2017 Lab Fisika-Mekatronika Politeknik STTT Bandung Dr. Valentinus Galih V.P.,M.Sc.
[PENERAPAN KALKULUS TENSOR PADA KASUS PEMINTALAN BENANG] Pada buku ini dibahas penerapan kalkulus tensor pada kasus pemintalan benang terutama benang yang diproduksi menggunakan mesin rotor OE. Hasil analisa dan pemodelan kemudian disimulasikan i menggunakan komputasi dengan piranti software MATLAB
PENERAPAN KALKULUS TENSOR PADA KASUS PEMINTALAN BENANG Penulis: Dr. Valentinus Galih Vidia Putra, S.Si., M.Sc. Editor: Budi Soewondo, M.Sc.
ii
PENERAPAN KALKULUS TENSOR PADA KASUS PEMINTALAN BENANG Penulis
:
Dr. Valentinus Galih V.P.M.Sc
ISBN Editor
:978-602-72713-7-1 :
Budi Soewondo, M.Sc.
Penyunting
:
Andi Risnawan, S.T
Desain Sampul dan : Tata Letak Agustinus Budi, S.S
Penerbit
:
CV. Mulia Jaya Publisher
Redaksi
:
Jalan Anggajaya II No. 291-A, Condong Catur Kabupaten Sleman, Yogyakarta Telp: 0812-4994-0973 Email:
[email protected] Cetakan Pertama September 2017 Hak Cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara Apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit dan penulis
iii
KATA PENGANTAR Dengan mempersembahkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan buku yang berjudul โPenerapan Kalkulus Tensor pada Kasus Pemintalan Benangโ. Buku ini ditulis untuk memberikan suatu pengantar tentang teori kalkulus tensor dan juga terapannya pada dosen atau mahasiswa yang tertarik mempelajari pemodelan mekanis benang. Penulis menyadari bahwa Buku ini dapat diselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ucapan terima kasih kepada semua pihak yang secara langsung dan tidak langsung memberikan kontribusi dalam penyelesaian Buku ini. Pada kesempatan ini penulis juga menghaturkan terima kasih kepada: 1. Direktur Politeknik STTT Bandung. 2. Para dosen dan pegawai di lingkungan Fakultas MIPA UGM dan Politeknik STTT, Bandung. Buku ini tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan yang penulis tidak sadari. Untuk itu, saran dan masukan untuk perbaikan yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya kecil ini dapat berguna bagi kita semua. Yogyakarta, 3 April 2017 Penulis
iv
DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Bab.1 Bab.2 Bab.3 Bab.4
BENANG OE PADA MESIN ROTOR VEKTOR DAN TENSOR PERGERAKAN BENANG PADA ROTOR SIMULASI KOMPUTASI DENGAN MATLAB
Lampiran-1 Lampiran-2 Biografi
v
๐v ๐ฃ Hal.1 Hal.8 Hal. 36 Hal. 52 Hal. 56 Hal. 72 Hal. 82
BAB I BENANG OE PADA MESIN ROTOR Abstrak Pada bab ini dibahas latar belakang penelitian dan hal-hal mengenai benang OE dengan mesin rotor serta ringkasan kajian beberapa peneliti mengenai pemodelan benang serta kajian eksperimen. Pada bab ini diulas tujuan pemodelan pergerakan benang serta hasil yang didapatkan berkaitan dengan pengaplikasian konsep kalkulus tensor dan vektor.
1.1. Latar Belakang Penelitian Penerapan kalkulus tensor pada saat ini berkembang sangat pesat di bidang sains dan teknik. Penjelasan matematika kalkulus seperti diferensial dan integral pada ruang datar atau euclidean sudah tidak mampu lagi untuk menjelaskan berbagai bentuk pemodelan suatu materi yang bergerak dalam sistem koordinat lengkung baik di ranah makroskopik ataupun mikroskopik. Perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk dalam bidang industri, di setiap negara sangat diperlukan, karena dapat menunjang perekonomian dan kesejahteraan masyarakat pada suatu negara, salah satunya adalah industri tekstil. Dalam industri tekstil pemintalan adalah suatu tahap awal dalam pembentukan benang dari kumpulan serat. Mesin spinning atau mesin pintal adalah salah satu mesin yang digunakan dalam proses pembuatan benang. Perkembangan mesin spinning telah dimulai pada masa pra sejarah, sebagai contoh adalah kain mumi mesir kuno. Seiring berjalannya waktu serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengoperasian mesin pintal manual diotamatiskan secara bertahap. (Rohlena, 1975). Mesin pintal jenis OE (Gambar-1) adalah mesin yang sampai saat ini banyak digunakan di industri tekstil, khususnya di Indonesia. 1
Mesin pintal open end spinning memiliki tiga buah proses mekanis, yaitu: (1) proses pemasukan serat (fiber); (2) proses transport dan (3) proses twisting hingga winding. Kajian mekanis untuk memperoleh kualitas benang yang baik secara teoritik dan eksperimen pada mesin pintal open end spinning belum dilakukan secara detail di bagian proses pembentukan benang. Kajian gerakan mekanis pada setiap proses mesin umumnya dapat digunakan dengan metode kalkulus tensor secara khusus dengan menggunakan persamaan geodesik.
Gambar-1 Mesin Rotor Spinning (Lawrence, 2003) Salah satu bagian yang vital dalam industri tekstil adalah pemintalan benang dari serat. Penelitian mendalam baik praktis (eksperimental) maupun teoritis menjadi aspek yang sangat penting dan menarik. Penelitian eksperimental pada proses pemintalan benang yang meliputi banyak faktor ( parameter) seperti kekuatan benang, tenacity, jumlah bulu (hairiness) dan juga bentuk benang sudah banyak dilakukan, namun kajian teoritis yang mendalam dan simulasi belum ditemukan dalam berbagai buku dan jurnal tekstil khsusnya struktur benang open end spinning. Pemodelan Bab.1 Benang OE pada Mesin Rotor
Hal. 2
pergerakan serat untuk menganalisa struktur internal mekanik benang terhadap parameter-parameter mesin tidak banyak dilakukan oleh peneliti. Rohlena (1975) menyatakan bahwa penelitian teori yang mendalam serta pemodelan matematis untuk menjelaskan sistem pemintalan sangat diperlukan dan merupakan suatu penelitian kajian yang penting dalam tekstil. Beberapa peneliti yang berkecimpung dalam pemodelan tersebut adalah Backer, Hearle dan Grosberg (1969), Hearle, dkk. (1965), Rohlena (1975), Lawrence (2003), Lawrence (2010),Putra (2014), Putra dan Iskandar (2014), Putra dkk. (2015 dan 2016) dan Zeidman (2003) . Beberapa pemodelan geometri twist pada benang umumnya menggunakan koordinat silinder dan dengan menganggap bahwa setiap serat mengikuti bentuk pergerakan geodesik silinder. Backer, Hearle dan Grosberg (1969) merumuskan hubungan twist terhadap nomor benang dalam tex menggunakan analisa dimensi dan menggunakan model geometri silinder. Hasil pemodelan Backer, Hearle dan Grosberg (1969) memperlihatkan bahwa besar sudut twist optimal adalah sebagai fungsi nomor benang dalam tex. Bentuk pemodelan Hearle, dkk (1965) memiliki banyak kekurangan, yaitu bentuk pemodelan hubungan twist terhadap nomor benang (tex) didapatkan dengan menggunakan analisa dimensi dan pemodelan geometri menggunakan bentuk koordinat silinder (keadaan ideal) yang dirasakan kurang mewakili bentuk pergerakan serat pada benang khususnya pada benang OE serta hasil pemodelan struktur benang tidak dapat menghubungkan parameter-parameter mesin terhadap besar sudut twist ditinjau dari pergerakan benang. Hal yang sama dilakukan Rohlena (1975) dalam menjelaskan hubungan twist terhadap nomor benang (tex). Rohlena (1975) merumuskan hubungan twist terhadap nomor benang (tex) tersebut melalui studi empiris dan analisa dimensi. Rohlena (1975) dan Lawrence (2003,2010) memodelkan pergerakan benang dalam mesin rotor OE dengan menganggap bahwa benang seperti sebuah materi titik yang bergerak dalam suatu rotor yang bergerak dengan Bab.1 Benang OE pada Mesin Rotor
Hal. 3
kecepatan putar tertentu dan tidak menjelaskan pengaruh pergerakan benang dalam rotor terhadap bentuk struktur geometri benang serta tidak menjelaskan besar sudut optimal twist. Rohlena (1975) mengatakan bahwa kajian ilmiah distribusi serat pada benang umumnya digunakan pendekatan yaitu serat terdistribusi secara seragam dan terdistribusi dalam bentuk silinder. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui struktur internal pada benang sebagai contoh konfigurasi serat tunggal sepanjang benang. Struktur internal pemintalan pada sebuah serat tunggal bergantung pada rasio panjang benang terhadap panjang serat. Rohlena (1975) secara kajian empiris menyatakan bahwa pada benang OE, besar rasio panjang benang terhadap panjang serat Kf adalah sebesar 0,65, sedangkan struktur internal pemintalan yang baik memiliki rasio sebesar Kf = 0,95. Lawrence (2003) menyatakan bahwa besar rasio panjang benang terhadap panjang serat Kf adalah sebesar 0,63. Trommer (1995) menyatakan bahwa terdapat batasan dalam pembuatan benang pada mesin OE, yaitu seperti rasio diameter rotor terhadap panjang serat benang tunggal adalah sebesar 0,7 dan besar rasio tenacity benang terhadap tenacity serat sebesar 50%. Zeidman (2003) menjelaskan pergerakan serat dalam benang menggunakan pemodelan geometri dalam koordinat silinder dengan besar twist didefinisikan sebagai rasio kecepatan putar benang terhadap kecepatan translasi benang ( vd ) dan besar migrasi serat didefinisikan sebagai rasio panjang jejari benang terhadap panjang benang. Pada pemodelan Zeidman (2003) tidak dijelaskan hubungan antara nomor benang terhadap besar twist serta besar sudut twist untuk pemodelan benang OE serta bentuk pergerakan serat menggunakan koordinat silinder. Penelitian Zeidman (2003) hanya menjelaskan pergerakan serat tanpa adanya pengaruh deformasi benang pada struktur benang dalam koordinat silinder. Penelitian secara teoritik dan mendalam untuk dapat menjelaskan aspek-aspek mekanis pembentukan benang serta studi analisa struktur benang dan pengaruh deformasi hingga saat ini Bab.1 Benang OE pada Mesin Rotor
Hal. 4
masih sangat sedikit dilakukan terutama pada benang OE. Dalam keadaan yang seperti tersebut di atas, dirasa sangat perlu dilakukan penelitian secara terintegrasi, baik secara teoritik maupun secara eksperimen pada proses pemintalan dengan menggunakan pemodelan geometri untuk mendapatkan persamaan struktur benang yang sesuai dengan pergerakan serat yang diproduksi dengan mesin OE. Trommer (1995) menyatakan bahwa pada proses pemintalan terdapat suatu tenacity take-off yang digunakan untuk menentukan besar kecepatan rotor serta diameter rotor terhadap pengaruhnya terhadap tenacity take-off benang. Hasil penelitian Trommer (1995) menyatakan bahwa hubungan antara tenacity dan kecepatan rotor serta diameter rotor adalah berbanding lurus. 1.2. Rumusan Masalah Pada beberapa penelitian pemodelan pergerakan benang umumnya dapat dirumuskan sebagai berikut 1 Apakah teori kalkulus tensor dapat diterapkan dalam pemodelan mekanis benang pada kasus pemintalan? 2. Bagaimanakah hubungan antara tenacity take-off benang terhadap kecepatan putar rotor? 3. Bagaimanakah persamaan gerak benang pada rotor saat terjadi tarikan take-off dengan menggunakan simulasi? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian teori pada pemodelan benang dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Dapat menerapkan teori kalkulus tensor dalam pemodelan mekanis benang pada kasus pemintalan. 2. Dapat menunjukkan secara teori hubungan antara tenacity benang terhadap kecepatan putar rotor.
Bab.1 Benang OE pada Mesin Rotor
Hal. 5
3. Dapat menunjukkan persamaan gerak benang pada rotor saat terjadi tarikan take-off Umumnya untuk membatasi masalah dan mempermudah perhitungan, maka permasalahan pada penelitian dibatasi untuk menentukan pergerakan mekanis serat-benang open end spinning pada rotor groove dengan menggunakan koordinat polar dengan asumsi benang disusun oleh sebuah serat seragam. Pemodelan dengan komputasi MATLAB digunakan untuk menentukan bentuk struktur dan mekanisme serat-benang dan kesesuaian dengan hasil eksperimen secara literatur di industri. Metode penelitian yang sering digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan studi literatur dan disertai perhitungan-perhitungan dengan menggunakan mekanika analitik dan komputasi MATLAB. Referensi Backer, Hearle & Grosberg, 1969, Structural Mechanics of Fibres, Yarns and Fabrics, Wiley-Interscience, New York. Hearle, J.W.S. dan Gupta, B.S.., 1965, Migration of Fibres in Yarns Part III: A Study of Migration of Staple Rayon Yarn, Textile Research Journal, No.9, Vol. 35 Hal 788-795. Hearle, J.W.S., Gupta, B.S., dan Megchant, V.B., 1965, Migration of Fibres in Yarns Part I: Characterization and Idealization of Migration Behaviour, Textile Research Journal, No.4, Vol. 35 Hal 329-334. Lawrence C.A, 2003, Fundamentals of Spun Yarn Technology, CRC Press, New York. Lawrence C.A, 2010, Advances in Yarn Spinning Technology , Woodhead Publishing, Cambridge.
Bab.1 Benang OE pada Mesin Rotor
Hal. 6
Putra, V.G.V, Rosyid, M.F & Maruto, G, 2016, A Simulation Model of Twist Influenced by Fibre Movement inside Yarn on Solenoid Coordinate, Global Journal of Pure and Applied Mathematics, No.1, Vol 12, Hal. 415-412. Putra, V.G.V & Rosyid, M.F. , 2015, Theoretical Modeling for Predicting the Optimum Twist Angle of Cotton Fiber Movement on OE Yarn Made by Rotor Spinning Machine, Journal of Applied Mathematics and Physics, Vol.3 Hal. 623-630. Putra V.G.V dan Iskandar, 2014, Studi Pengaruh Bentuk S-Twisted Dan Z-Twisted Terhadap Besar Twist Pada Mesin Pintal, TEXERE ( Journal of Textile Science and Technology), No.1,Vol. 12., Hal 60-65. Putra V.G.V, 2014, Pemodelan Untuk Menentukan Hubungan Actual Twist Tipe-Z Terhadap Kecepatan Sudut Pada Mesin Spinning (Rotor Dan Ring Spinning), TEXERE ( Journal of Textile Science and Technology), No.2, Vol. 12. Hal 20-26. Rohlena, V,1975, Open-End Spinning, Elseiver Scientific Publishing Company, New York. Trommer, G., 1995, Rotor Spinning, Deutscher fachverlag, Frankfurt. Zeidman, Shawney dan Herington, 2003 Fiber Migration Theory of Ring Spun Yarn, Indian Journal of Fibre and Textile Research, Vol 28., Hal. 123-133.
Bab.1 Benang OE pada Mesin Rotor
Hal. 7
BAB 2 VEKTOR DAN TENSOR Abstrak Pada bab ini dibahas piranti matematika yang mendukung penelitian, yaitu konsep vektor dan tensor dimulai dari ruang topologi hingga deferensial geometri pada koordinat lengkung dan ruang Riemannian.
2.1.Material dan Koordinat Piranti matematika untuk mendeskripsikan persamaan gerak suatu material padat yang mengalami perubahan bentuk biasanya berdasarkan suatu asumsi bahwa material padat tersebut terdistribusi dalam suatu ruang pada suatu waktu tertentu. Pada setiap waktu tertentu, setiap titik pada suatu daerah tersebut diisi oleh sebuah elemen kecil dari material padat yang disebut sebagai partikel padat. Berlainan dengan material rigid (kaku), pada material elastis, adanya gaya luar pada material tersebut akan mengakibatkan adanya deformasi. Pada bab ini akan dibahas bagaimana persamaan gerak dari suatu partikel dalam material yang terpengaruh deformasi dapat dijelaskan dan diukur. Diasumsikan bahwa masing-masing partikel menempati suatu posisi tertentu dalam ruang tiga dimensi pada suatu ruang Euclidean (ruang koordinat nyata datar)pada suatu waktu tertentu. Jika ruang โ๐ก adalah daerah ruang yang ditempati oleh setiap partikel dan disebut sebagai ruang konfigurasi pada benda pada waktu t. ruang konfigurasi โ๐ (ruang konfigurasi partikel sebelum terjadi perubahan bentuk atau ruang konfigurasi alami) dipilih sebagai ruang konfigurasi acuan, dan masing-masing partikel pada ruang konfigurasi ini dapat diidentifikasi atau diketahui melalui koordinatnya yaitu ๐ฅ ๐ โ โ๐ (yang merupakan koordinat partikel P pada ruang konfigurasi acuanโ๐ ). Setelah benda diberikan beban 8
(tegangan), maka terdapat suatu pergerakan partikel yang diiringi dengan sebuah perubahan bentuk ( deformasi). Partikel pada benda di ruang konfigurasi โ๐ secara kontinu berubah hingga pada suatu posisi tertentu pada waktu t di ruang konfigurasi โ๐ก dan diketahui melalui koordinat ๐ฅ ๐ก โ โ๐ก . Diasumsikan bahwa konfigurasi pada benda saat waktu t dapat dituliskan sebagai hubungan fungsional dengan bentuk ๐ฅ ๐ก = ๐ฅ ๐ก ๐ฅ ๐ , ๐ก = ๐น ๐ฅ ๐ , ๐ก . Levrino(2011) dan Mal, A.K.& Sarva (1991) menyatakan bahwa Syarat transformasi koordinat adalah terdapat suatu pemetaan ๐น: โ๐ โ ๐น โ0 dan terdapat invers ๐น โ1 โ ๐: โ๐ก โ ๐ โ๐ก sehingga ๐น ๐๐ , ๐ก = ๐ ๐๐ , ๐ก memenuhi syarat transformasi koordinat yaitu inversibel , bikontinu ( bijektif dan kontinu), differensiabel dan pemetaan C1 dengan kata lain besar Jacobian ๐
๐ญ ๐
=
๐๐๐ ๐๐๐
= ๐ฝ โ
0 untuk setiap anggota ๐ฅ ๐ โ โ๐ saat ๐ก > 0. Suatu pemetaan yang diffeomorphism akan membawa suatu titik, kurva, permukaan dan juga volume pada ruang konfigurasi โ๐ ke suatu ruang konfiguarsi lain โ๐ก dan sebaliknya. (seperti pada Gambar-1)
Gambar-1 Deformasi pada Suatu Material 2.2.Keragaman atau Manifold Hilgert (2010) menyatakan bahwa keragaman atau manifold adalah suatu ruang topologi yang menyerupai ruang Euclidean ( ruang koordinat nyata) di setiap titik yang berdekatan. Walaupun sebuah manifold atau keragaman menyerupai suatu ruang Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 9
Euclidean pada tiap titik yang berdekatan, tetapi secara global tidak sama. Jika terdapat suatu keragaman licin โ dengan n,m โ โ ( keragaman licin ) dan suatu peta F memetakan suatu titik di ๐ โ โ๐ sebagai sub himpunan terbuka ke ๐น ๐ฅ โ โ๐ , dengan๐น: ๐ โ โ๐ . Pemetaan F disebut sebagai pemetaan yang diferensiabel (licin) pada ๐ฅ โ ๐ jika terdapat pemetaan linear ๐ฟ โ ๐ป๐๐โก (โ๐ , โ๐ ) yang homomorphism (suatu pemetaan yang menjaga struktur yang dipilih diantara dua buah struktur aljabar) dari โ๐ ke โ๐ (seperti pada Gambar-2 )
Gambar-2 Pemetaan Linear Dengan suatunormatau besar ( magnitude) pada โ๐ sebagai berikut F ( x ๏ซ h) ๏ญ F ( x ) ๏ญ L( h) lim ๏ฝ0 h ๏ฎ0 h
lim
t ๏ฎ0
lim
t ๏ฎ0
F ( x ๏ซ th) ๏ญ F ( x ) ๏ญ L(th) ๏ฝ0 t
F ( x ๏ซ th) ๏ญ F ( x ) ๏ฝ lim L( h ) ๏ฝ L( h ) t ๏ฎ0 t
dF ( x )( h ) :๏ฝ L( h ) ๏ฝ lim
t ๏ฎ0
F ( x ๏ซ th) ๏ญ F ( x ) t
L(h) adalah derivatif arahF pada x di arah h, dengan h adalah vektor basis. Suatu fungsi F di atas dikatakan kontinu dan diferensiabel jika terdapat pemetaan ๐ถ 1 . Jika (๐1 , โฆ ๐๐ ) adalah vektor-vektor basis di โ๐ , maka dapat didefinisikan bahwa Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 10
๐๐น ๐ฅ ๐๐ โถ=
๐๐น (๐ฅ) ๐๐ฅ ๐
dan disebut sebagai derivatif parsial ๐น ke-i pada x.
jika ๐น differensiabel pada setiap ๐ฅ โ ๐, maka derivative parsial ๐น adalah suatu fungsi
๐๐น (๐ฅ) ๐๐ฅ ๐
: ๐ โ โ๐ yang disebut sebagai suatu fungsi
yang kontinu differensiabel atau pemetaan ๐ถ 1 untuk semua derivative parsialnya kontinu. Untuk ๐ โฅ 2, maka pemetaannya disebut pemetaan ๐ถ ๐ jika pemetaan ๐น adalah pemetaan ๐ถ 1 dan semua derivative parsialnya adalah pemetaan ๐ถ ๐โ1 . Fungsi ๐ญ licin atau pemetaan ๐ถ โ adalah suatu fungsi yang dapat dinotasikan sebagai ๐ถ ๐ ๐, โ๐ .Suatu ruang topologi โ๐ secara lokal Euclidean pada dimensi n untuk setiap titik ๐ฅ โ โ๐ , jika ๐ โ โ๐ dan ๐ โ โ๐ dan terdapat suatu pemetaan ๐น: ๐ โ โ๐ , maka terdapat pemetaan Ck jika ๐น: ๐ โ โ๐ , dan dapat disebut pemetaan Ck diffeomorphism jika terdapat pemetaan Ck dengan ๐น: ๐ โ ๐ dan terdapat pemetaan Ck๐: ๐ โ ๐ dengan ๐น๐๐ = ๐๐๐ dan ๐๐๐น = ๐๐๐ , dengan fungsi ๐น memiliki sifat bikontinu ( bijektif, kontinu), inversibel dan differensiabel, seperti pada Gambar-3a di bawah. Dapat disimpulkan bahwa jika terdapat suatu diffeomorphism pada suatu pemetaan, maka U dan V disebut Ck diffeomorphic. Jika pemetaan Ck memiliki k=0, maka pemetaannya bersifat homeomorphisatautopological isomorphism ( karena bikontinu, inversibel tapi tidak differensiabel). Syarat suatu ruang topologi dimensi n secara lokal adalah ruang Euclidean yaitu jika U dan V disebut C0 diffeomorphic atau homeomorphic
Gambar-3 a)Pemetaan Diffeomorphism b) Pemetaan halus Diffeomorphism
Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 11
Jika ๐, ๐ adalah dua buah keragaman dengan dimensi ๐, ๐ suatu peta ๐น: ๐ โ ๐ dikatakan licin pada ๐ โ ๐ jika terdapat pemetaan ๐, ๐ dan ๐, ๐ dengan ๐ โ ๐ โ ๐ dan ๐น(๐) โ ๐ โ ๐ serta ๐น(๐) โ ๐ sehingga terdapat suatu pemetaan transisi โ1 ๐๐๐น๐๐ : ๐(๐) โ ๐(๐) yang licin. Fungsi ๐น dikatakan licin jika licin untuk setiap titik ๐ โ ๐. Fungsi ๐น: ๐ โ ๐ dikatakan diffeomorphism jika licin, bijektif dan inversnya licin serta differensiabel, sehingga dapat didefinisikan bahwa suatu keragaman licin dimensi n adalah suatu keragaman topologi dimensi n bersamaan dengan struktur licin.( Gambar-3 b). Vektor singgung ๐ pada pโ ๐ terhadap kurva ๐: (โ๐, ๐) โ ๐ atau ๐: ๐ผ โ ๐ pada saat ๐ก = 0 dan ๐ 0 = ๐, pโ ๐adalah pemetaan terhadap suatu fungsi licin di M ke himpunan real, yaitu ๐ โฒ (0):๐ถ โ (๐)๐ โ โ = ๐ โฒ 0 : = ๐ถ โ (๐) โฆ โ dengan rumus ๐ ๐ = ๐โฒ 0 ๐ โ
๐(๐๐๐ ) ๐๐ก
๐ก=0
dengan ๐ โ ๐ถ โ (๐).
Suatu vektor
singgung ๐ pada ๐ โ ๐ adalah suatu vektor singgung pada ๐ก = 0 untuk beberapa kurva ๐ผ: (โ๐, ๐) โ ๐ dengan ๐ผ 0 = ๐, yaitu ๐ผ โฒ (0):๐ถ โ (๐)๐ โ โ dengan ๐ ๐ = ๐ผโฒ 0 ๐ โ ๐(๐๐๐ผ ) ๐๐ก
๐ก=0
.Suatu vektor singgung di pโ ๐ dikenal sebagai fungsional
linear jika memenuhi sifat Leibniz๐ ๐๐ = ๐๐ ๐ + ๐ ๐ ๐ Ruang singgung di pโ ๐ dinotasikan sebagai ๐๐ ๐ adalah himpunan semua vektor singgung di p. beberapa vektor singgung ๐ ๐๐ฅ ๐
๐ โฒ : = X โ ๐๐ ๐ dituliskan sebagai ๐ โ ๐๐ฅ ๐
๐๐ก
๐
= ๐ฃ ๐ ๐๐ฅ ๐
๐
= ๐ฃ ๐ ๐๐ dengan
๐๐ sebagai derivatif arah atau vektor basis. Untingan singgung ๐๐ adalah kumpulan dari ruang singgung ๐๐ ๐ yang diskret di ๐ โ ๐ dan dinotasikan sebagai๐๐ โ ๐โ๐ ๐๐ ๐. Menurut Waner (2005) Ruang singgung ๐๐ ๐ mirip dengan ruang Euclidean ( ruang koordinat nyata) dan hubungan antara pemetaan dari suatu ruang ke ruang yang lain adalah homeomorphism ( isomorphism secara topologi).
Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 12
Medan vektor dijelaskan oleh Hilgert (2012) yaitu sebagai berikut: setiap ruang singgung ๐๐ ๐ akan membawa suatu struktur unik suatu ruang vektor dimensi-n โ๐ dengan suatu pemetaan (๐, ๐) dengan pโ ๐ dan [๐พ] โ ๐๐ ๐ sehingga pemetaan ๐๐ (๐): ๐๐ ๐ โ โ๐ dengan ๐๐ ๐ โ [๐พ] โผ ๐๐๐พ โฒ (0) . struktur unik pada โ๐ dapat diperlihatkan adalah suatu relasi ekivalen dengan sifat ๐๐ (๐) adalah bijektif, kontinu dan inversibel (homeomorphism). Waner (2005) menjelaskan bahwa medan vektor V pada suatu keragaman licin ๐ adalah pemetaan licin dari suatu keragaman licin M ke suatu untingan singgung ๐๐, yaitu ๐: ๐ โ ๐๐ dengan ๐ โ ๐ โฆ ๐(๐) โก ๐๐ . Maka ๐ โ ๐ต(๐) dan ๐ต(๐) adalah sebuah ruang vektor โ ( kumpulan dari ruang singgung) atau medan vektor licin.Untuk ๐, ๐ โ ๐ต(๐),๐ โ ๐dan๐, ๐ โ โ, maka ๐๐ + ๐๐ ๐ = ๐๐ + ๐๐ ๐ = ๐๐๐ + ๐ต๐๐ . Untuk ๐, ๐ โ ๐ต(๐), maka kurung Lie ๐, ๐ = ๐๐ โ ๐๐, sehinggauntuk๐, ๐, ๐ โ ๐ต(๐)akan memenuhi identitas Jacobi jika [๐, ๐], ๐ + [๐, ๐], ๐ + [๐, ๐], ๐ = 0. Jika ๐ adalah suatu keragaman licin dan ๐ โ ๐ maka dapat didefinisikan bahwa ruang cotangent pada p adalah ๐๐ โ ๐ yang merupakan sebagai ruang jodoh ( dual space) dari ruang singgung๐๐ ๐ di p. maka pemetaan halus ๐: ๐๐ ๐ โ โ. Dengan โ โ ๐๐ โ ๐ โ (๐๐ ๐)โ Himpunan dari ๐๐ โ ๐ disebut sebagai vektor cotangent atau convektor singgung. Kumpulan dari ruang cotangent adalah untingan cotangent ๐ โ ๐ โ ๐โ๐ ๐๐ โ ๐. Medan vektor kontravarian (secara mudah dapat disebut medan vektor)
dan
dinotasikan
[c] :๏ฝ v n ๏ถ n ๏ T p M
sebagai
dengan ๐ : ๐๐ โ ๐ โ โ dan dituliskan sebagai ๐ โ Transformasi koordinat ๐ฃ ๐ =
๐๐ฅ ๐ ๐๐ก
๐ ๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐
= ๐๐ฅ ๐
๐๐ก
๐๐ ๐ ๐ ๐๐ก ๐๐ ๐
= ๐ฃ ๐ ๐๐ .
๐๐ฅ ๐
= ๐๐ฅ ๐ ๐ฃ ๐ merupakan
aturan transformasi kontravarian, sehingga vektor kontravarian ๐ฃ ๐ merupakan vektor singgung. Aturan transformasi kovarian ( vektor basis) dapat dituliskan sebagai berikut ๐๐ = Bab.2 Vektor dan Tensor
๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐
๐๐ , . Hal. 13
Menurut
Levrino ๐๐ฅ๐
๐ = ๐ฃ ๐ ๐๐ = ๐๐ฅ ๐ ๐ฃ ๐
๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐
(2011)
medan
๐๐ = ๐ฃ ๐ ๐๐
vektor
adalah
kontravarian
invariant
tidak
bergantung pada kerangka. Didefinisikan bahwa ruang cotangent pada p adalah ๐๐ โ ๐ yang merupakan ruang jodoh ( dual space) dari ruang singgung ๐๐ ๐ di p yang memiliki medan vektor kovarian n n adalah ๏ข :๏ฝ ๏ข n dx ๏ฝ ๏ถ n dx ๏ Tp * M .
Suatu medan vektor kontravarian didefinisikan sebagai pemetaan ( bersifat linear isomorfis dan bijektif/ pemetaan satusatu secara bersama) medan vektor kovarian ke suatu himpunan real ๐ : ๐๐ โ ๐ โ โ, dengan [c] :๏ฝ ๏ข ๏ก [c]( ๏ข ) ๏ฝ ๏ข ([ c]) ๏ Tp M (Waner, 2005). Suatu medan vektor kovarian didefinisikan sebagai pemetaan ( bersifat isomorfis dan bijektif) medan vektor kontravarian ke suatu himpunan real ๏ข : T p M ๏ฎ ๏ , dengan ๏ข :๏ฝ [c] ๏ฎ ๏ข ([ c]) ๏ Tp * M (Hilgert, 2010). Waner (2005) menyatakan bahwa Medan Tensor adalah suatu produk tensor dari banyak medan vektor. Suatu produk tensor dari ruang singggung๐ฃ๐ = ๐ฃ1 โฆ ๐ฃ๐ didefinisikan sebagai produk tensor dari ruang-ruang singgung yaitu๐ฃ1 โฆ ๐ฃ๐ . Medan tensor dapat didefinisikan sebagai ๐ โ ๐ฃ1
โฆ
๐ฃ๐ โผ โ . Jika v ๏ฝ Tp M , atau
v ๏ฝ Tp * M , maka suatu medan tensor T yang kontravarian didefinisikan
T : Tp * M ๏ด .... ๏ด Tp * M ๏ฎ ๏ dan disebut sebagai
medan tensor kontravarian berderajat k di p ๏ M dan dituliskan ( k,0).
Medan
tensor
T
kovarian
didefinisikan
sebagai
T : T p M ๏ด .... ๏ด T p M ๏ฎ ๏ dan disebut sebagai medan tensor kovarian berderajat k di p ๏ M dan dituliskan ( 0,l). Contoh medan tensor adalah tensor metric yang dapat dituliskan (0,2). Medan tensor T disebut suatu medan tensor gabungan kovarian dan kontravarian jika memetakan
T : Tp * M ๏ด Tp * M ๏ด .... ๏ด Tp M ๏ด Tp M ๏ฎ ๏ dan
Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 14
disebut sebagai medan tensor kontravarian berderajat k dan medan tensor kovarian berderajat ldi p ๏ M dan dituliskan ( k,l). Ruang vektor didefinisikan sebagai tensor ๐๐ ๐ โ ๐ 1
. . . ๐ ๐ ๐1
โฆ
himpunan dari produk
๐๐ atau T : Tp * M ๏ด .... ๏ด Tp M ๏ฎ ๏
2.3.Medan Vektor Licin Syarat dari suatu medan vektor V pada keragaman licin M adalah medan vektor licin di M yaitu jika suatu medan vektor V pada suatu keragaman licin ๐ adalah pemetaan licin ๐: ๐ โ ๐๐ dengan ๐ โ ๐(๐) โก ๐๐ . Maka ๐ โ ๐ต(๐) dengan ๐ต(๐) adalah sebuah medan vektor licin di keragaman licin M. Untuk ๐, ๐ โ ๐ต(๐),๐ โ ๐dan๐, ๐ โ โ, maka ๐๐ + ๐๐ ๐ = ๐๐ + ๐๐ ๐ = ๐๐๐ + ๐ต๐๐ . Untuk ๐, ๐ โ ๐ต(๐), dengan kurung Lie ๐, ๐ = ๐๐ โ ๐๐, maka jika ๐, ๐, ๐ โ ๐ต(๐), maka syarat dari suatu medan vektor pada keragaman licin M akan memenuhi bentuk identitas Jacobi [๐, ๐], ๐ + [๐, ๐], ๐ + [๐, ๐], ๐ = 0. Dapat dibuktikan identitas Jacobi sebagai berikut [๐, ๐], ๐ + [๐, ๐], ๐ + [๐, ๐], ๐ = 0 ๐๐ โ ๐๐, ๐ + ๐๐ โ ๐๐, ๐ + ๐๐ โ ๐๐, ๐ = 0 ๐๐๐ โ ๐๐๐ โ ๐๐๐ + ๐๐๐ + ๐๐๐ โ ๐๐๐ โ ๐๐๐ โ ๐๐๐ + ๐๐๐ โ ๐๐๐ โ ๐๐๐ + ๐๐๐ = 0 2.4. Keragaman Riemann dan Tensor Metrik Produk skalar atau perkalian dalam pada suatu ruang vektor V adalah suatu fungsi โฆ : ๐ ร ๐ โ โ dan memiliki sifat: 1. Simetri ๐ข, ๐ฃ = ๐ฃ, ๐ข ; ๐ข, ๐ฃ โ ๐. 2. Bilinear ๐ข, ๐๐ฃ + ๐๐ค = ๐ ๐ข, ๐ฃ + ๐ ๐ข, ๐ค ; ๐, ๐ โ โ 3. Non-degenerate jika ๐ข, ๐ฃ = 0 untuk setiap ๐ฃ, maka ๐ข = 0 4. Positif definite ๐ข, ๐ฃ > 0, non singular. 5. Inversibel . Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 15
6. Suatu pasangan (๐, ๐) sebuah keragaman ๐ yang dilengkapi dengan sebuah metrik Riemann ๐ disebut sebagai keragaman Riemann. Bentuk tensor yang memiliki sifat produk skalar seperti di atas disebut sebagai tensor fundamental atau tensor metrik. Contoh dari tensor metrik adalah metrik Euclidean ( ruang datar-3) dan metrik Minkowskian (ruang datar-4). Metrik Riemann adalah pemetaan ๐๐ : ๐ โ โ dengan ๐ โ ๐ dan untuk setiap ๐ข, ๐ฃ โ ๐ต(๐) dan ๐ โฆ ๐ฃ, ๐ข (p) yang licin, maka sifat dari metrik Riemann adalah simetri, positif definite dan medan tensor (0,2) pada keragaman M. Jika diberikan suatu keragaman Riemannian (๐, ๐) dan suatu peta (๐, ๐ฅ ๐ ) dengan suatu pemetaan ๐๐๐ : ๐ โ โ yang memetakan ๐ โฆ ๐๐๐ ๐ โ
๐ ๐๐ฅ ๐
๐
, ๐๐ฅ ๐
๐
dengan ๐ โ ๐ โ ๐, maka sifat ๐๐๐ adalah
simetri dan positif definite. Fungsi ๐๐๐ disebut sebagai wakilan lokal dari metrik Riemann ๐ terhadap peta (๐, ๐ฅ ๐ ). Jika (๐, ๐) adalah keragaman Riemann dan ๐ โ ๐ maka dapat didefinisikan panjang dari suatu vektor singgung ๐ฃ โ ๐๐ ๐adalah ๐ฃ โ ๐ฃ, ๐ฃ ๐ . Dua buah vektor dikatakan orthogonal jika ๐ข, ๐ฃ โ ๐๐ ๐ dengan ๐ข, ๐ฃ ๐ = 0 dan dikatakan orthonormal jika ๐ข, ๐ฃ ๐ = 0dan ๐ข = 1. Levrino (2011),Clarke, D.A., (2011) dan Moore (1934) menyatakan bahwa transformasi koordinat bergantung pada tensor metrik, sifat dari tensor metrik adalah simetri pada bagian kovarian, yaitu ๐๐๐ = ๐๐๐ , tidak singular ๐๐๐ โ 0, merupakan tensor dengan pemetaan C2 diffeomorphism (differensiabel, inversibel, kontinu dan bijektif) serta ๐๐๐ adalah positive definite. Dengan pemetaan C2 diffeomorphism maka tensor metrik ๐๐๐ memiliki invers metrik ๐๐๐ = ๐๐๐ โ๐ . Tensor metrik dapat digunakan untuk membuat sebuah tensor baru, yaitu dengan melakukan perkalian dalam ( inner product) antara suatu tensor dengan tensor metrik. Bentuk perkalian dalam untuk mendapatkan tensor baru disebut sebagai
Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 16
operasi lowering atau raising pada sebuah tensor dan dijabarkan sebagai berikut ( Moore, 1934) : ๐๐ ๐ฃ = ๐ ๐ฅ ๐ = ๐ฝ๐ ๐ฅ ๐ = ๐ฅ๐ ๐ฝ ๐ ๐๐ฅ ๐ฝ ๐ = ๐พ๐๐ ๐ฝ๐ ๐ฝ ๐ โ ๐ฝ ๐ = ๐พ๐๐ ๐ฝ ๐ โ ๐ฝ๐ ๐ ๐ ๐ = ๐พ๐๐ ๐ฟ๐๐ = ๐พ ๐ ๐ ๐ฝ ๐ = ๐๐๐ ๐ฝ๐ = ๐๐๐ โ1 ๐ฝ๐ 2.5. Koneksi Affine Koneksi affine, โ , adalah jenis derivatif arah dari suatu medan vektor pada sebuah keragaman M dan bukanlah sebuah medan tensor karena suatu derivative arah pada V, dinotasikan โX ๐, tidak linear๐ถ โ ๐ . Setiap keragaman licin minimal akan memiliki minimal sebuah koneksi affine. (Waner,2005) Jika suatu medan vektor ๐ pada โ๐ , memetakan ๐: โ๐ โ โ๐ dan diambil suatu titik ๐ โ โ๐ dan sebuah vektor singgung ๐ โ ๐๐ โ๐ โ
โ๐ dan dinotasikan bahwa โX ๐ adalah suatu derivative arah di medan vektor ๐ pada p dengan arah ๐ = ๐ฃ ๐ ๐๐ sehingga dapat ๐๐
dituliskan โX ๐ = X๐ = ๐ฃ ๐ ๐๐ ๐ = ๐ฃ ๐ ๐๐ฅ ๐ โ ๐๐ โ๐ ( Waner, 2005). Koneksi affine atau Koneksi linear pada suatu keragaman ๐ adalah pemetaan โ: ๐ต(๐) ร ๐ต(๐) โ ๐ต(๐) yaitu memetakan (๐, ๐) โ โX ๐ untuk setiap ๐ โ ๐ต ๐ yang memenuhi syarat: 1) pemetaan ๐ โ โX ๐ adalah linear ๐ถ โ ๐ , sehingga โ๐๐ +๐๐ ๐ = ๐โX ๐ + ๐โX ๐, untuk semua ๐, ๐ โ ๐ถ โ ๐ dan ๐, ๐ โ ๐ต ๐ . Contoh jika โ๐๐ ๐ = ๐โX ๐ dengan ๐ = (1 + ๐ฅ)2 misal ๐(๐ฅ) = (1 + ๐ฅ), maka ๐๐ (๐ฅ) ๐๐ฅ
๐๐ (๐ฅ) ๐๐ (๐ฅ)
= ๐๐ (๐ฅ)
๐๐ฅ
๐๐ (๐ฅ)
= ๐๐ (๐ฅ)
dengan
๐๐ (๐ฅ) ๐๐ฅ
๐๐ (๐ฅ)
= ๐๐ (๐ฅ) = โ๐๐ ๐;
2)
untuk
โX ๐๐ + ๐๐ = ๐๐๐ + ๐๐๐ = ๐โX ๐ + ๐โX ๐ untuk ๐, ๐ โ โ dan๐, ๐, ๐ โ ๐ต ๐ ; 3)โX ๐๐ = ๐โX ๐ + ๐ ๐ . ๐ untuk ๐ โ ๐ถ โ ๐ dan ๐, ๐ โ ๐ต ๐ . Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 17
Jika terdapat sebuah medan vektor ๐ pada โ๐ dan ๐ โ โ๐ โ ๐ dan terdapat vektor singgung pada ๐ โ ๐๐ โ๐ โ
โ๐ . Disimbolkan bahwa โX ๐ adalah derivatif arah pada medan vektor Y di p dengan arah X pada sebuah keragaman M, maka โX ๐ โ ๐๐ โ๐ . Jika didefinisikan bahwa ๐ = ๐ฃ ๐ ๐๐ , dengan ๐๐ sebagai derivatif arah atau vektor basis maka โX ๐ = X๐ = ๐ฃ ๐ ๐๐ ๐. โ adalah koneksi affine pada suatu keragaman M dan jika ๐, ๐ โ ๐(๐) yang ditunjukkan pada kerangka lokal ๐๐ pada ๐ โ ๐di TM oleh X=๐ฃ ๐ ๐๐ danY=๐ฆ ๐ ๐๐ , maka seperti pada Gambar-4 di bawah
Gambar-4 Koneksi Affine pada Keragaman M Derivative arah di medan vektor ๐ pada p dengan arah ๐ = ๐ฃ ๐ ๐๐ โX ๐ = X๐ = ๐ฃ ๐ ๐๐ ๐ Suatu vektor singgung di pโ ๐ dikenal sebagai fungsional linear jika memenuhi sifat Leibniz ๐ ๐๐ = ๐๐ ๐ + ๐ ๐ ๐ โ๐ฃ ๐ ๐ ๐ ๐ฆ ๐ ๐๐ = ๐ฃ ๐ โ๐ ๐ ๐ฆ ๐ ๐๐
= ๐ฃ ๐ ๐ฆ ๐ โ๐ ๐ ๐๐ + โ๐ ๐ ๐ฆ ๐ ๐๐
= ๐ฃ ๐ ๐ฆ ๐ โ๐ ๐ ๐๐ + ๐๐ ๐ฆ ๐ ๐๐ = ๐ฃ ๐ ๐ฆ ๐ โ๐ ๐ ๐๐ + ๐ฃ ๐ ๐๐ ๐ฆ ๐ ๐๐ = ๐ฃ ๐ ๐ฆ ๐ โ๐ ๐ ๐๐ + ๐ ๐ฆ ๐ ๐๐ = ๐ฃ ๐ ๐ฆ ๐ ฮ๐๐๐ ๐๐ + ๐ ๐ฆ ๐ ๐๐ = ๐ฃ ๐ ๐ฆ ๐ ฮ๐๐๐ + ๐ ๐ฆ ๐ ๐๐ โi y k = โi y k + ฮ๐๐๐ ๐ฆ ๐ Pada ruang Euclidean, maka dapat dituliskan โX ๐ p = โ๐ฃ ๐ ๐ ๐ ๐ฆ ๐ ๐๐ = ๐ ๐ฆ ๐ ๐๐ = ๐ฃ ๐ ๐๐ ๐ฆ ๐ ๐๐ = ๐ฃ ๐ ๐๐ ๐ ๐ ๐ + ๐ก๐๐ โ ๐(๐) ๐กโ0 ๐ก Turunan kovarian didapatkan sebagai berikut ( Moore, E.N 1934) = lim
๐ด๐ =
Bab.2 Vektor dan Tensor
๐๐ฅ ๐ ๐ด ๐๐ฅ ๐ ๐
Hal. 18
๐๐ด๐ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐ ๐๐ฅ ๐ = ๐ด = ๐ด + ๐ ๐ด๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ด๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐ด๐ ๐๐ฅ ๐ ๐2๐ฅ๐ = + ๐ด ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐๐ด๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐ด๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ 2 ๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ป = + ๐ด ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ป ๐๐ด๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐ด๐ H = + ฮqฮผ ๐ด๐ป ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ด๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐ด๐ H H = + ฮqฮผ ๐ด๐ป = ฮqฮผ ๐ด๐ป ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ด๐ H ๐๐ด๐ = ๐ ๐๐ฅ ๐ = ฮqฮผ ๐ด๐ป ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐๐ด๐ H โ ฮqฮผ ๐ด๐ป ๐๐ฅ ๐ = 0 ๐ ๐๐ฅ ๐๐ด๐ H โ ฮqฮผ ๐ด๐ป โก ๐ด๐ ;๐ ๐๐ฅ ๐ H ๐ด๐ ;๐ = ๐ด๐ ,๐ โ ฮqฮผ ๐ด๐ป Turunan pada sebuah medan tensor yang terdiri dari dua buah medan vektor terhadap suatu vektor singgung dapat dijabarkan sebagai berikut โ๐ฅ ๐ ๐ ๐ ๐ฆ ๐ ๐๐ ๐ง ๐ ๐๐ = ๐ฅ ๐ โ๐ ๐ ๐ฆ ๐ ๐๐ ๐ง ๐ ๐๐ = ๐ฅ ๐ โ๐ ๐ ๐ฆ ๐ ๐๐ ๐ง ๐ ๐๐ + ๐ฆ ๐ ๐๐ โ๐ ๐ ๐ง ๐ ๐๐ ๐ป๐ฅ ๐ ๐ ๐ ๐ฆ ๐ ๐๐ ๐ง ๐ ๐๐ = ๐ฅ ๐ ฮ๐๐๐ ๐ฆ ๐ + ๐ ๐ฆ ๐
๐๐ ๐ง ๐ ๐๐
+ ๐ฆ ๐ ๐๐ ๐ฅ ๐ ฮ๐๐๐ ๐ง ๐ + ๐ ๐ง ๐
Bab.2 Vektor dan Tensor
๐๐
Hal. 19
โ๐ฅ ๐ ๐ ๐ ๐ฆ ๐ ๐๐ ๐ง ๐ ๐๐ = ๐ฅ ๐ ฮ๐๐๐ ๐ฆ ๐ ๐ง ๐ + ๐ ๐ฆ ๐ ๐ง ๐ ๐๐ ๐๐ + ๐ฆ ๐ ๐ฅ ๐ ฮ๐๐๐ ๐ง ๐ + ๐ฆ ๐ ๐ ๐ง ๐
๐๐ ๐๐
๐
= ๐ฅ ๐ ฮ๐๐ ๐ฆ ๐ ๐ง ๐ + ๐ ๐ฆ ๐ ๐ง ๐ ๐๐ ๐๐ + ๐ฆ ๐ ๐ฅ ๐ ฮ๐๐๐ ๐ง ๐ + ๐ฆ ๐ ๐ ๐ง ๐
๐๐ ๐๐
โ๐ฅ ๐ ๐ ๐ ๐ฆ ๐ ๐๐ ๐ง ๐ ๐๐ ๐
= ๐ฅ ๐ ฮ๐๐ ๐ฆ ๐ ๐ง ๐ + ๐ ๐ฆ ๐ ๐ง ๐ + ๐ฆ ๐ ๐ฅ ๐ ฮ๐๐๐ ๐ง ๐ + ๐ฆ ๐ ๐ ๐ง๐
๐๐ ๐๐ ๐
= ๐ ๐ฆ ๐ ๐ง ๐ + ๐ฆ ๐ ๐ ๐ง ๐ + ๐ฅ ๐ ฮ๐๐ ๐ฆ ๐ ๐ง ๐ + ๐ฆ ๐ ๐ฅ ๐ ฮ๐๐๐ ๐ง ๐ ๐๐ ๐๐ ๐
โ๐ฅ ๐ ๐ ๐ ๐ฆ ๐ ๐๐ ๐ง ๐ ๐๐ = โi ๐๐๐ + ๐ฅ ๐ ฮ๐๐ ๐ ๐๐ + ๐ฅ ๐ ฮ๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐ ๐๐ ๐
= ๐,๐ ๐๐ + ฮ๐๐ ๐ ๐๐ + ฮ๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐ ๐๐ Pada kerangka lokal dapat dituliskan sebagai berikut ๐
d๐ ๐๐๐ = โ๐ ๐๐๐ + ฮ๐๐ ๐ ๐๐ + ฮ๐๐๐ ๐๐๐ d๐ ๐ด๐๐ = d๐ ๐ด๐ ๐ด๐ + ๐ด๐ d๐ ๐ด๐ + d๐ ๐ด๐ ๐ด๐ ๐
๐
d๐ ๐ด๐๐ = โ๐ ๐ด๐๐ + ๐ด๐ ฮ๐๐๐ ๐ด๐ + ฮ๐๐ ๐ด๐ ๐ด๐ = โ๐ ๐๐๐ + ฮ๐๐ ๐ ๐๐ + ฮ๐๐๐ ๐๐๐ Untuk tensor kovarian didapatkan menggunakan anologi turunan terhadap suatu metrik ๐๐๐๐ = ๐ฮผ ๐ฝn . ๐ฝm = ๐ฝn . ๐ฮผ ๐ฝm + ๐ฮผ ๐ฝn . ๐ฝm ๐๐ฅ ๐ ฯ ฯ ๐ฮผ ๐ฝn . ๐ฝm = ๐ฝn . ฮฮผm ๐ฝฯ + ฮฮผn ๐ฝฯ . ๐ฝm ฯ
๐๐๐๐
ฯ
๐ฮผ ๐ฝn . ๐ฝm = ฮฮผm ๐nฯ + ฮฮผn ๐ฯm ๐๐๐๐ ฯ ฯ = ๐๐ฅ ๐ = ฮฮผm ๐nฯ + ฮฮผn ๐ฯm ๐๐ฅ ๐ = 0 ๐๐ฅ ๐ ๐๐๐๐ ฯ ฯ โ ฮฮผm ๐nฯ โ ฮฮผn ๐ฯm ๐๐ฅ ๐ = 0 ๐ ๐๐ฅ ฯ ฯ โฮผ ๐๐๐ โ ฮฮผn ๐ฯm โ ฮฮผm ๐nฯ = dฮผ ๐๐๐
Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 20
dฮผ ๐๐๐ = โฮผ (๐ด๐ ๐ด๐ ) โ ๐ด๐ โฮผ (๐ด๐ ) โ โฮผ (๐ด๐ )๐ด๐ ฯ
ฯ
= โฮผ (๐๐๐ ) โ ๐ด๐ ฮฮผm ๐ดฯ โ ฮฮผn ๐ดฯ ๐ด๐ ๐๐๐๐ ฯ ฯ = โ ฮฮผm ๐nฯ โ ฮฮผn ๐ฯm ๐๐ฅ ๐ Maka dapat dituliskan bahwa ๐๐๐๐ ฯ ฯ dฮผ ๐๐๐ = โ ฮฮผm ๐nฯ โ ฮฮผn ๐ฯm ๐ ๐๐ฅ Untuk tensor gabungan dapat digunakan relasi berikut ๐ ๐๐ ๐๐ = ๐๐ (๐ด๐ ๐ด๐ ) + ๐๐ (๐ด๐ )๐ด๐ โ ๐ด๐ ๐๐ (๐ด๐ ) ๐
๐
๐
๐
๐ = ๐๐ ๐๐ + ๐ค๐๐ ๐ด๐ ๐ด๐ โ ๐ด๐ ๐ค๐๐ ๐ด๐ ๐
๐ = ๐๐ ๐๐ + ๐ค๐๐ ๐๐๐ โ ๐ค๐๐ ๐๐
2.6. Panjang Vektor Singgung Jika (๐, ๐) adalah keragaman Riemann dan ๐ โ ๐ maka dapat didefinisikan panjang dari suatu vektor singgung ๐ฃ โ ๐๐ ๐adalah ๐ฃ โ
๐ฃ, ๐ฃ
๐
๐๐ ๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐ ๐๐ = ๐ โ ๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ = ๐ ๐ฝ๐ โ ๐ ๐ฝ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ = ๐ ๐ ๐๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ = ๐๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ 2
๐๐ =
๐๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐
2.7.Luas Elemen Permukaan Dapat dijabarkan luas elemen suatu permukaan adalah sebagai berikut (Margenau, 1956) ๐๐ ๐๐ ๐๐ด1 = ๐๐ 2 ร ๐๐ 3 = 2 ๐๐ฅ 2 ร 3 ๐๐ฅ 3 = ๐ฝ2 ร ๐ฝ3 ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ 3 ๐๐ฅ ๐๐ฅ Besar skalar luas permukaan tersebut adalah ๐๐ด1 = Bab.2 Vektor dan Tensor
๐ฝ2 ร ๐ฝ3 โ ๐ฝ2 ร ๐ฝ3 ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ 3 Hal. 21
Dapat dijabarkan ๐จ ร ๐ฉ โ ๐ช ร ๐ซ = ๐ด๐ ๐๐ ร ๐ต๐ ๐๐ โ ๐ถ๐ ๐๐ ร ๐ท๐ ๐๐ = ๐ด๐ ๐ต๐ ๐๐๐๐ ๐๐ โ ๐ถ๐ ๐ท๐ ๐๐๐๐ ๐๐ = ๐ด๐ ๐ต๐ ๐ถ๐ ๐ท๐ ๐๐๐๐ ๐๐๐๐ = ๐ด๐ ๐ต๐ ๐ถ๐ ๐ท๐ ๐ฟ๐๐ ๐ฟ๐๐ โ ๐ฟ๐๐ ๐ฟ๐๐ = ๐ด๐ ๐ต๐ ๐ถ๐ ๐ท๐ โ ๐ด๐ ๐ต๐ ๐ถ๐ ๐ท๐ = ๐จ. ๐ช ๐ฉ. ๐ซ โ ๐จ. ๐ซ ๐ฉ. ๐ช ๐จ ร ๐ฉ โ ๐จ ร ๐ฉ = ๐จ. ๐จ ๐ฉ. ๐ฉ โ ๐จ. ๐ฉ ๐ฉ. ๐จ sehingga ๐๐ด1 =
๐22 ๐33 โ ๐23 2 ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ 3
Dapat dilakukan cara yang sama, sehingga didapatkan bahwa ๐๐ด2 =
๐33 ๐11 โ ๐31 2 ๐๐ฅ 3 ๐๐ฅ1
๐๐ด3 =
๐11 ๐22 โ ๐12 2 ๐๐ฅ1 ๐๐ฅ 2
2.8. Volume Suatu Elemen Dapat dijabarkan volume suatu elemen sebagai berikut di bawah (Margenau, 1956) ๐๐ = ๐๐ 1 โ ๐๐ 2 ร ๐๐ 3 = ๐ฝ1 ๐๐ฅ 1 โ ๐ฝ2 ร ๐ฝ3 ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ 3 ๐๐ = ๐ฝ1 ๐ฝ2 ๐ฝ3 ๐๐ฅ1 ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ 3 Jika ๐๐ 2 ร ๐๐ 3 = ๐ฝ2 ร ๐ฝ3 ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ 3 = ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ 3 ๐ฝ1 = ๐๐, maka ๐๐ = ๐๐ 1 โ ๐๐ Dengan mengingat bahwa ๐๐ ๐๐ = ๐ ๐๐ฅ ๐ = ๐ฝ๐ ๐๐ฅ ๐ = ๐๐ฅ๐ ๐ฝ ๐ ๐๐ฅ ๐๐ โ ๐ฝ ๐ = ๐ฝ๐ ๐๐ฅ ๐ โ ๐ฝ ๐ ๐๐ โ ๐ฝ ๐ = ๐๐ฅ ๐ โ ๐ฟ๐๐ = ๐๐ฅ ๐ Sehingga ๐๐ = ๐ฝ๐ ๐๐ฅ ๐ = ๐ฝ๐ ๐๐ โ ๐ฝ ๐ Dengan cara yang sama didapatkan bahwa Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 22
๐๐ = ๐๐ โ ๐ฝ๐ ๐ฝ ๐ = ๐ฝ๐ ๐๐ โ ๐ฝ ๐ Sehingga besar volume suatu elemen ๐๐ = ๐๐ 1 โ ๐๐ = ๐๐ 1 โ ๐๐ โ ๐ฝ๐ ๐ฝ ๐ ๐๐ = ๐๐ 1 โ
๐๐ โ ๐ฝ1 ๐ฝ1 + ๐๐ โ ๐ฝ2 ๐ฝ 2 + ๐๐ โ ๐ฝ3 ๐ฝ 3
๐๐ = ๐๐ฅ 1 ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ 3 ๐ฝ1 โ
๐ฝ2 ร ๐ฝ3 โ ๐ฝ1 ๐ฝ1 +
+
๐ฝ2 ร ๐ฝ3 โ ๐ฝ3 ๐ฝ 3
๐ฝ2 ร ๐ฝ3 โ ๐ฝ2 ๐ฝ 2
Margenau (1956) dan Moore (1934) menyatakan bahwa ๐ฝ1 =
๐ฝ2 =
๐ฝ3 =
๐ฝ2 ร ๐ฝ3 ๐ฝ2 ๐ฝ3 ๐ฝ1 ๐ฝ3 ร ๐ฝ1 ๐ฝ2 ๐ฝ3 ๐ฝ1 ๐ฝ1 ร ๐ฝ2 ๐ฝ2 ๐ฝ3 ๐ฝ1
=
๐ฝ2 ร ๐ฝ3 ๐ฃ
=
๐ฝ3 ร ๐ฝ1 ๐ฃ
=
๐ฝ1 ร ๐ฝ2 ๐ฃ
Sehingga ๐๐ = ๐๐ฅ1 ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ 3 ๐ฝ1 โ
๐ฝ2 ร ๐ฝ3 โ ๐ฝ1
๐ฝ2 ร ๐ฝ3 + ๐ฃ
+
๐ฝ2 ร ๐ฝ3 โ ๐ฝ3
๐ฝ1 ร ๐ฝ2 ๐ฃ
๐๐ = ๐๐ฅ1 ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ 3
๐ฝ1 โ ๐ฃ
๐ฝ2 ร ๐ฝ3 โ ๐ฝ2
๐ฝ2 ร ๐ฝ3 โ ๐ฝ1
๐ฝ2 ร ๐ฝ3 + ๐ฝ1
โ
๐ฝ2 ร ๐ฝ3 โ ๐ฝ2
๐ฝ3 ร ๐ฝ1 + ๐ฝ1
โ
๐ฝ2 ร ๐ฝ3 โ ๐ฝ3
๐ฝ1 ร ๐ฝ2
Bab.2 Vektor dan Tensor
๐ฝ3 ร ๐ฝ1 ๐ฃ
Hal. 23
Dengan mengingat bahwa ๐๐ = ๐๐ 1 โ ๐๐ = ๐๐ 1 โ ๐๐ โ ๐ฝ๐ ๐ฝ ๐ = ๐๐ 1 โ ๐ฝ๐ ๐๐ โ ๐ฝ ๐ = ๐๐ 1 โ ๐ฝ1 ๐๐ โ ๐ฝ1 + ๐๐ 1 โ ๐ฝ2 ๐๐ โ ๐ฝ 2 + ๐๐ 1 โ ๐ฝ3 ๐๐ โ ๐ฝ 3 ๐๐ = ๐ฝ1 ๐๐ฅ1 โ ๐ฝ1 ๐๐ โ ๐ฝ1 + ๐ฝ2 ๐๐ โ ๐ฝ 2 + ๐ฝ3 ๐๐ โ ๐ฝ 3 Sehingga dapat dituliskan ๐๐ = ๐๐ฅ1 ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ 3
๐ฝ1 ๐ฃ
โ
๐ฝ2 ร ๐ฝ3 โ ๐ฝ2 ร ๐ฝ3
๐ฝ1
+
๐ฝ2 ร ๐ฝ3 โ ๐ฝ3 ร ๐ฝ1
๐ฝ2
+
๐ฝ2 ร ๐ฝ3 โ ๐ฝ1 ร ๐ฝ2
๐ฝ3
Dengan mengingat bahwa ๐จ ร ๐ฉ โ ๐ช ร ๐ซ = ๐จ. ๐ช ๐ฉ. ๐ซ โ ๐จ. ๐ซ ๐ฉ. ๐ช Maka dengan mengingat bahwa ๐ฝ๐ โ ๐ฝ๐ = ๐๐๐ , sehingga ๐๐ = ๐๐ฅ1 ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ 3 โ
๐ฝ1 ๐ฃ
๐22 ๐33 โ ๐23 ๐32 ๐ฝ1 + ๐23 ๐31 โ ๐21 ๐33 ๐ฝ2
+ ๐21 ๐32 โ ๐22 ๐31 ๐ฝ3 ๐๐ = ๐๐ฅ 1 ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ 3
1 ๐ฃ
๐22 ๐33 โ ๐23 ๐32 ๐ฝ1 โ ๐ฝ1
+ ๐23 ๐31 โ ๐21 ๐33 ๐ฝ1 โ ๐ฝ2 + ๐21 ๐32 โ ๐22 ๐31 ๐ฝ1 โ ๐ฝ3
Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 24
๐ฝ1 ๐ฝ2 ๐ฝ3 ๐๐ฅ1 ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ 3 = ๐๐ฅ1 ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ 3
1 ๐ฝ2 ๐ฝ3 ๐ฝ1
๐22 ๐33 โ ๐23 ๐32 ๐11
+ ๐23 ๐31 โ ๐21 ๐33 ๐12 + ๐21 ๐32 โ ๐22 ๐31 ๐13 ๐ฝ1 ๐ฝ2 ๐ฝ3 =
๐22 ๐33 โ ๐23 ๐32 ๐11 + ๐23 ๐31 โ ๐21 ๐33 ๐12
+ ๐21 ๐32 โ ๐22 ๐31 ๐13 Maka dapat ditentukan bahwa ๐๐ = ๐ฝ1 ๐ฝ2 ๐ฝ3 ๐๐ฅ1 ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ 3 =
1/2
=
๐
๐ ๐๐ฅ1 ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ 3
2.9.Vektor Satuan dan Vektor Basis Dapat dijelaskan hubungan antara vektor satuan dengan vektor basis sebagai berikut (Margenau (1956) dan Clarke (2011)): Suatu vektor dapat dituliskan sebagai berikut ๐๐ = ๐๐ฅ(๐) ๐(๐) Dalam konsep vektor dalam suatu vektor basis dapat dituliskan sebagai berikut ( Clarke, 2011) ๐๐ = ๐(๐) ๐(๐) ๐๐ฅ ๐ = ๐ท๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐
2
= ๐(๐) ๐(๐ ) ๐(๐) โ ๐(๐ ) ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ = ๐ท๐ โ ๐ท๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐
Maka ๐(๐) ๐(๐ ) ๐(๐) โ ๐(๐ ) = ๐ท๐ โ ๐ท๐ ๐๐๐ = ๐(๐) ๐(๐ ) ๐(๐) โ ๐(๐ ) Clarke (2011) menyatakan bahwa metrik untuk sistem koordinat orthogonal dapat dinyatakan sebagai berikut ๐๐๐ = ๐(๐) ๐(๐ ) ๐ฟ๐๐ ๐ฟ ๐๐ ๐๐ ๐๐ Dapat diperlihatkan hubungan besar panjang suatu vektor ๐๐ = ๐๐ ๐(๐) ๐(๐) ๐๐ฅ ๐ = ๐๐ฅ(๐) ๐(๐) ๐๐๐ =
Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 25
๐(๐) ๐(๐) ๐๐๐ ๐๐ฅ๐ = ๐๐ฅ(๐) ๐(๐) Sehingga didapatkan bahwa besar panjang adalah ๐๐ฅ(๐) = ๐(๐) ๐๐๐ ๐๐ฅ๐ Sedangkan hubungan antara vektor satuan dengan vektor basis adalah ๐๐ = ๐๐ ๐(๐) ๐(๐) ๐๐ฅ ๐ = ๐ท๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ท๐ = ๐(๐) ๐(๐) ๐ท๐ ๐ท๐ ๐(๐) = = ๐(๐) ๐๐๐ Atau dapat pula dalam bentuk ๐(๐) =
๐๐๐ ๐ท๐ ๐ท๐ = ๐(๐) ๐(๐)
๐๐๐ ๐ท๐ ๐(๐) ๐(๐ ) ๐ฟ๐๐ ๐ท๐ = = ๐(๐) ๐ท๐ ๐(๐) ๐(๐) ๐ ๐๐ ๐ ๐ท๐ = = ๐๐ ๐๐๐ ๐(๐) = ๐(๐) ๐ท๐ Untuk system Nonortogonal, maka ๐๐๐ ๐ท๐ ๐(๐) = ๐(๐) ๐ท๐ =
๐๐ ๐๐ = ๐๐๐
๐๐๐ ๐ ๐ ๐๐๐
๐ท๐ = ๐๐๐ ๐ท๐ = ๐๐๐ ๐(๐) ๐(๐) = ๐๐๐ ๐๐๐ ๐(๐) Maka ๐๐๐ = ๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐ = ๐๐๐ โ1 Yang sesuai dengan definisi Levrino (2011), Clarke, D.A., (2011) dan Moore (1934). Hubungan antara vektor satuan dan vektor basis dapat dijabarkan sebagai berikut Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 26
๐ท๐ = ๐๐๐ ๐๐ฅ๐ ๐ท๐ = ๐ท๐ ๐๐ฅ ๐ ๐(๐) Menurut Margenau (1956) ๐(๐) adalah suatu faktor skala ( bukan sebuah tensor). Menurut Clarke ( 2011) dapat dihubungkan besar tensor secara fisik dengan tensor kontravarian dan juga kovarian sebagai berikut: Jika tensor orde-1 dituliskan sebagai berikut๐๐ฅ(๐) = ๐๐ = ๐๐ฅ(๐) ๐(๐) = ๐(๐) ๐๐๐ ๐๐ฅ๐
๐(๐) ๐๐๐ ๐๐ฅ๐ , maka medan tensor adalah suatu produk tensor dari banyak medan vektor dan dapat didefinisikan sebagai ๐: ๐ฃ1 ร โฆ ร ๐ฃ๐ โ โ, sehingga besar tensor fisik dapat dituliskan sebagai berikut ๐ป ๐๐ ๐ป ๐๐ ๐ป๐๐ = = ๐๐ ๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐ Untuk system Nonortogonal, maka ๐ท๐ = ๐๐๐ ๐๐๐ ๐(๐) ๐ป๐๐ = ๐๐๐ ๐ ๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐ ๐ป(๐๐ ) 2.10. Gradien dari Skalar ๐ต = ๐ฝ ๐ โ๐ = ๐๐๐ ๐ฝ๐ โ๐ = ๐๐๐ ๐๐๐ ๐ข๐ โ๐ Dengan notasi ๐ด๐ = ๐๐๐ ๐๐๐ ๐ด(๐ ) ๐ ๐๐ = ๐๐๐ ๐ ๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐ ๐(๐๐ ) ๐ต = ๐11 ๐ป1 + ๐21 ๐ป2 + ๐31 ๐ป3
๐11 ๐ข(1)
+ ๐12 ๐ป1 + ๐22 ๐ป2 + ๐32 ๐ป3 13
23
33
+ ๐ ๐ป1 + ๐ ๐ป2 + ๐ ๐ป3 11
๐22 ๐ข(2) ๐33 ๐ข(3)
22
= ๐ ๐ป1 ๐11 ๐ข(1) + ๐ ๐ป2 ๐22 ๐ข(2) + ๐33 ๐ป3 ๐33 ๐ข(3) 2.11. Simbol Christoffel Simbol christoffel adalah salah satu jenis dari koneksi affine. Memiliki sifat simetri pada bagian kovarian dan besarnya pada ruang datar akan bernilai nol. Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 27
Turunan dari posisi dapat dijabarkan sebagai berikut ๐๐ ๐ ๐ ๐ฃ= = ๐ฅ ๐ฝ๐ ๐๐ก ๐๐ก ๐ ๐ ๐ ๐ ๐ฅ ๐ ๐ฅ ๐ฝ๐ = ๐ฝ๐ + ๐ฅ ๐ ๐ฝ ๐๐ก ๐๐ก ๐๐ก ๐ ๐ ๐ ๐ ๐ ๐ ๐ฅ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐ฅ ๐ฝ๐ = ๐ฝ +๐ฅ ๐ฝ ๐๐ก ๐๐ฅ ๐ ๐๐ก ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐๐ก ๐ ๐ ๐ ๐ฅ๐ ๐ ๐ ๐ฅ๐ ๐ c ๐ c ๐ฅ ๐ฝ๐ = ๐ฅ ๐ฝ + ๐ฅ ฮ ๐ฝ ๐ฅ = + ๐ฅ ๐ ฮmฮผ ๐ฝ๐ ๐ฅ ๐ ๐ mฮผ ๐ ๐๐ก ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐ฅ๐ c ๐ฃ= + ๐ฅ ๐ ฮmฮผ ๐ฝ๐ ๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐
c Pada ruang datar Simbol Christoffel ฮฮผm = ๐๐ฅ ๐ ๐ฝ๐ = 0, maka ๐ ๐ ๐ ๐ฅ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐ฃ= ๐ฝ ๐ฅ = ๐ฃ ๐ฝ๐ = ๐ฃ ๐ ๐ฝ๐ ๐ ๐ ๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ Turunan dari kecepatan dapat dijabarkan sebagai berikut Simbol Christoffel dapat dijabarkan sebagai berikut ๐๐ฃ ๐ ๐๐ ๐ ๐= = ๐ฅ ๐๐ก ๐๐ก ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐ ๐๐ ๐๐ ๐ ๐ ๐ ๐๐ ๐๐ ๐ฅ = ๐ฅ๐ + ๐ ๐ฅ = ๐ฅ๐ + ๐ ๐ฅ๐ ๐ ๐ ๐ ๐๐ก ๐๐ฅ ๐๐ก ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ก ๐๐ก ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฝ๐ ๐ ๐๐ ๐ฅ๐ ๐ฝ๐ + ๐ ๐ฅ ๐ = ๐ฅ ๐ ๐ฅ ๐ ๐ + ๐ฝ๐ ๐ฅ ๐ ๐๐ก ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐ ๐ s = ๐ฅ ๐ฅ ฮฮผm ๐ฝ๐ + ๐ฝ๐ ๐ฅ ๐ s s ๐ฅ ๐ ๐ฅ ๐ ฮmฮผ ๐ฝ๐ + ๐ฝ๐ ๐ฅ ๐ = ๐ฅ ๐ ๐ฅ ๐ ฮฮผm + ๐ฅ ๐ ๐ฝ๐ = ๐ ๐ ๐ฝ๐ = ๐ Dengan ๐๐ฝ๐ ๐ ๐๐ ๐ s ฮฮผ๐ฃ ๐ฝ๐ = ๐ฃ = ๐ฃ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ฮป ๐ ๐๐ ๐ s ฮป ฮป ฮฮผ๐ฃ ๐ฝ๐ โ ๐ฝ = ฮฮผ๐ฃ = ๐ ๐ฃ ๐๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐ Maka dapat dijabarkan bahwa saat pada kerangka K ๐๐ฅ ฮป ๐ 2 ๐ ๐ ฮป ฮฮผv = ๐ ๐ ๐ฃ ๐๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ Sedangkan pada kerangka Kโ
Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 28
๐๐ฅ ฮป ๐ 2 ๐ ๐ = ๐ ๐ ๐ฃ ๐๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ Syarat sebuah tensor adalah adanya keseragaman seperti di bawah ๐๐ฅ ฮป ๐๐ฅ d ๐๐ฅ e c ฮป ฮฮผv = ๐ ฮผ v ฮde ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ Tetapi bentuk penjabaran dari ๐๐ฅ ฮป ๐ 2 ๐ ๐ ๐๐ฅ ฮป ๐๐ฅ ๐ ๐ 2 ๐ ๐ ๐๐ฅ ฮป ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐๐ ๐ ฮป ฮฮผv = ๐ ๐ ๐ฃ= ๐ ๐ = ๐๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ฃ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ฃ ๐๐ฅ ฮป ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐๐ฅ ๐ ฮป ฮฮผv = ๐ ๐ ๐ ๐๐ฅ ๐๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ฃ ๐๐ฅ ฮป ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐๐ฅ ๐ = ๐ ๐ ๐๐ฅ ๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ฃ ๐๐ฅ ฮป ๐๐ฅ ๐ ๐๐ ๐ ๐ ๐๐ฅ ๐ + ๐ ๐ ๐ ๐๐ฅ ๐๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ฃ ๐๐ฅ ฮป ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ฮป ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐๐ฅ ๐ ฮป ฮฮผv = ๐ ๐ + ๐๐ฅ ๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ฃ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ฃ ๐๐ฅ ฮป ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐๐ ๐ = ๐ ๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐ฃ ๐๐ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ฮป ๐ ๐๐ฅ ๐ + ๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ฃ ๐๐ฅ ฮป ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ d ๐๐ฅ ฮป ๐ ๐๐ฅ ๐ = ๐ ๐ ฮ + ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐ฃ sm ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ฃ Sehingga simbol christoffel bukanlah tensor. Sifat dari koneksi ini adalah simetri pada bagian kovarian. 1 s s ฮฮผm = ฮmฮผ = ๐ ๐ ๐ ๐๐ ๐ฮผc + ๐ฮผ ๐cm โ ๐๐ ๐mฮผ 2 ๐๐ ๐ฮผc = ๐๐ ๐ฝฮผ . ๐ฝc = ๐ฝฮผ . ๐๐ ๐ฝc + ๐ฝc . ๐๐ ๐ฝฮผ ๐ฮผ ๐cm = ๐ฝc . ๐ฮผ ๐ฝm + ๐ฝm . ๐ฮผ ๐ฝc โ๐๐ ๐mฮผ = โ๐ฝm . ๐๐ ๐ฝฮผ โ ๐ฝฮผ . ๐๐ ๐ฝm ฮป ฮฮผv
Dengan menjumlahkan persamaan di atas, maka
Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 29
๐๐ ๐ฮผc + ๐ฮผ ๐cm โ ๐๐ ๐mฮผ = ๐ฝc . ๐๐ ๐ฝฮผ + ๐ฝc . ๐ฮผ ๐ฝm 1 ๐ ๐ + ๐ฮผ ๐cm โ ๐๐ ๐mฮผ = ๐ฝc . ๐๐ ๐ฝฮผ 2 ๐ ฮผc 1 ๐ ๐ + ๐ฮผ ๐cm โ ๐๐ ๐mฮผ = ๐ฝc . ฮmd ฮผ ๐ฝd 2 ๐ ฮผc 1 d ๐ ๐ + ๐ฮผ ๐cm โ ๐๐ ๐mฮผ = ๐ฮผ, c = ฮmฮผ ๐cd 2 ๐ ฮผc 1 ๐ ๐ d ๐ ๐๐ ๐ฮผc + ๐ฮผ ๐cm โ ๐๐ ๐mฮผ = ฮmฮผ ๐cd ๐ ๐ ๐ 2 1 ๐ ๐ d s ๐ ๐๐ ๐ฮผc + ๐ฮผ ๐cm โ ๐๐ ๐mฮผ = ฮmฮผ ฮดsd = ฮmฮผ 2 2.12. Divergensi dari Vektor 1 ๐ ๐y = โi ๐ฆ ๐ + ฮ๐๐ ๐ฆ ๐ = โi y j + ๐ ๐๐ (๐๐ ๐๐๐ + ๐๐ ๐๐ ๐ โ ๐๐ ๐๐๐ )๐ฆ ๐ 2 1 ๐ โ y = โi ๐ฆ ๐ + ฮ๐๐๐ ๐ฆ ๐ = โi y i + ๐๐๐ (๐๐ ๐๐๐ + ๐๐ ๐๐ ๐ โ ๐๐ ๐๐๐ )๐ฆ ๐ 2 1 ๐ โ y = โi y i + ๐๐๐ ๐๐ ๐๐๐ + ๐๐๐ ๐๐ ๐๐ ๐ โ ๐๐๐ ๐๐ ๐๐ ๐ ๐ฆ ๐ 2 โi y i ๐ฆ๐ 1 1 = โi y i + ๐๐๐ ๐๐ ๐๐ ๐ ๐ฆ ๐ = + ๐๐๐ ๐๐ ๐๐ ๐ 2 ๐(๐) 2 ๐(๐) Dapat dituliskan dalam bentuk lain 1 1 ๐ ๐ โ y = โi ๐ฆ ๐ + ฮ๐๐๐ ๐ฆ ๐ = ๐ป๐ y(i) + ฮ y ๐๐ ๐ ๐ ๐๐ (k) 2.13. Gradient dari Vektor d๐ ๐ด๐ = โ๐ ๐ด๐ โ ฮ๐๐๐ ๐ด๐ 2.14. Divergensi dari Tensor ๐
d๐ ๐๐๐ = โ๐ ๐๐๐ + ฮ๐๐ ๐ ๐๐ + ฮ๐๐๐ ๐๐๐ ๐ โ T = d๐ ๐ ๐๐ = โ๐ ๐ ๐๐ + ฮ๐๐๐ ๐ ๐๐ + ฮ๐๐๐ ๐ ๐๐ 1 1 1 = โ๐ ๐ ๐๐ + ฮ๐๐๐ ๐ ๐๐ + ฮ๐ ๐ ๐(๐) ๐(๐ ) ๐(๐) ๐(๐ ) ๐(๐) ๐(๐) ๐๐ ๐๐ 2.15. Curl dari Vektor
Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 30
Dapat didefinisikan bahwa curl suatu vektor adalah ๐ ร ๐จ = d๐ ๐ด๐ โ d๐ ๐ด๐ = โ๐ ๐ด๐ โ ฮ๐๐๐ ๐ด๐ โ โ๐ ๐ด๐ โ ฮ๐๐๐ ๐ด๐ = โ๐ ๐ด๐ โ โ๐ ๐ด๐ 2.16. Laplacian Vektor ๐ป2๐จ = ๐ ๐ โ ๐ โ ๐ ร ๐ ร ๐จ ๐ ๐ โ ๐ = ๐ป2 ๐จ + ๐ ร ๐ ร ๐จ atau ๐
๐ด๐,๐ = ๐ ๐๐ ๐ด๐,๐
,๐
= ๐ ๐๐
,๐
๐ด๐,๐ + ๐ ๐๐ ๐ด๐,๐
,๐
2.17. Gradient dari Divergensi Vektor ๐
๐ ๐ โ ๐ = ๐ด๐ ,๐ 2.18. Laplacian Skalar Laplacian skalar didefinisikan sebagai ๐ป 2 ๐ = ๐ โ ๐๐ = ๐ โ ๐ฒ 1 1 ๐ ๐ โ ๐ฒ = โi ๐ฆ ๐ + ฮ๐๐๐ ๐ฆ ๐ = ๐ป๐ y(i) + ฮ y ๐๐ ๐ ๐ ๐๐ (k) Sehingga dapat dituliskan sebagai 1 1 ๐ ๐ โ ๐๐ = ๐ป๐ ๐ป ๐ ๐ + ๐ค๐๐๐ ๐ป๐ ๐ = ๐ป๐ ๐ป(i) ๐ + ฮ ๐ป ๐ ๐๐ ๐ ๐ ๐๐ (k) 2.19. Koneksi Levi-Civita Sebuah koneksi Affine โ disebut simetri jika komutator ๐, ๐ = โX Y โ โY X = โ ๐, ๐ = 0 ( komutatif dan simetri) untuk simetri pada ๐, ๐, ๐ โ ๐(๐). Didefinisikan sebuah tensor Torsi pada โ adalah ๐: ๐ ๐ ร ๐ ๐ โ ๐ ๐ yang memetakan (X,Y) โ ๐ ๐, ๐ โ โX Y โ โY X โ ๐, ๐ . Sifat tensor T adalah ๐ถ โ (๐)-linear serta antisimetri. Jika produk skalar pada koneksi Affine kompatibel dengan metrik g yaitu mengikuti ๐, ๐ = โX Y + โY X. Diberikan sebuah keragaman Riemannian (๐, ๐) dan terdapat suatu koneksi Affine โpada keragaman M yang simetri ( mengikuti kurung Lie)
Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 31
dan kompatibel dengan ๐. Bentuk koneksi antara koneksi Affine dan metrik ๐ dapat dihubungkan dengan koneksi Levi-Civita. Syarat bahwa โ compatibel dengan metrik ๐ adalah ๐ ๐ ๐, ๐ = ๐ โX Y, Z + g Y, โX Z ๐ Y, Z = โX Y, Z + ๐, โX Z โX Y, Z = ๐ Y, Z โ ๐, โX Z = ๐ Y, Z โ ๐, ๐, ๐ + โZ X โX Y, Z = ๐ Y, Z โ ๐, ๐, ๐ + โZ X โฆ (๐) Lakukan hal yang sama โY Z, X = ๐ Z, X โ ๐, ๐, ๐ + โX Y โฆ (๐) โ โZ X, Y = โ๐ X, Y + ๐, ๐, ๐ โ โY Z โฆ (๐) Jumlahkan ketiga persamaan di atas, maka โX Y, Z + โY Z, X โ โZ X, Y = ๐ Y, Z โ ๐, ๐, ๐ + โZ X + ๐ Z, X โ ๐, ๐, ๐ + โX Y โ ๐ X, Y + ๐, ๐, ๐ โ โY Z โX Y, Z + โY Z, X โ โZ X, Y = ๐ Y, Z โ ๐, ๐, ๐ + Y, โZ X + ๐ Z, X โ ๐, ๐, ๐ + ๐, โX Y โ ๐ X, Y + ๐, ๐, ๐ โ ๐, โY Z โX Y, Z + โY Z, X โ โZ X, Y = ๐ Y, Z โ ๐, ๐, ๐ โ โZ X, Y + ๐ Z, X โ ๐, ๐, ๐ โ โX Y, Z โ ๐ X, Y + ๐, ๐, ๐ + โY Z, X 2 โX Y, Z = ๐ Y, Z โ ๐, ๐, ๐ + ๐ Z, X โ ๐, ๐, ๐ โ ๐ X, Y + ๐, ๐, ๐ 1 โX Y, Z = ๐ Y, Z + ๐ Z, X โ ๐ X, Y โ ๐, ๐, ๐ โ ๐, ๐, ๐ 2 + ๐, ๐, ๐ 1 โX Y, Z = ๐ Y, Z + ๐ Z, X โ ๐ X, Y โ ๐, โ ๐, ๐ โ ๐, โ ๐, ๐ 2 + ๐, โ ๐, ๐ 1 โX Y, Z = ๐ Y, Z + ๐ Z, X โ ๐ X, Y + ๐, ๐, ๐ + ๐, ๐, ๐ 2 โ ๐, ๐, ๐ Dengan menggunakan persamaan โX ๐ = X๐, serta ๐, ๐ = โX Y โ โY X dan ๐, ๐ = โX Y + โY X, maka dapat dibuktikan Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 32
bahwa ๐, ๐, ๐ + ๐, ๐, ๐ โ ๐, ๐, ๐ = 0, yang dikarenakan ๐, ๐, ๐ โ ๐(๐) dan โ simetri ( Hilgert, 2010), sehingga 1 โX Y, Z = ๐ Y, Z + ๐ Z, X โ ๐ X, Y 2 1 = ๐๐ ๐ฝY , ๐ฝZ + ๐๐ ๐ฝZ , ๐ฝX โ ๐๐ ๐ฝX , ๐ฝY 2 1 XY, Z = ๐๐ ๐YZ + ๐Y ๐ZX โ ๐๐ ๐XY 2 Penjabaran lain adalah 1 ๐ ๐ ๐ ๐๐ ๐ฮผc + ๐ฮผ ๐cm โ ๐๐ ๐mฮผ 2 ๐๐ ๐ฮผc = ๐๐ ๐ฝฮผ . ๐ฝc = ๐ฝฮผ . ๐๐ ๐ฝc + ๐ฝc . ๐๐ ๐ฝฮผ ๐ฮผ ๐cm = ๐ฝc . ๐ฮผ ๐ฝm + ๐ฝm . ๐ฮผ ๐ฝc โ๐๐ ๐mฮผ = โ๐ฝm . ๐๐ ๐ฝฮผ โ ๐ฝฮผ . ๐๐ ๐ฝm Dengan menjumlahkan persamaan di atas, maka didapatkan ๐๐ ๐ฮผc + ๐ฮผ ๐cm โ ๐๐ ๐mฮผ = ๐ฝc . ๐๐ ๐ฝฮผ + ๐ฝc . ๐ฮผ ๐ฝm 1 ๐ ๐ + ๐ฮผ ๐cm โ ๐๐ ๐mฮผ = ๐ฝc . ๐๐ ๐ฝฮผ 2 ๐ ฮผc 1 ๐ ๐ + ๐ฮผ ๐cm โ ๐๐ ๐mฮผ = ๐ฝc . ฮmd ฮผ ๐ฝd 2 ๐ ฮผc 1 d ๐ ๐ + ๐ฮผ ๐cm โ ๐๐ ๐mฮผ = ฮmฮผ ๐cd 2 ๐ ฮผc 1 ๐ ๐ d ๐ ๐๐ ๐ฮผc + ๐ฮผ ๐cm โ ๐๐ ๐mฮผ = ฮmฮผ ๐cd ๐ ๐ ๐ 2 1 ๐ ๐ d s ๐ ๐๐ ๐ฮผc + ๐ฮผ ๐cm โ ๐๐ ๐mฮผ = ฮmฮผ ฮดsd = ฮmฮผ 2 s s ฮฮผm = ฮmฮผ =
2.20. Tensor Riemann Jika diberikan bahwa ๐ด โ ๐ต(๐) sehingga secara umum dapat dituliskan bahwa โX โY A โ โY โX A โ 0, maka untuk H H ๐ด๐;๐ = ๐๐ ๐ด๐ โ ฮmn ๐ด๐ป = ๐ด๐,๐ โ ฮmn ๐ด๐ป โก ๐๐๐ Dengan ฯ ฯ dฮผ ๐๐๐ = โฮผ ๐๐๐ โ ฮฮผn ๐ฯm โ ฮฮผm ๐nฯ Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 33
dan ฯ
ฯ
dm ๐๐ฮผ = โm ๐๐ฮผ โ ฮmn ๐ฯฮผ โ ฮmฮผ ๐nฯ Maka selisih dari kedua persamaan di atas dapat dituliskan ฯ ฯ dฮผ ๐๐๐ โ dm ๐๐ฮผ = โฮผ ๐๐๐ โ ฮฮผn ๐ฯm โ โm ๐๐ฮผ + ฮmn ๐ฯฮผ ฯ
ฯ
dฮผ ๐๐๐ โ dm ๐๐ฮผ = โฮผ ๐๐๐ โ โm ๐๐ฮผ + ฮmn ๐ฯฮผ โ ฮฮผn ๐ฯm dฮผ ๐๐๐ โ dm ๐๐ฮผ H H = โฮผ ๐ด๐,๐ โ ฮmn ๐ด๐ป โ โm ๐ด๐,ฮผ โ ฮฮผn ๐ด๐ป ฯ
ฯ
H H + ฮmn ๐ด๐,ฮผ โ ฮpฮผ ๐ด๐ป โ ฮฮผn ๐ด๐,m โ ฮpm ๐ด๐ป
Jika diberikan sebuah keragaman Riemann โ๐ , ๐๐๐ข๐๐๐๐ , maka โโ m โn = 0 untuk semua m,n dan ๐, ฮผ = โM N โ โN M = 0 dengan ๐ด = โm , ๐ต = โฮผ โโ m ๐ต = โโ m โฮผ = M โฮผ + โโ m โฮผ = 0 Maka ฯ H ฯ H H H dฮผ ๐๐๐ โ dm ๐๐ฮผ = โm ฮฮผn ๐ด๐ป โ โฮผ ฮmn ๐ด๐ป + ฮฮผn ฮpm ๐ด๐ป โ ฮmn ฮpฮผ ๐ด๐ป ฯ
ฯ
H H H H = โm ฮฮผn โ โฮผ ฮmn + ฮฮผn ฮpm โ ฮmn ฮpฮผ ๐ด๐ป ฯ
ฯ
H H H H โm ฮnฮผ โ โฮผ ฮnm + ฮฮผn ฮpm โ ฮmn ฮpฮผ ๐ด๐ป = dฮผ ๐๐๐ โ dm ๐๐ฮผ ฯ
ฯ
H H H H H ฮnฮผ,m โ ฮnm ,ฮผ + ฮnฮผ ฮpm โ ฮnm ฮpฮผ ๐ด๐ป = R nฮผm ๐ด๐ป ฯ
ฯ
H H H H RHnฮผm = ฮnฮผ,m โ ฮnm ,ฮผ + ฮnฮผ ฮpm โ ฮnm ฮpฮผ
Tensor Ricci dapat ditentukan sebagai R nm = RHnHm Besar skalar kelengkungan Besar skalar kelengkungan ๐
= ๐๐๐ R nm Kesimpulan Telah dijelaskan pada bab ini piranti matematika yang mendukung penelitian, yaitu konsep vektor dan tensor dimulai dari ruang topologi hingga deferensial geometri pada koordinat lengkung dan ruang Riemannian sehingga teori kalkulus tensor dapat diterapkan dalam pemodelan mekanis benang pada kasus pemintalan. Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 34
Referensi Clarke, D.A., 2011, A Primer on Tensor Calculus, Saint Maryโs University, Halifax NS. Hilgert dan Karl, 2010, Structure and Geometry of Lie Group, Springer, New York. Levrino, 2011, Elastic Continua as Seen from Cosmology, Thesis, Politecnico Di Torino, Turin. Mal, A.K., & Sarva,1991, Deformation of Elastic Solid, Prentice Hall, Inc, New Jersey. Margenau, H., 1956, The Mathematics of Physics and Chemistry, East-West Press Private Ltd. New Delhi. Moore, E.N., 1934, Theoretical Mechanics, John Wiley &Sons, New York. Waner, 2005, Introduction to Differential Geometry & General Relativity, Department of Mathematics and Physics, Hofstra University, New York.
Bab.2 Vektor dan Tensor
Hal. 35
BAB 3 PERGERAKAN BENANG PADA ROTOR Abstrak Pada bab ini dibahas pemodelan gerakan benang pada rotor serta besar tenacity take-off yang diijinkan pada proses pemintalan benang yang dipengaruhi oleh kecepatan putar rotor pada rotor groove serta pengaruh diameter rotor. Pada bab ini digunakan piranti matematika pada bab 2 yaitu kalkulus tensor.
3.1. Persamaan Penting pada Kasus Koordinat Polar Beberapa peneliti yang berkecimpung dalam pemodelan pergerakan ebnang serta struktur internal benang adalah Backer, Hearle dan Grosberg (1969), Hearle, dkk. (1965), Rohlena (1975), Lawrence (2003), Lawrence (2010),Putra (2014), Putra dan Iskandar (2014), Putra VGV dkk. (2015 dan 2016) dan Zeidman (2003) . Pada bab ini dianalisa pergerakan benang pada rotor berjejari ๐
= ๐ dengan menggunakan koordinat polar. Benang berputar pada rotor dengan suatu kecepatan ๐ dan ditarik oleh suatu gaya take-off ๐น๐ . Benang bermassa m mengalami dua buah gaya, yaitu gaya internal (deformasi) dan eksternal. Gaya internal diakibatkan adanya deformasi pada benang, sedangkan gaya eksternal diakibatkan adanya tarikan oleh gaya take-off (spinning tension). Gambar-1 memperlihatkan pergerakan benang pada rotor.
Gambar-1 Pergerakan Benang pada Rotor 36
Untuk menjabarkan bentuk persamaan gerak benang pada rotor dan menghitung besar gaya take-off yang dibutuhkan, maka dapat dilakukan transformasi koordinat dari koordinat kartesian ke koordinat polar yang dirumuskan sebagai berikut ๐ = ๐ฅ, ๐ฆ = (๐ ๐๐๐ ๐, ๐ ๐ ๐๐๐ )
(1)
Maka Transformsi vektor dari koordinat ๐ฅ๐ก โ โ๐ก ke koordinat ๐ฅ๐ โ โ๐ adalah sebagai berikut ~
dx 1
dx 2
(2)
dy
dx
๏ข1 ๏ฝ ~ 1 ๏ข1 ๏ซ ~ 1 ๏ข 2 ๏ฝ i ๏ซ j dr dr dx dx ~ ๏ข1 ๏ฝ cos ๏ฑ .i ๏ซ sin ๏ฑ . j ~
dx 1
dx 2
(3)
dy
dx
๏ข 2 ๏ฝ ~ 2 ๏ข1 ๏ซ ~ 2 ๏ข 2 ๏ฝ i๏ซ j d๏ฑ d๏ฑ dx dx ~ ๏ข 2 ๏ฝ ๏ญr sin ๏ฑ .i ๏ซ r cos ๏ฑ . j
(4) (5)
Besar vektor satuan dapat ditentukan sebagai berikut ๐ข(๐) = 1 ๐ ๐๐
ฮฒi (Margenau (1956) dan Clarke(2011))dengan indeks ๐ tidak
dijumlahkan. ๐ฝ1 = ๐ฝ2
๐11 ๐ ๐22 ๐
=
๐๐๐ ๐ โ๐๐ ๐๐๐
๐ ๐๐๐ ๐ = โ๐ ๐๐๐ ๐
๐ ๐๐๐ ๐๐๐ ๐
๐ ๐๐๐ ๐๐๐๐ ๐ ๐ ๐
๐ ๐
(7) (8)
Besar kuadrat elemen panjang dan tensor metrik dapat ditentukan sebagai berikut
Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor
Hal. 37
๐๐ ๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐ ๐๐ = ๐ โ ๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ = ๐ ๐ฝ๐ โ ๐ ๐ฝ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ = ๐ ๐ ๐๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ = ๐๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ (9) ๐๐ฅ ๐๐ฅ 1 0 (10) ๐๐๐ = 2 0 ๐ Tensor metrik pada koordinat lengkung adalah tensor dengan pemetaan C2 diffeomorphism (differensiabel, inversibel, kontinu dan bijektif) serta ๐๐๐ adalah positive definite. Dengan pemetaan C2 diffeomorphism maka tensor metrik ๐๐๐ memiliki invers metrik 2
๐๐๐ = ๐๐๐ โ1 pada koordinat datar tensor metrik dapat dituliskan sebagai ๐ฟ ๐๐ = ๐ฟ๐๐ โ1 . Sifat dari tensor metrik pada koordinat datar adalah inversibel, kontinu, bijektif dan differensiabel. ๐๐๐ = ๐๐๐
โ1
=
1 ๐2 ๐2 0
0 = 1 0 0 ๐ โ2 1
Panjang kuadrat elemen garis adalah ๐๐ 2 = ๐๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ = ๐1๐ ๐๐ฅ1 ๐๐ฅ ๐ + ๐2๐ ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ ๐ = ๐11 ๐๐ฅ1 ๐๐ฅ1 + ๐21 ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ1 + ๐12 ๐๐ฅ 1 ๐๐ฅ 2 + ๐22 ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ 2 ๐๐ 2 = ๐๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ = ๐๐ + ๐ 2 ๐๐ 2
(11)
(12) (13)
Besar nabla dapat ditentukan menggunakan (14) ๐ = ฮฒm โm = g mn ฮฒn โm ๐ = g mn ๐ฃ un โm (15) Dengan ๐ฃ adalah suatu besaran skalar dengan besar g nn . Besar gradient atau kemiringan dari skalar adalah ๐ต๐ = ๐๐๐ ๐ฃ ๐ข๐ ๐ป๐ ๐ = ๐๐๐ ๐๐๐ ๐ข(๐) ๐ป๐ ๐๐ต = ๐11 ๐ป1 + ๐21 ๐ป2 ๐ ๐11 ๐ข(1) + ๐12 ๐ป1 + ๐22 ๐ป2 ๐ ๐22 ๐ข(2)
Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor
(16)
Hal. 38
๐ต๐ = ๐11 ๐ป1 ๐ ๐11 ๐ข(1) + ๐22 ๐ป2 ๐ ๐22 ๐ข(2) 1 = ๐ป๐ ๐๐ + ๐ป๐ ๐๐ ๐
(17)
Divergensi dari vektor adalah 1 ๐ โ y = โi ๐ฆ ๐ + ฮ๐๐๐ ๐ฆ ๐ = โi y i + ๐๐๐ (๐๐ ๐๐๐ + ๐๐ ๐๐ ๐ โ ๐๐ ๐๐๐ )๐ฆ ๐ 2 1 ๐ โ y = โi y i + ๐๐๐ ๐๐ ๐๐๐ + ๐๐๐ ๐๐ ๐๐ ๐ โ ๐๐๐ ๐๐ ๐๐ ๐ ๐ฆ ๐ 2 โi y i ๐ฆ๐ 1 1 = โi y i + ๐๐๐ ๐๐ ๐๐ ๐ ๐ฆ ๐ = + ๐๐๐ ๐๐ ๐๐ ๐ 2 ๐(๐) 2 ๐(๐) Sehingga 1 ๐ โ y = โ1 y1 + โ2 y 2 + ๐22 ๐1 ๐22 ๐ฆ 1 2 y๐ 1 (18) = ๐ป๐ y(r) + ๐ป๐ + y(r) ๐ ๐ 1 1 1 1 ๐ โ y = ๐ป๐ y(r) + ๐ป๐ y ๐ + y(r) = ๐ป๐ ๐y(r) + ๐ป๐ y ๐ ๐ ๐ ๐ ๐ (19) Dapat pula dikerjakan dengan menggunakan notasi dyadic. Menurut Mal, A.K dan Sarva (1991) penulisan notasi dengan dyadic dapat dituliskan ๐ฒ = y(r) ๐ + y(๐) ๐ , maka ๐ 1 ๐ (20) ๐๐ฒ = ๐+ ๐ y(r) ๐ + y(๐) ๐ ๐๐ ๐ ๐๐ ๐ 1 ๐ (21) ๐๐ฒ = y(r) ๐ + y(๐) ๐ ๐ + y ๐ + y(๐) ๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐๐ (r) ๐ ๐ ๐๐ฒ = ๐๐ y(r) + ๐๐ y(๐) ๐๐ ๐๐ 1 ๐ 1 ๐ ๐๐ + y(r) ๐๐ + y(๐) ๐๐ + y(r) ๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐๐ ๐๐ ๐๐ 1 ๐ 1 ๐ + y(๐) ๐ + y(r) ๐ ๐ + y(๐) ๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐๐ (22) dengan menggunakan persamaan (8) didapatkan bahwa ๐๐ = โ๐ ๐๐๐๐ + ๐๐๐ ๐๐ ๐๐ Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor
(23)
Hal. 39
(24) ๐๐ = โ๐๐๐ ๐๐ โ ๐ ๐๐๐๐ = โ ๐๐๐ ๐๐ + ๐ ๐๐๐๐ ๐๐ Dengan melakukan invers matrik persamaan (8) didapatkan bahwa (25) ๐ ๐๐๐ ๐ ๐ ๐๐๐ ๐ = โ๐ ๐๐๐ ๐๐๐ ๐ ๐ ๐ (26) ๐ ๐ ๐ ๐ = ๐ ๐ ๐ ๐ 1 ๐ ๐ โ๐ ๐ = (27) ๐ ๐ ๐๐ โ ๐๐ โ๐ ๐ ๐ ๐๐๐ ๐ โ๐ ๐๐๐ ๐ = = ๐๐๐ ๐๐ โ ๐ ๐๐๐๐ ๐ ๐ ๐๐๐ ๐๐๐ ๐ ๐ ๐ ๐๐๐๐ + ๐๐๐ ๐๐ Sehingga ๐๐ ๐๐ = =0 ๐๐ ๐๐ ๐๐ ๐ = ๐๐๐ ๐๐ + ๐ ๐๐๐๐ = โ๐ ๐๐๐๐ + ๐๐๐ ๐๐ (28) ๐๐ ๐๐ = โ๐ ๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐ โ ๐ ๐๐๐๐ + ๐๐๐ ๐ ๐ ๐๐๐๐ + ๐๐๐ ๐๐ = ๐ ๐๐ = โ๐๐๐ ๐๐ โ ๐ ๐๐๐๐ ๐๐ = โ๐๐๐ ๐ ๐๐๐ ๐๐ โ ๐ ๐๐๐๐ โ ๐ ๐๐๐ ๐ ๐๐๐๐ + ๐๐๐ ๐๐ = โ๐ ๐ ๐ ๐๐ฒ = ๐๐ y(r) + ๐๐ y(๐) ๐๐ ๐๐ 1 ๐ 1 ๐ ๐๐ + y(r) ๐๐ + y(๐) ๐๐ + y(r) ๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐๐ ๐๐ ๐๐ 1 ๐ 1 ๐ + y(๐) ๐ + y(r) ๐ ๐ + y(๐) ๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐๐
(29)
(30)
๐ 1 ๐ 1 ๐. ๐ฒ = ๐๐ y(r) + y(๐) ๐๐ + y(r) ๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐๐ ๐ Sehingga didapatkan bahwa
(31)
Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor
Hal. 40
๐ โ ๐ฒ = ๐ป๐ y(r) + ๐ป๐
y๐ ๐
1 + y(r) ๐
(32)
Divergensi dari Tensor Untuk komponen sepanjang sumbu-r didapatkan bahwa ๐ โ ๐ = d๐ ๐ ๐๐ = T๐ ๐๐ d๐ ๐ ๐1 = โ๐ ๐ ๐1 + ฮ๐๐๐ ๐ ๐1 + ฮ๐๐1 ๐ ๐๐ d๐ ๐ ๐1 = โ๐ ๐ ๐1 + ฮ๐๐๐ ๐ ๐1 + ฮ๐๐1 ๐ ๐๐ 1 ๐1 1 1๐ 2 ๐1 = โ1 ๐ 11 + ฮ1๐ ๐ + ฮ1๐ ๐ + โ2 ๐ 21 + ฮ2๐ ๐ 1 2๐ + ฮ2๐ ๐ 1 11 1 11 2 11 1 21 11 11 d1 ๐ = โ1 ๐ + ฮ11 ๐ + ฮ11 ๐ + โ2 ๐ 21 + ฮ21 ๐ + ฮ21 ๐ 1 21 1 12 2 21 1 22 + ฮ12 ๐ + ฮ12 ๐ + ฮ22 ๐ + ฮ22 ๐ 2 11 1 22 11 d1 ๐ = โ1 ๐ 11 + โ2 ๐ 21 + ฮ21 ๐ + ฮ22 ๐ ๐๐ ๐๐ ๐๐ ๐๐ 1 d1 ๐ 11 = + + ๐ ๐๐ โ ๐๐ ๐๐ ๐๐ ๐๐ ๐ ๐๐(๐๐ ) 1 ๐๐(๐๐ ) 1 ๐ = + + ๐(๐๐ ) โ 2 ๐(๐๐ ) ๐๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐ ๐๐(๐๐ ) 1 ๐๐(๐๐ ) 1 1 + + ๐(๐๐ ) โ ๐(๐๐ ) ๐๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐ ๐๐ ๐๐ 1 ๐๐ ๐๐ 1 d1 ๐ 11 = + + ๐ ๐๐ โ ๐ ๐๐ ๐๐ ๐ ๐๐ ๐ Dengan cara yang sama didapatkan bahwa ๐๐ ๐๐ 1 ๐๐ ๐๐ 2 d2 ๐ 22 = + + ๐ ๐๐ ๐๐ ๐ ๐๐ ๐ d1 ๐ 11 =
(34) (35)
(36) (37) (38)
(39) (40) (41) (42)
Bentuk di atas didapatkan dengan mengingat bahwa ๐จ๐ ๐จ๐ ๐จ๐ = = ๐๐ ๐๐๐ ๐ป ๐๐ ๐ป ๐๐ ๐ป๐๐ = = ๐๐ ๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐ Untuk menentukan divergensi dari tensor pada sumbu-r dengan menggunakan notasi dyadic dapat dikerjakan sebagai berikut. Dalam Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor
Hal. 41
bentuk vektor, maka divergensi dari sebuah vektor pada koordinat polar adalah sebagai berikut ๐ โ ๐ฒ = ๐ป๐ y(r) + ๐ป๐
y ๐ ๐
1
+ ๐ y(r)
(43)
Pada koordinat bola, divergensi dari tensor dapat dijabarkan sebagai berikut 1 1 ๐ โ ๐ญ = ๐ป๐ ๐ญ (๐ซ) + ๐ป๐ ๐ญ ๐ฝ + ๐ญ (๐ซ) (44) ๐ ๐ ๐๐ ๐๐ ๐(๐) ๐ ๐๐ ๐ ๐๐ ๐ Dengan nilai ๐ญ = = ๐๐๐ ๐๐๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐ฝ ๐ ๐ Dengan perhitungan lebih lanjut didapatkan bahwa
๐โ๐ญ=
๐ ๐
๐๐ ๐๐ 1 ๐๐ ๐๐ 1 + + ๐ ๐๐ โ ๐ ๐๐ ๐๐ ๐ ๐๐ ๐
Nilai koneksi affine 1 ๐ ๐ + ๐1 ๐11 โ ๐1 ๐11 = 0 2 1 11 1 ฮ1 12 = ฮ1 21 = g11 ๐1 ๐21 + ๐2 ๐11 โ ๐1 ๐12 = 0 2 1 ฮ1 22 = g11 ๐2 ๐21 + ๐2 ๐12 โ ๐1 ๐22 = โ๐ 2 1 ๐ค 2 11 = ๐22 ๐1 ๐12 + ๐1 ๐21 โ ๐1 ๐11 = 0 2 1 1 ๐ค 2 12 = ๐ค 2 21 = ๐22 ๐1 ๐22 + ๐2 ๐21 โ ๐1 ๐12 = 2 ๐ 1 ๐ค 2 22 = g 22 ๐2 ๐22 + ๐2 ๐22 โ ๐2 ๐22 = 0 2 ฮ1 11 = g11
Untuk menentukan persamaan gerak dapat digunakan ๐=
๐๐ฃ ๐ ๐๐ ๐ = ๐ฅ ๐๐ก ๐๐ก ๐๐ฅ ๐
Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor
Hal. 42
๐ ๐๐ ๐ ๐ ๐๐ ๐๐ ๐ ๐ ๐ฅ = ๐ฅ๐ + ๐ ๐ฅ ๐ ๐ ๐๐ก ๐๐ฅ ๐๐ก ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ก ๐ ๐๐ ๐๐ = ๐ฅ๐ + ๐ฅ๐ ๐๐ก ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐๐ ๐๐ ๐ ๐ฅ๐ + ๐ ๐ฅ๐ = ๐ฅ๐ ๐ฝ + ๐ฝ๐ ๐ฅ ๐ ๐ ๐๐ก ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ก ๐ ๐๐ฝ๐ ๐ ๐๐ ๐ฅ๐ ๐ฝ๐ + ๐ ๐ฅ ๐ = ๐ฅ ๐ ๐ฅ ๐ ๐ + ๐ฝ๐ ๐ฅ ๐ ๐๐ก ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐ ๐ s = ๐ฅ ๐ฅ ฮฮผm ๐ฝ๐ + ๐ฝ๐ ๐ฅ ๐ s s ๐ฅ ๐ ๐ฅ ๐ ฮmฮผ ๐ฝ๐ + ๐ฝ๐ ๐ฅ ๐ = ๐ฅ ๐ ๐ฅ ๐ ฮฮผm + ๐ฅ ๐ ๐ฝ๐ = ๐ ๐ ๐ฝ๐ = ๐ ๐ผ ๐ฝ ๐2 ๐ฅ ๐ ๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ + ฮ = ๐๐ ๐ผ๐ฝ ๐๐ก 2 ๐๐ก ๐๐ก Sehingga didapatkan bahwa ๐ผ ๐ฝ ๐2 ๐ฅ1 1 ๐๐ฅ ๐๐ฅ + ฮ๐ผ๐ฝ = ๐1 ๐๐ก 2 ๐๐ก ๐๐ก ๐2 ๐ โ ๐๐ 2 = ๐๐ (45) 2 ๐๐ก ๐ผ ๐ฝ ๐2 ๐ฅ 2 2 ๐๐ฅ ๐๐ฅ + ฮ = ๐2 ๐ผ๐ฝ ๐๐ก 2 ๐๐ก ๐๐ก ๐2 ๐ 2 + ๐๐ = ๐๐ (46) ๐๐ก 2 ๐ Jika digunakan persamaan Cauchy, maka dapat dirumuskan ๐๐ ๐ ๐ ๐ ,๐ + ๐ = ๐๐ Jika ditinjau pada sumbu r, maka bentuk persamaan gerak adalah ๐ 11 ,1 + ๐ 1 = ๐๐1 โ โ ๐ + ๐ = ๐๐ ๐๐ ๐๐ 1 ๐๐ ๐๐ 1 + + ๐ ๐๐ โ ๐ ๐๐ + ๐(๐) ๐๐ ๐ ๐๐ ๐ = ๐๐ ๐ ๐๐ ๐๐ 1 ๐๐ ๐๐ 1 + + ๐ ๐๐ โ ๐ ๐๐ + ๐(๐) ๐๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐2 ๐ (47) =๐ โ ๐๐ 2 2 ๐๐ก
Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor
Hal. 43
Tensor regangan dijabarkan sebagai berikut ๐๐ฟ2 = ๐๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฟ2 = ๐๐๐ ๐๐ฅ ๐ + ๐๐ข๐ ๐๐ฅ ๐ + ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ ๐ ๐๐ข๐ ๐ 2 ๐ ๐ ๐๐ฟ = ๐๐๐ ๐๐ฅ + ๐๐ฅ ๐๐ฅ + ๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ข ๐๐ฟ2 = ๐๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ + ๐๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ข๐ ๐ ๐๐ข๐ ๐ ๐๐ข๐ ๐ + ๐๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ +๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ข๐ ๐ ๐๐ฟ2 = ๐๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ + ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ ๐ ๐ + ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐๐ฅ ๐ +๐๐๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ข๐ ๐ ๐ ๐๐ข๐ ๐ ๐ ๐๐ฟ2 โ ๐๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ + ๐๐ฅ ๐๐ฅ + ๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐๐ข ๐๐ข + ๐๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ข๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ข๐ 2 ๐ ๐ ๐๐ฟ โ ๐๐๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ + + ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ ๐ ๐ + ๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ข๐ ๐ ๐ ๐๐ข๐ ๐๐ฟ2 โ ๐๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ + ๐ฟ ๐ฟ + ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ ๐ ๐ + ๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ 2 2 ๐๐ฟ โ ๐๐ฟ + + + ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ ๐๐ฟ2 โ ๐๐ฟ2 + + + ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ = ๐๐ฟ2 + 2๐๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฟ2 โ ๐๐ฟ2 = 2๐๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ Jika vektor pergeseran sangat kecil, maka ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ 1 ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ ๐๐๐ = + ๐+ ๐ โ + ๐ ๐ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor
(48) (49) (50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57) (58) (59)
Hal. 44
Maka dapat dijabarkan bahwa 1 ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ 1 ๐๐๐ โ + = ๐ข + ๐ข๐ ,๐ (60) 2 ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ 2 ๐,๐ 1 1 ๐ = ๐๐ + (๐๐)๐ = ๐๐ + ๐๐ = ๐๐ (61) 2 2 Dengan menggunakan persamaan (31) didapatkan bahwa ๐ ๐ 1 ๐ 1 ๐ ๐ = ๐๐ฎ = ๐๐ u(r) + ๐๐ u(๐) + u(r) ๐๐ + u ๐๐ ๐๐ ๐๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐๐ (๐) ๐๐ ๐๐ + u(r) ๐ + u(๐) ๐ ๐๐ ๐๐ 1 ๐ 1 ๐ + u(r) ๐ ๐ + u(๐) ๐ ๐ (62) ๐ ๐๐ ๐ ๐๐ ๐ 1 ๐ 1 ๐u(r) u(๐) u(r) + โ ๐๐ 2 u(๐) ๐๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐= (63) 1 ๐u(๐) 1 ๐u(r) u(๐) 1 ๐u(๐) u(r) + โ + 2 ๐๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐ ๐๐ ๐ Hubungan antara tensor tegangan dan tensor regangan ๐ ๐๐ = ๐พ ๐๐๐๐ ๐๐๐ Pada keadaan isotrop dan seragam dapat dituliskan sebagai berikut Martin (2005) ๐พ ๐๐๐๐ = ๐๐ฟ ๐๐ ๐ฟ ๐๐ + ๐ ๐ฟ ๐๐ ๐ฟ ๐๐ + ๐ฟ ๐๐ ๐ฟ ๐๐ Dengan ๐ adalah konstanta Lame dan ๐ modulus geser ๐ ๐๐ = ๐๐ฟ ๐๐ ๐ฟ ๐๐ ๐๐๐ + ๐ ๐ฟ ๐๐ ๐ฟ ๐๐ + ๐ฟ ๐๐ ๐ฟ ๐๐ ๐๐๐ 1 ๐ ๐๐ = ๐๐ฟ ๐๐ ๐ฟ ๐๐ ๐ข + ๐ข๐ ,๐ 2 ๐,๐ 1 + ๐ ๐ฟ ๐๐ ๐ฟ ๐๐ + ๐ฟ ๐๐ ๐ฟ ๐๐ ๐ข + ๐ข๐ ,๐ 2 ๐,๐ 1 ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ ๐ ๐๐ = ๐๐ฟ ๐๐ ๐ฟ ๐๐ + 2 ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ 1 ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ + ๐ ๐ฟ ๐๐ ๐ฟ ๐๐ + ๐ฟ ๐๐ ๐ฟ ๐๐ + 2 ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐
Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor
Hal. 45
๐๐
๐ = ๐๐ฟ
๐๐
1 ๐๐ฟ ๐๐ ๐ข๐ ๐๐ฟ ๐๐ ๐ข๐ + 2 ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ + ๐ ๐ฟ ๐๐ ๐ฟ ๐๐ + ๐ฟ ๐๐ ๐ฟ ๐๐
๐๐
๐ = ๐๐ฟ
๐๐
1 ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ + 2 ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐
1 ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ + 2 ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ +
๐ 2
๐ฟ ๐๐ ๐ฟ ๐๐ + ๐ฟ ๐๐ ๐ฟ ๐๐
+ ๐ฟ ๐๐ ๐ฟ ๐๐ + ๐ฟ ๐๐ ๐ฟ ๐๐
+ ๐ = ๐๐ฟ
๐ 2
๐ = ๐๐ฟ
๐ฟ ๐๐
๐๐ข๐ ๐๐ข ๐ ๐๐ข ๐ ๐๐ข๐ ๐๐ ๐๐ ๐๐ + ๐ฟ + ๐ฟ + ๐ฟ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐
1 ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ + 2 ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐
๐๐
+ ๐๐
๐๐ข๐ ๐๐ฅ ๐
1 ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ + 2 ๐๐ฅ ๐ ๐๐ฅ ๐
๐ ๐๐ = ๐๐ฟ ๐๐
๐๐
๐๐ข๐ ๐๐ฅ ๐
๐ 2
๐๐ข๐ ๐๐ข ๐ ๐๐ข ๐ ๐๐ข๐ + + + ๐ฟ๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ฟ๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ฟ๐๐ ๐๐ฅ ๐ ๐ฟ๐๐ ๐๐ฅ ๐
1 ๐๐ข๐ ๐๐ข๐ ๐ + ๐ + ๐ 2 ๐๐ฅ ๐๐ฅ 2
๐๐
๐๐ข๐ ๐๐ข ๐ ๐๐ข ๐ ๐๐ข๐ + + + ๐๐ฅ๐ ๐๐ฅ๐ ๐๐ฅ๐ ๐๐ฅ๐
๐ ๐ ๐ ๐ข ;๐ + ๐ข๐ ;๐ + ๐ข๐,๐ + ๐ข ๐ ,๐ + ๐ข๐,๐ + ๐ข ๐ ,๐ 2 2 ๐ ๐๐ = ๐ฟ ๐๐ ๐๐ + 2๐๐ ๐๐ = ๐ ๐ก๐ ๐ ๐ฐ + 2๐๐
๐ ๐๐ = ๐ฟ ๐๐
1 ๐๐ข ๐
Dengan ๐๐๐ โ 2
๐๐ฅ ๐
๐๐ข
+ ๐๐ฅ ๐๐ ๐
Jika ๐ ๐๐ = ๐ป ๐ ๐พ๐ = ๐๐๐ ๐ป๐ ๐พ๐ = ๐๐๐ ๐๐ , maka ๐ ๐๐ ,๐ + ๐ ๐ = ๐๐๐ ๐
๐๐๐ ๐๐,๐ + ๐๐๐ ๐๐ = ๐๐๐๐ ๐๐ ๐
๐๐,๐ + ๐๐ = ๐๐๐ Dengan Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor
Hal. 46
๐ ๐๐ = ๐ฟ ๐๐ ๐๐ + 2๐๐ ๐๐ ๐
๐
๐
๐๐๐ ๐๐ = ๐๐๐ ๐ฟ๐ ๐๐ + 2๐๐๐๐ ๐๐ ๐
๐
๐
๐
๐
๐๐ = ๐ฟ๐ ๐๐ + ๐๐๐ = ๐ฟ๐ ๐๐ + 2๐๐ ๐๐ ๐๐๐ = ๐ฟ๐ ๐๐ + 2๐๐ฟ ๐๐
1 ๐ข + ๐ข๐,๐ 2 ๐,๐
๐
= ๐ฟ๐ ๐๐ + ๐๐ฟ ๐๐ ๐ข๐,๐ + ๐ข๐,๐ ๐
= ๐ฟ๐ ๐๐ข๐ ;๐ + ๐๐ฟ ๐๐ ๐ข๐,๐ + ๐ข๐,๐ Persamaan diatas sesuai dengan hasil studi Levrino (2011), maka ๐
๐
๐๐,๐ = ๐ฟ๐ ๐๐ข๐ ;๐๐ + ๐๐ฟ ๐๐ ๐ข๐,๐๐ + ๐ข๐,๐๐ ๐
๐
๐
๐๐,๐ = ๐ฟ๐ ๐๐ข๐ ;๐๐ + ๐๐ข,๐๐ + ๐๐ฟ ๐๐ ๐ข๐,๐๐ ๐
๐ ๐๐,๐ = ๐๐ข๐ ;๐๐ + ๐๐ข,๐๐ + ๐๐ฟ ๐๐ ๐ข๐,๐๐ ๐
๐ ๐๐,๐ = (๐ + ๐)๐ข,๐๐ + ๐ ๐ ๐๐ ๐ด๐,๐ ๐ ๐๐,๐
,๐
๐
= ๐ + ๐ ๐ต ๐ต โ ๐ + ๐๐ต ๐
Sehingga dapat dituliskan ๐ + ๐ ๐ต ๐ต โ ๐ + ๐๐ต๐ ๐ + ๐ = ๐๐ (64) Maka bentuk persamaan gerak benang pada rotor dapat digunakan persamaan (47) dan persamaan (64) ๐๐ ๐๐ 1 ๐๐ ๐๐ 1 ๐2 ๐ + + ๐ ๐๐ โ ๐ ๐๐ + ๐(๐) = ๐ โ ๐๐ 2 ๐๐ ๐ ๐๐ ๐ ๐๐ก 2 ๐2 ๐ ๐ + ๐ ๐ต ๐ต โ ๐ + ๐๐ต๐ ๐ + ๐(๐) = ๐ โ ๐๐ 2 (65) ๐๐ก 2 ๐2 ๐ ๐๐๐๐๐๐๐ + ๐(๐) = ๐ โ ๐๐ 2 ๐๐ก 2 ๐2 ๐ ๐๐๐๐๐๐๐ โ ๐น๐ก๐๐๐ โ๐๐๐ = ๐ โ ๐๐ 2 ๐๐ก 2 ๐2๐
Jika ๐๐ก 2 = 0 dan gaya deformasi benang dapat diabaikan, maka ๐น๐ก๐๐๐ โ๐๐๐ = ๐๐๐ 2 Besar gaya take-off ๐๐น๐ก๐๐๐ โ๐๐๐ untuk tiap perubahan massa ๐๐, jika besar jejari rotor ๐ dan kecepatan putar rotor konstan ๐ dapat ditentukan sebagai berikut ๐๐น๐ก๐๐๐ โ๐๐๐ = ๐๐ ๐๐2 Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor
Hal. 47
๐๐น๐ก๐๐๐ โ๐๐๐ = ๐๐๐ ๐๐2 ๐๐2 2 ๐น๐ก๐๐๐ โ๐๐๐ = ๐
โ ๐2 2 Maka besar tenacity atau ketahanan benang dengan nomor benang dalam tex yaitu ๐๐ก adalah ๐น๐ก๐๐๐ โ๐๐๐ ๐น๐ก๐๐๐ โ๐๐๐ ๐2 2 = = ๐
โ ๐2 (66) ๐ ๐๐ก 2 Saat di daerah Navel atau nozzle, maka ๐ = 0 ๐
2 ๐2 1 ๐
๐ก๐๐๐ โ๐๐๐ = = ๐๐๐๐ก๐๐ 2 ๐ 2 ๐๐๐๐ก๐๐ 2 (67) 2 2 Hubungan antara tegangan take-off nozzle terhadap kecepatan rotor untuk diameter rotor konstan diperlihatkan pada Gambar-2
Gambar-2 Hubungan antara Tegangan Take-Off Nozzle terhadap Kecepatan Rotor Untuk memperlihat hubungan antara tenacity dan diameter rotor untuk kecepatan rotor yang berebda dapat dilakukan simulasi menggunakan persamaan (66) dengan nilai konstanta yang berubah (misalkan nrotor =1(biru tua), 2 (hijau), 3 (merah), 2 (biru muda). Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar-3 di bawah ini. Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor
Hal. 48
Gambar-3 Hubungan Tenacity terhadap Diameter Rotor (kecepatan rotor berbeda) Pada Gambar-3 dapat dijelaskan bahwa hubungan tenacity terhadap diamater rotor membentuk grafik parabola. Semakin besar kecepatan rotor maka menghasilkan tenacity take-off yang lebih besar. Dengan melakukan pemodelan pergerakan benang dalam rotor yang digambarkan pada Gambar-1 dan hasil pemodelan tenacity take-off terhadap kecepatan rotor yang digambarkan pada Gambar-2 yang didapatkan dari persamaan (67) sesuai dengan hasil penelitian Trommer (1995) yang menyatakan bahwa besar yarn tension untuk nomor benang Tex adalah (1,4.10-13)nR2dR2 [cN/Tex]. Persamaan (67) disebut sebagai gaya tegangan tiap satuan tex yang dihasilkan pada daerah take-off nozzle sesaat setelah keluar dari rotor. Persamaan gerak benang pada rotor secara umum dapat diperlihatkan pada persamaan (65). Kesimpulan Telah dijelaskan pada bab ini pemodelan gerakan benang pada rotor serta besar tenacity take-off yang diijinkan pada proses pemintalan Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor
Hal. 49
benang yang dipengaruhi oleh kecepatan putar rotor pada rotor groove serta pengaruh diameter rotor menggunakan persamaan (65) pada kasus umum dan persamaan (67) pada kasus khusus. Referensi Backer, Hearle & Grosberg, 1969, Structural Mechanics of Fibres, Yarns and Fabrics, Wiley-Interscience, New York. Clarke, D.A., 2011, A Primer on Tensor Calculus, Saint Maryโs University, Halifax NS. Hearle, J.W.S. dan Gupta, B.S.., 1965, Migration of Fibres in Yarns Part III: A Study of Migration of Staple Rayon Yarn, Textile Research Journal, No.9, Vol. 35 Hal 788-795. Hearle, J.W.S., Gupta, B.S., dan Megchant, V.B., 1965, Migration of Fibres in Yarns Part I: Characterization and Idealization of Migration Behaviour, Textile Research Journal, No.4, Vol. 35 Hal 329-334. Hilgert dan Karl, 2010, Structure and Geometry of Lie Group, Springer, New York. Lawrence CA, 2003, Fundamentals of Spun Yarn Technology, CRC Press, New York. Lawrence, Erdem & Cherian, 2005, Wrapper Fibres in Open-End RotorSpun Yarns: Yarn Properties and Wrapper Fibres, FIBRES & TEXTILES JOURNAL, No. 2,Vol. 13, Hal 8-15. Lawrence CA, 2010, Advances in Yarn Spinning Technology , Woodhead Publishing, Cambridge. Levrino, 2011, Elastic Continua as Seen from Cosmology, Thesis, Politecnico Di Torino, Turin. Mal, A.K., & Sarva,1991, Deformation of Elastic Solid, Prentice Hall, Inc, New Jersey. Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor
Hal. 50
Margenau, H., 1956, The Mathematics of Physics and Chemistry, EastWest Press Private Ltd. New Delhi. Moore, E.N., 1934, Theoretical Mechanics, John Wiley &Sons, New York. Putra, V.G.V, Rosyid, M.F & Maruto, G, 2016, A Simulation Model of Twist Influenced by Fibre Movement inside Yarn on Solenoid Coordinate, Global Journal of Pure and Applied Mathematics, No.1, Vol 12, Hal. 415-412. Putra, V.G.V & Rosyid, M.F. , 2015, Theoretical Modeling for Predicting the Optimum Twist Angle of Cotton Fiber Movement on OE Yarn Made by Rotor Spinning Machine, Journal of Applied Mathematics and Physics, Vol.3 Hal. 623-630. Putra, V.G.V dan Iskandar, 2014, Studi Pengaruh Bentuk S-Twisted Dan Z-Twisted Terhadap Besar Twist Pada Mesin Pintal, TEXERE ( Journal of Textile Science and Technology), No.1,Vol. 12., Hal 60-65. Putra, V.G.V 2014, Pemodelan Untuk Menentukan Hubungan Actual Twist Tipe-Z Terhadap Kecepatan Sudut Pada Mesin Spinning (Rotor Dan Ring Spinning), TEXERE ( Journal of Textile Science and Technology), No.2, Vol. 12. Hal 20-26. Rohlena, V,1975, Open-End Spinning, Elseiver Scientific Publishing Company, New York. Trommer, G., 1995, Rotor Spinning, Deutscher fachverlag, Frankfurt. Waner, 2005, Introduction to Differential Geometry & General Relativity, Department of Mathematics and Physics, Hofstra University, New York. Zeidman, Shawney dan Herington, 2003 Fiber Migration Theory of Ring Spun Yarn, Indian Journal of Fibre and Textile Research, Vol 28., Hal. 123-133.
Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor
Hal. 51
BAB 4 SIMULASI KOMPUTASI DENGAN MATLAB Abstrak Pada bab ini dibahas simulasi komputasi dengan komputer yang mendukung penelitian pergerakan materi, yaitu dengan menggunakan software MATLAB. Pada simulasi digunakan listing program pada jendela kerja
4.1. Simulasi Matlab Dari persamaan (66) dapat dimodelkan hubungan antara tenacity take-off terhadap yarn path (diameter rotor) dengan listing program sebagai berikut: (jika diandaikan jejari rotor groove adalah ๐
=33) . >> rho=linspace(33,0); % pergerakan yarn sepanjang jejari rotor groove >> Ro=(33^2-rho.^2); %tenacity dalam cN/Tex >> plot(rho,Ro)
Hasil simulasi MATLAB dapat dilihat pada Gambar-1 di bawah.
Gambar-1. Hubungan Tenacity terhadap Yarn Path. Pada Gambar-1 dapat dijelaskan bahwa hubungan antara tenacity take-off terhadap diameter rotor yaitu tenacity terbesar ada di daerah nozzle dan besar tenacity mengikuti persamaan (66). Untuk 52
kecepatan rotor yang konstan didapatkan hasil bahwa semakin besar diameter rotor maka semakin besar tenacity take-off Dari persamaan (66) didapatkan hasil penyelesaian yang sesuai dengan eksperimen Trommer (1995), Putra (2016) yang menyatakan bahwa besar tenacity take-off akan bergantung pada kecepatan putar rotor dan diameter rotor. Untuk memperlihatkan pengaruh kecepatan rotor terhadap tenacity take-off dapat dilakukan simulasi menggunakan persamaan (66) dengan nilai konstanta yang berubah (1(biru dengan kecepatan rotor terrendah), 2(hijau dengan kecepatan rotor sedang), 3(merah dengan kecepatan rotor tertinggi)). dengan listing program sebagai berikut: >> rho=linspace(33,0); >> Ro=(33^2-1*rho.^2); %tenacity rotor 1 dalam cN/Tex >> Ri= (33^2-2*rho.^2); %tenacity rotor 2 dalam cN/Tex >> R3=3*(33^2-3*rho.^2); %tenacity rotor 3 dalam cN/Tex >> plot(rho,Ro,'.',rho,Ri,'+',rho,R3)
Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar-2 di bawah ini.
Gambar-2. Tenacity dengan Kecepatan Rotor yang Berbeda (Diamater Rotor Sama). Bab.4 Simulasi Komputasi dengan MATLAB
Hal. 53
Pada Gambar-2 dapat dijelaskan bahwa semakin besar kecepatan rotor maka semakin besar tenacity take-off. Hal ini menunjukkan kecepatan rotor mempengaruhi tenacity take-off. Untuk memperlihat hubungan antara tenacity take-off pada navel dan diameter rotor untuk kecepatan rotor yang berbeda dapat dilakukan simulasi menggunakan persamaan (67) dengan nilai konstanta yang berubah (misalkan nrotor =1(biru tua), 2 (hijau), 3 (merah), 2 (biru muda) dengan listing program sebagai berikut: >> rho=linspace(0,20);%diameter rotor >> Ro=rho.^2;%tenacity rotor n1 >> R1=2*rho.^2; %tenacity rotor n2 >> R2=3*rho.^2; %tenacity rotor n3 >> R3=4*rho.^2; %tenacity rotor n4 >> plot(rho,Ro,'.',rho,R1,'+',rho,R2,rho,R3,'o')
Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar-3 di bawah ini.
Gambar-3. Hubungan Tenacity terhadap Diameter Rotor (Kecepatan Rotor Berbeda) Pada Gambar-3 dapat dijelaskan bahwa hubungan tenacity terhadap diamater rotor membentuk grafik parabola. Semakin besar kecepatan rotor maka menghasilkan tenacity take-off yang lebih besar. Bab.4 Simulasi Komputasi dengan MATLAB
Hal. 54
Kesimpulan Telah dibahas simulasi komputasi dengan komputer yang mendukung penelitian pergerakan materi, yaitu dengan menggunakan software MATLAB. Pada simulasi digunakan listing program pada jendela kerja Referensi Putra, Purnomosari dan Ngadiono., 2016, Pengantar Listrik Magnet dan terapannya, CV. Mulia Jaya, Yogyakarta. Putra, V.G.V, Rosyid, M.F & Maruto, G, 2016, A Simulation Model of Twist Influenced by Fibre Movement inside Yarn on Solenoid Coordinate, Global Journal of Pure and Applied Mathematics, No.1, Vol 12, Hal. 415-412. Trommer, G., 1995, Rotor Spinning, Deutscher Fachverlag, Frankfurt.
Bab.4 Simulasi Komputasi dengan MATLAB
Hal. 55
LAMPIRAN-1 L.1. Teori Himpunan Pada lampiran ini akan dijelaskan ini tentang teori himpunan dan dijelaskan tentang notasi dasar pada teori himpunan. Umumnya himpunan dinotasikan dengan huruf besar, seperti ๐, ๐, sedangkan anggota- anggota dari himpuanan tersebut dinotasikan dengan huruf kecil, seperti ๐ข, ๐ฃ, sehingga dapat dituliskan bahwa ๐ข โ ๐ dan ๐ฃ โ ๐, yang bermakna bahwa ๐ข adalah anggota dari himpunan ๐ dan ๐ฃ adalah anggota dari himpunan ๐ , sedangkan ๐ฃ โ ๐ memiliki arti bahwa ๐ฃ bukan anggota himpunan dari ๐. Lambang " = " merupakan lambang identity logical, sehingga jika dituliskan bahwa ๐ข = ๐ฃ, maka anggota ๐ข 1
2
dan ๐ฃ adalah suatu objek yang sama. Contoh ๐ข = 2 dan ๐ฃ = 4, maka dapat dituliskan bahwa ๐ข = ๐ฃ, jika ๐ข dan ๐ฃ adalah objek yang berbeda, maka dapat dituliskan ๐ข โ ๐ฃ. Jika ๐ adalah sub himpunan dari ๐, maka dapat dituliskan bahwa ๐ โ ๐, sedangkan untuk notasi ๐ โ ๐ bermakna bahwa ๐ adalah sub himpunan dari V atau ๐ sama dengan ๐. Untuk menuliskan bahwa anggota-anggota ๐ข1 , ๐ข2 , ๐ข3 adalah elemen dari himpunan ๐, maka dapat dituliskan ๐ = ๐ข1 , ๐ข2 , ๐ข3 , dan jika ternyata anggota ๐ข๐ adalah anggota-anggota dari himpunan bilangan bulat, maka dapat dituliskan ๐ = ๐ข๐ ๐ข๐ ๐๐๐๐๐๐ ๐๐๐. ๐๐ข๐๐๐ก . Himpunan Union โโช " diartikan sebagai kata โatauโ, sebagai contoh ๐ด โช ๐ต, maka dapat diartikan bahwa ๐ด โช ๐ต = ๐ฅ ๐ฅ โ ๐ด ๐๐ก๐๐ข ๐ฅ โ ๐ต, yang dibahasakan yaitu ๐ฅ, dimana ๐ฅ adalah anggota himpunan ๐ด atau ๐ฅ anggota himpunan ๐ต. Dapat dijelaskan dengan Gambar-1 sebagai berikut
Lampiran-1
Hal. 56
Gambar-1 ๐จ โช ๐ฉ = ๐ ๐ โ ๐จ ๐๐๐๐ ๐ โ ๐ฉ Irisan/ intersection dari himpunan dapat diartikan sebagai โdanโ sebagai contoh ๐ด โฉ ๐ต, maka dapat diartikan bahwa ๐ด โฉ ๐ต = ๐ฅ ๐ฅ โ ๐ด ๐๐๐ ๐ฅ โ ๐ต , yang dibahasakan yaitu ๐ฅ, dimana ๐ฅ adalah anggota himpunan ๐ด dan ๐ฅ anggota himpunan ๐ต. Dapat dijelaskan dengan Gambar-2, sedangkan ๐ด โฉ ๐ด = โ
menyatakan bahwa ๐ด dan ๐ด adalah disjoint ( tidak selibat). Himpunan kosong โ
adalahh himpunan yang tidak memiliki elemen ( Gambar-3).
Gambar-2 ๐จ โฉ ๐ฉ = ๐ ๐ โ ๐จ ๐
๐๐ ๐ โ ๐ฉ Dapat diperlihatkan pada Gambar-3 suatu himpunan kosong. Dinotasikan ๐ด โฉ โ
= โ
, sedangkan ๐ด โช โ
= ๐ด
Gambar-3 Himpunan Kosong
Lampiran-1
Hal. 57
Perbedaan dari dua buah himpunan dapat dinotasikan sebagai ๐ด โ ๐ต yang dapat dirumuskan sebagai ๐ด โ ๐ต = ๐ดโ๐ต dan dapat diperlihatkan pada Gambar-4 di bawah
Gambar-4 Perbedaan dari Dua Himpunan Munkres, J.R. (1999) dan Hilgert dan Karl, (2010) menyatakan bahwa relasi ekivalensi , ๐ธ โ ๐ธ โฒ , merupakan bentuk relasi kelas ekivalensi, yaitu dijelaskan sebagai berikut: jika diberikan suatu subhimpunan dari himpunan ๐ด, yaitu ๐ธ dan ๐ธโฒ, maka jika relasi ekivalensi pada ๐ธ ditentukan dengan sebuah elemen titik ๐ฅ dan relasi ekivalensi pada ๐ธโฒ ditentukan dengan sebuah elemen titik ๐ฅโฒ dan andaikan ๐ธ โฉ ๐ธโฒ โ โ
, dan sebuah titik ๐ฆ adalah titik pada irisan ๐ธ โฉ ๐ธโฒ, maka ๐ธ โ ๐ธโฒ ( Gambar-5)
Gambar-5 Relasi Ekivalensi Dari definisi jika ๐ฆ โผ ๐ฅ, notasi โผ menunjukkan kelas ekivalensi, dan ๐ฆ โผ ๐ฅโฒ dengan menggunakan sifat simetri, maka dapat dituliskan bahwa ๐ฅ โผ ๐ฆ dan ๐ฅโฒ โผ ๐ฆ, sehingga ๐ฅ โผ ๐ฅโฒ dan jika sebuah titik lain ๐ค โ ๐ธ, maka dapat dituliskan bahwa ๐ค โผ ๐ฅ dan ๐ค โผ ๐ฅโฒ, sehingga dapat disimpulkan bahwa ๐ธ โ ๐ธโฒ, dari sifat kesimetrian maka dapat Lampiran-1
Hal. 58
disimpukan juga bahwa ๐ธโฒ โ ๐ธ, atau dapat dituliskan bahwa ๐ธ = ๐ธโฒ, sehingga dapat dituliskan baha ๐ธโฒ โ ๐ธ dan sebaliknya. L.2. Himpunan Terbuka Jika terdapat suatu ruang Euclidean dimensi-n, sebagai berikut ๐ธ๐ = ๐ฆ1 , ๐ฆ2 , โฆ ๐ฆ๐ ๐ฆ๐ โ โ Dengan ๐ธ1 adalah garis nyata ( real line) dan ๐ธ2 adalah ruang Euclidean ( ruang koordinat nyata yang terdefinisi pada himpunan nyata โ) dimensi-2 dan ๐ธ3 adalah ruang Euclidean dimensi-3. Suatu norm atau besar dari ๐ฆ = ๐ฆ1 , ๐ฆ2 , โฆ ๐ฆ๐ ๐ฆ๐ โ โ di ๐ธ๐ adalah ๐ฆ = ๐ฆ1 2 + ๐ฆ2 2 + โฏ + ๐ฆ๐ 2 Jarak antara dua buah titik ๐ฆ = ๐ฆ1 , ๐ฆ2 , โฆ ๐ฆ๐ ๐ฆ๐ โ โ ๐ง1 , ๐ง2 , โฆ ๐ง๐ ๐ง๐ โ โ di ๐ธ๐ adalah ๐ = ๐ฆโ๐ง = Dengan sifat ๐๐๐๐ adalah
๐ฆ1 โ ๐ง1
2
+ โฏ + ๐ฆ๐ โ ๐ง๐
dan ๐ง = 2
๐ โฅ0 ๐ฆ + ๐ง โค ๐ฆ + ๐ง dengan ๐ฆ, ๐ง โ ๐ธ๐ ๐ฆ โ ๐ง โค ๐ฆ โ ๐ค + ๐ง โ ๐ค dengan ๐ฆ, ๐ง, ๐ค โ ๐ธ๐ Himpunan terbuka / open set didefinisikan sebagai kumpulan anggota tanpa daerah batasnya, sebagai contoh adalah suatu daerah padat tanpa daerah batasnya, dan jika daerah batasnya dimasukkan, maka akan didapatkan himpunan tertutup ( closed set). Contoh jika ๐ โ ๐ธ๐ (๐ธ๐ terbuka dan terdaapt โ
terbuka), bola terbuka dengan pusat ๐ dan jejari ๐, adalah sub himpunan dari bola terbuka ๐ต ๐, ๐ = ๐ฅ โ ๐ธ๐ ๐ฅ โ ๐๐ dengan S ๏ฝ ( x , y , z ) ๏ฝ (( a ๏ซ b cos ๏ฎ ) cos u, ( a ๏ซ b cos ๏ฎ ) sin u, b sin ๏ฎ )
Lampiran-1
Hal. 71
LAMPIRAN-2 L.1 Penyelesaian dengan MATLAB Pada lampiran ini akan dipelajari penggunaan MATLAB untuk menyelesaikan persamaan-persamaan matematik serta pemodelan dengan menggunakan simulink. Sebagai contoh terdapat suatu persamaan deferensial sebagai berikut ๐2 ๐ฆ ๐๐ฆ 2 = ๐ 1 โ ๐ฆ โ๐ฆ ๐๐ฅ 2 ๐๐ฅ Maka pemodelan dengan menggunakan simulink dapat didesain sebagai berikut di bawah ( Gambar-1)
Gambar-1 Pemodelan dengan Menggunakan Mux Hasil keluaran dapat diperlihatkan pada Gambar-2 di bawah
Gambar-2 Hasil Keluaran dengan Menggunakan Mux Lampiran-2
Hal. 72
MATLAb juga dapat digunakan untuk menganalisa suatu gerbang logika pada rangkaian listrik seperti pada Gambar di bawah
Gambar-3 Gerbang Logika pada Rangkaian IC Dapat diperlihatkan suatu gerbang logika menggunakan MATLAB menggunakan menu seperti pada Gambar-4 di bawah
Gambar-4 Menu Gerbang Logika Contoh penggunaan simulink dengan menggunakan MATLAB pada gerbang logika dapat diperlihatkan pada Gambar-5 di bawah Lampiran-2
Hal. 73
Gambar-5 Gerbang Logika pada Rangkaian IC dengan MATLAB MATLAB juga menyediakan suatu simulink untuk menganalisa rangkaian listrik, yaitu pada menu Simulink di Library, seperti pada Gambar-6
Gambar-6 Menu Rangkaian Listrik pada MATLAB Lampiran-2
Hal. 74
Sebagai contoh akan digunakan menu simulink untuk menganalisa rangkaian sederhana. Dalam membuat skema, terlebih dahulu harus digunakan powergui dan dipilih menu configure parameters yang dapat diambil pada menu seperti pada Gambar-7 di bawah
Gambar-7 Menu Powergui Menu tampilan skema listrik yang akan dipasang dapat dijalankan dan hasil program dapat ditampilkan pada layar seperti pada Gambar-8 di bawah
Gambar-8 Contoh Program MATLAB Lampiran-2
Hal. 75
MATLAB juga menyediakan menu untuk menyelesaikan bentuk persamaan matematis suatu rangkaian elektronika, seperti rangkaian RC yaitu sebagai berikut ๐=0 ๐ผ๐
+ ๐ผ๐
+
1 ๐ถ
๐ = ๐๐ท๐ถ ๐ถ
๐ผ๐๐ก = ๐๐ท๐ถ = ๐
1 ๐ผ๐๐ก ๐ถ Dapat diselesaikan dengan MATLAB jika nilai ๐
= ๐ถ = 1 , seperti pada Gambar-9 ๐๐
= ๐ โ
Gambar-9 Simulasi MATLAB Rangkaian RC Untuk rangkaian RLC maka dapat dibuat sebuah listing program sebagai berikut ๐=0 Lampiran-2
Hal. 76
๐ ๐๐ผ + ๐ฟ = ๐๐ท๐ถ ๐ถ ๐๐ก 1 ๐๐ผ ๐ผ๐
+ ๐ผ๐๐ก + ๐ฟ = ๐ ๐ถ ๐๐ก 1 ๐๐ผ ๐๐
= ๐ โ ๐ผ๐๐ก โ ๐ฟ ๐ถ ๐๐ก Hasil simulasi memperlihatkan sebagai berikut Gambar-10 jika ๐
=๐ฟ=๐ถ=1 ๐ผ๐
+
Gambar-10 Simulasi MATLAB Rangkaian RLC Beberapa contoh pemrograman dengan Matlab 1. Dapat diperlihatkan pemodelan untuk rangkaian R-C sebagai berikut
Gambar-11 Rangkaian RC Lampiran-2
Hal. 77
Pemodelan secara komputasi didapatkan bahwa
Gambar-12 Pemodelan secara Komputasi Hasil simulasi dapat diperlihatkan pada powergui
Gambar-13 Hasil Pemodelan pada LTI Viewer Tegangan vs Time Untuk memperlihatkan besar tegangan terhadap frekuensi, maka dapat digunakan menu edit pada LTI Viewer dan menggantinya ke menu Bode, seperti pada Gambar-14
Gambar-14 Tegangan vs Frekuensi Lampiran-2
Hal. 78
Berbagai bentuk pemodelan teori rangkaian RC dapat diperlihatkan sebagai berikut: Untuk mencari arus pada kapasitor: ๐=0 ๐ผ๐
+ ๐ผ๐
+
1 ๐ถ
๐ = ๐๐ท๐ถ ๐ถ ๐ผ๐๐ก = ๐
๐ 1 โ ๐ผ๐๐ก ๐
๐
๐ถ Untuk mencari tegangan pada kapasitor: ๐ผ=
๐=0 ๐๐ ๐ ๐
+ =๐ ๐๐ก ๐ถ ๐๐ ๐ ๐ = โ ๐๐ก ๐
๐
๐ถ
Gambar-15 Tegangan ๐ฝ =
๐ ๐ถ
vs Time
2. Untuk rangkaian R-L dapat diperlihatkan sebagai berikut
Lampiran-2
Hal. 79
Gambar-16 Rangkaian R-L Hasil tegangan terhadap waktu dapat diperlihatkan pada Gambar-17 di bawah ( pada powergui )
Gambar-17 Kurva Tegangan vs Time Pemodelan teori dapat diperlihatkan sebagai berikut Untuk mencari arus pada induktor: ๐=0 ๐๐ผ + ๐ผ๐
= ๐๐ท๐ถ ๐๐ก ๐๐ผ 1 ๐ + ๐ผ๐
= ๐๐ก ๐ฟ ๐ฟ ๐๐ผ ๐ ๐ผ๐
= โ ๐๐ก ๐ฟ ๐ฟ
๐ฟ
Lampiran-2
Hal. 80
Dapat dikerjakan menggunakan rangkaian integrator untuk menentukan ๐๐ผ
besar tegangan ๐ = ๐ฟ ๐๐ก sebagai berikut ( Gambar-18)
Gambar-18 Tegangan pada Induktor vs Time L.2. Latihan Soal 1. Buatlah persamaan Fisika yang mewakili gambar berikut
Lampiran-2
Hal. 81
BIOGRAFI PENULIS Dr. Valentinus Galih Vidia Putra, S.Si., M.Sc lahir di desa Wedi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Pendidikan dasar sampai menengah diselesaikan di kota kecil Bekasi, Jawa Barat. Penulis menamatkan pendidikan starta satu (S-1) dan Master (S-2) Fisika di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam FMIPA UGM dengan predikat Cumlaude. Program Doktor diselesaikannya di Universitas yang sama juga dengan predikat Cumlaude dan dalam waktu tiga tahun sepuluh bulan dengan topik disertasi pemodelan serat benang pada mesin open end spinning. Kegiatan Organisasi dan Riwayat pekerjaan penulis: 1.
Asisten Tugas Lab I, II dan III di Laboratorium Fisika UGM (2007-2009).
2.
Tim panitia Lomba Fisika Nasional (TOP COP UGM), UGM, Yogyakarta( 2007).
3.
Tim Koordinator Lomba cerdas cermat KKN-PPM UGM, Yogyakarta di Purworejo (2008).
4.
Anggota keluarga mahasiswa Katolik (KMKath), UGM, Yogyakarta (20052010).
5.
Pengajar Fisika dan Matematika SMA, LBB SSC, Yogyakarta (2010-2012).
6.
Pengajar Olimpiade Sains Nasional Fisika SMA De Britto,Yogyakarta dan SMP IPH School, Surabaya (2011-2013).
7.
Asisten dosen Mata Kuliah Fisika Matematika, Prodi Geofisika, Jurusan Fisika UGM, Yogyakarta (2012).
8.
Dosen Fakultas Teknik Informatika Universitas Dian Nuswantoro, Semarang, Mata kuliah: Fisika dasar I dan 2, Pengantar Elektronika Dasar, (2012-2013).
Biografi Penulis
Hal. 82
9.
Dosen Fisika, Politeknik STTT, Bandung, Mata Kuliah: Utilitas I, Otomasi, Mekatronika Tekstil, Praktikum Mekatronika Tekstil, Praktikum Fisika Dasar I dan 2 (2014-sekarang).
Kegiatan Ilmiah yang pernah diikuti: 1. 2. 3. 4.
Indonesian Textile Conference, Seminar NasionalTekstil2014 Seminar Nasional Pekan Ilmiah Fisika XXV The 2nd International Conference on Kinematics, Mechanics of Rigid Bodies and Materials ( MECHKINEMATICS 2014) The 4th International Conference on Theoretical and Applied Physics (ICTAP) 2014
Karya Ilmiah yang pernah ditulis: No
Bidang
Karya Ilmiah
1
Tekstil
Jurnal Nasional Tekstil
2
Tekstil
Jurnal Nasional Tekstil
3
Tekstil
Prosiding Seminar Nasional Tekstil
4
Tekstil
Prosiding Seminar Nasional Tekstil
Biografi Penulis
Judul
Identitas Karya Ilmiah
Pemodelan Untuk Menentukan Hubungan Actual Twist Tipe-Z Terhadap Kecepatan Sudut pada Mesin Spinning (Rotor dan Ring Spinning) Studi Pengaruh Bentuk S-Twisted dan ZTwisted Terhadap Besar Twist pada Mesin Pintal
TEXERE ( Journal of Textile Science and Technology) Vol. 12 No.1, ISSN 1411309-0 , (2014),sebagai penulis ke1
Studi Pengaruh Bentuk Permukaan Navel terhadap Hairiness (Pendekatan Teori dan Validasi Eksperimen) Hubungan Actual Twist Tipe-Z terhadap Kecepatan Benang pada Mesin Pintal (Pendekatan Fisika)
TEXERE ( Journal of Textile Science and Technology) Vol. 12 No.2, ISSN 1411309-0 , (2014), sebagai penulis ke-1 Prosiding Seminar Nasional Tekstil 2014, ISSN 2356-5055, Volume 1, Nomor 1 (2014) penulis ke-1 Prosiding Seminar Nasional Tekstil 2014, ISSN 2356-5055, Volume 1, Nomor 1 (2014) penulis ke-1
Hal. 83
5
Tekstil
Prosiding Seminar Nasional Tekstil
6
Fisika
Prosiding Seminar Nasional Fisika
7
Fisika
Prosiding Seminar Nasional Fisika
8
Fisika
Prosiding Seminar Nasional Fisika
9
Fisika
Prosiding Seminar Nasional Fisika
10
Fisika
Jurnal Internasional
11
Fisika
Jurnal Internasional
Biografi Penulis
Pemodelan untuk Menentukan Hubungan Twist terhadap Nomor Benang Nm pada Mesin Rotor Open-End Spinning Menggunakan Metode Lagrange dan Komputasi Numerik (Pendekatan Fisika) Analisa Teori untuk Menentukan Yarn Tension pada Mesin Open End Spinning ( analisa Fisika) Analisa Teori Pembentukan Twist pada Mesin Air Jet Spinning Tipe Murata Vortex Spinning Pengenalan Sistem kerangka Acuan Non Inersia pada Pengaruh Bentuk S-Twist dan ZTwist terhadap besar Twist pada Mesin Pintal Ring Spinning Bentuk Pemodelan Pergerakan SeratBenang dalam Tampang Lintang Struktur Benang Ring Spinning (Tinjauan Fisika Teori) Theoretical Modeling for Predicting the Optimum Twist Angle of Cotton Fiber Movement on OE Yarn Made by Rotor Spinning Machine Predicting the Actual Strength of Open-End
Prosiding Seminar Nasional Tekstil 2014, ISSN 2356-5055, Volume 1, Nomor 1 (2014) penulis ke-1
Prosiding Seminar Nasional Fisika, ISSN 2339-160X, Volume 2, Nomor 1 (2014) sebagai penulis ke-2 Prosiding Seminar Nasional Fisika, ISSN 2339-160X, Volume 2, Nomor 1 (2014) sebagai penulis ke-2 Prosiding Seminar Nasional Fisika, ISSN 2339-160X, Volume 2, Nomor 1 (2014) sebagai penulis ke-1
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2015 (SNIPS 2015) 8 dan 9 Juni 2015, Bandung, Indonesia Journal of Applied Mathematics and Physics, (2015), 3, 623-630, Published Online May 2015 in SciRes. http://dx.doi.org/10.4236/j amp.2015.35074 penulis 1 Applied Mechanics and Materials , indexed by
Hal. 84
Spun Yarn Using Mechanical Model
12
Fisika
Jurnal Internasional
Biografi Penulis
A Simulation Model of Twist Influenced by Fibre Movement inside Yarn on Solenoid Coordinate
scopus , Vol 780 (2015) pp 69-74 ยฉ (2015) Trans Tech Publications, Switzerland doi:10.4028/www.scientif ic.net/AMM.780.69 penulis ke-2 Global Journal Pure and Applied Mathematics, indexed by scopus (2016)
Hal. 85