Komarudin Hidayat, filsafat perennial adalah kepercayaan bahwa Kebenaran Mutlak (The Truth) hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari Yang Satu ini memancar berbagai “kebenaran” (truths). Sederhananya, Allah itu satu, tetapi masing-masing agama meresponinya dan membahasakannya secara berbeda-beda, maka muncullah banyak agama. Hakekat dari semua agama adalah sama, hanya tampilan luarnya yang berbeda.
SEBUAH MODEL: PLURALISME AGAMA VERSI JOHN HICK Untuk mengetahui lebih jelas tentang pluralisme agama, kita akan melihat pandangan John Hick sebagai tokoh pluralis yang tulisannya sering dikutip baik oleh orang Kristen maupun pemeluk agama lain. Berikut ini adalah rangkuman pandangan John Hick: •
Semua agama adalah respon terhadap keberadaan tertinggi yg bersifat transenden (Allah-yang disebut The Real).
88
•
“The Real” itu melampaui konsep manusia sehingga semua agama tidak sempurna dalam relasinya terhadap “The Real” tersebut.
•
Oleh karena itu, tentang agama-agama John Hick berkata, “agama-agama tidak mungkin semuanya benar secara penuh; mungkin tidak ada yang benar secara penuh; mungkin semua adalah benar secara sebagian.”
•
John Hick membedakan “The Real” sebagai realitas ultimat dan “The Real” yang ditangkap dan dipersepsikan oleh agama-agama sebagai Personae (berpribadi): Allah, Yahweh, Krisna, Syiwa atau Impersonae (tidak berpribadi): Tao, Nirguna Brahman, Nirwana, Dharmakaya
•
Dalam konsep Hick, Personae dan Impersonae adalah penafsiran terhadap The Real. The Real itu tidak dapat disebut personal atau impersonal, memiliki tujuan atau tidak memiliki tujuan, baik atau jahat, substansi atau proses, bahkan satu atau banyak. The Real itu melampaui semua kategori manusiawi seperti itu.
•
Keselamatan adalah proses perubahan manusia dari berpusat pada diri sendiri (self-centered) menjadi berpusat pada Realitas tertinggi (Realcentered).
•
Kriteria untuk mengetahui apakah seseorang sudah diselamatkan atau tidak adalah kehidupan moral dan spiritualnya yang mencerminkan kekudusan. Diantara kualitas-kualitas itu adalah: belas kasihan, kasih kepada semua manusia, kemurnian, kemurahan hati, kedamaian batin dan ketenangan, sukacita yang memancar.
PLURALISME AGAMA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS Pluralisme agama memang ”simpatik” karena ingin membangun teologi yang terdengar amat toleran, ”semua agama sama-sama benar. Semua agama menyelamatkan”. Walaupun demikian teologi pluralisme agama pada dasarnya menyangkal iman Kristen sejati yang kembali pada Alkitab. Kita akan memberikan beberapa kritik terhadap pluralisme agama ini.
89
1. Pluralisme agama merupakan pendangkalan iman Orang yang percaya pada teologi pluralisme agama biasanya tidak benarbenar mendasarkan pandangannya atas dasar kitab suci agama yang dianutnya atau tidak benar-benar berteologi berdasarkan sumber utama (kitab suci). Jika kita benar-benar jujur membaca kitab suci agama-agama, maka kita menemukan klaim-klaim eksklusif yang memang tidak bersifat saling melengkapi tetapi saling bertentangan. Sebagai contoh: Buddhisme tidak percaya pada kehidupan kekal (surga) sebagai tempat bersama Allah. Buddhisme percaya pada Nirwana dan Reinkarnasi. Nirwana adalah Keadaan Damai yang membahagiakan, yang merupakan kepadaman segala perpaduan yang bersyarat (Dhammapada bab XXV). Bagi Budhisme, tidak ada neraka dalam definisi ”tempat dan kondisi dimana Allah menghukum manusia”. Yang ada adalah reinkarnasi bagi mereka yang belum mampu memadamkan keinginan-keinginan duniawinya. Hal ini tentu bertentangan dengan konsep Kristen yang percaya surga dan neraka. Bahkan jika kita berkata bahwa Islam juga mempercayai surga dan neraka, tetap terdapat perbedaan konsep (Lih.Q.S.6:128; 78:31-34). Disini kita melihat bahwa pluralisme adalah konsep yang mereduksi keunikan pandangan agama masingmasing.
2. Pluralisme agama memiliki dasar yang lemah Pragmatisme yang mendasari pluralisme agama adalah sebuah cara berpikir yang
tidak tepat. Demi keharmonisan maka menganggap semua agama benar
adalah mentalitas orang yang dangkal dan penakut. Selanjutnya, relativisme kebenaran adalah sebuah pandangan yang salah. Penganut relativisme agama tampaknya sering tidak bisa membedakan antara relativisme dalam hal selera (enak/tidak enak, cantik/tidak cantik), opini (Unpatti akan semakin maju/mundur) dan sudut pandang (ekonomi, sosiologi) dengan kemutlakan kebenaran. Kebenaran itu mutlak, sedangkan selera, opini dan sudut pandang memang relatif.
90
3. Penganut pluralisme Agama seringkali tidak konsisten Penganut pluralisme agama sering menuduh golongan yang percaya bahwa hanya agamanyalah yang benar (sering disebut eksklusivisme atau partikularisme dalam
teologi Kristen) sebagai fanatik, fundamentalis dan
memutlakkan agamanya. Padahal dengan menuduh demikian, kaum pluralis telah menyangkali pandangannya sendiri bahwa tiap orang boleh meyakini agamanya masing-masing secara bebas. Jika seorang pluralis anti terhadap kaum eksklusivis maka ia bukanlah pluralis yang konsisten. Dalam realita, kita menemukan banyak pluralis yang seperti itu dan memutlakkan pandangan bahwa ”semua agama benar”. Kaum pluralis seringkali terjebak dalam eksklusivisme baru yang mereka buat yaitu hanya mau menghargai kaum pluralis lainnya dan kurang menghargai kaum eksklusivis.
4. Pluralisme agama menghasilkan toleransi yang semu Jika kita membangun toleransi atas dasar kepercayaan bahwa semua agama sama-sama benar, hal itu adalah toleransi yang semu. Toleransi yang sejati justru muncul sebagaimana dikatakan Frans Magnis Suseno, ”meskipun saya tidak meyakini iman-kepercayaan Anda, meskipun iman Anda bukan kebenaran bagi saya, saya sepenuhnya menerima keberadaan Anda. Saya gembira bahwa Anda ada, saya bersedia belajar dari Anda, saya bersedia bekerja sama dengan Anda.”
5. Kritik terhadap pluralisme agama John Hick Jika ”The Real” atau Allah-nya Hick memang melampaui konsep yang baik atau yang jahat, mengapa Hick justru menggunakan kriteria ”kekudusan” untuk mengetahui seseorang itu sudah diselamatkan atau tidak diselamatkan? Ini adalah sebuah kriteria yang bisa kita pertanyakan keabsahannya. Selanjutnya, bagi Hick,
keselamatan
adalah
transformasi
moral
akibat
perubahan
pusat
kehidupannya dari diri sendiri kepada ”The Real” (Allah, Brahman, Tao). Hal ini mencerminkan teologi yang tidak berdasarkan Alkitab, walaupun Hick sendiri mengaku Kristen. Teologi alkitabiah menunjukkan bahwa keselamatan bukan hasil perilaku etika atau moralitas tertentu tetapi kebenaran Allah di dalam karya penebusan Yesus Kristus di kayu salib yang kita terima secara cuma-cuma melalui
91
iman (Roma 3:28-30; 10: 9-10; Mat. 26:28). Keselamatan dalam konsep Kristen juga berbeda dengan keselamatan dalam Islam karena Al Qur’an menyatakan bahwa keselamatan adalah hasil sinergi antara iman dan amal manusia (Q.S.Al Baqarah 25). E. Perspektif Kristiani mengenai Kerukunan Perjalanan bangsa Israel di padang gurun merupakan suatu momen pembelajaran tentang solidaritas dan toleransi dalam kehidupan bersama. Israel, pada perjalanan itu, dipersiapkan oleh Allah untuk menjadi suatu bangsa yang kuat, bersatu dan berdaulat. Secara psikologis, sosiologis dan keagamaan, perjalanan di padang gurun telah mempererat ikatan suku-suku dalam satu bentuk solidaritas dan kerukunan antar masyarakat. Puncak solidaritas dan kerukunan yang dimaksud, terwujud ketika bangsa Israel tiba di tanah Kanaan, tempat yang dijanjikan Tuhan. Kerukunan juga dibicarakan dalam Mazmur 133 mengenai persaudaraan yang rukun. Seiring dengan itu, Yesus juga mengemukakan prinsip dasar hidup yang bersifat universal mengenai kasih kepada sesama dengan melewati batas-batas suku, bangsa, ras, kelas sosial dan agama. Perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati merupakan bukti sikap Yesus yang tidak memandang perbedaan suku, ras dan agama sebagai kendala untuk menyampaikan cinta kasih dan damai sejahtera. Melalui perumpamaan ini, Yesus memperlihatkan suatu pola keteladanan yang perlu menjiwai hidup dan pelayanan para pengikut-Nya.
LATIHAN 1. Jelaskanlah pengertian kerukunan hidup. 2. Kemukakanlah makna kerukunan hidup antar umat beragama. 3. Kemukakanlah nilai-nilai kehidupan yang perlu dikembangkan dalam membangun kerukunan hidup antar umat beragama. 4. Identifikasikanlah kendala dan peluang menciptakan kerukunan hidup antar umat beragama. 5. Jelaskanlah perspektif teologis mengenai kerukunan.
92
DAFTAR PUSTAKA
Abineno J.L., Apa Kata Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985. Arirajah Wesley, Alkitab dan Orang-orang yang Berkepercayaan Lain, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000. Boland van Niftrik, Dogmatika Masa Kini, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990 Hadiwijono Harus, Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991 Paul Johnson Doyle, Teori Sosiologi Klasik Modern, Jakarta: Gramedia, 1980 Proul R. C., Sifat Allah; Mencari dan menemukan Allah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980 Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004. Soedarma, Ikhtiar Dogmatika, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985 Verkuyl J., Aku Percaya, Jakarta: BPK Gunung Mulia 1981 Kristologi dan Allah TRITUNGGAL, Kanisius Yogyakarta 2003 Darmaputra Eka, Etika Sederhana Untuk Semua, Jakarta: BPK Gunung Mulia,1989. Kohlberg Lawrence, Tahap-tahap Perkembangan Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2002. Shelton Charles M., Moralitas Kaum Muda; bagaimana menanamkan tanggung jawab Kristiani, Yogyakarta: Kanisius, 1988 Suseno Von Magnis F, Etika Umum, Yogyakarta: Kanisius, 1975 White J., Kejujuran, Moral dan Hati Nurani, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987 Abineno J.L. Ch., Sekitar Etika dan Soal-soal Etis, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996 Budiardjo Mariam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003 Dwiwandono J. Soedjati, Gereja dan Politik dari Orde Baru ke Reformasi, Yogyakarta: Kanisius, 1999 Duverger Maurince, Sosiologi Politik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003 Gani Ismael, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987
93
Kantaprawira Rusandi, Sistem Politik Indonesia, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2002 Maran Rafael Rga, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Rineke Cipta, 2001 magnis Frans, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 2001 Berger Peter L., Langit Suci Agama Sebagai Realitas Sosial, Jakarta 1991 Pokok-pokok Pengakuan Iman GPM, BPH Sinode GPM, Ambon 2006 Brownlee M., Tugas Manusia dalam dunia milik Tuhan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000. Cooley Fr., Mimbar dan Tahta, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988 Haviland William A., Antropologi Jilid I, Jakarta: Air langga, 2000 Hikam Muhammad AS., Demokrasi dan Civil Society, Jakarta 1996 Kariyanto, Konsep Agama Sipil Menurut Jean Jacques Rousseau dalam Perkembangan Konsep Masyarakat Sipil, Tesis, Program Pasca Sarjana UKSW, Salatiga 2006 Philipus NG dan Aini Nurul, Sosiologi dan Politik, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 Smith Donald E, Agama dan Modernisasi Politik, Jakarta: CV Rajawali, 1970 Surbakti Ramlan, Memahami Ilmu Politik, 1992 Untington Samuel P, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta: Rineke Cipta, 1999 Ariarajah W., Injil dan Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998 Hadiwijono H., Religi Suku Murba, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Rineke Cipta, 1990 Supartono M.M., Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: Gratia Indonesia, 2001 Abdullah Toufik, Agama Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta 1988. Douna J., Kelakuan yang bertanggung jawab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993 Jongeneel J.A.B., Misteri Kepercayaan dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983 Mulder D.C., Iman dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983 Supardan, Ilmu Teknologi dan Etika, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991
94
Van Melsen A.G.M., Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab kita, Gramedia, 1985 G. C van Niftrik dan B. J. Boland, Dogmatika Masa Kini, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990 Darmaputrera Eka, Etika Sederhana untuk Semua, BPK Jakarta: Gunung Mulia, 1989. Abineno J.L. Ch., Apa Kata Alkitab I,II, III, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981
95