No. 48, 2006
Dewan Redaksi Gadis Arivia Nur Iman Subono Pemimpin Redaksi Adriana Venny Redaktur Pelaksana Mariana Amiruddin Redaksi Mikael Johani Henny Irawati Sinta Situmorang Sekretaris Redaksi Suprihadi Desain & Layout Agus Wiyono Penjualan & Sirkulasi Budi Hermawan Endang Setiyawati Ardhiansyah Percetakan SMKG Desa Putera, Jakarta Alamat Redaksi Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810 Telp.: (021) 83702005 (hunting) Faks: (021) 8302434 E-mail:
[email protected] Website: www.jurnalperempuan.com Penerbit YAYASAN JURNAL PEREMPUAN Cetakan Pertama, Jakarta, Juli 2006 ISSN : 1410-153X Didukung oleh
bermitra dengan
Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak, mengkopi sebagian atau keseluruhan tanpa seijin Yayasan Jurnal Perempuan. Isi tulisan tidak harus mencerminkan pandangan redaksi.
• Daftar Isi •
D a f ta r I s i Edisi 48 Prolog 4
39
Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan Misiyah
55
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis Nur Iman Subono
69
Feminisme dan Universitas Rocky Gerung
79
Sinetron Feminisme dan Sosiologi Widjajanti M. Santoso
Pentingnya Metodologi Feminis di Indonesia
Topik Empu 7
Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ... Elli Nur Hayati
17
Feminisme: Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran Mariana Amiruddin
Kliping 52
Penelitian yang Memakai Pendekatan Feminis
Berita 27
Kapan Ilmu akan Berubah?: Lebih dekat kepada Metodologi Feminis Rachmad Hidayat
92
Tema-tema Pokok Ilmuwan Feminis
125 Manifesto Temu Nasional Aktivis Perempuan Indonesia
Sumber foto/ilustrasi: www.poptel.org.uk, www.wilsey.net, www.sigu7.jussieu.fr, www.komnasperempuan.or.id, www.ic.arizona.edu, www.nicholsoncartoons.com.au, www.got.net, www.calpatriot.org, feminist.stanford.edu, www.travellerspoint.com, www.af.mil, www.mccullagh.org, www.radicalwomen.org, www.photojunkie.ca, www.clarkson.edu, www.n8w.com, kristevawww.transfinito.net, kristeva.blogs.com.jpg, whatnow.intrasun.tcnj.edu, www.royalgrafico.de, radicalgraphics.org
2
Jurnal Perempuan 48
• Daftar Isi • 128 Agenda Khusus: 12 Isu Kritis Gerakan Perempuan Tahun 2006 - 2011
Cerita Perempuan 133 Kamar Kecil Milikku Sendiri Virginia Woolf
Wawancara 96
Kristi Poerwandari (Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Wanita Universitas Indonesia): “Membaca Kisah Lady Di dengan Metode Penelitian Feminis”
Tokoh Perempuan 103 Katakan dan Lawan: Bahasa dan Perjuangan Feminisme dalam Teori Julia Kristeva Indah Lestari
Tips 150 Apikasi Kebijakan Gender Budgeting sebagai Metodologi Feminis: Menghapus Bentuk-bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Melalui Alokasi Anggaran Pemerintah
Kolom Budaya 164 Puisi
Serba-serbi
Profil 119 Saparinah Sadli: Women’s Studies di Indonesia Henny Irawati
111 138 172 173
Kata dan Makna Rak Buku Surat Pembaca Tentang Penulis
JURNAL PEREMPUAN mengundang anda menuliskan ide-ide kritis dan pemikiran-pemikiran alternatif yang berkaitan dengan persoalan perempuan dan isu-isu gender. Jumlah halaman tulisan 10-15 halaman kuarto, spasi 2, dilengkapi dengan catatan belakang/daftar pustaka dan biodata singkat penulis. Redaksi dapat menyingkat, mengubah dan mengedit tulisan tanpa mengubah maksud dan isinya. Dianjurkan tulisan dikirim dalam bentuk file dalam disket atau melalui e-mail dalam bentuk attachment. Untuk tulisan yang dimuat akan disediakan honorarium yang pantas. Tulisan yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan kecuali atas permintaan penulis dengan menyertakan perangko secukupnya. Jurnal Perempuan 48
3
• Prolog •
Pentingnya Metodologi Feminis di Indonesia
M
engapa Indonesia membutuhkan pendekatan baru dalam penelitian-penelitian sosialnya? Karena banyaknya proyek pembangunan yang gagal di Indonesia umumnya disebabkan perempuan tidak pernah diperhitungkan dalam pertimbangan pencarian solusi. Salah satu faktornya disebabkan karena para ahli pembangunan salah dalam mengidentifikasi akar permasalahan. Kemiskinan misalnya, sering dianggap netral gender, akibatnya angka human development index terus terpuruk karena perempuan tidak pernah dapat menikmati dampak pembangunan. Jaringan pengaman sosial misalnya hanya ditujukan kepada laki-laki, padahal justru perempuanlah penduduk miskin terbanyak dan pihak yang setiap hari harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Para tokoh feminis lalu menawarkan sebuah metode alternatif baru yakni metodologi penelitian feminis yang berangkat dari keprihatinan atas banyaknya penelitian tentang hubungan gender yang pada akhirnya bias gender—dan ini memang sangat berkait dengan pandangan ilmu sosial yang seksis. Meski banyak kaum positivis, terutama laki-laki, sulit menerima metodologi ini, para tokoh feminis tetap sepakat bahwa metodologi feminis akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas rg hidup perempuan. radicalgraphics.o Intinya metode baru ini harus meng-ijinkan subjektivitas di mana perempuan mempelajari perempuan dalam proses interaktif tanpa kesenjangan subjek/ objek yang dimunculkan antara peneliti dan yang diteliti. Judith Lorber menekankan bahwa metodologi feminis lalu menjadi satu-satunya cara untuk mengetuk masuk dan memahami kenyataan yang dialami perempuan, dan dengan ini kaum feminis memberikan kontribusi unik 4
Jurnal Perempuan 48 45 46
• Prolog • pada ilmu sosial tentang pola keterkaitan antar sebab dan akibat dari pertanyaan-pertanyaan yang belum terlihat oleh peneliti yang tidak feminis. Karenanya, dalam metodologi feminis pendekatan empati, participatory dan in-depth interview kerap diperlukan. Bagi peneliti yang tidak feminis, derai air mata dan isak tangis responden perempuan yang dianggap minor justru sangat bernilai dan jadi fokus yang terus digali oleh peneliti feminis. Sebab penindasan memiliki aspek lintas gender, dan hanya yang pernah mengalaminyalah yang bisa mengkomunikasikannya. Kerap juga metode penelitian yang diberlakukan selama ini sangat rigid, scientific, dan tidak peduli akan pengalaman perempuan, lebihlebih karena secara kultur perempuan kerap dididik untuk menerima bahwa laki-lakilah pemilik kebenaran. Ini lalu membuat perempuan hilang rasa percaya diri dan langsung menyerahkan pendapatnya kepada pihak laki-laki. Metodologi feminis justru sebaliknya, yang dipentingkan adalah memecah kebekuan itu. Perempuan sebagai informan penelitian harus dibuat menjadi merasa sangat nyaman dan percaya bahwa mereka adalah individu-individu yang sangat relevan dalam riset ini. Peneliti feminis harus bisa menjadi sahabat, dan bukan orang asing bagi informan perempuan. Apabila ia tidak mampu menempatkan diri, bisa dipastikan ia akan gagal membuat analisa yang mendalam dalam penelitian tentang kasus-kasus yang sangat sensitif bagi hidup perempuan, misalnya: aborsi, lesbianitas, trafiking, pelecehan seksual, ketidaksuburan, perkosaan, dan sebagainya. Akhirnya, justru karena metodologi feminis belum populer di Indonesia, kini sangatlah perlu untuk segera diimplementasikan mengingat persoalan perempuan di Indonesia sudah sedemikian mendesak untuk segera dipecahkan. Metodologi feminis kini wajib dipahami oleh generasi muda, mahasiswa, pelajar dan seterusnya, sebagai bekal mereka untuk menganalisa permasalahan gender dalam pembangunan di masa depan. Jurnal Perempuan kali ini akan menjadi literatur yang demikian penting bagi berbagai pihak: birokrat, akademisi, politisi, dan seluruh komponen masyarakat serta para pengambil keputusan untuk mengakomodir suara, pengalaman serta kebutuhan perempuan—sebagai alat yang bisa memecahkan berbagai persoalan sosial yang membelenggu bangsa. (Adriana Venny) Jurnal Perempuan 48
5
www.poptel.org.uk
• Topik Empu •
Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ...
Elli Nur Hayati
It is a subject on which nothing final can be known, as long as those who alone can really know it, women themselves, have given but little testimony, and that little, mostly suborned. Tak akan pernah ada yang tahu jawabannya apa, selama mereka yang benar-benar tahu, perempuan itu sendiri, hampir tak pernah angkat suara, dan yang mau pun segera dibungkam.1
Beberapa Konsep Dasar Jika kita ditanya, “Apa sih ilmu pengetahuan itu?”, “Apakah kebenaran?”, “Bagaimana ilmu pengetahuan dirumuskan atau diciptakan?”, “Siapakah yang menciptakan?”, “Apakah ilmu pengetahuan itu benar adanya?”, “Bagaimana kita tahu kebenarannya?”, apa jawaban kita? Sebagian dari kita mungkin menjawab, ya tentu ilmu pengetahuan diciptakan oleh para ilmuwan, melalui proses ilmiah, dan, setelah melalui berbagai uji kesahihan dan keandalan, maka baru dapat Jurnal Perempuan 48
7
Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ...
Elli Nur Hayati
ditetapkan sebagai sebuah kerangka teoritik tertentu. Sebagian yang lain mungkin akan mengatakan ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari mana pun dan oleh siapa pun sebab kehidupan ini sendiri adalah sumber ilmu pengetahuan. Jagad ilmu pengetahuan sedemikian luas, tak terbatas, sama luas dan tak terbatasnya dengan alam semesta itu sendiri. Dalam konteks ilmiah, kebenaran kita peroleh jika data empiris yang dikumpulkan dari lapangan telah diolah menggunakan paradigma yang quantifiable.2 Protokol pengambilan data yang rigid (sesuai rancangan pengumpulan data), rumusan, dan kaidah-kaidah pengolahan data yang akurat menjadi alat-alat kita untuk menemukan kebenaran yang kemudian kita bangun menjadi sebuah ilmu pengetahuan. Pertanyaannya, bagaimanakah dengan pengetahuan yang dibangun dari data yang unquantifiable? Data berupa narasi tertulis atau narasi hasil wawancara, misalnya? Apakah data semacam itu dapat dipercayai “kebenarannya”? Apakah bangunan pengetahuan yang kita buat juga dapat diklaim “kebenaran”nya? Apakah ia juga “benar” dalam konteks yang berbeda? Semua pertanyaan itu hanya dapat terjawab bila kita memahami, setidaknya, “tiga serangkai” terminologi popular dalam pembentukan ilmu pengetahuan: metode, metodologi, dan epistemologi. Metode adalah teknis pelaksanaan pengambilan data di lapangan,3 sedang metodologi lebih merupakan teori dan analisis tentang bagaimana seharusnya riset akan dilakukan,4 atau ilmu tentang metodemetode yang berisi standar dan prinsip-prinsip dasar yang digunakan sebagai pedoman penelitian.5 Sementara itu, epistemologi adalah teori tentang ilmu pengetahuan, yang menjawab berbagai hal seputar “siapakah orang yang tahu tentang fenomena yang kita teliti?” (apakah laki-laki atau perempuan, atau keduanya?), “apa sajakah yang dapat dijadikan sebagai bahan untuk diteliti?” (apakah hanya data empiris yang dapat diangkakan? Atau pengalaman subjektif juga dapat dijadikan bahan penelitian?), dan seterusnya.6 Tiga serangkai konsep dasar di atas akan diterjemahkan secara berbeda, setiap kali dirunut ke atas mereka akan berujung pada induk paradigma yang berbeda. Paradigma di sini adalah serangkaian pandangan, keyakinan tentang dunia, termasuk metode yang diyakini dapat membantu menciptakan dan menguatkan keyakinan tersebut.7 Setidaknya ada tiga paradigma yang menjadi wacana umum dalam dunia ilmu pengetahuan, yaitu paradigma: 1) positivistik, 2) naturalistik, 8
Jurnal Perempuan 48
Elli Nur Hayati
Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ...
dan 3) kritikal. Ketiganya memiliki cara pandang yang berbeda tentang realitas dunia dan manusia (ontology), asumsi dasar tentang bagaimana ilmu pengetahuan dibangun (epistemology), peran nilai-nilai dalam pembangunan ilmu pengetahuan (axiology), tentang hukum sebabakibat, dan tentang generalisasi8. Androsentrisme dan Krisis Representasi Perempuan Representasi: dari mana kita bergerak dan untuk siapa. Dalam wacana ilmu sosial, sejarah pembangunan ilmu pengetahuan adalah ajang pergulatan wacana, mereka dikumpulkan, dianalisis, dan disimpulkan berdasarkan kacamata rezim ilmuwan yang androsentris, berpusat pada laki-laki.9 Produk pengetahuan yang dihasilkannya pun menjadi sangat maskulin, karena memang berangkat dari pemikiran, gagasan, dan pengalaman hidup laki-laki.10 Ketika rumusan pengetahuan tersebut kemudian dipergunakan sebagai acuan untuk membaca gejala-gejala yang tampak dalam hidup sehari-hari, tampaklah kesenjangan menyolok antara kelompok laki-laki dan perempuan. Pembacaan yang salah fatal ini terjadi berkali-kali dalam bidang psikologi, misalnya di studi Lawrence Kohlberg tentang moral judgment, studi Erik Erikson tentang delapan tahapan perkembangan manusia (eight stages of man),11 dan teori inferioritas perempuan dari laki-laki yang digagas oleh Sigmund Freud. 12 Baik Kohlberg maupun Erikson membangun teori perkembangan manusia berdasarkan riset mereka, yang subjeknya semua laki-laki. Ketika temuan penelitian ini diterapkan dan digeneralisasikan untuk menjadi acuan perkembangan anak-anak pada umumnya, maka tampaklah kesenjangan itu: anak perempuan jadi tampak lebih lambat berkembang dibanding anak laki-laki. Selama berabad-abad wacana ilmu pengetahuan sosial telah dibangun berdasarkan pengalaman, ekspresi pemikiran, dan persepsi laki-laki tentang dunia, bahkan riset tentang masalah perempuan pun seringkali dirancang, diinterpretasi, dan dianalisis berdasarkan cara pandang yang maskulin, tidak berakar pada pengalaman hidup perempuan itu sendiri.13 Pengalaman hidup, ide, pemikiran, serta kebutuhan perempuan selama ini relatif absen dari riset ilmu sosial karena kita hidup dalam dunia yang mengutamakan nilai-nilai, perspektif, dan pengetahuan yang maskulin sebagai kebenaran yang objektif. Itulah memang yang terjadi, seperti kata Protagoras (485-410 Jurnal Perempuan 48
9
Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ...
Elli Nur Hayati
Foto: Dok. YJP
SM), “man is the measure of all things”, “semuanya tergantung laki-laki”.14 Akibatnya, banyak sekali konsep-konsep kemanusiaan dalam ilmu sosial yang “inadequately measured”, “menggantung”, karena standar pengukurannya adalah sampel homogen, yang isinya laki-laki saja. Ini adalah contoh saja dari kefatalan metodologis yang riil dari kecenderungan androsentisme dalam pembangunan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan seolah-olah hanya dikembangkan oleh laki-laki saja: kebanyakan buku-buku teks ilmiah ditulis oleh laki-laki, teori-teori baru digagas dan dikembangkan oleh laki-laki, hadiah nobel dimenangkan oleh tokoh-tokoh negarawan dan ilmuwan terkemuka lakilaki. Perempuan seolah tenggelam, tak terdengar suaranya, tak terlihat kiprahnya, tak teridentifikasi hasil karyanya. Pernahkah perempuan menyumbangkan ilmu pengetahuan baru untuk masyarakat dan negerinya? Carol Gilligan, dalam tulisannya yang fenomenal Women’s Place in Men’s Life Cycle, terbit tahun 1979, menyatakan bahwa perempuan telah hilang dalam ranah ilmu pengetahuan, bahkan sebagai subjek penelitian sekalipun. Mary Belenky dan kawan-kawannya psikolog feminis Amerika Serikat tahun ‘70-an melakukan studi dengan mewawancarai sekitar 135 orang perempuan dari berbagai macam latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan profesi. Mereka melakukannya karena gelisah
10
Jurnal Perempuan 48
Elli Nur Hayati
Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ...
melihat betapa banyak mahasiswi yang mereka bimbing mengeluh merasa tidak kompeten dalam bidang akademik, tidak sekompeten para mahasiswa. Itu sebabnya prestasi akademik mahasiswi-mahasiswi ini tidak menonjol. Mereka sering mengutarakan bahwa hal yang lebih berarti bagi hidup mereka bukanlah kehidupan akademik, namun kehidupan nyata yang penuh dengan dinamika, persahabatan dengan orang-orang di sekitarnya, juga krisis kehidupan. Hasil wawancara Belenky dan koleganya menunjukkan ada sistem yang salah dalam dunia akademik, yang memudahkan murid laki-laki mengekspresikan kompetensi dan otoritasnya, dan menyulitkan murid perempuan berlaku serupa. Murid perempuan lebih tidak percaya diri dalam mengungkapkan pendapatnya karena merasa takut bila diremehkan dan tidak didengarkan gagasan-gagasannya.15 Mereka cenderung “diam” karena takut, khawatir tidak diterima, dihujat, dan diremehkan. Menurut Mary Wollstonecraft,16 perempuan telah terlanjur dididik menjadi makhluk emosi daripada rasio. Sekarang pendidikan seharusnya mampu menjadikan perempuan berdaya, tidak lagi di bawah otoritas laki-laki. Feminisme Sebagai Alat Utama Setelah berabad-abad mengabaikan eksistensi perempuan dalam membangun ilmu pengetahuan, “menambahkan perempuan” (adding women) – meminjam istilah Sandra Harding – dalam kajian dan analisis ilmu pengetahuan menjadi agenda utama kita. Persoalannya, ilmu pengetahuan yang selama ini dibangun atas dasar pengalaman hidup dan pemikiran laki-laki telah menjadi tradisi metodologi yang baku, diakui “kebenarannya” secara epistemologis sebagai alat untuk membangun ilmu pengetahuan, dianggap sebagai sebuah metodologi yang universal. Jika perempuan ditambahkan dalam khazanah itu, apakah mungkin metodologi yang telah ada digunakan untuk menganalisis dan membangun pengetahuan yang baru? Sebab, secara empiris kita tahu bahwa secara biopsikososial laki-laki dan perempuan berbeda. Perbedaan itu tentu efek pengalaman hidup, karena keduanya dibesarkan dan dibentuk secara kontekstual oleh masyarakat di sekitarnya sesuai dengan aturan, norma, dan harapan-harapan yang didasarkan pada jenis kelamin mereka. Ini semua membuat laki-laki dan perempuan memiliki pola pikir, perasaan, dan perilaku yang berbeda. Jurnal Perempuan 48
11
Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ...
Elli Nur Hayati
Jadi, bagaimana cara “adding women” dalam khazanah pembangunan ilmu pengetahuan? Perspektif feminis tampaknya alat yang tepat. Patricia Maguire17 menyebutkan bahwa feminisme adalah terminologi yang mencakup tiga komponen: a) keyakinan bahwa secara universal perempuan ditindas dan dimanfaatkan, b) komitmen untuk memahami dan mencari akar masalah yang menyebabkan hal itu, dan c) komitmen untuk bekerja, secara individual maupun kelompok, untuk memperbaiki situasi itu. Menurutnya, gagasan metodologi feminis merupakan gabungan dari: 1) teori dan konsep tentang bagaimana suatu penelitian (pengumpulan data) seharusnya dilakukan, dan 2) cara pandang yang bisa melihat perempuan selama ini ditindas dan harus segera dibebaskan. Untuk itu Shulamit Reinharz mengingatkan, kunci utama untuk mengembangkan metodologi feminis sebetulnya adalah bagaimana perspektif feminisnya nanti mewarnai penggunaan metodemetode penelitian yang telah ada. Metodologi Feminis Metodologi feminis diharapkan dapat mengatasi persoalan androsentrisme dan representasi perempuan, mengakui perbedaan cara berpikir dan berpengetahuan perempuan dan laki-laki, dan mempertimbangkan pengalaman hidup perempuan beserta keseluruhan subjektivitasnya mengartikan dunia dalam membangun pengetahuan. Kita telah menyaksikan bagaimana selama ini perempuan tidak terepresentasikan, tidak terdengar suaranya, dan terkooptasi oleh interpretasi universal yang berstandar laki-laki dalam pembangunan ilmu pengetahuan. Pengalaman itu menuntun kita untuk menggagas metodologi yang lebih adil dan mampu menjawab keberbedaan yang tak terelakkan antara lakilaki dan perempuan. Paradigma Metodologi Feminis Ada enam unsurnya. Yang pertama, agenda. Membangun ilmu pengetahuan tidak untuk keuntungan diri sendiri tetapi untuk membangkitkan kesadaran publik yang lebih luas. Sandra Harding menyebutkan hal ini sebagai penelitian untuk perempuan, penelitian yang dilakukan untuk menguatkan kapasitasnya. Sulamit Reinharz menggarisbawahi tujuan yang lebih luas dari penelitian untuk perempuan ini, yaitu perubahan sosial (yang lebih baik) bagi kaum 12
Jurnal Perempuan 48
Elli Nur Hayati
Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ...
www.calpatriot.org
perempuan. Penelitian yang mengandung asas manfaat bagi perempuan ini disebut Handayani dan Sugiarti18 sebagai penelitian emansipatoris, karena hasil riset benar-benar dapat dijadikan sebagai landasan aksi bagi pemberdayaan perempuan. Dua, etika. Protokolprotokol memastikan keetisan penelitian adalah doing no harm (tidak menyakiti/melukai), autonomy (kebebasan memilih bersedia atau tidak bersedia terlibat dalam penelitian), beneficence (manfaat), dan justice (keadilan). Dahlgren 19 menambahkan beberapa etika lain: (1) Kerahasiaan. Perempuan yang terlibat dalam penelitian untuk membangun pengetahuan, berhak sepenuhnya menyimpan pengalaman hidupnya. Kesediaannya berbagi ilmu harus dibayar dengan jaminan dari peneliti bahwa kerahasiaannya terjaga sepenuhnya. (2) Konsekuensi. Misalnya, perempuan, sumber pengetahuan kita, mungkin butuh konseling atau perawatan khusus lainnya karena mereka harus memberi keterangan tentang masalah yang sedang kita pelajari. Kita juga harus dengan jujur menyampaikan rencana ke depan dari penelitian yang akan kita lakukan tersebut pada awal penelitian, seperti misalnya akan membukukan hasil penelitian, mempublikasikan hasil penelitian, dll. (3) Authorship (hak kepemilikan hasil penelitian). Hasil penelitian diakui sebagai milik bersama antara peneliti dan informan. Jadi, peneliti bukanlah pemilik 100% dari hasil penelitiannya, karena ilmu yang diperoleh dari penelitian tersebut didapatkan dari kebesaran hati informan/subjek yang kita teliti untuk membagi ilmu pengalaman hidupnya kepada kita. Unsur ketiga paradigma metodologi feminis adalah epistemologi. Kita harus memakai pengalaman hidup, pemikiran, refleksi, interpretasi, dan formulasi pengalaman perempuan sebagai titik tolak pijakan riset kita. Intersubjektivitas, bersama-sama menggunakan pengetahuan dan Jurnal Perempuan 48
13
Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ...
Elli Nur Hayati
pengalaman sangat mungkin disarankan untuk peneliti dan informan.20 Selain itu, kesejajaran antara peneliti dan informan juga sangat penting, karena informanlah expert sebenarnya dalam bidang yang diteliti. Unsur keempat, ontologi, adalah bagaimana kita memandang realitas kehidupan. Penelitian feminis mengakui subjektivitas, 21 memprioritaskan women’s ways of knowing, dan menggunakan berbagai macam metode untuk mengakses isu yang sensitif bagi perempuan dan mengkini-kan pengalaman perempuan.22 Selain itu keberagaman di muka bumi ini diakui, tidak ada kebenaran tunggal yang universal. Sedangkan aksiologi, unsur kelima, adalah bagaimana nilai-nilai yang kita miliki mempengaruhi penelitian kita. Dalam metodologi feminis, ilmu pengetahuan dipandang sebagai aktivitas yang tertanam dalam konteks sosiohistoris dan dibentuk oleh kepedulian dan komitmen personal, sehingga bias peneliti tidak dapat dihindari. Pre-understanding tidak mungkin dihindari, tetapi harus diminimalisir. Unsur keenam dan terakhir adalah metodologi. Kerangka konseptual dan teoretis yang dipergunakan dalam meninjau tema penelitian adalah konsep-konsep subordinasi, penindasan, hubungan kekuasaan, dan sebagainya yang terkait dengan situasi perempuan sehari-hari. Metodologi feminis juga terbuka setiap saat untuk berubah jika hal tersebut diperlukan saat peneliti berada di lapangan. Fleksibilitas perubahan berdasarkan kebutuhan di lapangan ini disebut emergent design.23 Penutup Rasanya kita sudah seharusnya terbuka dengan semua gagasangagasan di atas Kita hanya perlu merenung dan berendah hati untuk mengakui bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang terus bergerak dan berkembang. Walaupun terlambat, ia harus menerima perempuan. Mencari kebenaran, mencari ilmu, memang sebuah proses yang tiada henti. Jangan pernah berhenti! Catatan Belakang 1
John Stuart Mill, On The Subjection of Women, Chicago dan London, University of Chicago Press, 1970.
2
Semua data yang diperoleh dikonversikan ke dalam angka-angka dan diolah
14
Jurnal Perempuan 48
Elli Nur Hayati
Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ...
menggunakan rumus tertentu, sehingga hasil temuan dan komposisi angkanya sah untuk diinterpretasikan 3
Lihat Sandra Harding (ed.), Feminism and Methodology: Social Sciences Issue, Bloomington dan Indianapolis, Indiana University Press, 1987 dan E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi, LPSP3 F. PsikologiUI, 1998.
4
Sandra Harding (ed.), op. cit.
5
E. Kristi Poerwandari, op. cit.
6
Sandra Harding (ed.), op. cit.
7
Lihat Yvonna S. Lincoln, Naturalistic Inquiry, California, Sage Publication, 1985.
8
Yvonna S. Lincoln, op. cit.
9
Lihat Shulamit Reinharz, Feminist Research Methods in Social Research, Oxford, Oxford University Press, 1992.
10
Lihat Sandra Harding (ed.), op.cit., dan Jalaludin Rahmat, “Dari Psikologi Androsentris ke Psikologi Feminis: Membongkar Mitos-Mitos tentang Perempuan” dalam Ulumul Qur’an, No. 5 & 6, Vol. V, 1994.
11
Carol Travis, The Mismeasure of Woman, New York, Simon & Schuster, 1992.
12
M.F. Belenky, B.M. Clinchy, N.R. Goldberger & J.M. Tarule, Women’s Way of Knowing: The Development of Self, Voice and Mind, USA, Basic Books, 1986.
13
Shulamith Reinharz, 1992, dan Jalaludin Rahmat, 1994.
14
Carol Travis, op. cit.
15
M.F. Belenky et al., op. cit.
16
Dalam Hunter College Women’s Studies Collective, Women’s Realities, Women’s Choice, New York, Oxford University Press, 1995.
17
Patricia Maguire, Doing Participatory Research: A Feminist Approach, Amherst, Massachusetts, Center for International Education, University of Massachusetts/ Amherst, 1987.
18
T. Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Malang, UMM Press, 2002.
19
L. Dahlgren, M. Emmelin, A. Winvist, Qualitative Methodology for International Public Health, Sweden, Umea University, 2004.
20
Vickie Rutledge Shields dan Brenda Dervin, “Sense-Making in Feminist Social Science Research: A Call to Enlarge the Methodological Options of Feminist Studies,” dalam Women’s Studies International Forum, 16(1), 1993, hal. 65-81.
21
D. Wolf (ed.), Feminist Dilemmas in Fieldwork, Boulder CO, Westview Press, 1996.
22
Shulamit Reinharz, op. cit.
23
John W. Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions, Thousand Oaks, Sage Publication, 1998.
Jurnal Perempuan 48
15
feminist.stanford.edu
• Topik Empu •
Feminisme: Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran
Mariana Amiruddin
O
tto Weininger dalam bukunya Sex and Character – yang telah menjadi masterpiece era ilmu pengetahuan modern – mengatakan, “Menjadi perempuan berarti menjadi seseorang yang tak mampu membuat konsep, yang tak mungkin membuat keputusan. Di dalam ‘pikirannya’ subjektif dan objektif bukanlah sesuatu yang terpisah, maka ia tak mungkin dapat membuat keputusan, tak mungkin dapat meraih kebenaran – walaupun ia selalu merindukannya. Tidak ada perempuan yang benar-benar tertarik ilmu pengetahuan: kalau ia berpikir begitu berarti ia berpura-pura, menipu diri sendiri dan priapria pintar (tapi psikologis amatiran).”1
Jurnal Perempuan 48
17
Feminisme: Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran
Mariana Amiruddin
Dari pernyataan Weininger di atas jelas bahwa politik ilmu pengetahuan memasukkan perempuan di wilayah ilmu pengetahuan sekaligus mengeluarkan perempuan dari praktek ilmu pengetahuan. Weininger, dalam mengembangkan “karakter ilmu pengetahuan”-nya, meyakini penuh kemampuan dirinya untuk menjelaskan dan mengkalkulasi sifat-sifat alamiah perempuan. Ia menggambarkan bahwa perempuan berada di luar ilmu pengetahuan: ilmuwan selalu merindukan kebenaran sedangkan perempuan hanya menginginkan kebalikan dari kebenaran, penderitaan. Selain milik Weininger, masih banyak lagi konsepsi tentang sifatsifat alamiah perempuan yang bias laki-laki, contohnya konsepsi Sigmund Freud, ‘anatomi adalah takdir’ – yang mengeluarkan perempuan dari seluruh proses penjelasan tentang ke-diri-annya. Kebisuan perempuan didikte: dibuat menjadi objek studi. Perempuan dikeluarkan dari ilmu pengetahuan dan tak pernah diikutsertakan dalam penjelasan-penjelasan mengenainya. Dalam dekade terakhir feminis telah mengembangkan kritik terhadap ilmu pengetahuan semacam ini. Sekarang perempuan menyatakan pikirannya, dengan cara pandang mereka sendiri, tentang praktek dan politik ilmu pengetahuan yang seksis dan bias laki-laki. Perempuan, melalui feminisme, bahkan telah membongkar hubungan yang kompleks dalam masyarakat seperti persoalan rasis, kelas, dan bias-bias yang telah dilahirkan oleh teori tradisional tentang sifat-sifat alamiah manusia. Feminisme bisa melihat bagaimana bias-bias itu menyebar ke seluruh bagian struktur ilmu pengetahuan. Kritik feminis menyebar dalam masalah ideologi, politik, epistemologi, ekonomi, dan metafisika, terutama yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan tradisional. Metodologi Feminis Analisis feminis tersebut kemudian menimbulkan sejumlah pertanyaan sulit: apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan yang konsisten dengan kritik feminis? Apakah pertanyaan-pertanyaan perempuan membantu ilmu pengetahuan feminis? Apakah ada yang disebut metode feminis? Apakah perempuan menyusun ilmu pengetahuan dengan cara yang berbeda dari laki-laki? Apakah ilmu pengetahuan yang seksis selalu buruk? 18
Jurnal Perempuan 48
Mariana Amiruddin
Feminisme: Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan metodologi. Persoalan-persoalan yang memungkinkan kita untuk mulai bertanya. Ada perbedaan antara metode, metodologi dan epistemologi. Metode adalah sebuah teknik spesifik seperti ketika kita melakukan survei, wawancara, atau etnografi, metodologi adalah teori atau konsepsi, dan epistemologi adalah teori atas ilmu pengetahuan.2 Maka metodologi feminis itu sendiri adalah satuan teori, konsepsi, dan gagasan tentang ketertindasan dan pembebasan perempuan. Dalam metodologi feminis, kata kunci yang digunakan adalah seks: dikotomi atau kategori yang memisahkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dan gender: konstruksi sosial atas kategori seks yang menyimpan rangkaian konvensi masyarakat tentang maskulinitas dan femininitas. Sandra Harding3 mengatakan bahwa dalam dua dekade terakhir ini pengertian gerakan moral dan politik perempuan justru telah diinspirasi oleh kritik terhadap ilmu pengetahuan sosial dan biologi yang dilakukan oleh peneliti tradisional dalam menjelaskan gender, seks, dan hubungan antara dunia masyarakat dan alam. Di sinilah feminisme kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan metodologinya, mendapatkan pengetahuannya sendiri, dan kemudian mempraktekkannya dalam berbagai metode penelitian. Feminisme: Teori dan Praktek Meskipun sejumlah teori feminis sudah mulai banyak diterapkan, digunakan sebagai pisau analisis penelitian akademis, feminisme sendiri masih belum sepenuhnya diakui sebagai kegiatan akademis.4 Banyak yang mengatakan bahwa feminisme semata-mata ideologi yang mendorong gerakan sosial untuk memperjuangkan status perempuan, artinya sifatnya sangat politis (dan tidak akademis). Karena sifat politisnya maka feminisme dianggap sebagai sebuah “cara pandang” atau perspektif yang sangat berpihak pada perempuan, sangat subjektif, berlawanan dengan syarat ilmu pengetahuan yang diakui selama ini: objektivitas. Kritik terhadap feminisme kemudian muncul dengan argumen, “teori feminis hanya dapat digunakan oleh perempuan feminis. Laki-laki dan perempuan yang tidak feminis tidak dapat menggunakannya.” Argumen tersebut menjadi tidak objektif dengan sendirinya sebab Jurnal Perempuan 48
19
Mariana Amiruddin
marriottschool.byu.edu
Feminisme: Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran
bukankah ilmu pengetahuan tradisional selama ini juga subjektif, hanya berpihak pada laki-laki, bukan perempuan? Argumen mereka sebetulnya telah menuding dirinya sendiri. Tapi, apa yang dilakukan feminis bukanlah suatu ‘perimbangan negatif’ dari apa yang telah dilakukan laki-laki. Feminis memberi sumbangan positif bagi ilmu pengetahuan mutakhir dengan menyelidiki sejarah pengetahuan yang tidak melibatkan perempuan – pengetahuan yang hanya membuat kehidupan perempuan menjadi lebih sulit. Dalam mengatasi hal ini, feminisme mengembangkan strategi metodologi untuk tidak memisahkan teori dan praktek dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, selain hidup sebagai sebuah metodologi, feminisme juga menjadi gerakan sosial. Maka kritik yang harus diajukan pada Weininger bisa berupa pernyataan bahwa feminisme adalah pengetahuan yang menghasilkan tindakan untuk mencapai kebenaran dan mengungkap bahwa perempuan menderita bukan atas kesadarannya, melainkan karena kesadaran yang telah dibentuk masyarakat terhadap perempuan. Masih banyak ilmuwan abad kini yang bernada sama dengan Weininger. Feminis menganggap ilmuwan semacam itu 20
Jurnal Perempuan 48
Mariana Amiruddin
Feminisme: Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran
lebih mengandalkan “imajinasinya sendiri” terhadap keberadaan perempuan, daripada sebagai sebuah “penelitian yang serius, mendalam dan menyeluruh” terhadap perempuan. Feminisme sebagai ilmu pengetahuan tidak berhenti sampai pada kritik. Berkat sejumlah argumentasi ilmiahnya, sejumlah universitas akhirnya mau mendirikan program studi bernama Women’s Studies (Kajian Perempuan), atau bisa juga disebut Kajian Feminis, salah satu di antaranya menjadi program pasca sarjana di Universitas Indonesia. Perjuangan feminis mengalami sejumlah tantangan dalam meraih eksistensinya di ranah akademis karena pengetahuan akademis lebih didominasi oleh pengalaman dan data riset yang berasal dari kaum laki-laki. Metode riset seperti ini hanya menghasilkan generalisasi data yang ditentukan oleh kaum laki-laki, sampelnya pun kebanyakan lakilaki (misalnya dalam ilmu sosiologi untuk kasus-kasus kontrasepsi, keputusan bekerja dan berumah tangga). Pengalaman perempuan dalam banyak metode riset dianggap tidak cukup penting sebagai topik penelitian laki-laki.5 Naomi Black secara ekstrim mengatakan bahwa penelitian feminis harus menekankan nilai subjektivitas dan pengalaman pribadi 6 untuk membongkar kebusukan ilmu pengetahuan yang diciptakan laki-laki. Maka tidak mengherankan bila metodologi feminis banyak memilih metode kualitatif daripada kuantitatif dalam penelitiannya untuk menggali kedalaman data yang spesifik perempuan. Metodologi maskulin berarti metodologi yang ‘hard’, cenderung memakai pendekatan kuantitatif (terutama sekali dalam hal survei), sementara metodologi feminis adalah metodologi ‘soft’, yang lebih memilih metode identifikasi dan pendekatan kualitatif (terutama wawancara mendalam yang tidak terstruktur).7 Peneliti Helen Roberts dan Michele Barrett dalam pengantar buku mereka yang berjudul Women and Their Doctors: Power and Powerlessness in The Research Process8 menyatakan bahwa beberapa tahun belakangan para sosiolog feminis telah berhasil mengatasi persoalan mengapa perempuan tidak muncul dalam penelitian sosiologi. Sebelum muncul di buku ini, perhatian terhadap persoalan di atas baru ada pada tingkat diskusi yang tidak formal, misalnya dalam pembahasan Asosiasi Sosiologi Kaukus Perempuan Inggris tentang metodologi feminis yang Jurnal Perempuan 48
21
Feminisme: Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran
Mariana Amiruddin
menyatakan, setidaknya perempuan telah dituliskan sebagai subjek.9 Karena waktu itu (tahun 1977) Helen Roberts dan Michele Barrett menggunakan analisis sosiologi feminis dalam penelitiannya, dapat diduga hasilnya dikritik oleh para ilmuwan. Penelitian kualitatif yang mereka lakukan dianggap tidak fokus pada ‘wacana intelektual’, semuanya lebih cocok diterbitkan sebagai ‘wacana praktikal’. Menurut para ilmuwan tersebut, penelitian Roberts dan Barett terlalu banyak memasukkan masalah-masalah yang sifatnya politis-pribadi dalam penelitian kualitatif mereka. Roberts dan Barett menanggapi, kritik seperti ini muncul karena banyak ilmuwan sosial selalu memisahkan antara kegiatan intelektual dengan praktek. “Padahal melalui penelitian feminis, justru bukti-bukti yang muncul menunjukkan bahwa politik itu sendiri selalu problematik (sebagaimana slogan feminis, “the personal is political”’),” demikian kata mereka. Penelitian yang mereka lakukan memang sengaja lebih menempatkan perempuan sebagai subjek, bukan objek penelitian. Penelitian semacam ini menurut mereka justru dapat menyumbangkan lebih banyak bukti dan data, melalui keterangan individu-individu perempuan, mengenai persoalan politik. Roberts dan Barrett memulai pengantar penelitiannya dengan menyitir puisi Susan Griffin berjudul Voices yang menggambarkan tentang seorang ibu yang tak sengaja, karena terbiasa, berbelanja untuk anakanaknya juga, padahal mereka semua telah meninggalkan rumah dua tahun lalu. Ibu ini merasa seperti “one of those / eternal motion machines / designed for an / obsolete task / that just keeps on / running”, “mesin non-stop / yang dirancang untuk / hal-hal tak berguna / dan tak pernah ada akhirnya”, dan dia mengaku “When the / last baby stopped getting / up at / night, I didn’t stop ...”, “setelah / anakku terkecil tak lagi / bangun tengah / malam, aku masih juga ...”, Tapi suaminya tidak pernah mengerti tentang perasaannya ini, karena dia beroperasi menggunakan logika yang sama sekali berbeda, logika laki-laki, “the logic of most of the world”. Pembedaan logika perempuan dengan logika laki-laki ini memberi usulan awal tentang metodologi pengalaman pribadi perempuan. Feminisme sebagai Epistemologi Seperti yang telah dijelaskan, metodologi feminis pada dasarnya 22
Jurnal Perempuan 48
Mariana Amiruddin
Feminisme: Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran
berangkat dari epistemologi atau pengetahuan feminis yang memiliki tiga unsur yaitu standpoint, empirisisme, dan pascamodernisme.10 Mengambil penjelasan Sandra Harding11, teori standpoint dan pascamodernisme samasama mengandaikan adanya kekhususan epistemik; teori standpoint mengandaikan kelebihpentingan satu situasi, yaitu situasi yang hanya dialami perempuan (dan tak pernah dialami laki-laki) – misalnya penindasan yang dialami perempuan jadi penting karena laki-laki tidak pernah mengalami penindasan apapun – dan pascamodernisme bertekad menerima beragam sudut pandang. Dalam epistemologi feminis, keduanya (standpoint dan pascamodernisme) menolak adanya kesatuan teori yang berlaku umum dan menolak epistemologi tradisional. Dalam program epistemologi feminis pertanyaan pentingnya adalah “suara siapa yang lebih didengar” dalam melahirkan teori? pengalaman siapa yang dilibatkan? dan bagaimana otoritas epistemik ditetapkan dan dipertahankan?12 Persoalan-persoalan yang diungkapkan dalam epistemologi feminis jauh lebih mendasar karena menyelidikinya berarti mencari siapa pembuat epistemologi yang dominan, membongkar pembentukan teori dan pengetahuan, serta memposisikan ulang kegiatan epistemik atau pengetahuan sehingga kita dapat melihat dan menunjukkan ada pengalaman, pengetahuan, dan subyektivitas yang selama ini terabaikan. Semua ini pada akhirnya akan berhubungan dengan klaim kebenaran. Epistemologi feminis menolak nilai-nilai universalitas, totalitas, rasionalitas, dan esensialis karena nilai-nilai semacam inilah yang membuat perempuan terabaikan. Filsafat feminis yang cenderung pascamodernis menyatakan bahwa realitas perempuan tidak selalu didasarkan pada kenyataan maupun kesadaran perempuan itu sendiri tentang dirinya, dan bahwa tuduhan ilmuwan kalau perempuan adalah manusia yang lebih “menggemari penderitaan daripada kerinduan atas kebenaran” sebenarnya bukanlah realitas diri perempuan. Feminis menegaskan melalui konsep pemikirannya bahwa identitas perempuan bukan sesuatu yang secara otonom dibangun, melainkan dibentuk secara sosial. Maka apa yang mereka simpulkan sebetulnya menunjukkan kelemahan, ketidaktahuan bahwa produksi pengetahuan merupakan praktek sosial yang terikat pada sejarah, ras, gender, dan kebudayaan ilmuwan yang memproduksinya. Feminis kemudian menegaskan, Jurnal Perempuan 48
23
Feminisme: Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran
Mariana Amiruddin
pengetahuan bersifat konstruktivis, ia dibuat, bukan ditemukan. Oleh karena itu bagi feminis seluruh pengalaman perempuan mengenai realitas hidupnya perlu dikisahkan ulang.13 Bagi mereka, pengetahuan merupakan produk sosial sehingga tidak bisa diperlakukan sebagai ‘cermin realitas’. Apa yang termasuk pengetahuan dan apa yang tidak, ditentukan oleh institusi sosial. Penutup Tulisan-tulisan tentang Feminisme dan Ilmu Pengetahuan, berhasil mengungkap bagaimana “kekerasan simbolis” (meminjam istilah Pierre Bourdieu) telah menjalar dalam kegiatan ilmu pengetahuan dan membuat suara perempuan tidak terdengar. Kekerasan simbolik adalah kekerasan tak kasat mata yang tidak dirasakan sebagai kekerasan, melainkan sebagai sesuatu yang dianggap alamiah dan wajar.14 Kekerasan simbolik digulirkan laki-laki dengan mendikte cara berpikir, bertindak, bahkan cara berbahasa terhadap perempuan. Perempuan harus tunduk pada kategori-kategori pengetahuan yang dibuat oleh laki-laki. Hal ini disebut falosentrisme, situasi di mana laki-laki mendominasi pengetahuan, bahasa, wacana, tindakan, dan menjadi pusat dan kriteria segala sesuatu. Seperti yang ditulis Dorothy Smith, feminisme adalah sebuah teori, gerakan, epistemologi, metodologi, dan praktek yang sangat merindukan kebenaran. Ia menginginkan konsep yang mengakui keberadaan dirinya, sehingga nantinya keputusan-keputusan perempuan menjadi keputusan yang berangkat dari nilai dan pengetahuan yang dicapainya sendiri, bukan dari orang lain. Feminisme adalah teori dan praktek politik yang membebaskan semua perempuan: perempuan berwarna, perempuan pekerja, perempuan miskin, perempuan cacat, lesbian, perempuan lanjut usia–sebagaimana barat memperlakukan perempuan heteroseksual kulit putih dengan istimewa.15
Catatan Belakang 1
"A being like the female, without power of making cencepts, is unable to make
24
Jurnal Perempuan 48
Mariana Amiruddin
Feminisme: Ilmu Pengetahuan Merindukan Kebenaran
judgments. In her ‘mind’ subjective and objective are not separated; there is no possibility of making judgments, and no possibility of reaching, or of desiring, truth. No woman is really interested in science; she may deceive herself and many good men, but bad psycologists, by thinking so.” Otto Weininger, Sex and Character, New York: G.P. Putnam’s Sons, 1906, hal. 194. 2
Liz Stanley, “Methodology Matters!” dalam Victoria Roinson and Diane Richardson (ed.), Introducing Women’s Studies, London, Macmillan Press LTD, 1997, hal. 198.
3
Sandra Harding, “Is There Feminist Method?” dalam Nancy Tuana (ed.), Feminism and Science, USA, Indiana University Press, 1989, hal. 21.
4
Banyak mahasiswa yang datang ke kantor Jurnal Perempuan meminta bantuan informasi tentang bagaimana analisis atau metodologi feminis digunakan dalam penelitian skripsi mereka. Beberapa dosen pembimbing mereka menyetujui proposal mahasiswa mereka untuk menggunakan feminisme sebagai alat analisis, tetapi begitu mahasiswa mulai menggunakannya kebanyakan dosen pembimbing mereka menolak dengan alasan, pertama, feminisme bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat bahkan, lebih kasarnya, dianggap ‘tidak bermoral’ dan kedua, feminisme tidak dapat dipakai dalam kegiatan ilmu pengetahuan.
5
Saparinah Sadli, “Studi Wanita: Pengembangan dan Tantangannya” dalam Jurnal Stri: Jurnal Studi Wanita,Vol. 1, Jakarta, Januari 2002, hal. 1-23.
6
Naomi Black dalam Helen Roberts (ed.), Doing Feminist Research, London, Routledge & Kegan Paul, 1995.
7
Sandra Harding, op.cit., hal. 19.
8
Helen Roberts (ed.) op.cit.,hal. 7.
9
Ibid., hal 9.
10
Dapat disebut sebagai postmodern.
11
Sandra Harding, The Science Question in Feminism, Ithaca, Cornell University Press, 1986.
12
Lorraine Code, “Voice and the Voice and the Voicelessness: Modest Proposal” dalam Janet Kourany (ed.), Philosophy in A Feminist Voice, ,Princeton, Princeton University Press, 1998.
13
‘Dikisahkan ulang’ adalah kata kunci dalam teori standpoint feminis.
14
Haryatmoko, “Dominasi Laki-laki Melalui Wacana” dalam Feminis Laki-laki: Solusi atau Persoalan?, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, 2001.
15
Dikutip dari artikel Kum-Kum Bhavnani, “Women’s Studies and its Interconnection with ‘Race’, Ethnicity and Sexuality” dalam Victoria Roinson and Diane Richardson (ed.), op.cit., hal. 27.
Jurnal Perempuan 48
25
www.ic.arizona.edu
• Topik Empu •
Kapan Ilmu akan Berubah?: Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
Rachmad Hidayat “Untuk mengetahui sesuatu, seseorang harus mengubahnya.” (Maria Mies, 1991)
S
ejauh ini adanya upaya-upaya untuk memetakan dan memperkirakan arah perkembangan metodologi feminis, dan teori feminis dalam cakupan yang lebih luas, senantiasa menemui kesulitan besar. Mengapa? Apa sebetulnya persoalannya? Menurut saya sedikitnya ada tiga: pertama, perbedaan pendekatan yang diterapkan para feminis menyediakan potensi kontroversi dan konflik yang laten, yang kemudian memicu pergesekan dalam teori-teori feminis.1 edua, metodologi, epistemologi, dan metode feminis sejak awal bingung menentukan bagaimana cara terbaik mengatasi cacat-cacat mendasar teori pengetahuan konvensional yang maskulin. 2 Ketiga, upaya perumusan metodologi dan teori feminis itu sendiri masih tengah berlangsung, atau bahkan baru dimulai. Problematis memang. Pertanyaan seperti, Jurnal Perempuan 48
27
Kapan Ilmu akan Berubah?: Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
Rachmad Hidayat
mungkinkah merumuskan suatu ilmu feminis?, ternyata menjadi soal yang sangat berat.3 Shulamit Reinharz, Profesor Sosiologi dan Direktur Kajian Perempuan di Brandeis University, menyatakan bahwa feminis lebih merupakan sebuah perspektif, bukan metode.4 Metodologi feminis hidup sebagai kritik mendasar atas metodologi ilmu modern (tradisional) yang mendevaluasi perempuan. Agenda besar metodologi feminis adalah menyusun dasar-dasar konseptual bagi aspirasi perempuan dalam konstruksi ilmu. Agenda ini dalam prakteknya ditempuh melalui pendekatan dan pandangan yang berbedabeda. Karenanya, yang kita temui adalah kemajemukan. Dalam tulisan ini, kita akan melihat titik tolak, tujuan, dan prinsip-prinsip yang menjadi garis-garis besar yang menyatukan metodologi feminis. Garis-garis besar ini muncul berulang kali dalam bentuk yang berbeda-beda dalam karyakarya feminis. Namun sebelum itu, kita perlu menegaskan kembali apa yang dimaksud dengan “metodologi” dan mengenali epistemologi yang mendasari metodologi feminis. Ilmu dan Metodologi Ilmu membutuhkan metode dan strategi untuk mendekati kenyataan sosial sebelum akhirnya ia mampu menyusun penjelasan rasional tentangnya. Tetapi tidak ada metode atau teknik ilmiah yang dapat mengesahkan dan memungkinkan dirinya sendiri. Apakah realitas sosial dapat dihadapi dengan cara tertentu atau cara yang lain, bukanlah urusan ilmu. Pada prakteknya, aktivitas ilmiah adalah persoalan bagaimana menerapkan teknik-teknik penelitian yang tepat dan menjalankannya secara andal, menyediakan data-data yang dianggap mewakili fakta, dan memberikan penilaian akhir terhadapnya. 5 Pada titik ini pembicaraan mengenai masalah metodologi dan epistemologi jadi penting. Metodologi memiliki posisi yang fundamental dalam struktur ilmu karena ia menyediakan dasar bagi ilmu sosial. Metodologi bertugas menetapkan dan menguji metode-metode yang digunakan, atau yang harus digunakan, oleh ilmu untuk menghasilkan pengetahuan yang absah.6 Metodologi bertindak sebagai atasan aktivitas dan hasil-hasil kerja ilmu. Hasil-hasil ilmu dianggap valid dan ilmiah asal mereka sesuai dengan dan mengkonfirmasi prosedur yang digariskan metodologi. Tapi sebaliknya, rumusan-rumusan metodologi tidak dapat diuji oleh pengetahuan ilmiah. Akses terhadap rumusan metodologi sejauh ini 28
Jurnal Perempuan 48
Rachmad Hidayat
Kapan Ilmu akan Berubah?: Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
hanya ada pada cabang filsafat yang dikenal dengan sebutan epistemologi. Epistemologi adalah teori tentang pengetahuan. Ia menentukan apa itu pengetahuan dan bagaimana pengetahuan dimungkinkan. Epistemologi menurunkan protokol-protokol bagi pengetahuan berdasar konsepsi “subjek” dan “objek” pengetahuan dan relasi antara keduanya. 7 Berdasarkan teori pengetahuan itulah metodologi dirumuskan, dan pada gilirannya berdasarkan metodologi itulah ilmu dipraktekkan. Atas dasar itu, kita memang perlu mengenali epistemologi feminis sebelum kita bisa memahami metodologi feminis itu sendiri. Epistemologi Feminis Perhatian feminisme terhadap subjek yang sangat abstrak seperti epistemologi berangkat dari kritik mereka terhadap konsep-konsep ilmu modern. Feminisme mengkritik bahwa tendensi ilmu sosial tradisional untuk mendiskreditkan posisi dan aspirasi perempuan berakar secara mendalam pada epistemologi modern yang menopangnya. Kritik ini mengalir dalam nadi metodologi feminis. Kata De Vaulth, “Jantung metodologi feminis adalah bahwa aparat produksi ilmu telah mengkontruksi dan melanggengkan penindasan terhadap perempuan.”8 Rumusan-rumusan epistemologi modern sudah sejak semula didesain untuk tidak mengakomodasi unsur-unsur perempuan. Ketersingkiran perempuan dari wacana ilmu dan penyingkiran simbolsimbol feminin bukan semata-mata masalah praktis belaka, seperti bahwa kebanyakan ilmuwan yang ada ternyata laki-laki. Tapi lebih parah lagi, merupakan masalah normatif-teoretis yang fundamental. Premis-premis dasar epistemologi modern yang menopang ilmu sosial secara mendasar menolak aspek-aspek feminin dalam pencapaian pengetahuan. Unsurunsur maskulin malah makin dikukuhkan sebagai prinsip pengetahuan. Jadinya, ilmu sosial modern secara sistematis menyingkirkan partisipasi dan kedudukan perempuan dalam memahami kehidupan sosial. Coba kita periksa konsep-konsep kunci produk para pemikir terbesar yang digunakan untuk menjelaskan masyarakat. Sebut saja misalnya konsep peran (Durkheim), kerja (Marx), hak milik (Marx dan Engels), tindakan (Weber), dan kontrak sosial (Rousseau) yang ternyata semuanya dirumuskan untuk laki-laki.9 Epistemologi modern menyelubungi tendensi ini dengan klaim Jurnal Perempuan 48
29
Kapan Ilmu akan Berubah?: Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
Rachmad Hidayat
universalisme dan objektivisme yang diembankannya pada ilmu. Dalam paradigma modern, ilmu tidak saja dianggap ‘bebas nilai’ dan ‘objektif’ tetapi juga tidak berkaitan dengan ‘seks’. Ilmu, pendek kata, selalu ‘netral (kalau soal) seks’ (sex-neutral). Nah, kritik feminisme justru bertolak dari pengakuan bahwa ilmu dan rasionalitas yang menopangnya tidaklah netral seks. Kritik feminisme melihat bahwa dalam perkembangan ilmu dan teori-teori telah berkembang apa yang dapat disebut sex-blindness. Pengetahuan dan Perubahan
www.nicholsoncartoons.com.au
Tema perubahan menjadi sentral dalam epistemologi feminis, ini sangat berkaitan dengan tujuan-tujuan gerakan feminisme menuntut perubahan-perubahan radikal dalam masyarakat. Sedari awal, teori-teori feminis dan epistemologinya tidak suka dengan status quo. Sebaliknya, epistemologi feminis justru dirancang untuk melawan status quo dan mencari berbagai kemungkinan untuk mengubahnya. Feminisme menyadari kaitan mendalam antara pengetahuan dan perubahan. Perubahan hakekatnya adalah prinsip epistemologi. “Untuk mengetahui sesuatu, seseorang harus mengubahnya”, demikian kata Maria Mies.10 Perubahan bukan hanya berarti menjadi inspirasi gerakan feminisme, tetapi lebih dari itu, menjadi sumber semangat ilmiah. Simak lagi apa yang dikatakan Maria Mies, “... perubahan status quo menjadi titik awal penjelajahan ilmiah.”11 Perumusan epistemologi dan metodologi feminis mau tidak mau menuntut perumusan ulang ideal-ideal kehidupan sosial supaya sesuai dengan tujuan feminisme. Rosalind Sydie menggariskan, “... membayangkan seperti apa ilmu feminis sama halnya dengan membayangkan masyarakat feminis.”12 Metodologi dan ilmu feminis 30
Jurnal Perempuan 48
Rachmad Hidayat
Kapan Ilmu akan Berubah?: Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
hanya mungkin dijalankan di bawah bayang-bayang bentuk masyarakat yang diidam-idamkan. Simak di sini apa yang dikatakan Mies:13 Dalam usaha untuk menciptakan pengertian baru tentang ilmu menurut konteks gerakan perempuan, ilmu feminis harus memunculkan pemahaman baru tentang keseluruhan bentuk masyarakat, tentang hubungan antara manusia dan alam, antar perempuan dan laki-laki, manusia dan aktivitasnya, suatu pemahaman tentang hubungan dengan tubuh, pemahaman baru yang menyingkirkan eksploitasi.
Metodologi Feminis: Tujuan dan Feminisme Pengetahuan Rosalind Sydie merumuskan agenda besar metodologi feminis sebagai cara untuk mencari dasar-dasar keabsahan bagi pengalaman perempuan, dan merumuskan jalan-jalan untuk mengkonstitusikan pengalaman ini ke dalam proses “penemuan” dan “pendefinisian” realitas.14 Agenda ini menuntut penyusunan dan pengorganisasian ulang tidak hanya metodologi dan prinsip-prinsip ilmu konvensional, tapi juga bahasa, rasionalitas, dan asas-asas budaya ilmiah di seputarnya. Langkah pertama yang paling banyak diajukan untuk mencapai tujuan ini ialah dengan mendefinisikan dan menata ulang konsep prosedur ilmiah, menanggalkan atribut-atribut maskulinismenya. Brian Easlea menyebut langkah ini sebagai ‘demaskulisasi ilmu’ (demasculisation of sciences).15 Langkah ini ditempuh dengan menegakkan nilai-nilai feminin dalam struktur ilmu dan membuka jalan bagi simbol-simbol perempuan dalam prosedur produksi ilmu. Logikanya, apabila ilmu tidak netral seks, bagaimana nilai-nilai dan aspek-aspek feminin dan perempuan tersebut dilibatkan dalam proses konstitusi pengetahuan?16 Salah satu contoh strategi seperti ini adalah konsep “feminisme integratif” (integrative feminism) Angela Miles.17 Feminisme integratif memasukkan nilai-nilai perempuan seperti memelihara, kerja sama, berbagi dan solidaritas sebagai norma-norma dalam epistemologi feminis. Di jalan yang sama Vandana Shiva merekomendasikan “pemulihan prinsip feminis”.18 Menurut Shiva, memasukkan nilai-nilai perempuan seperti menjaga, merawat, memelihara, dan nilai-nilai relasional lain akan secara radikal mengubah karakter ilmu. Prinsip lain yang penting diintegrasikan dalam Jurnal Perempuan 48
31
Kapan Ilmu akan Berubah?: Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
Rachmad Hidayat
metodologi feminis adalah cinta,19 keterhubungan, dan kontekstualitas.20 Perempuan sebagai Titik Tolak Perempuan sebagai “titik tolak”, demikian kata Sandra Harding. Lebih persisnya, ia menegaskan bahwa metodologi feminis dimungkinkan dengan mengambil posisi dan pengalaman perempuan dalam masyarakat dan budaya sebagai titik tolak penyelidikan ilmiah. Dari sana kemudian kita bisa menemukan bahwa ada ciri-ciri khusus yang dimiliki analisis sosial feminis, yang berbeda dengan analisis-analisis lainnya. Untuk lebih mudahnya, kita bisa paparkan ciri-ciri tersebut seperti ini:21 1. Pengalaman perempuan jadi sumber empiris dan sumber teoretis. 2. Analisis bertujuan menguntungkan perempuan. 3. Peneliti berada dalam ruang kritik yang sama dengan materinya. Menurut ciri yang pertama, seperti yang dikatakan Harding, pengalaman perempuan itu sendirilah yang akan mentransformasi perhatian dan cara ilmu sosial mendefinisikan masalah dan tugastugasnya. Sebagai konsekuensinya, masalah yang dianggap penting dalam ilmu sosial yang konvensional bisa jadi sekarang tidak lagi, dan demikian juga sebaliknya. Pengalaman perempuan menyediakan dasardasar untuk menguji hipotesis yang berbicara tentangnya. Prosedur pengujian seperti ini, menurut Dorothy Smith, bersifat teoretis sekaligus praktis. Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa konsep tentang “perempuan” dan “pengalaman perempuan” tidak merujuk pada sebuah ide umum tentang perempuan yang abstrak, melainkan pada konteks yang konkret, kontekstual, dan tersituasikan. Perempuan selalu bersifat konkret, terwujud, dan hadir. Ciri kedua analisis feminis, ia ingin menetapkan sebuah penelitian “untuk perempuan”. Kata Harding, “Jika seseorang memulai penelitian dengan apa yang nampak dari perspektif perempuan, maka ia akan terbawa untuk menyusun penelitian untuk perempuan”. Kembali mengutip Dorothy Smith, kita perlu tegaskan bahwa ada perbedaan yang sangat jelas antara ilmu atau penelitian “tentang perempuan” dengan ilmu atau penelitian “untuk perempuan”. Ciri ketiga merefleksikan pandangan mengenai subjek dalam metodologi feminis yang memainkan posisi sangat menentukan. Subjek dalam metodologi feminis mengekplisitkan dirinya dan menempatkan 32
Jurnal Perempuan 48
Rachmad Hidayat
Kapan Ilmu akan Berubah?: Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
subjektivitas sebagai prosedur mengetahui. Hal ini berarti kelas, ras, gender, keyakinan, pengandaian-pengandaian pra-konsepsi yang dimiliki peneliti harus ditempatkan dalam kerangka deskripsi yang ia teliti. 22 Prosedur ini jelas menentang formula metodologi ilmiah konvensional yang justru menghindarkan subjek dari ruang lingkup penelitian, dengan alasan objektivitas. Prosedur Metodologis dalam Penelitian Feminis Ada baiknya di sini kita merujuk pada paparan Judith Cook dan Mary Margareth Fonow. 23 Menurut mereka, ada empat prosedur metodologis yang secara garis besar muncul dalam bentuk yang berbedabeda dan berulang-ulang dinyatakan dalam penelitian feminis. Keempat prosedur ini dapat berjalan bersama-sama dalam satu proses. Mereka adalah (a) refleksitas; (b) orientasi pada aksi; (c) pertimbangan pada unsur afeksi; dan (d) pemanfaatan situasi yang tengah berlangsung. Pertama, refleksi meminta peneliti untuk menyadari dengan terbuka berlangsungnya proses mengetahui atau teoretisasi yang ia lakukan. Cook dan Fonow menjelaskan, “Dengan refleksi kami bermaksud memakai tendensi feminis untuk merefleksikan, menguji secara kritis dan mengeksplorasi secara analitis prinsip dasar proses-proses penelitian.”24 Refleksi ini melibatkan asumsi-asumsi tentang relasi gender yang berlangsung di sekitar subjek penelitian. Refleksi dapat mengambil tiga bentuk: (a) consciousness raising (pengungkapan kesadaran). Metode ini dianggap khas dalam penelitian feminis. Consciousness raising berarti proyeksi kesadaran oleh subjek, terutama pada konteks subordinasi dan ketertindasan. Si peneliti diminta untuk menyadari bagaimana proses atau jalan menuju pengetahuan telah mempengaruhi ke”diri”annya. Berlawanan dengan epistemologi modern yang yakin bahwa subjek pengetahuan sifatnya transenden terhadap proses mengetahui, feminisme percaya bahwa relasi antara subjek pengetahuan dengan proses pengetahuan berlangsung timbal balik; (b) kolaborasi antara peneliti feminis. Subjek metodologi feminis dalam tahap tertentu bersifat komunal. Banyak karya penting feminis dilakukan lewat kolaborasi dua penulis feminis atau lebih; dan (c) menaruh perhatian terhadap tahap-tahap penelitian yang tidak tampak dan tersembunyi. Prosedur ini berguna untuk mengungkapkan dikotomi seks dan ideologi seks tertentu yang bersemayam di balik konsep-konsep Jurnal Perempuan 48
33
Kapan Ilmu akan Berubah?: Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
Rachmad Hidayat
dan struktur ilmu. Selanjutnya, prosedur kedua metodologi feminis mensyaratkan orientasi pada aksi. Dorongan ini bukanlah hal baru dalam filsafat ilmu. Namun penelitian feminis terarah pada ruang yang lebih luas. Seperti dinyatakan Cook dan Fonow, “… tujuan penelitian feminis adalah pembebasan … transformasi total patriarki dan menghimpun pemberdayaan perempuan ….” 25 Peneliti feminis dituntut untuk terlibat langsung dalam gerakan sosial. Keterikatan pada aksi mewakili beberapa asas dalam metodologi feminis yakni (a) kontekstualitas dan ketersituasian dalam teori feminis; (b) jarak antara subjek dan objek penelitian yang harus dikurangi; (c) perwujudan sosok subjek yang hadir, konkret, dan menyejarah dalam ruang waktu; dan (d) keterhubungan subjek penelitian, dengan segala subjektivitasnya, dengan lingkungan historis di mana aktivitas ilmiah berlangsung. Prosedur metodologis ketiga memusatkan perhatian pada aspek affection dalam aktivitas ilmiah. Menurut Ian Craib, selain memiliki dimensi cognition, setiap versi ilmu sosial juga memiliki dimensi affection.26 Menurut Cook dan Fonow, epistemologi feminis tidak hanya mengakui dimensi affection dalam tindakan mengetahui, namun bahkan mempertimbangkannya sebagai sumber penyelidikan ilmiah dan sebagai unsur signifikan dalam memahami realitas sosial. 27 Pengalaman perempuan mengasuh merawat orang lain memiliki implikasi epistemologis, di situ afection dan emosi memainkan peran yang menentukan. 28 Pengalaman perempuan juga memunculkan pertimbangan-pertimbangan moral yang fundamental bagi perempuan.29 Affection menjadi alat untuk memahami situasi-situasi khusus dalam kehidupan perempuan. Emosi memiliki fungsi dalam memahami dunia. Dalam metodologi feminis, perhatian pada unsur-unsur affection akhirnya menjadi usaha untuk memulihkan kembali dimensi emosional dalam rasionalitas yang terlalu maskulin. Respons emosional terhadap dunia akan berubah apabila dunia dipahami secara berbeda. Pada gilirannya, perubahan respons emosional ini akan memicu proses penelitian yang baru dan perspektif baru. Dalam epistemologi modern (maskulin), emosi menghalangi jalan menuju pengetahuan yang valid, karena itu harus disapubersih dari rasio murni. Tapi feminisme tahu, pembersihan seperti itu tidak benar-benar terjadi, yang terjadi tidak 34
Jurnal Perempuan 48
Rachmad Hidayat
Kapan Ilmu akan Berubah?: Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
lebih pengingkaran atas emosi itu. Bagi subjek penelitian feminis, emosi menjadi bagian dari proses penyingkapan diri dalam setiap tahap penelitian. Prosedur keempat dalam metodologi feminis merekomendasikan pemanfaatan situasi kongkret yang tengah dialami untuk memicu agenda penelitian baru. Ilmu-ilmu sosial konvensional, seperti juga ilmu-ilmu lainnya, memulai penelitiannya dengan perencanaan matang dan dengan serangkaian konsep dan pendekatan yang siap pakai. Lebih dari itu, kepentingan institusi-institusi modern seperti birokrasi, bisnis kapitalis, militer, dan departemen pemerintah sejak semula telah menyodorkan seperangkat masalah yang harus diteliti oleh ilmuwan guna melancarkan fungsi regulasinya.30 Ada birokratisasi dalam cara ilmu modern mendefinisikan berbagai masalah dan tujuan penelitiannya. Ini artinya, inisiatif penelitian dadakan dan tiba-tiba dalam konteks seperti itu tidak akan populer, bahkan tidak bisa diterima. Tidak demikian dengan metodologi feminis. Mereka tidak keberatan inisiatif dan rancangan penelitian muncul tiba-tiba. Inisiatif ini dapat muncul apabila seorang peneliti mengalami pengalaman-pengalaman unik yang menurutnya penting dan mendesak untuk dipelajari. Asumsinya, pengalaman kongkret dalam masyarakat menyediakan alatalat gratis tidak terbatas untuk memahami relasi sosial. Strategi ini menandai sifat teori feminis yang kreatif, spontan, langsung, dan hidup mengalir dalam situasi-situasi baru yang terus berubah.31 Pengalaman sehari-hari merupakan salah satu sumber aktivitas ilmiah yang paling penting. Stanley Liz dan Sue Wise mencontohkan bagaimana pengalaman seksis yang mereka alami dalam aktivitas akademik tibatiba mendorong mereka untuk menganalisis proses kekuasaan perilaku seksual laki-laki yang selama ini dianggap mapan dan normal. 32 Keempat prosedur metodologis feminis tersebut dekat bertaut dengan subordinasi perempuan. Secara sederhana penjelasannya kira-kira seperti ini: pertama, refleksi bertolak dari posisi ketertindasan perempuan. Prinsip refleksi adalah mengungkap pandangan “dari bawah” yang mengalir dari posisi perempuan yang dekat dengan ketidaksetaraan. Kedua, orientasi pada aksi menghubungkan kedudukan hierarki perempuan dalam kelas yang tidak diuntungkan dan menyediakan peluang-peluang bagi pembebasannya. Ketiga, perhatian pada dimensi affection mengungkapkan pengalaman-pengalaman khas kekerasan Jurnal Perempuan 48
35
Kapan Ilmu akan Berubah?: Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
Rachmad Hidayat
terhadap perempuan seperti perkosaan, diskriminasi, dan seksisme. Keempat, pemanfaatan situasi kongkret waktu penelitian menghasilkan pola pemahaman yang maju terus dan kritis, penting selama askes terhadap pendanaan, kekuasaan, dan fasilitas ilmiah tidak selalu tersedia untuk ilmuwan feminis. Kesimpulan Jika pun harus disimpulkan, kita bisa kembali mengatakan bahwa metodologi dan epistemologi feminis kelihatannya memang mengisyaratkan suatu pandangan tertentu yang baru. Pandangan tersebut menegaskan bahwa cara manusia mengetahui dunia merefleksikan caranya dalam berhubungan dengan dunia.33 Artinya, kita harus selalu memahami bahwa keterbukaan, kontekstualitas, keterhubungan, pengakuan untuk emosi, pengalaman langsung, dan asas-asas lainnya dalam metodologi feminis pada dasarnya mencerminkan tidak saja cara perempuan mengetahui, tetapi juga cara perempuan hidup dalam dunianya. Catatan Belakang: 1
Alison Jaggar, Feminist Politics and Human Nature, New Jersey, Rauma and Littlefield Publishers, 1988, hal. 361.
2
Sandra Harding (ed.), Feminism and Methodology: Social Sciences Issue, Bloomington dan Indianapolis, Indiana University Press, 1987, hal. 1.
3
Ibid., hal. 188.
4
Lihat Shulamit Reinharz, Feminist Methods in Social Research, Oxford University Press, 1992.
5
John A. Hughes, The Philosophy of Social Research, London dan New York, Longman Group UK, 1990, hal. 11.
6
Bary Hindess, Philosophy and Methodology in the Social Science, The Harvestesth Press, 1977, hal. 2-3.
7
Ibid., hal. 5.
8
Marjorie L. De Vaulth, Liberating Method: Feminism and Social Research, Philadelpia, Temple University Press, 1999, hal. 30.
9
Moira Gatens, Feminism and Philosophy: Perspectives on Difference and Equality, Bloomington dan Indianapolis, Indiana University Press, 1991, hal. 156.
10
Maria Mies, “Women’s Research or Feminist Research? The Debate Sorrounding Feminist Sciences and Methodology”, dalam Judith Cook dan Mary M. Fonow
36
Jurnal Perempuan 48
Rachmad Hidayat
Kapan Ilmu akan Berubah?: Lebih dekat kepada Metodologi Feminis
(ed.), Beyond Methodology, Feminist Schoolarship as Lived Research, Indiana, Indiana University Press, 1991, hal. 62. 11
Ibid., hal. 63.
12
Rosalind Sydie, Natural Women, Culture Men: A Feminist Perspective on Sociological Theory, Ontario Methuen Publications, 1987, hal. 215.
13
Mies, op.cit., hal. 65.
14
Sydie, op.cit., hal. 211.
15
Lihat Brian Easlea, “The Masculine Image of Sciences: How Much does Gender Really Matter?” dalam Harding (ed.), op.cit., hal. 152.
16
Sydie, op.cit., hal. 214-215; dan Elizabeth Fee, “Is Feminism a Threat to Scientific Objectivity?”, dalam International Journal of Women’s Studies No. 4, 1981, hal. 383.
17
Angela Miles, “Sexuality, Diversity, dan Relativism: In the Women’s Liberation Movement”, dalam Resource for Feminist Research, No. XIV, 1983, hal. 6-7.
18
Lihat Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India, Zed Books, 1988.
19
Untuk diskusi tentang bagaimana prinsip cinta diintegrasikan dalam metodologi feminis lihat Easlea, op.cit., hal. 152; dan Ursula Vogel, “Rationalism and Romanticism: Two Strategies for Women’s Liberation” dalam Judith Evans (ed.), Feminism and Political Theory, London, Sage, tanpa tahun, hal 39-41.
20
Untuk diskusi tentang prinsip keterhubungan dan kontekstualitas dalam metodologi feminis bisa dilihat dalam Hilda Hein, “Women and Science; Fitting Men to Think about Nature”, International Journal of Women’s Studies, No. 4, 1981, hal 376.
21
Harding (ed.), op.cit., hal. 6-10.
22
Ibid.
23
Cook dan Fonow, op.cit., hal. 2.
24
Ibid., hal. 2.
25
Ibid., hal. 6.
26
Ian Craib, Modern Social Theory: From Parsons to Habermas, edisi kedua, St. Martin’s Press, 1992, hal. 27.
27
Cook dan Fonow, op.cit., hal. 9.
28
Nancy Harstsock, “The Feminist Stand Point: Developing the Grand for a Specifically Feminist Historical Materialism” dalam Harding (ed.), op.cit., hal. 169.
29
Carol Giligan, A Difference in Voice, Cambridge, Harvard University Press, 1982, hal. 25.
30
Dorothy Smith, “Women’s Perspective as Radical Critique of Sociology” dalam Harding (ed.), op.cit., hal. 87.
31
Cook dan Fonow, op.cit., hal. 12.
32
Stanley Liz dan Sue Wise, “Feminist Research, Feminist Consciousness and Experience of Sexism,” dalam Cook dan Fonow (ed.)., op.cit., hal. 159.
33
Harding (ed.), op.cit., hal. 189; dan Smith, op.cit., hal. 93.
Jurnal Perempuan 48
37
www.travellerspoint.com
• Topik Empu •
Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan1
Misiyah
M
engenalkan konsep gender (jenis kelamin sosial) dan seks (jenis kelamin biologis) umumnya adalah langkah awal setiap proses pembelajaran yang mengangkat isu-isu perempuan. Dalam berbagai kesempatan pelatihan kepekaan gender, peserta pelatihan dengan sangat mudah menyepakati penanda biologis perempuan dan laki-laki, yaitu perempuan memiliki vagina, rahim, dan payudara berkelenjar mamae, sedangkan laki-laki mempunyai testis dan penis. Namun demikian, tidak mudah bagi peserta untuk memahami bahwa aktivitas mengandung (hamil), melahirkan, dan menyusui (selanjutnya disebut 3M) seharusnya tidak dimasukkan dalam kategori seks, tapi dalam kategori gender. Pengalaman KAPAL Perempuan 2 dalam Jurnal Perempuan 48
39
Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
Misiyah
mengembangkan Pendidikan Feminis selama ini menunjukkan bahwa pada umumnya peserta menolak kategorisasi tersebut dengan alasan 3M merupakan kodrat, ketentuan yang harus dijalani oleh kaum perempuan, bukan pilihan. Menurut peserta, jika 3M dianggap sebagai konsep gender, mereka takut nanti perempuan akan punya pilihan untuk melakukan atau menolak aktivitas 3M. Akibatnya, perempuan juga bebas memilih untuk tidak kawin, tidak mau melahirkan, dan menyusui. Kekhawatiran tersebut mencerminkan pikiran sebagian besar masyarakat yang menganggap perempuan telah “kebablasan” dalam menyikapi kesetaraan gender. Mereka tidak rela bergeser dari pengetahuan yang selama ini telah mengakar dan dipercaya sebagai kebenaran, sebagaimana dituturkan oleh N berikut ini: Saya telah bertahun-tahun mengenal gender. Berkali-kali pula mengikuti pelatihan gender. Saya juga menjadi fasilitator training gender di komunitas-komunitas. Sepanjang pelatihan yang saya ikuti, tidak pernah saya mendapatkan pemahaman bahwa 3M tersebut masuk kategori gender. Dan saya juga selalu mensosialisasikan 3M adalah termasuk seks. Sampai saat ini saya yakini pengetahuan ini karena saya juga tidak menemukan dalam buku-buku yang menyatakan bahwa 3M adalah gender. Sumber-sumber ilmiah apa yang mendukung pandangan KAPAL Perempuan bahwa 3M adalah gender dan bukan seks?3
Sikap memegang teguh pengetahuan yang dianggap benar serta keengganan untuk membenturkannya dengan realitas menunjukkan kebekuan cara berpikir dan sikap kritis. Kebekuan itu diperkokoh oleh keyakinan bahwa keabsahan pengetahuan semata-mata didasarkan pada sumber-sumber tertulis (literatur) dan pandangan para pakar. Sikap tersebut adalah dampak proses pendidikan baku yang terus menerus ditanamkan pada masyarakat tentang otoritas sebuah pengetahuan bahwa pengetahuan harus lahir dari pemikiran yang rasional, objektif, dan ilmiah. Hal ini digugat oleh Shulamit Reinharz: … ilmu pengetahuan feminis berdasarkan suatu premis bahwa pengalaman semua manusia adalah valid dan tidak boleh dibuang dari pemahaman kita, sementara ilmu
40
Jurnal Perempuan 48
Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
Misiyah
pengetahuan patriarkis berdasarkan pada premis bahwa pengalaman dari hanya separuh dari penduduk dunia perlu dipertimbangkan dan versi yang dihasilkan dari situ bisa diterapkan pada pihak yang satunya, separuh dari penduduk dunia lainnya ….4
Pada kenyataannya, pengalaman perempuan selalu dianggap emosional dan terlalu subjektif untuk dijadikan landasan pengetahuan. Ia dapat menjadi pengetahuan jika dimaknai dengan cara pandang lakilaki. Ketika perempuan menegaskan pentingnya memperhatikan pengalaman dan menggunakan perspektif perempuan dalam kegiatan analisis dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dia harus berhadapan dengan klaim “tidak ilmiah”. Hal ini dipertegas oleh Saskia Wieringa, yang mengemukakan temuannya bahwa: Pengalaman perempuan tidak dipandang sebagai dasar yang sah untuk membangun teori. Kehidupan perempuan tidak dikaji; kenyataannya teori-teori “umum” sosial, ekonomi, psikologi, dan sejarah didasarkan atas pengalaman-pengalaman laki-laki.5
Wieringa juga mengkritik Profesor Wertheim, seorang intelektual yang dikaguminya, karena di dalam salah satu karyanya yang penting mengenai Indonesia, masalah-masalah perempuan kurang mendapat perhatian. Ini membuktikan bahwa mengubah cara pandang memang sangat sulit dilakukan. Pengetahuan arus utama (mainstream) dianggap sebagai kebenaran tunggal bahkan sakral. Mengapa ini terjadi di masyarakat Indonesia, bahkan di kalangan aktivis – para “pembaharu” itu? Untuk menjawabnya, kita harus melihat paradigma-paradigma yang menjadi latar belakang cara berpikir mereka. Disadari atau tidak, paradigma ilmu-ilmu sosial pasti telah menuntun cara pandang dan sikap hidup seseorang. Dalam analisis Habermas6, ilmu-ilmu sosial pada dasarnya punya tiga paradigma. Pertama, paradigma instrumental. Dalam paradigma ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi objeknya. Paradigma ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme, mirip dengan paradigma fungsional. Positivisme adalah aliran filsafat yang mengambil cara kerja ilmu alam, yang percaya pada universalisme dan Jurnal Perempuan 48
41
Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
Misiyah
generalisasi. Untuk itulah, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dengan nilai (value) agar diperoleh suatu pemahaman yang objektif tentang realitas sosial. Kedua, paradigma intepretatif. Dasar dari paradigma ini adalah fenomenologi dan hermeneutik, tradisi filsafat yang lebih menekankan pada minat untuk memahami. Semboyannya adalah “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”. Ia hanya ingin memahami secara sungguh-sungguh, bukan melakukan pembebasan. Kelompok paradigma ini prinsipnya bebas nilai dan kontra positivisme. Ketiga, paradigma kritik. Paradigma ini sering dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari berbagai macam ketidakadilan. Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai dan melihat realitas sosial menurut perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini menempatkan rakyat atau manusia sebagai subjek utama yang perlu diperhatikan dan diperjuangkan. Kelompok dalam paradigma ini biasanya diwakili oleh critical theorists bermadzhab Frankfurt. Pada area inilah teori-teori feminisme berkembang, ia menempatkan perempuan sebagai subjek yang menjadi “korban” penindasan sekaligus aktor untuk melakukan pembebasan. Relasi kuasa berbasis gender menjadi dasar pijakan analisis teori-teori feminisme. Metodologi Feminis: Pengalaman Perempuan merupakan Sumber Pengetahuan Berangkat dari paradigma terakhir di atas, metodologi feminis dikembangkan dengan prinsip sebagai berikut: Prinsip utama Metodologi Feminis adalah pengalaman perempuan merupakan sumber pengetahuan. Pengalaman-pengalaman perempuan inilah yang digunakan untuk menunjuk dan menganalisis struktur-struktur yang lebih besar. Juga untuk menghargai subjektivitas perempuan dan pengalaman hidup perempuan sebagai dasar untuk pembelajaran – proses penegasan kembali sumbangan perempuan pada pembentukan pengetahuan. 7
Bagaimana perempuan membentuk pengetahuan? Dalam perspektif feminis, pengetahuan yang selama ini dianggap benar perlu dicocokkan dengan pengalaman riil perempuan. Pada pembahasan awal tentang pergeseran kategorisasi 3M dari kategori seks menjadi gender, dapat 42
Jurnal Perempuan 48
Misiyah
Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
kita lihat sumbangan metodologi feminis terhadap pengetahuan dan pemberdayaan perempuan, yaitu terbukanya ruang “untuk memilih” bagi perempuan untuk menjadi otonom atas tubuhnya sendiri. Menikah atau tidak menikah, misalnya, menjadi pilihan. Perempuan tak lagi dihantui tekanan yang diciptakan masyarakat. Ia juga jadi sadar bahwa perempuan yang tidak melahirkan anak atas keputusan sendiri atau karena “mandul” adalah perempuan yang sama nilainya dengan mereka yang dapat melahirkan anak dan menyusuinya. Oleh karena itu, tidak ada alasan melakukan poligami bagi laki-laki yang istrinya tidak mau atau tidak bisa melahirkan anak. Artinya, Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang secara eksplisit melegitimasi poligami sudah saatnya diubah menjadi undang-undang yang lebih memberikan keadilan bagi perempuan. Kita juga dapat belajar dari pertumbuhan sejarah aliran feminisme8 tentang pembentukan pengetahuan perempuan. Feminisme adalah pemikiran yang dinamis. Berbagai varian alirannya muncul karena kedinamisannya itu, ketanggapannya menyesuaikan diri dengan kondisi dan status perempuan setempat. Feminisme radikal dan liberal, misalnya, berkembang di negara-negara liberal. Feminisme sosialis dan marxis berkembang untuk menggugat persoalan struktur kelas. Untuk menjawab kebutuhan perempuan yang didiskriminasi karena warna kulit, berkembang aliran feminis yang memberdayakan perempuan kulit berwarna (black feminism), feminisme dunia ketiga/poskolonial menjawab persoalan dunia ketiga/poskolonial, dan feminisme agama menjadi alat bagi perempuan untuk mencari sumber-sumber penindasan berdasar agama. Untuk membantu menjelaskan bagaimana aliran-aliran ini muncul, saya akan membahas mereka satu-satu: Feminisme liberal. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar perempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi Jurnal Perempuan 48
43
Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
Misiyah
perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang beperspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
www.mccullagh.org
Feminisme Radikal. Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan lakilaki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privatpublik. “The personal is political”9 menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan perempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan yang buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki UndangUndang RI No.23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).10
44
Jurnal Perempuan 48
Misiyah
Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
Feminis Marxis. Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini – status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat – borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus. Feminisme Sosialis. Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan. Feminisme Poskolonial. Dasar pandangan aliran ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan perempuan berlatar belakang dunia pertama. Jurnal Perempuan 48
45
Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
Misiyah
Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami penindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilainilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan”.11 Dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial kontemporer, feminisme berkontribusi besar dalam melakukan dekonstruksi. Sebagai contoh, digunakannya pendekatan feminis (feminist approach) dalam ilmu politik dengan terminologinya “the personal is political”. Ilmu politik klasik melihat relasi kuasa hanya terjadi dalam ranah publik, antara negara dan rakyatnya, dan berorientasi pada kekuasaan (power). Dengan menggunakan perspektif feminis, terbongkarlah kebekuan wacana ilmu politik itu. Relasi politik menjadi tidak sekedar hubungan rakyat-negara (yang terwujud dalam parlemen, kabinet, partai politik, dll.) tetapi juga menyangkut relasi laki-perempuan/anak (baik dalam relasi negara yang menindas perempuan maupun pada kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga), menghilangkan dikotomi publik-privat, serta mengubah orientasi relasi politik dari kekuasaan menjadi kesetaraan. Pendekatan feminis dalam ilmu politik juga dapat dilihat dalam analisis anggaran berperspektif gender (gender budgeting) dan affirmative action policy yang bertujuan untuk meningkatkan akses pelayanan publik dan partisipasi politik perempuan. Metodologi Feminis: Menuju Pembebasan Perempuan Sebagai sebuah metodologi12 yang berakar pada feminisme, metodologi feminis mengikatkan diri pada semangat yang berdasarkan (a) keyakinan bahwa perempuan sedunia menghadapi berbagai bentuk penindasan atau eksploitasi; (b) komitmen untuk menyingkap dan memahami akar berbagai bentuk penindasan, dan mengapa penindasan itu bertahan; (c) komitmen kerja dalam hidup sehari-hari, baik secara individual maupun kolektif, untuk menghentikan segala bentuk penindasan. 46
Jurnal Perempuan 48
Misiyah
Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
www.got.net
Metodologi feminis mempunyai kejelasan posisi atau keberpihakan dan berangkat dari pengalaman empiris. Hal ini berlawanan dengan ilmu-ilmu sosial positivis, yang dengan mudah menjadi alat kekuasaan karena mengagungkan netralitas dan menolak untuk berpihak. Netralitas tidak mungkin terjadi dalam ilmu-ilmu sosial. Pengetahuan yang dibentuk melalui metodologi feminis berujung pada pembebasan perempuan dari ketertindasannya. Bagaimana metodologi feminis menanggapi persoalan-persoalan perempuan di Indonesia? Situasi perempuan Indonesia 13 dilihat dari Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia), yang salah satu parameternya adalah kesetaraan gender, menunjukkan bahwa pada tahun 2004 Indonesia berada pada peringkat 114 dari 189 negara. Dalam bidang pendidikan, misalnya, angka putus sekolah anak perempuan sangat tinggi. Sebagai perbandingan, dari 6 juta anak, untuk setiap 3 murid laki-laki ada 7 murid perempuan yang putus sekolah. Dari 44 juta anak usia sekolah, sekitar 47% belum mendapatkan pendidikan dasar dan 75% diantaranya adalah perempuan. Dalam bidang kesehatan, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia adalah yang terburuk di antara negara ASEAN, mencapai 396 per 100.000 kelahiran. Pada ranah privat juga banyak persoalan perempuan, tampak dari masih tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). 14 Sedangkan di ranah publik, persoalan perempuan terbesar adalah rendahnya partisipasi mereka dalam dunia politik. Misalnya, tidak ada perempuan yang menjabat sebagai gubernur. Persentase perempuan anggota MPR RI juga sangat rendah, hanya 9,2 % (bandingkan dengan jumlah anggota laki-laki yang mencapai 90,8 %) dan jumlah anggota perempuan di DPR RI hanya 9% (Cetro, 2001). Apa arti data-data statistik tersebut? Bagi ilmu-ilmu sosial positivis, data tersebut mungkin hanya angka yang diperbandingkan besar Jurnal Perempuan 48
47
Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
Misiyah
kecilnya untuk kepentingan generalisasi atau pembuktian. Sedangkan dilihat dari perspektif feminis, data-data statistik tersebut adalah tantangan dan ungkapan pengalaman perempuan yang harus diproses agar melahirkan “pengetahuan perempuan” dan aksi-aksi untuk membebaskannya. Oleh karena itu, angka-angka statistik ini perlu digali lebih mendalam melalui metodologi feminis. Seperti kata Dale Spender: Ketika kedua jenis kelamin bisa menggambarkan pengalaman-pengalaman mereka sendiri dan ketika kedua versi itu dapat hidup bersama tanpa terbagi menjadi unggul dan kalah, benar atau salah, aturan atau pelanggar, maka sebagian dari mekanisme penindasan terhadap perempuan telah dibuang.15
Metodologi KAPAL Perempuan KAPAL Perempuan telah mengembangkan metodologi feminis untuk mengurai mekanisme penindasan, membongkar kebisuan, dan menggali pengalaman-pengalaman perempuan melalui Pendidikan Feminis. Beberapa model Pendidikan Feminis yang dikembangkan antara lain Pendidikan Adil Gender untuk Perempuan Marginal, Pendidikan Alternatif untuk Pencegahan Konflik dan Penciptaan Perdamaian, Pendidikan Pengorganisasian bagi PRT (Pekerja Rumah Tangga) Migran, dan lain-lain.16 Sebagai sebuah model pendidikan yang berakar pada metodologi feminis, Pendidikan Feminis berkontribusi dalam mengurai persoalan perempuan dan mengkaitkannya dengan kesadaran kritis atas relasi kekuasaan yang menindas, sehingga mendorong terjadinya pembebasan perempuan dari ketertindasan. Keberpihakan serta komitmen untuk melakukan pembebasan bertumpu pada prinsip-prinsip di bawah ini: (a) Pengalaman perempuan adalah sumber pengetahuan. Setiap pengalaman subjektif perempuan sah atau valid untuk dijadikan dasar membangun pengetahuan. Otoritas sebuah pengetahuan adalah pengalaman perempuan itu sendiri, bukan diperoleh dari hasil pikiran-pikiran yang dikembangkan semata-mata dari belakang meja melalui penalaran-penalaran “ilmiah”. (b) The personal is political. Pengalaman pribadi perempuan mempunyai posisi politis yang sama pentingnya dengan pengalaman 48
Jurnal Perempuan 48
Misiyah
Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
masyarakat di ranah publik. (c) Menggunakan kerangka analisis gender. Sebab akibat suatu masalah diurai dengan membongkar relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki di ranah privat maupun publik. (d) Berakar dari paham dan politik feminisme yang mementingkan pengenalan alasan-alasan struktural sub-ordinasi, penaklukan, perbudakan, dan pemerasan tenaga perempuan - sistem patriarki itu tadi. (e) Pengetahuan adalah alat pembebasan. Pengetahuan dibangun dalam kerangka proses pembebasan perempuan. Pengetahuan dijauhkan dari proses-proses melegitimasi kekuasaan yang menindas. (f) Berkeadilan gender. Keberpihakannya terhadap perempuan bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dari diskriminasi, kekerasan, dan penindasan perempuan. Pengetahuan harus membawa perubahan menuju masyarakat yang berkeadilan sosial dan berkeadilan gender. Akumulasi prinsip-prinsip tersebut tentu bukan baku dan final, tetapi dapat berkembang secara dinamis, seiring dengan situasi masyarakat yang terus bergerak. Metodologi yang berpijak pada perspektif feminis tidak pernah membekukan diri, namun selalu terbuka pada perkembangan situasi perempuan menantang jamannya. Catatan Belakang 1
Artikel ini sebagian besar bersumber dari tesis penulis di Program S2 Sosiologi FISIP Universitas Indonesia tahun 2006 yang berjudul Tinjauan Feminisme Poskolonial tentang Kesadaran Kritis dan Otonomi Perempuan Indonesia – Studi Kasus: Pendidikan Feminis KAPAL Perempuan untuk Pemimpin Lokal di Manado, Sulawesi Utara.
2
KAPAL Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif Perempuan) adalah sebuah organisasi perempuan yang menjadi wadah bagi para aktivisnya untuk mengembangkan cara berpikir kritis masyarakat Indonesia, khususnya di kalangan perempuan yang merupakan mayoritas tetapi masih tertinggal dalam segala aspek kehidupan.
3
Catatan proses KAPAL Perempuan mengembangkan Pendidikan Feminis di wilayah Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa tahun 2000-2003. Ini pernyataan salah satu peserta Pendidikan Feminis yang berasal dari Sumatra, tahun 2001. Hal yang sama juga ditemui pada hampir setiap proses pembelajaran di wilayah Sulawesi,
Jurnal Perempuan 48
49
Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
Misiyah
Kalimantan, Jawa, dan Nusa Tenggara Timur dan Barat. Baca Yanti Muchtar dan Misiyah, Modul Pelatihan untuk Menumbuhkan & Meningkatkan Sensitivitas Keadilan Gender, Jakarta, KAPAL Perempuan, 2005, hal. 20-21. 4
Shulamit Reinharz, Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial, Jakarta, Women Research Institute, 2005, hal. 7.
5
Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta, Garba Budaya, 1999.
6
Dikutip dari tulisan Mansour Faqih, Pendidikan POPULER Membangun Masyarakat Kritis, Yogyakarta, ReaD Book, INSIST dan PACT Indonesia, 2000. hal. 23-29. Baca juga Fransisco Budi Hardiman “Habermas sebagai Generasi Baru Teori Kritis” dalam Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta, Buku Baik, 2004
7
Penjelasan lebih mendalam baca Modul Pendidikan Adil Gender, Jakarta, KAPAL Perempuan, 2006 yang disusun oleh Lili Pulu, Yanti Muchtar, Salbiyah, dan Fitriani Sunarto; dan baca pula Abha Bhaiya dan Kalyani Menon Sen, Feminism Training: Precepts and Practices, tidak diterbitkan, 1996.
8
Baca Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, 2003 dan Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, edisi kedua, Colorado, Westview Press, 1998.
9
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Carol Hanisch dalam artikelnya “Personal Is Political” yang dimuat dalam Second Year: Women’s Liberation (sebuah jurnal feminis yang dieditori oleh Shulamith Firestone dan Anne Koedt) pada tahun 1970. Menurut Karlina Leksono, konsep the personal is political merupakan langkah metodologis untuk menjawab pertanyaan, apakah identitas perempuan itu dan bagaimana kembali mengambil wacana? Di bawah slogan feminis gelombang kedua, pengalaman perempuan didefinisikan ulang ke dalam bahasa politis, dengan menekankan hubungan antara kondisi material objektif lingkungan sosial dan pengalaman subjektif personal. Di belakang slogan itu ada kesadaran bahwa pengalaman perempuan terjadi di wilayah yang menurut tradisi didefinisikan sebagai wilayah personal (emosional, khas, akrab), sehingga untuk mengetahui politik situasi perempuan kita harus mengetahui kehidupan personal perempuan. Baca Karlina Leksono, “Kapan Perempuan Boleh Menamakan Dunia”, artikel di Media Kerja Budaya online. Diakses dari http://mkb.kerjabudaya.org/mkb-arsip/kls/mkb-klskapanperempuanmenamakan.htm, tanggal 20 Desember 2005, jam 14.40 WIB.
10
Dalam pembahasan RUU ini di parlemen, banyak tentangan dari berbagai pihak yang umumnya didasarkan pada argumen keagamaan, karena upaya untuk membongkar kekerasan dalam rumah tangga dianggap membuka aib keluarga dan dianggap berdosa. Salah satu contohnya, dalam rapat dengar pendapat RUU ini, seorang laki-laki anggota DPR RI menolak keras RUU tersebut dengan pernyataan mengancam, “Untuk apa ikut budaya Barat. Kita sudah punya hukum sendiri yang melindungi perempuan. Ada hukum adat dan hukum Islam. Kalau saya pukul istri saya lalu ia melapor ke orang lain, maka orang itu akan saya bunuh. Ini urusan intern dalam keluarga saya, untuk apa orang lain ikut urusan rumah tangga saya,” tukas Mustopo dari Fraksi TNI/Polri. (KOMPAS, Rabu, 25 Agustus 2004.)
50
Jurnal Perempuan 48
Misiyah
Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan
11
Dikutip dari Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without Borders: Decolonizing Theory, Practicing Solidarity, Durham & London, Duke University Press, 2003, hal. 40.
12
“Metodologi secara umum merupakan proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban.” David Silverman dalam Mulyana, 2001, hal. 145-146.
13
Data ini dipakai untuk Laporan Organisasi Non-Pemerintah tentang Pelaksanaan Landasan Aksi Beijing 1995-2005: Indonesia, pada Sidang ke-49 Komisi Kedudukan Perempuan PBB, New York, 28 Februari-11 Maret 2005 (49 th Session of the United Nations Commission on the Status of WOMEN).
14
Data kekerasan terhadap perempuan merupakan data yang sulit dipastikan angkanya karena kekerasan jenis ini adalah kejahatan yang paling ditutup rapat-rapat. Banyak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga tidak berani melapor karena sampai saat ini mereka masih ditakut-takuti, diancam, dan disalahkan walaupun UU PKDRT telah disahkan.
15
Dale Spender dalam Patricia Maguire, “Menuju Suatu Kerangka Penelitian Partisipatif Feminis: Menantang Patriarki” dalam Pendidikan Populer: Dekolonisasi Metodologi, Jurnal Wacana Edisi 15, Tahun IV, Yogyakarta, Insist Press, 2003, hal. 18.
16
Uraian mengenai program-program Pendidikan Feminis dapat dibaca dalam brosur KAPAL Perempuan atau di situs www.kapalperempuan.org
DAPATKAN JURNAL PEREMPUAN EDISI 47
RUU APP: Mengapa Perempuan Menolak? Jurnal Perempuan edisi 47 kali ini mengangkat isu RUU APP yang kontroversial untuk menjelaskan lebih mendalam, “Mengapa Perempuan Menolak” produk hukum yang ternyata implikasinya menjadi diskriminatif terhadap kehidupan perempuan. Produk hukum tersebut akan menjepit perempuan dalam dua wilayah yang membuat mereka – untuk kesekian kalinya – diperlakukan diskriminatif.
Harga Rp. 19.000
Jurnal Perempuan 48
51
• Kliping •
Penelitian yang Memakai Pendekatan Feminis
F
eminist perspective atau pendekatan feminis, perspektif yang didasarkan pada suatu kerangka teori feminis, mengusulkan bahwa dalam kegiatan penelitian perempuan perlu diterima dan dihargai sebagai sesama manusia yang mempunyai potensi (kemampuan) untuk berkembang. Karakteristik perempuan yang tidak kompeten, lemah, tidak mandiri lebih merupakan produk budaya yang meremehkan, dan oleh karenanya perlu diimbangi dengan gambaran tentang perempuan yang pintar, mandiri, cerdas, berani, mampu mengambil keputusan, sukses, etis, dll. Kaum perempuan juga mempunyai kemampuan untuk mengembangkan kondisi lingkungan hidupnya dan sangat bisa ikut memberi arah kepada pengembangan masyarakat, ekonomi, politik, dan pribadi. Kaum perempuan memiliki berbagai macam kualitas manusia yang bisa meningkatkan mutu hidupnya, seperti yang dimiliki kaum laki-laki. Kepercayaan dan sikap umum terhadap kaum perempuan banyak dipengaruhi oleh mitos dan aneka stereotip negatif yang bersumber dari pengaruh sosial budaya yang merugikan perkembangan status dan diri perempuan. Semua itu dapat diubah atau dihilangkan. Selama ini ada distorsi tentang apa dan siapa perempuan itu. Distorsi itu tidak dikoreksi karena adanya kecenderungan di kalangan para peneliti untuk bersikap androsentris. Meskipun penelitian yang memilih kaum perempuan sebagai objek penelitian sudah banyak dan sejak lama dilakukan, penelitian itu terbatas pada penelitian tentang perempuan. Penelitian tentang perempuan selama ini hanya ditujukan untuk menjelaskan sesuatu yang oleh penelitinya dianggap penting secara sepihak, kurang ditujukan untuk lebih memahami responden sebagai subjek penelitian. Cara analisisnya, kalaupun respondennya perempuan, lebih sering dengan kerangka konseptual atau teoritis yang bersifat umum dan tidak memakai kerangka teori feminis. Perempuan lebih banyak dijadikan objek studi. Jarang sekali mereka ditanya anggapannya, apalagi penghayatannya sebagai perempuan. Apabila hasil suatu penelitian menghasilkan gambaran yang berbeda 52
Jurnal Perempuan 48
• Kliping • tentang responden perempuan, temuan itu tidak dikaji lebih lanjut, hanya dijadikan catatan kaki (kemudian dilupakan). Studi tentang perempuan mencerminkan prasangka dan sikap yang berlaku dalam lingkungan sosial budaya tertentu. Akibatnya, distorsi pandangan tentang perempuan ikut mempengaruhi jalannya penelitian itu. Berbagai macam penelitian tentang perempuan, yang tidak menggunakan perempuan sebagai subjek penelitian, telah mendorong ilmuwan feminis untuk mengembangkan riset dengan perspektif perempuan. Penelitian itu dilakukan untuk perempuan (bukan hanya untuk keperluan si peneliti). Mengingat tidak ada satu definisi baku atau tunggal yang dianut oleh berbagai peneliti feminis, pendekatannya juga amat bervariasi. Antara mereka yang sekedar menganggap dirinya sebagai peneliti berperspektif perempuan dan mereka yang benar-benar peneliti feminis sejati sulit sekali dibedakan. Untuk memberikan gambaran singkat tentang ciri-ciri feminis, berikut ini saya kutipkan apa yang dikatakan oleh beberapa orang peneliti yang benar-benar berperspektif perempuan. Yang pertama adalah Lott (psikolog Amerika). Ia beranggapan, “Kesarjanaan feminis dan penelitian empiris feminis ... memiliki ciri khas yang membedakannya dari penelitian lain ... yaitu pilihan masalah dan tujuan akhirnya.” Sementara sosiolog Liz Stanley menulis, “Penelitian feminis mutlak dilakukan oleh peneliti utama perempuan karena saya melihat hubungan langsung antara kesadaran feminis dan feminisme.” Naomi Black, seorang ahli ilmu politik mengatakan, “Penelitian feminis harus menekankan nilai subjektivitas dan pengalaman pribadi.” Sementara pandangan khas sosiolog biasanya mengatakan, “Dilema yang selalu dihadapi sarjana feminis adalah bekerja dalam bidang ilmu tradisional sambil menemukan jalan untuk menuju revolusi intelektual yang akan mengubah tradisi.” Definisi macam-macam tentang riset berperspektif perempuan tersebut sekaligus menggambarkan bahwa definisi feminisme yang beragam juga berpengaruh pada pendekatan yang dipilih ilmuwan feminis dalam melakukan penelitian. Dengan melakukan penelitian berperspektif perempuan, peneliti yang bersangkutan juga dipaksa menghadapi (kemudian mengkaji) dilema-dilema lain yang dihadapi perempuan – yang sebelum ini mungkin tidak pernah diketahuinya. Diambil dari tulisan Saparinah Sadli, “Studi Wanita: Pengembangan dan Tantangannya,” di Jurnal Stri, Jurnal Studi Wanita Vol. 1. No. 1, Januari 2002, hal. 1-23.
Jurnal Perempuan 48
53
Foto: Dok. YJP
• Topik Empu •
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis
Nur Iman Subono
A
da dua cerita yang ingin saya ungkapkan sebagai pengantar dalam tulisan ini. Yang pertama adalah pengalaman pribadi penulis, dan yang kedua cerita teman baik saya. Yang pertama kira-kira begini ceritanya: dalam satu seminar dengan pembicara beberapa staf pengajar dari satu perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia, terjadi perdebatan ketika saya mendukung soal pemberlakuan kuota 30% untuk perempuan di parlemen. Salah satu panelis menanyakan kepada saya apakah saya yakin dan bisa memberikan jaminan atau kepastian jika perempuan diberi kuota 30% akan ada sumber daya manusianya untuk mengisi kuota tersebut. Pertanyaan tersebut, menurut saya, memang agak aneh. Mengapa demikian? Saya kira saya sangat Jurnal Perempuan 48
55
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis Nur Iman Subono
menyadari siapa diri saya, bukan pejabat apalagi penguasa, bagaimana bisa memberikan jaminan dan kepastian tersebut? Saya balik bertanya, apakah panelis tersebut yakin bahwa anggota-anggota parlemen saat ini sudah hebat, bermoral, dan tangguh? Tidak ada jawaban. Dan kita pun maklum, dari Sabang sampai Merauke, hampir semua anggota DPRD tersangkut masalah korupsi, bahkan sebagian besar dari mereka sudah jadi tersangka dan ditahan. Kita pun tahu mayoritas dari mereka adalah laki-laki. Sementara cerita yang kedua seperti ini:1pada waktu akhirnya Megawati dilantik sebagai presiden menggantikan Abdurrahman Wahid, datang seorang wartawati dari surat kabar berbahasa Inggris terkemuka meminta waktu untuk mewawancarai teman baik saya. Si wartawati bertanya, apakah Megawati memiliki kemampuan sebagai presiden untuk memimpin Indonesia yang sedang dilanda krisis? Teman saya bertanya balik ke wartawati tersebut, apakah pertanyaan yang sama juga ditanyakan pada saat B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid menjadi presiden? Kedua presiden terdahulu ini bisa dibilang “gagal” karena yang duluan ditolak pertanggungjawabannya oleh MPR, dan yang belakangan diturunkan karena mendapat impeachment dari MPR. Apa yang bisa kita pelajari dari dua kasus tersebut di atas? Apa sebetulnya yang “salah” di sini? Mengapa ada pembedaan dalam melihat peran dan posisi perempuan dalam politik dibandingkan dengan lakilaki? Bias Gender: Ruang Publik dan Ruang Privat Sadar atau tidak, ada bias gender dalam pertanyaan-pertanyaan panelis dan wartawati tersebut. Apa sebetulnya bias gender? Biasanya istilah ini disandingkan dengan istilah yang lain, yakni stereotip peran seksual (sex role stereotyping). Apa pula arti stereotip peran seksual? Bias gender adalah prasangka yang dibuat tanpa pengetahuan yang memadai atau bukti-bukti yang kuat, terhadap seseorang atau sekelompok masyarakat yang didasarkan pada peran dan posisi gender laki-laki dan perempuan.2 Membatasi bahasannya hanya pada dunia kerja, bias gender bisa juga berarti perlakuan tidak setara dalam memberikan kesempatan kerja atau jabatan (promosi, upah atau gaji, keuntungan, dan hak-hak istimewa), dan harapan-harapan terhadap sikap dan tingkah laku yang didasarkan pada jenis kelamin seorang 56
Jurnal Perempuan 48
Nur Iman Subono
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis
karyawan atau sekelompok karyawan.3 Sementara itu kata “stereotip” menurut Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary (terbitan tahun 1984) adalah gambaran mental yang distandarisasi dan diterima sebagai sesuatu yang wajar dan kemudian direpresentasikan dalam pendapat yang sangat menyederhanakan atau penilaian yang tidak kritis. Maka, “stereotip peran seksual” berarti ciriciri atau karakteristik yang dirujukkan pada seseorang atau sekelompok masyarakat yang didasarkan pada jenis kelamin biologis mereka. 4 Bias ini sangat berkaitan dengan keyakinan adanya pemisahan antara ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah tempat dan milik laki-laki, baik secara sosial-politik maupun ekonomi. Ruang privat adalah ranah perempuan, tempat mereka hadir dan beraktivitas. Yang biasanya kita anggap bagian dari ruang pertama adalah, misalnya, lembaga-lembaga publik, partai politik, parlemen, dan lainnya yang sejenis. Sebaliknya, keluarga, merawat suami dan membesarkan serta mendidik anak, aktivitas rumah tangga seperti memasak, belanja, merapikan rumah, dan lainnya yang sejenis sering kita asumsikan sebagai bagian dari ruang kedua. Pembagian ini menyebabkan, sebagai konsekuensinya, masalah kesetaraan dan keadilan tidak menjadi perhatian dalam hubungan antar anggota keluarga (suami-istri atau orang tua-anak).5 Atas dasar itu, tidak mengherankan juga apabila parlemen dan jabatan kepresidenan selama ini dianggap sebagai ranahnya kaum lakilaki. Jika ada perempuan yang coba-coba masuk ke dalamnya, niscaya ia akan ditanyai hal-hal yang tidak berkaitan dengan kapasitas dan keahliannya. Sebaliknya, sudah seperti taken for granted saja bahwa lakilaki bisa dengan tenang menempati posisi sebagai anggota parlemen atau presiden tanpa harus dipermasalahkan kapasitas dan keahliannya. Kemudian jika mereka “gagal” seperti anggota-anggota parlemen yang korup dan dua presiden laki-laki sebelumnya yang tidak bisa bertahan, kesannya tidak terlalu “heboh”. Bayangkan jika mereka perempuan! Ilmu Politik dan Bias Gender Memang banyak faktor mengapa bias gender tersebut ada dan dilestarikan dalam masyarakat kita. Patriarki penyebabnya, begitu kirakira komentar kalangan feminis radikal. Sudah banyak tulisan yang bicara soal itu. Apa yang hendak diungkapkan di sini adalah bagaimana Jurnal Perempuan 48
57
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis Nur Iman Subono
Foto: Dok. YJP
ilmu politik, salah satu anak kandung dari ilmu-ilmu sosial, langsung maupun tidak, memberikan kontribusi dalam lahir dan berkembangnya bias gender dalam dunia akademisi khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Sejauh ini, ilmu politik, khususnya yang berkembang di jurusan politik di Indonesia pada umumnya memang tidak berhubungan dengan persoalan gender.6 Ada beberapa bentuk bias gender dalam ilmu politik. Yang pertama, biasanya pembicaraan mengenai politik selalu berkaitan dengan “the exercise of power” yang ada di pemerintahan dan institusi-institusi publik lainnya yang berkaitan. Tentu kita ingat kata-kata Harold Laswell yang terkenal mengenai apa itu politik, yang kemudian menjadi judul bukunya, “Who Gets What, When and How” (Siapa Dapat Apa, Kapan, dan Bagaimana).7 Definisi politik seperti ini pada dasarnya menunjuk kepada semua aktivitas yang terjadi dan berlangsung di ranah publik yang notabene adalah dunianya laki-laki. Definisi semacam ini, dari kacamata kalangan feminis, disebut sebagai androsentrisme (male centredness), serangkaian nilai dari budaya dominan yang didasarkan pada norma-norma laki-laki.8 (Lihat juga Kata & Makna – red.) Simak saja misalnya, kalangan feminis yang mengkritik kalangan antropolog neoevolusionis yang mempromosikan paradigma androsentris, “man as the hunter” untuk menunjukkan bahwa semua perkembangan manusia dalam masyarakat bermula dari kegiatan perburuan yang dilakukan laki-laki.9 Yang kedua berhubungan dengan pemikiran politik modern yang menekankan pentingnya kewarganegaraan universal yang akan memperluas hak semua orang untuk terlibat dalam partisipasi politik. Memang kelihatannya ada prinsip keadilan di sini. Tapi nanti dulu, setelah memeriksanya sejenak ternyata hakekat perluasan kewarga58
Jurnal Perempuan 48
Nur Iman Subono
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis
negaraan yang universal ini berasal dari pengalaman laki-laki. Di satu sisi, saya melihat ada penekanan bahwa kewarganegaraan modern ini ditampilkan memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang universal, tetapi di sisi yang lain, saya pun menemukan bahwa nilai dan norma tersebut sangat berkarakter maskulin, bahkan militeristik, seperti kebanggaan, persaudaraan – “keutamaan laki-laki”, rasionalitas, kemandirian, keagresifan, kekuatan, kekompetitifan, dan kekuatan tawar menawar di antara aktor-aktor yang independen; wacana yang berkembang juga selalu didasarkan pada rasionalitas. Ini semua selalu diasosiasikan dengan laki-laki dan maskulinitas.10 Kemudian, ketiga, saya melihat masih berlanjutnya, meskipun sudah banyak yang menggugat, nuansa seksisme dalam teori-teori politik, khususnya yang berakar pada para pemikir sosial dan politik Barat. Seksisme sendiri dapat diartikan sebagai hubungan sosial yang menyokong otoritas laki-laki terhadap perempuan.11 Hubungan seperti ini, menurut kalangan feminis, tidak hanya membatasi aktivitas perempuan tetapi juga cara yang “menyimpang” dalam membuat pembedaan antar gender, karena tidak sesuai dengan apa yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari. Ini merupakan hasil dari “konstruksi sosial” yang “dibuat manusia” (baca: laki-laki). Perempuan menurut mereka terlalu emosional, tidak rasional, untuk membuat keputusan atau kebijakan yang penting dan strategis. Menurut Rousseau, perempuan memang secara alamiah tidak pas untuk masuk dalam kepemimpinan publik.12 Pada titik ini saya melihat ada kecenderungan mysogyny (sikap tidak menyukai perempuan) dalam diri para pemikir besar tersebut. Ironisnya, sebagian besar kalangan akademisi maupun politisi dewasa ini, sadar maupun tidak, masih merujuk pada ide-ide atau pemikiran mereka sebagai cerminan dari suara demokrasi. Padahal kita tahu bahwa demokrasi tanpa suara perempuan di dalamnya bukanlah demokrasi yang sejati. Saya sendiri sering mendengar bahwa kalangan perempuan yang bekerja di luar ranah domestik (privat) sering dipandang sebagai orangorang yang menakutkan. Mereka dianggap serakah dan tidak pernah puas, tidak cukup bermoral atau beradab (biasanya ini diekspresikan dengan idiom-idiom agama) untuk bisa memerintah atau memegang kekuasaan politik secara formal. Tentu kita masih ingat bagaimana Megawati dikritik dan dikecam pada saat ia mencalonkan diri sebagai Jurnal Perempuan 48
59
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis Nur Iman Subono
presiden. Kritikan atau kecaman tersebut ditujukan pada dirinya sematamata karena ia seorang perempuan, tidak banyak yang mengkaitkannya dengan kemampuan dan intelektualitasnya. Sementara itu, banyak ilmuwan politik dan ilmuwan sosial lain tetap melihat bahwa perempuan pada dasarnya memang tidak politis, dan juga tidak tertarik pada politik. Mereka, kalangan perempuan ini, jika pada akhirnya tertarik atau terlibat dalam politik, biasanya dipresentasikan sebagai kalangan yang konservatif. Mereka umumnya lebih memilih politik “status-quo” daripada perubahan yang reformis, apalagi radikal, dan watak dasarnya biasanya adalah aktor politik yang lebih senang bermain “aman-aman” saja. Yang terakhir, keempat, umumnya teori-teori ilmu politik dan metodologi politik yang konvensional juga memandang rendah atau bahkan mengabaikan akibat-akibat dari hubungan, keyakinan, dan ketidaksetaraan gender dalam masyarakat. Sejauh ini, kebanyakan penelitian ilmu politik dan sosial sangat diwarnai dengan paradigma positivisme yang melihat soal gender sebagai suatu kategori empiris yang bisa diamati atau diukur. Umumnya kalangan positivis tidak bisa menerima ide bahwa gender (yang diartikan sebagai peran sosial dan perbedaan kekuasaan) akan mempengaruhi bagaimana kita berpikir dan melihat dunia. Singkatnya, mereka tidak bisa memandang gender sebagai sebuah konstruksi atau kategori teoritis, konseptual, analitis. Padahal sedikitnya ada tiga asumsi yang bisa diungkapkan jika sudah menyangkut perempuan dan politik. Pertama, politik, apa pun definisinya, memiliki dampak atau pengaruh yang berbeda pada lakilaki dan perempuan. Kedua, politik, dalam proses-prosesnya, acapkali mengubah hubungan gender antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, perempuan yang berpartisipasi sebagai subjek politik melakukan aktivitas politik yang berbeda dengan laki-laki. Ketiga asumsi tersebut sedikit banyak menegaskan lagi bahwa masalah hubungan gender dalam kajian-kajian ilmu politik merupakan suatu keniscayaan jika memang taruhannya adalah memberikan gambaran yang lebih komprehensif dan mendalam terhadap kehidupan politik dalam masyarakat dan negara. Sampai di sini ada baiknya saya mengutip Will Kymlicka. 13 Menurutnya, para ahli ilmu politik arus utama telah gagal mempelajari kepentingan dan keprihatinan kaum perempuan. Sejauh ini sebagian besar teori-teori politik kontemporer, masih menurutnya, menyepakati 60
Jurnal Perempuan 48
Nur Iman Subono
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis
apa yang disebut sebagai “dataran egalitarian”, gagasan bahwa semua anggota masyarakat harus mendapatkan perlakuan yang sama atau setara. Akan tetapi, nyatanya sampai detik ini sebagian besar filsafat politik arus utama masih mempertahankan, atau setidak-tidaknya menerima, adanya diskriminasi gender. Banyak kalangan feminis yang menganggap bahwa prinsip-prinsip dalam ilmu politik atau filsafat politik telah dibangun dan dikembangkan berdasarkan kepentingan dan pengalaman kaum laki-laki, yang sudah pasti tidak dapat secara memadai mengenali kebutuhan-kebutuhan perempuan, atau menjadikan pengalaman kaum perempuan bagian darinya.14 Ini artinya berbagai aspek pengetahuan dan kehidupan politik mengenai perempuan berada dalam “kegelapan”, dan pada saat bersamaan intelektualitas pemahaman pun terbatas hanya pada dunia laki-laki. Pertanyaannya, mengapa demikian? Menurut kalangan feminis hal ini sebagian besar disebabkan keyakinan kultural, dan juga jumlah peneliti atau ilmuwan politik laki-laki yang lebih besar dibandingkan jumlah peneliti atau ilmuwan politik perempuan. Akibatnya mudah ditebak. Hasil-hasil kajian atau penelitian ilmu politik biasanya sangat diwarnai dengan generalisasi yang berlebihan, yang didasarkan pada pengalaman laki-laki dan diberlakukan terhadap semua orang dalam masyarakat. Mereka umumnya mengabaikan peran gender dan pembagian sosialnya yang mendasar dalam masyarakat, hanya hirau pada persoalan-persoalan laki-laki, memakai perspektif laki-laki sebagai sudut rujukan, dan menerima begitu saja peran gender yang tradisional. Misalnya dalam ilmu politik, pusat perhatian umumnya hanya diarahkan pada aktor-aktor politik (yang mayoritas adalah laki-laki) yang berkiprah di parlemen, partai politik, atau organisasi masyarakat. Semua itulah politik. Sebaliknya, mereka (mayoritas perempuan) yang berkiprah dalam kehidupan sehari-hari mengelola rumah tangga, mendidik anak, merawat suami, melakukan negosisasi di pasar, dan seterusnya, dianggap sebagai makhluk non-politik, dan karenanya tidak menjadi pusat perhatian dalam ilmu politik. Penelitian Feminis Jika memang demikian, what has to be done? Sebagaimana sudah diungkapkan, ilmu politik, sebagaimana disiplin ilmu lainnya, memang umumnya bias gender atau androsentris. Sekarang masalahnya, Jurnal Perempuan 48
61
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis Nur Iman Subono
bagaimana melakukan perubahan, atau tepatnya dekonstruksi, dalam ilmu politik sehingga wujud dan orientasinya benar-benar tidak hanya bicara tentang perempuan tetapi untuk perempuan. Artinya, mengutip Shulamit Reinharz, tujuan penelitian feminis, kewajibannya, adalah melakukan tindakan dan membuat perubahan untuk kondisi seharihari perempuan.15 Lebih jauh lagi, semua metode yang dibangun harus memungkinkan subjektivitas yang sadar di mana perempuan yang mengkaji mengenai perempuan berada, suatu proses interaktif tanpa adanya pemisahan semu subjek dan objek, antara peneliti dengan yang diteliti. 16 Kita harus mempromosikan penelitian feminis yang memasukkan perempuan dan gender menjadi bagian analisis utama ilmu politik. Penelitian feminis dilaksanakan oleh (umumnya) perempuan, yang dengan sadar mempromosikan identitas-diri mereka sebagai feminis, dan menggunakan perspektif feminis. Mereka menggunakan berbagai teknik penelitian yang metodologinya diberdayakan untuk memberikan suara bagi perempuan. Pendekatan terhadap metodologi feminis ini sedikitnya dilandasi oleh tiga hal berkaitan sebagai berikut: (a) Koreksi total atau dekonstruksi terhadap berbagai perspektif dan penelitian yang “male-oriented” (malestream) yang selama ini telah mendominasi ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu politik. “Malestream research” adalah penelitian yang konsep-konsep, teori-teori, maupun kesimpulan-kesimpulannya sarat dengan prinsip-prinsip seksis. (b) Penggunaan metode penelitian feminis yang berbeda dengan metode penelitian konvensional. Perbedaan ini sebetulnya dilandasi argumen bahwa metode penelitian yang ada sebelumnya tidak terlalu baik atau tidak berhasil membantu peneliti mengungkapkan realitas masyarakat, khususnya realitas perempuan. Dalam kenyataannya, seperti yang dituliskan Women’s Way of Knowing, cara perempuan belajar dan mengekspresikan dirinya berbeda dengan laki-laki. (c) Feminisme mengungkapkan sebuah teori pengetahuan (epistemologi) yang berbeda, dikenal dengan sebutan “standpoint epistemology”. Menurut pandangan ini, jalan kehidupan sosial perempuan memberikan mereka sebuah pandangan yang khas tentang bagaimana masyarakat tersebut berjalan dan berkembang. Nancy 62
Jurnal Perempuan 48
Nur Iman Subono
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis
www.af.mil
Hartstock mengatakan ada persoalan “perbedaan” (difference) dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Perempuan, menurutnya mengalami kondisi-kondisi spesifik dalam hidupnya seperti mengandung, melahirkan, dan memelihara anak, atau mengalami diskriminasi, marjinalisasi, subordinasi, dan kekerasan domestik. Karenanya, ilmu politik yang hanya berdasarkan sudut pandang laki-laki sudah pasti sangat tidak memadai dalam melihat dan menganalisis proses-proses politik yang ada. Ini artinya, ilmu politik yang benar-benar tidak bias gender harus selalu mempertimbangkan kondisi-kondisi spesifik perempuan tersebut. Bagaimana Feminis Mengubah Kajian Ilmu Politik Satu hal yang harus kita sadari sejak awal ketika kita membicarakan kalangan feminis atau perspektif feminis adalah: mereka tidak pernah tampil sebagai suatu entitas yang tunggal atau homogen. Meskipun demikian, menurut Alison Jaggar, seorang feminis radikal, komitmen untuk menghapuskan subordinasi perempuan telah menyatukan keragaman mazhab teori feminis yang dianut kalangan feminis. Akan tetapi, kesepakatan itu segera menguap begitu mereka mulai membahas subordinasi perempuan, dan soal tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk menghapuskannya.17 Dalam ilmu politik, banyak kalangan feminis yang menggabungkan elemen-elemen utama dari berbagai perspektif feminis tersebut. Sedikitnya ada lima hal yang dilakukan kalangan feminis dalam melakukan penerapan perspektif feminis dalam ilmu politik: (a) Memperluas definisi politik dengan memasukkan keterlibatan perempuan dalam gerakan sosial dan protes. Dengan begini Jurnal Perempuan 48
63
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis Nur Iman Subono
(b)
(c)
(d)
(e)
64
kalangan perempuan lebih banyak tampil secara politis di permukaan. Misalnya mereka, sebagaimana tercatat dalam sejarah, menjadi pemain utama dalam gerakan perdamaian atau gerakan anti-perang. Tentu kita masih ingat keterlibatan perempuan, terutama ibu-ibu, dalam gerakan Suara Ibu Peduli menjelang awalawal goyahnya pemerintahan Presiden Soeharto. Sebagai turunannya, mereka merobohkan pembedaan atau dikotomi antara publik dan privat. Ini dilakukan terutama oleh kalangan feminis radikal. Mereka juga mendefinisikan ulang arti politik. Aktivitas perempuan seperti kegiatan memasak dalam demonstrasi atau perjuangan bersenjata mereka masukkan menjadi bagian kajian ilmu politik. Secara keras menentang dan menolak ide warga negara universal atau umum, yang sebenarnya adalah individual maskulin dengan hak-hak istimewa. Iris Marion Young mengajukan ide warganegara yang dibedakan (differentiated citizenship), dalam konsep ini perempuan secara resmi dikenal dan diakui, dan terdapat mekanisme untuk saling berkomunikasi di antara kelompokkelompok yang dibedakan tersebut.18 Selalu mengkritisi, menolak berbagai penjelasan dan pemahaman ilmu politik yang bernuansa seksis. Tidak mengherankan juga jika perempuan selama ini, dalam kajian ilmu politik, tidak terlalu tampil dalam politik formal. Ada berbagai hambatan sistematik, struktural yang menghalangi keterlibatan atau representasi perempuan dalam politik. Perempuan juga tidak selalu memiliki watak yang konservatif. Dalam banyak kasus, mereka banyak memberikan dukungan pada partai-partai politik sayap kiri, dan sangat liberal menanggapi problem-problem sosial seperti perdamaian, perlindungan lingkungan, dan kesejahteraan. Sangat menentang metodologi dan epistemologi positivis yang hanya memandang dan menggunakan gender sebagai kategori empiris. Menurut mereka, gender harus digunakan sebagai kategori analitis. Posisi perempuan yang subordinat dan marjinal dalam politik sangat berkaitan dengan gender sebagai sebuah nilai dan sistem kekuasaan yang mempengaruhi pemahaman, praktek, dan kajian ilmu politik selama ini.
Jurnal Perempuan 48
Nur Iman Subono
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis
Penutup Memang sudah banyak perubahan dalam perkembangan ilmu politik selama ini. Salah satunya adalah memasukkan gender sebagai isu yang penting dan sekaligus alat analisis dalam kajian ilmu politik. Akan tetapi, tentu saja, konsep-konsep, teori-teori, definisi-definisi dalam ilmu politik masih saja didominasi pemikiran-pemikiran arus utama yang berwatak malestream. Konsep-konsep seperti demokrasi, keadilan, partisipasi dan representasi politik, dan lainnya yang sejenis, nyatanya masih dalam pigura malestream tersebut. Masih dibutuhkan perjuangan yang panjang untuk mengubahnya. Perubahan tersebut langsung maupun tidak sangat berkaitan dengan perubahan sosial-politik di tingkat masyarakat dan negara. Jika kalangan perempuan masih mengalami marjinalisasi dan subordinasi seperti yang kita lihat dan rasakan selama ini, sedikit banyak ini disebabkan oleh perkembangan ilmu politik yang masih tidak sensitif terhadap persoalan-persoalan perempuan. Masih suram memang, namun bukan tanpa harapan. Catatan Belakang 1
Cerita ini berasal dari teman baik saya, Gadis Arivia, mantan Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) yang saat ini, disamping sebagai staf pengajar, menjabat sebagai sekretaris jurusan Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia.
2
Sheryl Cooke-Sawyer, Gender Bias and Sex Role Stereotyping in Grade Seven History Textbooks, London, The University of Western Ontario, 1998, hal. 1-2. Gender sendiri adalah perbedaan tingkah laku antar jenis kelamin yang merupakan hasil bentukan masyarakat. Bukan sesuatu yang biologis atau kodrat Tuhan, tetapi dibentuk oleh masyarakat melalui sebuah proses sosial dan budaya yang panjang.
3
Lihat Gerald N. Hill dan Kathleen T. Hill, The Free Dictionary dalam http://legaldictionary.thefreedictionary.com/gender+bias. Diakses 7/4/2006.
4
Sawyer, op.cit., hal. 2.
5
Anne Philip, The Politics of Presence: The Political Represetation of Gender, Ethnicity, and Race, Oxford, Clarendon Press, 1998, hal. 2-7.
6
Ini hanya pengamatan pribadi sekilas, tidak berdasarkan hasil penelitian secara khusus. Saya hanya mendasarkannya pada pembicaraan dengan beberapa staf pengajar beberapa universitas di Indonesia dalam berbagai kesempatan yang sangat informal.
7
Harold D. Lasweel, Politics: Who Gets What, When, and How, New York, World Publishing Co., 1972.
8
Istilah ini sendiri pertama kali digunakan oleh Charlotte Perkins Gilman (1911) untuk
Jurnal Perempuan 48
65
Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis Nur Iman Subono
menunjukkan adanya bias laki-laki. 9
Maggie Humm, The Dictionary of Feminist Theory, edisi kedua, Columbus, Ohio State University, 1989, hal. 9-10.
10
Lihat tulisan Adriana Venny, “Perempuan sebagai Warga Negara: Hak atau Kewajiban?” dalam Jurnal Perempuan, no. 19, 2001, hal. 51-60.
11
Humm, op.cit., hal. 258.
12
Untuk karya feminis yang mengkritik dan menggugat pemikiran filsuf–filsuf besar yang bersifat misogyny (benci perempuan) lihat Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, 2003. Lihat juga Rosemary Agonito, History of Ideas on Women, New York, G.P. Putnam’s Sons, 1977.
13
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, Oxford, Clarendon Press, 1990, hal. 238-239.
14
Ibid., hal. 238.
15
Lihat Shulamit Reinharz, Feminist Methods in Social Research, edisi pertama, Oxford University Press, 1992, hal. 251.
16
Humm, op.cit., hal. 170.
17
Kymlicka, op.cit., hal. 238.
18
Lihat Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference, Princeton, Princeton University Press, 1990.
Berita menjadikan peristiwa mempunyai arti Dapatkan rekaman berita perempua n di media massa melalui
Layanan Kliping Berita Perempuan
Yayasan Jurnal Perempuan Hubungi:
INDOK Yayasan Jurnal Perempuan Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810 Phone (021) 8370 2005 (Hunting) Fax (021) 8302434 e-mail :
[email protected] 66
Jurnal Perempuan 48
Politik, Bias Gender, dan Penelitian Ikuti terusIlmu isu-isu perempuan lewat Feminis edisi-edisi Jurnal Perempuan berikut:
Nur Iman Subono
Ketidakseriusan negara dalam menerapkan CEDAW (Convention on Elimination of all forms of Discriminations Againts Women) masih ditambah lagi dengan tercetaknya berbagai peraturan daerah (Perda) dan aneka rancangan undang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan termasuk RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang sebentar lagi bakal disahkan. Padahal dalam CEDAW jelas dikemukakan bahwa setiap produk perundang-undangan dan tata aturan haruslah dikaji secara mendalam guna menghindari praktek diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Harga Rp. 19.000
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan:
Sejauh Mana Komitmen Negara?
Sudahkah Anggaran Kita Sensitif Gender? Tak heran Indonesia selalu menempati urutan terendah dalam gender development index (GDI) dari negara-negara tetangga di ASEAN, urutan tertinggi dalam tingkat kematian ibu melahirkan, tingkat partisipasi perempuan dalam dunia pendidikan dan angkatan kerja dan masalah busung lapar. Ini semua bersumber dari rendahnya komitmen para pengambil keputusan untuk mengimplemen-tasikan anggaran yang tanggap gender. Jurnal Perempuan 48 Harga Rp. 19.000
67
68
Jurnal Perempuan 48
• Topik Empu •
Feminisme dan Universitas
Rocky Gerung
B
ila peradaban dapat dikembalikan pada sumber nilainya, yaitu universitas, maka di kawasan itulah justru relasi kesetaraan gender mengalami kemacetan akselerasi. Dibandingkan dengan artikulasi feminisme oleh kalangan LSM misalnya, suara kampus hampir tidak terdengar. Perhatian universitas sejauh ini terhadap masalah kesetaraan gender nampaknya terlepas dari fakta-fakta empiris tentang makin timpangnya kondisi kebijakan publik yang peka gender. Bila universitas tidak bersuara terhadap ketimpangan gender dalam pembuatan kebijakan anggaran di tingkat nasional sampai daerah, maka universitas diam-diam makin menyumbang pada pola ketimpangan yang sudah ada. Begitu juga sikap imparsial kalangan kampus terhadap Jurnal Perempuan 48
69
Feminisme dan Universitas
Rocky Gerung
berbagai Perda yang merendahkan perempuan: ini semua pertanda buruk bagi masa depan politik perempuan, sekaligus masa depan demokrasi. Tentu saja ada upaya intensif dari sejumlah aktivis perempuan yang juga berkecimpung dalam pengajaran universitas untuk memperkenalkan “paradigma feminis” dalam kurikulum universitas. Tetapi selama dua dekade percobaan itu, sikap para akademis kampus terhadap “masalah-masalah perempuan” belum juga menjadi “paradigma akademis”. Bahkan tidak jarang dalam percakapan akademis serius, isu feminisme menjadi bahan olok-olok ringan justru di antara kalangan civitas academica itu sendiri. Perlunya Metodologi Feminis Perspektif perempuan di universitas agaknya masih dipandang secara negatif dengan beragam motif oleh berbagai kalangan. Sekurangkurangnya ada tiga motif: pertama, perspektif ini dilihat sebagai “keanehan akademis” oleh mereka yang tidak cukup kuat berpikir dalam kerangka epistemologis baru. Kedua, perspektif ini dipandang sebagai “barang impor dari Barat” bagi mereka yang antipati terhadap transmisi pikiran global. Ketiga, perspektif ini sudah divonis sebagai “ajaran sesat” oleh mereka yang berpikir dalam kerangka keyakinan final agamis. Politik selalu membuat pendefinisian kawan-lawan. Sudut pandang ini, oleh feminisme, dianggap sebagai sudut pandang laki-laki. Pendefinisian semacam itu menimbulkan hierarki, penaklukan, dan pengendalian. Itulah ciri masyarakat patriarkis. Di dalam konstruksi itu, relasi sosial menjadi relasi dominasi. Yang paling berbahaya adalah bila penolakan terhadap “paradigma perempuan” mengambil bentuk penolakan agamis. Jadi tidak mungkin bagi kita untuk menguji suatu metodologi karena semua orang bekerja dalam tata nilai yang finalistis. Universitas adalah lembaga pertandingan konsep. Di dalamnya dimungkinkan tolak-menolak argumen berdasarkan keterbukaan jalan pikiran. Sebaliknya, doktrinasi metodologi, entah berbasis agama atau nilai fundamental lain, tentu tidak mungkin dijadikan bahan perselisihan akademis. Ini berarti kritik terhadap posisi metodologis suatu perspektif harus disampaikan dengan semangat falibilis, mungkin saja salah. Universitas harus memandang ilmu dari sudut persaingan metodologisnya, bukan dari fondasi-fondasi metafisiknya. Metodologi adalah urat nadi universitas. Ia membawa kita ke jawaban 70
Jurnal Perempuan 48
Rocky Gerung
Feminisme dan Universitas
persoalan penelitian melalui langkah-langkah logis. Dengan cara itu ilmu dihubungkan dengan kehidupan. Karena itu, kedudukan metodologi menjadi amat sentral (karena padanya tergantung sukses tidaknya suatu penelitian). Tetapi ia juga tetap harus kritis (karena padanya juga tergantung akibat-akibat etis suatu penelitian). Dalam kedudukan universitas yang strategis itulah, persoalan “metodologi feminis” menjadi amat penting. Artinya, hubungan ilmu dan masyarakat yang diselenggarakan selama ini berdasarkan metodologi konvensional, sudah lama diketahui mengandung “bias positivisme”, yaitu kumpulan langkah penelitian yang didasarkan pada asumsi bahwa dunia kehidupan dapat dikuantifikasi ke dalam parameter-parameter universal. Kritik feminis memandang parameterparameter itu telah mengabaikan kondisi tak-terungkap di dalam dunia kehidupan yang memang tidak mungkin dipahami melalui peralatan akademis konvensional. Kaum feminis menghendaki suatu metodologi lain yang memang dirancang berdasarkan kondisi tak terungkap itu, sehingga memungkinkan perempuan mengartikulasikan kepentingannya. Tentu saja, pengetahuan semacam ini hanya mungkin dirumuskan oleh kaum perempuan sendiri (karena memang keunikan pengalamannya tidak dapat di’hermeneutisir’ kaum pria). Selain itu, pengetahuan ini juga memerlukan kemasan naratif yang khusus, yaitu tatabahasa metodologis yang disusun oleh knowledge perempuan sendiri. Pendeknya, karena pengetahuan itu bertumpu pada pengalaman perempuan, dan pengalamannya berkaitan dengan seluruh dimensi ketubuhannya, maka sebuah metodologi feminis memang harus parsial. Metodologi ini harus memihak pada suatu politik standpoint, yaitu prinsip bahwa pengetahuan yang paling bermakna adalah yang memperlihatkan kondisi dan kepentingan mereka yang tersisih dari relasi politik.1 Karena itu, karakter kritis memang melekat kuat pada metodologi feminis sejak, misalnya, Mary Wollstonecraft (A Vindication of the Rights of Women, 1792) mengkritik karya-karya Milton, Pope, dan Rousseau, atau pada Virginia Woolf (A Room of One’s Own, 1929 – lihat Cerper – red.), yang mempersoalkan diskriminasi terhadap perempuan di bidang pendidikan dan perkawinan, dan Simone de Beauvoir (The Second Sex, 1949) yang membahas citra perempuan dalam novel-novel D.H. Jurnal Perempuan 48
71
Feminisme dan Universitas
Rocky Gerung
Lawrence. Sejarah kritisisme ini memanjang sampai pada pendalaman semiotik dan psikoanalisis seperti dilakukan Julia Kristeva, yang berupaya mengartikulasikan kondisi keperempuanan yang tersudut oleh tatanan simbolik monoteisme patriarkis. Kita mengenal Julia Kristeva sebagai seorang filosof, psikoanalis, feminis, dan novelis. Perempuan kelahiran Bulgaria ini (lahir 24 Juni 1941) tinggal di Perancis sejak pertengahan 1960-an. Esei-eseinya mendapatkan tempat penting dalam ranah pemikiran posstrukturalis (lihat Tokoh – red.). Pendek kata, kita harus tegaskan kembali bahwa metodologi feminis memang bertujuan politis. Ada upaya atau semangat dalam metodologi ini untuk mengubah tatanan dan relasi sosial g r n.o me o yang merugikan perempuan. alw w ww
.ra
dic
Minat mahasiswa
Itu semua masalah universitas sebagai lembaga pendidikan. Bagaimana dengan mahasiswanya sendiri? Bila minat akademis terhadap metodologi feminisme dapat dilihat melalui karya tulis mahasiswa, maka sebetulnya gairah intelektual semacam itu masih ada, setidaknya yang saya temui di Jurusan Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Di bulan Juli ini saja misalnya, ada dua skripsi mahasiswa di bidang itu. Yang pertama membahas novel kontroversil Dan Brown, The Da Vinci Code, melalui kritik feminisme.2 Yang kedua mengulas film seri populer Desperate Housewives memakai perspektif filsafat dan feminis liberal.3 Pendekatan feminisme di dua skripsi itu berhasil memperlihatkan pada dunia akademis bahwa relasi sosial yang disimbolkan dalam produk-produk kebudayaan (dalam hal ini novel dan film), selalu dapat diurai lebih politis untuk maksudmaksud emansipasi perempuan melalui metodologi yang “feminis”. Lihatlah skripsi buah karya Ikhaputri yang mengkaji novel kontroversil Dan Brown. Dalam upayanya memperlihatkan segi politis 72
Jurnal Perempuan 48
Rocky Gerung
Feminisme dan Universitas
dari novel tersebut, ia telah memanfaatkan teori-teori bahasa mutakhir dari Charles S. Peirce4 dan Julia Kristeva5 untuk menunjukkan bahwa indoktrinasi kebudayaan melalui agama, tradisi, dan bahasa telah berlangsung amat lama, membentuk suatu knowledge yang patriarkis. Kisah Maria Magdalena (dalam tradisi kebudayaan agama Kristen) sebagai perempuan pelacur yang bertobat, misalnya, oleh Dan Brown telah ditafsirkan secara paradoksial, dengan menjadikan perempuan itu seorang bangsawan istri Yesus. Kontroversi terhadap tafsir fiktif itu sebetulnya hanya mau memulai jalan pikiran baru, yaitu perlunya perspektif “standpoint” diperkenalkan pada masyarakat. Ikhaputri menamai perspektif alternatif itu “kerinduan akan Herstory”. Dari segi kritisisme, skripsi ini menjadi contoh dari upaya politis untuk meredefinisikan semua hubungan sosial yang timpang, tidak hanya pada hubungan gender. Perspektif “herstory”, sebagai tandingan atas perspektif dominan “history”, bagaimanapun merupakan proyek peradaban baru untuk menyusun ulang sejarah dan pengetahuan umum yang amat bias patriarkis. Kita harus akui dan juga memberikan apresiasi bahwa inilah sumbangan penting dari metodologi feminis. Sekarang kita lihat skripsi buah karya Herlly Primadewi. Ternyata endapan kisah di dalam film seri Desperate Housewives telah merangsang keingintahuan intelektualnya untuk menghubung-hubungkan realitas sosial kehidupan sehari-hari di dalam keluarga menjadi sebuah masalah yang amat filosofis. Dengan memanfaatkan jalur pikiran feminis liberal (dengan tokoh terkenalnya seperti Wollstonecraft dan Betty Friedan), skripsi ini berupaya masuk ke dalam wilayah domestik, kemudian mempersoalkan wilayah itu sebagai tempat di mana psikologi dan status politik perempuan direndahkan ke tingkat “desperate”. Pendefinisian perempuan seluas “keluarganya” justru menjadi persoalan filosofis yang amat serius, karena di dalam konstruksi itu relasi politik yang timpang telah bekerja menghasilkan kengerian hidup bagi kaum perempuan di dalam rumahnya sendiri. Suatu habitat yang amat menekan, jauh dari ideal yang digambarkan masyarakat. Suatu kondisi kehilangan kemandirian (ekonomi, legal, dan intelektual) yang diikuti berbagai gejala psikis yang berbahaya, telah berabad-abad melembaga di dalam rumah tangga dan perkawinan. Apa yang oleh Betty Friedan disebut “the problem that has no name”, di dalam analisis Jurnal Perempuan 48
73
Feminisme dan Universitas
Rocky Gerung
Herlly Primadewi justru merupakan sumber pengetahuan sejati tentang konsep-konsep kekuasaan yang timpang di masyarakat. Feminisme dalam pandangan skripsi itu adalah langkah yang harus menuntun filsafat. Dengan kata lain, ada pemihakan amat kuat untuk mendudukkan pengetahuan masyarakat di dalam konstruksi teoretis tandingan, yaitu konstruksi “standpoint” yang memihak pada mereka yang dirugikan. Pada dua kasus kecil ini (kendati hanya pada tingkat skripsi mahasiswa), amat terasa suatu gairah berpikir baru untuk memahami dan mempersoalkan perspektif-perspektif yang telah baku, kemudian mengubahnya menjadi suatu sikap subversif yang metodologis. Pada tingkat ini, suatu lingkungan akademis yang sehat, yang mengandalkan argumen sebagai alat kritisisme, memerlukan berbagai faktor pendukung akademis resmi. Yang pertama adalah kultur riset di Universitas. Kultur itu harus pertama-tama mendorong terbentuknya suatu “komunitas pikiran”, yaitu komunitas yang bekerja tanpa dikendalikan oleh doktrindoktrin metafisik. Kebutuhan untuk mendorong perubahan sosial ke arah relasi kekuasaan yang peka pada keadilan kaum perempuan tidak saja sah secara historis (karena begitu lamanya bangunan peradaban patriarkis itu bertahan), dan mendesak secara politik (karena kesepakatan dunia beradab untuk melakukan kebijakan affirmative action), tetapi juga tak terhindarkan secara akademis (karena produksi teoriteori feminis yang amat berlimpah dalam satu dekade ini). Komunitas pikiran adalah langkah awal untuk membangun tradisi kritisisme di universitas. Selanjutnya, kedua, kebutuhan akan hadir dan berkembangnya metodologi kritis untuk menjalankan komunitas pikiran itu. Dapat dikatakan bahwa sumber-sumber pikiran kritis feminisme telah melampaui banyak teori kritis di masa lalu (marxisme sampai psikoanalisis). Kemampuan metodologi feminis untuk memperalat teoriteori kritis itu, lalu menyusunnya dalam suatu perspektif baru, hanya dapat diterangkan bila kita paham bahwa kualitas pengalaman perempuan tentang masalah ketidakadilan sosial memang membentang melampaui tinjauan-tinjauan parokial ilmu. Bahkan dimensi kebudayaan yang selama ini bekerja sebagai background belief metodemetode analisis budaya, memerlukan investasi baru dari perspektif feminis untuk mampu mengenali semiotika politik yang bekerja di 74
Jurnal Perempuan 48
Rocky Gerung
Feminisme dan Universitas
belakang relasi gender yang timpang itu. Selain itu, ketiga, komunitas pikiran juga memerlukan prinsip affirmative action. Yaitu upaya untuk mendahulukan proyek-proyek penelitian yang berbasis pada teori “standpoint”. Feminisme di Universitas harus diterima bukan dengan kecurigaan religius atau arogansi patriarkis, tetapi sebagai metode alternatif yang perlu diberi kesempatan untuk menerangkan ketidakadilan di berbagai bidang. Penutup Do you speak feminism? Inilah tuntutan universitas sekarang ini. Percakapan politik global memerlukan tatabahasa komunikasi baru. Ketegangan dan kekerasan internasional semakin memperlihatkan lumpuhnya sistem internasional akibat orientasinya yang amat kuat pada doktrin “balance of power”. Relasi politik semacam ini sangat mengandalkan penumpukan kekuasaan negara untuk menjamin “keamanan nasional”-nya. Struktur internasional semacam ini sangat mengkhawatirkan untuk masa depan planet bumi. Bukan sekedar perang dan akibat-akibatnya pada kemanusiaan yang perlu dicemaskan, tetapi terutama besarnya sumberdaya yang harus disediakan planet bumi untuk menopang tatabahasa kekuasaan dari sistem internasional sekarang ini. Kondisi global semacam ini adalah dosa konsep kekuasaan yang hierarkis. Universitas adalah oase peradaban. Karena itu partisipasi universitas mendorong wacana politik gender adalah kemestian historis yang mendesak. Partisipasi itu berarti terasanya warna feminis dalam kajiankajian universitas. Universalisasi keadilan harus dimulai dari kepekaan terhadap relasi politik yang timpang dalam berbagai hierarki sosial: kelas, etnis, agama, dan lainnya. Feminisme adalah perspektif yang mampu melatih civitas academica mengembangkan kepekaan sosial itu. Dengan memperluas pemahaman itu, universitas dapat menyumbang pada upaya penciptaan relasi keadilan sampai ke tingkat global. Catatan Belakang 1
Lihat misalnya, Lynette Hunter, Critiques of Knowing, New York, Routledge, 1999.
2
Ikhaputri, Kerinduan akan “Herstory”: Sebuah Kajian Semiotik dan Feminisme
Jurnal Perempuan 48
75
Feminisme dan Universitas
Rocky Gerung
dalam novel The Da Vinci Code karya Dan Brown, skripsi Jurusan Filsafat FIB-UI, tidak diterbitkan, Juli 2006. 3
Herlly Primadewi, Film Desperate Housewives dalam Kajian Filsafat dan Feminisme Liberal, skripsi jurusan Filsafat FIB-UI, tidak diterbitkan, Juli 2006.
4
Untuk mengetahui lebih jauh lihat karya-karyanya antara lain, “The Fixation of Belief”, Popular Science Monthly, 12, 1-15, 1877; “How to Make Our Ideas Clear”, Popular Science Monthly, 12, 286-302, 1878; “F.R.L.” [First Rule of Logic], MS tanpa nomor halaman, c. 1899. Yang lebih komprehensif antara lain, The Essential Peirce, Selected Philosophical Writings, Volume 1 (1867–1893), Nathan Houser and Christian Kloesel (ed.), Bloomington and Indianapolis, IN, Indiana University Press, 1992; dan The Essential Peirce, Selected Philosophical Writings, Volume 2 (1893– 1913), Peirce Edition Project (ed.), Bloomington and Indianapolis, IN, Indiana University Press, 1998.
5
Untuk mengetahui lebih jauh lihat karya-karyanya antara lain, Julia Kristeva, “The System and the Speaking Subject,” dan “From Symbol to Sign,” terj. Seán Hand dalam Toril Moi (ed.), The Kristeva Reader, New York, Columbia UP, 1986; dan Julia Kristeva, Strangers to Ourselves, terj. Leon S. Roudiez, New York, Columbia UP, 1991.
Ikuti Jurnal Perempuan edisi 49 mendatang dengan tema
76
Jurnal Perempuan 48
Rocky Gerung
Feminisme dan Universitas
Jangan lewatkan VCD tentang “Kekerasan terhadap Perempuan” yang diproduksi YJP pada tahun 2000 yang mengangkat tentang kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Beserta komentar para tokoh seperti Nelson Mandela, Bianca Jagger, Radhika Coomraswamy, Hj. Khofifah Indar Parawangsa dan masih banyak lagi. Film Director: Miranti Hidajadi
Harga Rp. 30.000
Perempuan di Wilayah Konflik. VCD yang diproduksi YJP tahun 2002 ini mengangkat isu-isu perempuan di tiga wilayah konflik di Indonesia: Aceh, Poso dan Papua. Persoalan perempuan di barak pengungsian, masalah trauma, jaminan rasa aman, pelecehan serta kekerasan seksual menjadi tema utama dalam dokumentasi film ini. Sebuah liputan yang perlu untuk diketahui berbagai kalangan. Film Director: Angela Nicoara Harga Rp. 30.000
Perdagangan perempuan dan anak masih saja marak, sekalipun upaya membongkar praktek perdagangan itu sudah banyak dilakukan. Ini membuktikan persoalannya memang pelik. Penanganannya hanya bisa dilakukan bila semua pihak baik pejabat, akademisi, aparat, tokoh masyarakat, profesional, LSM, media massa maupun elemen masyarakat lainnya berkomitmen untuk memberantas perdagangan perempuan dan anak. Melalui penelitian dan kegiatannya di lapangan, Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) menampilkan dan mengemas persoalan perdagangan perempuan dan anak dalam media VCD & DVD, produksi YJP tahun 2003. Harga Rp. 60.000
Film Director: Gadis Arivia
Hubungi kami untuk informasi lebih lanjut. Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810 Telp. Jurnal : (021) 8370 2005 48 Perempuan Fax : (021) 830 2434 E-mail :
[email protected] 77
• Topik Empu •
Sinetron Feminisme dan Sosiologi1
Widjajanti M. Santoso
K
ita sering mendengar bahwa feminisme adalah sebuah pemikiran dan gerakan budaya yang unik.2 Maggie Humm, seorang feminis dari University of East London, misalnya, mengartikan feminisme sebagai gabungan antara doktrin persamaan hak untuk perempuan (sebuah gerakan untuk mencapai hak asasi perempuan) dan sebuah ideologi untuk transformasi yang bertujuan menciptakan sebuah dunia untuk perempuan yang baru. Tapi sebetulnya, masih menurut Maggie Humm, tidak ada pemahaman atau definisi yang tunggal mengenai apa itu feminisme.3 Meskipun demikian, pandangan yang mengartikan feminisme sebagai sebuah pemikiran yang unik dan sebagai sebuah gerakan budaya Jurnal Perempuan 48
79
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
Widjajanti M. Santoso
ini kelihatannya juga merupakan pandangan ber-standpoint perempuan, yang menggali sudut pandang perempuan dalam melihat sebuah masalah. Kalangan feminis selalu merasa sangat perlu memperlihatkan dan menjelaskan apa yang disebut patriarki. Upaya-upaya tersebut mengharuskan perempuan untuk masuk ke ruang budaya siap dengan paparan dan analisa tentang keberadaan patriarki. Pada saat yang sama, ilmu-ilmu arus utama seperti sosiologi yang dari jauh hari sudah menyatakan bahwa sebuah kajian harus objektif, menjaga jarak, tidak melibatkan emosi, tentu melihat dengan waspada gerakan dan pemikiran feminis ini. Tulisan ini merupakan deskripsi pengalaman menggunakan feminis sosiologi, sebuah upaya dialogis yang bertujuan memadukan sosiologi dengan feminisme. Proses Dialogis Feminisme - Sosiologi Bagaimana sebetulnya dialog antara feminisme dengan sosiologi ini dimulai? Kita bisa mulai dengan (mencoba) memberi makna baru tentang bagaimana sosiologi mengangkat permasalahan-permasalahannya. Pada titik ini ada baiknya kita menyebut nama Dorothy Smith. Menurutnya, sosiologi pada dasarnya bersifat ideologis. Ia menunjukkan bahwa proses pembelajaran akademis sosiologi telah menghasilkan pola berpikir dan pola pengambilan keputusan yang menjatuhkan vonis bahwa permasalahan perempuan bukanlah masalah penting, ia hanya bagian dari masalah lain yang lebih besar. Contohnya, perempuan sering dianggap sekedar bagian dari variabel jenis kelamin. Ia juga memperlihatkan bagaimana sebuah cara berpikir menjadi dominan dan menjadi satu-satunya pegangan bagi mereka yang belajar sosiologi (misalnya). Ada sebuah “relation of ruling” 4, yang membuat sebuah cara berpikir yang dominan bisa mempertahankan kedudukan tidak hanya melalui ilmunya, tetapi juga dengan menggunakan mereka yang berkecimpung di dalam ilmu tersebut, seperti dosen dan mahasiswa. Misalnya, mereka bisa mempengaruhi apa yang akan diprioritaskan sebagai masalah sosial di dalam skema beasiswa. Sehingga, siapapun yang berkecimpung dalam ilmu tersebut kemudian menganggap bahwa cara pandang yang ada tidak bisa diutak-atik lagi. Dorothy Smith mencoba mengatasi skenario di atas dengan memberi ‘makna baru’, dengan mengangkat standpoint perempuan sebagai sebuah knowledge, sebuah pengetahuan yang selama ini tersingkirkan. Karl Marx 80
Jurnal Perempuan 48
Widjajanti M. Santoso
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
menamai seseorang yang memiliki pengetahuan sebagai the knower (yang mengetahui).5 Perempuan, oleh Smith, dipandang sebagai the knower. Perempuan memiliki pengalaman yang spesifik, karena dirinya perempuan. Pengetahuan seperti ini jarang dipahami oleh publik yang lebih besar, sehingga ia memang harus mulai masuk ke ruang publik. Perempuan sebagai the knower adalah subjek yang memiliki otoritas, karena pengalamannya merupakan bagian dari knowledge di ruang publik yang belum tergali ataupun terungkapkan dengan baik. Menggunakan pemikiran Smith ini, sinetron yang dianggap tidak penting, hanya bagian biasa-biasa saja dari kehidupan masyarakat Indonesia, menjadi hal yang penting untuk dikaji. Sinetron tidak hanya bagian penting dari kehidupan sehari-hari, ia ternyata juga memberi banyak informasi penting mengenai struktur yang lebih besar. Mengangkat Standpoint Perempuan Kita menggunakan pemikiran Dorothy Smith secara ontologis dan epistemologis untuk mencari tahu sisi perempuan macam apa yang ditunjukkan oleh sinetron, genre tontonan TV yang dianggap sebagai konsumsi perempuan. Kita juga akan menggunakan pemikiran dari feminis seperti Kate Millet, Effrat Tseëlon, Laura Mulvey, dan Hélène Cixous. 6 Kajian yang menggunakan atau mengangkat standpoint perempuan memiliki keunikannya sendiri. Kita bisa mengangkat kehidupan manusia secara lebih rinci menggunakan standpoint perempuan. Teori-teori feminis yang dikembangkan nama-nama di atas bisa menunjukkan elemen-elemen penting mana yang perlu diamati dari sinetron. Metode teks digunakan untuk mengamati femininitas perempuan Indonesia dalam tiga episode sinetron Inikah Rasanya. Metode teks adalah mekanisme yang digunakan oleh pemikir feminis seperti Dorothy Smith untuk mendekonstruksi tayangan TV seperti sinetron.7 Di Indonesia kajian sinetron telah dimulai oleh Sita Aripurnami dan Saraswati Sunindyo,8 yang melihat sinetron gaya Orde Baru dan di awal-awal masa setelah keruntuhannya. Orde Baru ternyata memproduksi sinetron yang sangat dipengaruhi pesan sponsor, sehingga isinya kurang lebih menekankan cerita bapak bijak dan ibu sejati, dengan tokoh antagonis (biasanya) perempuan yang suka berlaku curang dan sirik. Selain itu, sinetron Orde Baru juga menggambarkan perempuan sebagai makhluk Jurnal Perempuan 48
81
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
Widjajanti M. Santoso
manja dan cengeng, selalu berderai air mata. Tapi ternyata keterbukaan dan kebebasan pers serta booming media setelah Orde Baru jatuh membuat produksi sinetron berubah. Metode teks dipergunakan untuk men-teks-kan Inikah Rasanya adegan demi adegan. Melalui paparan adegan tersebut, kajian ini memperlihatkan bahwa perempuan dalam sinetron ini ternyata tidak hanya direpresentasikan sebagai korban, tapi juga sebagai pelaku kekerasan. Perempuan pelaku kekerasan dalam Inikah Rasanya adalah seorang janda. Ia menyiksa, secara psikologis maupun fisik, keponakannya yang sudah yatim piatu, seorang gadis SMP. Unsur perempuan sebagai pelaku kekerasan sangat menonjol. Di situ juga ditunjukkan tahapantahapannya, seperti mengapa janda ini menggunakan racun misalnya, dan akhirnya tindakan kekerasan itu sendiri, yang sudah menjurus ke tindakan kriminal seperti mencekik. Visualisasi kekerasan Inikah Rasanya menunjukkan naturalisasi tindakan kriminal, menganggapnya sebagai tindakan kekerasan ‘biasa’ saja. Menonton sinetron dianggap sebagai aktivitas untuk mengisi waktu luang, aktivitas perempuan. Selain itu sinetron juga dianggap mewakili selera jutaan manusia, selera masyarakat. Pada titik ini, jika kita menggunakan perspektif perempuan, maka pertanyaannya antara lain, mengapa perempuan direpresentasikan sebagai pelaku kekerasan? Mengapa perempuan diadu dengan perempuan dalam kondisi yang tidak setara dan dalam dimensi kekerasan yang sangat mendalam? Representasi seperti ini jelas-jelas memperlihatkan unsur misoginis terhadap perempuan dan sangat merugikannya. Penggambaran Inikah Rasanya tentang seorang perempuan janda pelaku kekerasan menambah stigmatisasi status janda yang hidup subur dalam masyarakat Indonesia. Janda, yang biasanya digambarkan sebagai perempuan egois pengganggu rumah tangga, terlihat lebih jelek lagi karena ia sekarang juga menjadi otak dari tindakan kekerasan yang terjadi. Laki-laki dalam tindakan-tindakan kekerasan tersebut ternyata hanya menjadi suruhan - visualisasi bapak yang bijak ala Orde Baru hilang sama sekali dalam Inikah Rasanya. Korban kekerasan itu sendiri adalah perempuan remaja yang tidak berdaya, manis, disukai oleh teman-temannya, tetapi misterius. Sang korban tidak manja dan jarang menangis. Kekerasan dilakoninya tanpa
82
Jurnal Perempuan 48
Widjajanti M. Santoso
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
www.photojunkie.ca
berusaha memberontak. Beberapa kali air matanya tumpah tapi tak banyak. Sang korban tidak hanya berhadapan dengan tantenya yang kepalanya penuh intrik, tetapi juga teman sekelas yang (juga) menyiksanya. Tindakan kekerasan ini dipicu rebutan seorang laki-laki, yang di sini direpresentasikan sebagai piala bergilir. Laki-laki tersebut menggambarkan ketidakjelasan sikap sinetron ini memotret proses memilih pasangan. Perempuan diperlihatkan mampu memilih dan bertindak aktif untuk mendapatkan pasangannya, namun tindakan aktifnya termasuk juga menyingkirkan perempuan yang dianggap pesaingnya. Penggambaran perempuan bertarung melawan perempuan ini di satu sisi mungkin ingin memperlihatkan bahwa perempuan sekarang bisa menentukan keputusannya sendiri, namun di sisi lain ia juga seperti mengejek bahwa kemampuan tersebut masih harus diwujudkan dalam bentuk kasar, kekerasan. Struktur Media yang Melanggengkan Mereka yang berkiprah pada produksi budaya biasanya memegang rating sebagai ukuran selera masyarakat. Rating memperlihatkan mana sinetron yang disukai atau paling tidak punya jumlah penonton lebih tinggi dibanding program yang lain. Rating menjadi ukuran tunggal selera masyarakat. Padahal sebagian masyarakat sebenarnya juga sering menunjukkan rasa tidak sukanya terhadap tayangan sinetron, tapi protes mereka tidak tercatat dalam rating. Rubrik surat pembaca di koran dan majalah sering memuat protes masyarakat tentang kekerasan tidak masuk akal yang sering muncul di sinetron - kekerasan antar saudara kandung misalnya.9 Ini berarti media terikat pada jaringan proses produksi, jaringan yang sangat kuat. Masyarakat dalam jaringan itu berada dalam posisi tidak berdaya, meskipun sudah mulai tumbuh perlawanan berupa protes. Televisi adalah sesuatu yang menyenangkan sekaligus menakutkan. Ia mengisi waktu luang dan mengambil waktu-waktu lainnya, sehingga Jurnal Perempuan 48
83
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
Widjajanti M. Santoso
pemirsa tanpa terasa terpukau dan terpaku di depannya. Pola tayangan televisi menghasilkan tanda-tanda beragam yang menghujani masyarakat. Tanda dalam hal ini berupa gambar atau visualisasi, sehingga kalau orang berbicara tentang kenyataan yang ditayangkan oleh televisi, ia sebetulnya tidak lagi berbicara tentang kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Tanda yang dihasilkan oleh televisi merupakan realitas itu sendiri.10 Dan tanda-tanda ini kemudian dengan mudah dan murah direproduksi oleh stasiun atau rumah produksi lainnya. Pola reproduksi seperti ini terlihat dari latahnya produksi budaya yang ada. Sinetron yang berhasil menghasilkan rating yang baik segera ditiru oleh rumah produksi lainnya, sehingga yang terjadi adalah rantaian reproduksi banal dari tanda-tanda yang ada. Sinetron tidak pernah dimulai dengan pemikiran atau ide cerita yang menarik, malah selalu mengikuti pola-pola yang sudah ada, seperti cerita remaja dan kekerasan. Ini kelihatan dari, misalnya, sinetron bercerita dewasa yang menggunakan remaja sebagai pemainnya. Tidak ada bedanya sebenarnya apakah cerita tersebut dilakoni oleh sekelompok remaja atau oleh orang dewasa, plot cerita ternyata sama saja, tidak terlihat ada alasan khusus kenapa mereka memakai aktor-aktor remaja. Mengikuti logika seperti ini, tidak aneh jika kekerasan telah menjadi tanda yang dominan, semakin lama bentuknya semakin nyata. Cerita yang mendapat rating tinggi ‘kebetulan’ adalah cerita yang memiliki bumbu kekerasan, sebuah sinetron akan semakin memikat pemirsa semakin banyak atau semakin kejam kekerasan di dalamnya. Dalam lingkaran setan seperti ini, cerita tidak lagi penting. Kekerasan tidak lagi jadi bumbu cerita, justru cerita yang jadi bumbu kekerasan. Feminisme memberi Makna Baru Sinetron yang diteropong dengan perspektif feminis memberi makna ‘baru’ tentang kekerasan, mempertanyakan apakah hal itu refleksi misogini di tengah-tengah masyarakat. Memang tidak mudah menunjuk satu agen spesifik yang memunculkan misogini tersebut, karena produksi budaya seperti televisi merupakan hasil kerja banyak orang. Jika melihat struktur produksi sinetron yang saling terkait erat maka kita tahu pasarlah yang menentukan siklus produksi sinetron. Melalui rating, produser sinetron melegitimasi selera masyarakat, yang kemudian menjadi dasar bagi mereka untuk mengatakan bahwa sinetron yang 84
Jurnal Perempuan 48
Widjajanti M. Santoso
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
penuh kekerasan memang lebih diminati (sehingga tak bisa tidak mereka produksi). Meskipun legitimasi tersebut (bisa terdengar) meyakinkan, perspektif feminis sinis terhadap kebenarannya, ia mempertanyakan mengapa perempuan begitu dominan digambarkan sebagai pelaku kekerasan. Perspektif feminis mengkhawatirkan representasi seperti ini telah menjadi bagian dari femininitas perempuan Indonesia masa kini. Bentuk femininitas seperti ini merugikan, perempuan digambarkan sebagai ratu rumah tangga yang berkuasa secara otoriter – tidak pernah dijelaskan penyebab kekerasan itu sendiri apa. Keluarga menjadi institusi yang mengerikan, penuh ketidakjelasan, dan tidak ramah pada anak-anak. Cerita sinetron juga sering menggambarkan keluarga tidak lengkap, lelaki sebagai ayah atau suami hilang kemudian muncul lagi menggandeng tangan perempuan ‘bermasalah’ seperti janda, yang lebih tragisnya lagi (tentu saja) kemudian melakukan kekerasan pada anak tirinya. Representasi seperti ini tidak ramah terhadap masyarakat yang angka perceraiannya meningkat dan kondisi sosial ekonominya tidak menentu. Dalam kondisi seperti ini masyarakat perlu makna, pengertian baru tentang keluarga, yang bisa menolong keluarga yang kehilangan lelakinya itu. Anggota keluarga terutama anak perlu diberi kesempatan menerima apa yang dialaminya, supaya tidak gampang begitu saja menyamakan dirinya dengan sosok anak yang jadi target kekerasan di dalam sinetron tadi.Representasi macam ini juga tidak ramah terhadap salah satu subgenre sinetron itu sendiri: opera sabun, yang menonjolkan romantisme. Tayangan seperti ini seharusnya ramah perempuan karena memberi perempuan kesempatan untuk menikmati sedikit romantisme di tengah-tengah hidup yang keras. Tapi sinetron seperti Inikah Rasanya sama sekali tidak mengelola romantisme, malah mengelola kekerasan. Perempuan Indonesia harus sadar tayangan seperti ini tidak menguntungkan, demi kebaikan perempuan maupun masyarakat itu sendiri. Posisi masyarakat dalam kungkungan media juga sangat lemah, terlihat dari begitu gampangnya protes masyarakat lenyap dalam struktur media yang sedang mereka lawan. Tentunya ada pertanyaan lanjutan, seperti bagaimana (bisa) perempuan bereaksi terhadap hal ini, posisi mereka di masyarakat saja sudah begitu lemah. Tapi (kelihatannya), menurut gambaran umum mengenai sinetron, fans terberat dari tayangan ini adalah perempuan dan anak-anak. Oleh karena itu, Jurnal Perempuan 48
85
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
Widjajanti M. Santoso
pemahaman baru tentang sinetron memang perlu, supaya perempuan dan masyarakat memahami bahwa apa yang ditayangkan oleh sinetron sering tidak baik untuk diri mereka sendiri. Protes masyarakat harus berhadapan dengan bisnis kapitalis yang sangat kuat. Media tidak hanya kuat di dalam bidang teknologi dan keuangan, tapi juga dalam keahlian dan pengetahuan. Kenyataan itu harus disadari oleh masyarakat, supaya mereka bisa menyusun strategi untuk melawan. Seperti telah disinggung sedikit di atas, sudah mulai ada bibit-bibit perlawanan yang muncul lewat surat pembaca. Selain itu, perlawanan ini juga muncul sesekali melalui protes terhadap tayangan, seperti yang pernah terjadi pada tayangan sinetron berjudul Bunglon. Tayangan ini ditarik dari peredaran karena koalisi enam Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli dengan hal ini mengirimkan surat protes dan berhasil mendesak stasiun televisinya untuk menarik sinetron itu.11 Tentu saja sinetron itu ternyata rating-nya yang tidak bagus juga, sehingga stasiunnya juga tidak berkeras mempertahankannya. Tetap saja, pengalaman tersebut memberikan masukan yang berarti tentang bagaimana protes seharusnya diutarakan kepada stasiun televisi. Masyarakat perlu benar-benar mempersiapkan diri untuk melakukan protes melawan televisi. Hal ini bisa dilakukan dengan kegiatan melek media, di sini perspektif feminis bisa mengajari bagaimana cara membaca tayangan TV dengan lebih kritis. Pembacaan seperti ini tentu tidak biasa dilakukan masyarakat, akan tetapi sangat penting diupayakan untuk memberi gambaran pada mereka sendiri bahwa tayangan TV bukanlah sekedar entertainment melainkan juga agen konstruksi sosial yang hidup dan beredar ke mana-mana. Kita harus menyadari bahwa posisi media tidak pernah bisa netral. Media akan menyisir dan menayangkan bentukbentuk yang disukainya. Pembacaan feminis akan memelekkan masyarakat pada kenyataan bahwa tayangan yang mereka tonton tidak muncul alami melainkan sudah melalui penyisiran dari media. Pandangan feminis juga bisa menumbuhkan pemahaman baru dengan membangkitkan semangat para perempuan sendiri untuk menuliskan pengalamannya. Seperti telah disinggung pada awal tulisan, pengalaman perempuan adalah standpoint yang penting, dan metode teks bisa menjadi jembatan untuk mengangkat pengalaman perempuan itu menjadi bahan yang layak untuk ilmu pengetahuan. Seperti telah pula disinggung di dalam penjelasan mengenai teks, pengalaman 86
Jurnal Perempuan 48
Widjajanti M. Santoso
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
perempuan yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang biasa, tidak bagus, dan tidak layak dijadikan pengetahuan, sebenarnya adalah pengalaman yang diperlukan oleh masyarakat pada umumnya. Perspektif perempuan sangat sadar bahwa pengetahuan telah disisir oleh pola-pola patriarki yang cenderung mendefinisikan pengalaman perempuan sebagai sesuatu yang kurang berarti. Pengalaman perempuan dengan demikian tidak hanya menjadi marjinal posisinya di dalam masyarakat, ia juga tidak atau kurang diangkat oleh perempuan itu sendiri. Bagi perempuan pada umumnya, mengangkat pengalaman mereka sendiri menjadi teks dan masukan yang bermakna bagi masyarakat bukanlah hal gampang. Perempuan terlalu terbiasa menahan diri, memendam rasa, berpikir bahwa apa yang dialaminya adalah beban dirinya sendiri.12 Pengalaman perempuan seringkali dilihat sebagai sebuah kenistaan, sesuatu yang sebaiknya dikubur, biar saja menjdi rahasia yang diketahui dan disimpan oleh perempuan itu sendiri. Ada ketabuan yang membelenggu pengetahuan tersebut. Maka sama sekali tidak mudah bagi perempuan untuk mempertontonkan pengetahuan dan pengalamannya. Langkah pertama saja, perempuan itu maju dan mengungkapkan pengalamannya, sudah sangat sulit. Hélène Cixous pernah menyinggung masalah ini dan mentransformasikannya ke dalam konsep écriture féminine. Menurutnya, memang tidak mudah bagi perempuan untuk mengayun langkah pertama itu.13 Akan tetapi dia juga menyatakan, apabila perempuan tersebut berhasil melakukannya, maka ia akan merasakan timbulnya kembali semangat hidup dan keinginan untuk membagi pengalamannya dengan perempuan dan orang lain. Perempuan yang mengutarakan pengalamannya di muka umum akan merasa dia telah masuk ke dalam lubang yang gelap dan menakutkan. Akan tetapi, bila ia teguh menjalani proses ini, suatu saat ia bisa melihat ke belakang dan apa yang dilakukannya mungkin sekali telah menjadi batu lompatan bagi perempuan lain untuk keluar dari lubang itu. Teks pengalaman perempuan itu bisa diangkat dan dituliskan kembali menjadi skenario sinetron, teater, ataupun film. Ini akan memperkaya pengetahuan yang beredar di masyarakat. Bila perempuan berhasil membuatnya maka masyarakat akan memiliki teks alternatif tentang pengalaman hidup mereka. Jurnal Perempuan 48
87
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
Widjajanti M. Santoso
Pertemuan Asam dan Garam Dalam konteks pemahaman akademis tentang feminisme dan sosiologi, ada baiknya kita memakai metafora asam dan garam untuk memberi gambaran bahwa dasar berpijak keduanya memang sangat berbeda. Mungkin tidak hanya berbeda, mereka seakan-akan berada dalam kubu yang berlawanan. Sosiologi sangat enggan menerima logikalogika feminisme. Sementara, kalangan feminis sangat ingin diterima dalam khasanah akademis ‘arus utama’. Ini adalah tantangan yang sangat sulit, karena ilmu ‘arus utama’ sering bersifat seksis. Semua pemahamannya didasarkan pada pola pikir lelaki, salah satunya pemahaman tentang apa yang disebut ilmu itu sendiri. Karena pola pandang lelaki telah mendefinisikan apa yang dinamakan ilmu itu sendiri, ia akhirnya mendorong karakter perempuan dan pengalamannya keluar dari lingkup ilmu. Pemikiran sosiologi feminis seperti yang diungkapkan Dorothy Smith adalah salah satu upaya pemikir feminis untuk memasukkan pandangan feminisme ke dalam lingkup itu. Smith mengembangkan konsep dan pemikiran yang bisa meletakkan masalah ‘remeh-temeh’ seperti sinetron menjadi unsur penting di dalam kajian akademis. Konsep Smith, meskipun masih di dalam pemahaman yang paling mendasar, telah memberikan gambaran yang cukup lengkap bagaimana sinetron tidak hanya punya arti penting di dalam hidup sehari-hari tetapi juga memiliki posisi di dalam struktur yang lebih besar. Struktur besar ini kelihatannya bukan bagian dari kehidupan seharihari, akan tetapi keberadaannya menentukan kehidupan itu sendiri. Struktur ini diwakili oleh mekanisme seperti rating dan pemahaman patriarki yang hidup dan menjadi pedoman umum masyarakat Indonesia. Di dalam struktur seperti ini, sulit bagi masyarakat, apalagi perempuan, untuk menentukan posisi patriarki, semuanya terlihat alamiah dan nyaman, terutama bagi perempuan itu sendiri. Konsep yang diajukan Smith memberikan pemahaman bahwa kehidupan sehari-hari tidak dapat dilepaskan dari keberadaan struktur yang ada. Pertemuan asam garam, feminisme dan sosiologi itu menjadi semakin lengkap ketika sebagian pemikiran Hélène Cixous digunakan untuk membantu menyadarkan dan memberdayakan perempuan. Pemikiran Cixous mewakili salah satu pemikiran yang dikembangkan feminisme untuk memahami dan mencoba mengatasi pengalaman perempuan itu 88
Jurnal Perempuan 48
Widjajanti M. Santoso
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
sendiri. Pada waktu kita menggunakan konsep-konsep Dorothy Smith, sebagai feminis kita sudah mulai menyumbang pada konsepsi pemikiran sosiologi, telah memberikan makna baru tentang proses bagaimana sosiologi berkembang. Kemudian, penggunaan pemikiran feminis seperti Cixous memberi masukan yang berbeda dari pemikiran Smith yang lebih makro. Penggunaan kedua pemikiran ini membuat kita semakin paham bahwa pengalaman perempuan memiliki arti penting tidak hanya untuk kehidupan sehari-hari tetapi juga untuk struktur sosial yang lebih besar. Pengalaman perempuan adalah pengetahuan yang tidak bisa ditolak lagi. Catatan Belakang 1
Tulisan ini bagian dari disertasi penulis di jurusan Sosiologi FISIP-UI berjudul “Femininitas Perempuan Indonesia pada Era Kebebasan Pers: Kajian Feminis Sosiologi terhadap Sinetron”, tidak diterbitkan, Jurusan Sosiologi, FISIP-UI, 2006.
2
Mengenai hubungan unik sosiologi dengan feminisme lihat penjelasan mengenai “cultural turn”, kalangan feminis mengubah haluan dari kajian sosiologis menjadi kajian budaya supaya bisa mengolah konsep seperti subjektivitas yang kurang tergali oleh aliran sosiologi ‘arus utama’. Lihat Stevi Jackson, “Feminist Sociology and Sociological Feminism: Recovering the Social in Feminist Thought” dalam Sociological Research Online, vol. 4 no. 3, 1999, http://www.socreonline.org.uk/socresonline/4/ 3/jackson.html, diakses pada 16 Juni 2004.
3
Maggie Humm, The Dictionary of Feminist Theory, edisi kedua, Prentice Hall, 1995, hal. 94-95.
4
Dorothy Smith, The Everyday World as Problematic: A Feminist Sociology, Toronto: University of Toronto Press, 1991, hal. 160. Lihat juga Dorothy Smith, The Conceptual Practice of Power: A Feminist Sociology of Knowlede, Boston, Northeastern University Press, 1990, hal. 14.
5
Smith, 1990, The Conceptual ..., hal. 36.
6
Kate Millet memperkenalkan konsep sexual politics. Menurutnya, konsep ini memperlihatkan bagaimana pendefinisian feminin dan maskulin ditempatkan dalan stereotip peran lelaki dan perempuan pada kutub aktif-pasif. Kemudian, Laura Mulvey mengatakan bahwa interpretasi seksual mempengaruhi cara visualisasi tayangan film. Cara pandang lelaki dalam representasi film ini disebut dengan istilah male gaze. Selanjutnya, Effrat Tseëlon memperlihatkan perbedaan antara male gaze dan female gaze. Sementara itu, Hélène Cixous mengutarakan tentang écriture féminine yang menekankan pentingnya perempuan menggali potensi dalam dirinya dan mengeluarkannya dalam tulisan. Tulisan tentang Cixous diambil dari Susan Sellers (ed.), The Hélène Cixous Reader, New York, Routledge, 1994.
7
Dorothy Smith, Texts, Facts and Femininity: Exploring the Relation of Ruling, London, Routledge, 1990. Dalam tulisan ini, Smith memberi contoh kajian femininitas dari
Jurnal Perempuan 48
89
Sinetron Feminisme dan Sosiologi
Widjajanti M. Santoso
teks tertulis. Untuk meneliti sinetron, penulis dalam disertasi ini mengabungkan ide Smith tentang teks (texts) dengan analisis semiotik sosial (social semiotic) Rick Iedema. Lihat Rick Iedema, “Analysing Film and Television: a Social Semiotic Account of Hospital, an Unhealthy Business”, dalam Theo Van Leeuwen and Carey Jewitt, Handbook of Visual Analysis, London, Sage Publications, 2002. 8
Sita Aripurnami, “A Feminist Comment on the Sinetron Presentation of Indonesian Women” dalam Laurie J. Sears (ed.), Fantasizing the Feminine in Indonesia, Durham, Duke University Press, 1996 dan Saraswati Sunindyo, “Wacana Gender di TVRI Antara Hegemoni Kolonialisme dan Hollywood” dalam Idi Subandy Ibrahim, Hanif Suranto (ed.), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung, Rosdakarya, 1998.
9
Surat pembaca dari Karmadi, Warta Kota, 19 Mei 2005.
10
J. Baudrillard, “The Procession of Simulacra”, dalam J. Baudrillard, Simulations, New York, Semiotext(e) Inc, 1983. Konsep simulasi pada dasarnya merujuk pada bagaimana orang mereproduksi image yang lepas dari realitasnya.
11
Buku Putih Menolak Sinetron Remaja “Bunglon”, vol. 1, 7 Juli 2004 dan vol. 2, 21 Juli 2004.
12
Sellers (ed.), op.cit., hal. 97. Kondisi sosial yang menekan perempuan disebut Cixous sebagai the law of silence, tantangan bagi perempuan untuk mengatasinya.
13
Ibid., hal. 95. Cixous menuliskan tentang pentingnya menulis bagi perempuan, ini akan memberinya kesempatan untuk menemukan dirinya sendiri.
LAYANAN INFORMASI & DOKUMENTASI YAYASAN JURNAL PEREMPUAN Bagi Anda yang membutuhkan referensi, buku-buku, kliping dan informasi lainnya yang berkaitan dengan isu-isu perempuan dan kesetaraan gender, YJP memberikan layanan baru yaitu Pusat Informasi dan Dokumentasi. Daftarkan diri Anda untuk mendapatkan layanan-layanan seperti: 1. Mendengarkan Program Radio Jurnal Perempuan 2. Menyaksikan film dokumenter produksi YJP, setiap hari Senin & Kamis pk. 15.00 3. Keikutsertaan dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh YJP 4. Akses ke semua bahan koleksi perpustakaan YJP. Informasi dan Dokumentasi YJP Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810 Phone (021) 8370 2005 (Hunting) Fax (021) 8302434 E-mail :
[email protected] 90
Jurnal Perempuan 48
U C A PA N T E R I M A K A S I H Yayasan Jurnal Perempuan beserta Tim Konseling 21/ Community Education (Commed) Anti Trafiking DKI Jakarta, menghaturkan terimakasih atas dukungan moril dan materil dari mitra pendukung acara “Temu Muka Antar Pemuka Agama (Interfaith) Dalam Upaya Pemberantasan Perdagangan Anak dan Perempuan di Indonesia dan Dalam Rangka Memperingati Hari Anak 2006” yang diselenggarakan pada tanggal 20 Juli, di Gendung Menza, Jl. Salemba Raya No. 18, Jakarta, sehingga acara dapat terlaksana dengan sukses. Para mitra pendukung: 1. Bapak H. Fauzan H, SH/ Kantor Wilayah Departemen Agama DKI Jakarta 2. Indonesia ACTS 3. Terre des Hommes (TDH) Netherlands 4. Friedrich-Ebert-Shiftung (FES) 5. International Organization For Migration (IOM) 6. International Catholic Migration Commission (ICMC) 7. Tim Konseling Community Education (Commed) 21 DKI Jakarta 8. Prof.DR. Amin Suma, SH, MA (Pengurus Dewan Dakwah Indonesia) 9. RM Sandiawan, SJ (Jaringan Relawan Kemanusiaan) 10. Pdt. Ester Ga (Persekutuan Wanita Berpendidikan Teologi / PERWATI) 11. Bapak I Gusti Ngurah Rai (Bimas Hindu Departemen Agama) 12. Bhikkuni Santini 13. Bapak Yahya Djanggola (PT Primatama Karya Persada) 14. Media Partner Elektronik dan Cetak
Semoga dukungan dan kerjasama yang baik ini dapat berlanjut di masa mendatang.
www.clarkson.edu
• Berita •
Tema-tema Pokok Ilmuwan Feminis
P
erspektif yang beraneka ragam dalam mengadakan riset sosial berkaitan dengan banyaknya definisi feminisme, yang satu sama lain berbeda. Dasar keanekaragaman itu adalah keyakinan bahwa pemahaman tentang kehidupan perempuan dalam berbagai aspeknya merupakan satu hal yang benar-benar penting dan perlu. Karena feminisme tidak mempunyai satu pemimpin atau tokoh panutan yang diterima secara bulat oleh semua ilmuwan feminis, tidak mengherankan apabila tidak ada satu pun definisi baku tentang apa yang disebut sebagai penelitian feminis atau penelitian berperspektif perempuan. Ilmuwan feminis biasanya menggunakan sejumlah metode penelitian. Tidak ada satu cara penelitian khusus yang sepenuhnya mengandung perspektif feminis, tetapi sejumlah cara yang sekaligus juga mencerminkan imajinasi para peneliti feminis untuk lebih memahami persoalan perempuan. Misalnya, cara mereka menerapkan metode wawancara dan melakukan riset memakai oral history. Ada yang menerapkannya tanpa modifikasi, ada yang mengubah-ubahnya agar dalam penelitian berikutnya para responden lebih dapat menjawab pertanyaan si peneliti. Penelitian feminis melakukan kritik yang berkelanjutan terhadap konsep atau teori sebelumnya yang non-feminis. Selain menggunakan metode riset yang beraneka ragam, sesuai dengan keinginan mereka untuk lebih memahami perempuan dan semua aspek kehidupannya, riset yang dianggap androsentris (lihat Kata dan Makna – red.) mendapat perhatian khusus dari peneliti feminis.
92
Jurnal Perempuan 48
• Berita • Riset feminis diarahkan oleh teori-teori feminisme. Artinya, waktu menyusun pertanyaan-pertanyaan untuk risetnya para ilmuwan feminis sering menggunakan kerangka pikir yang berasal dari teori feminis. Contohnya, dalam melakukan suatu riset tentang pemerkosaan, pertanyaan-pertanyaan itu akan sengaja disusun berdasarkan konsepkonsep tentang hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, dan tentang perbedaan gender antara si korban dan si pemerkosa. Hal itu berbeda dari riset tradisional yang biasanya hanya akan bertumpu pada kerangka konseptual tentang seksualitas, perilaku yang menyimpang, atau jiwa yang tidak sehat. Ilmuwan feminis membuka diri untuk pendekatan transdisipliner. Sebuah riset mungkin memerlukan peneliti yang memiliki latar belakang pendidikan ilmu sejarah, psikologi, seni, sosiologi, ilmu politik, biologi, ekonomi, matematika, dan disiplin ilmiah lain. Jelas seorang peneliti tidak akan bisa menguasai semua disiplin tersebut. Namun, peneliti feminis harus menyadari: kaum perempuan memerlukan tinjauan dari berbagai disiplin. Intinya, para peneliti feminis memerlukan perspektif yang multidisipliner demi memperkaya pengetahuan disiplin ilmunya sendiri. Umpamanya, seorang psikolog menaruh minat meneliti persoalan psikologi perempuan, maka ia memerlukan pengetahuan psikologi yang berperspektif perempuan. Dengan demikian ia menjadi peka terhadap masalah dan pandangan dalam psikologi yang bersifat seksis, dan peka terhadap perbedaan antara perempuan dan laki-laki, baik ditinjau dari segi biologis, perilaku, maupun aspek peran sosial yang diharapkan. Ilmuwan feminis berusaha untuk mengadakan perubahan sosial. Selain menekankan perspektif perempuan yang didasari oleh teori-teori feminisme, banyak riset feminis juga bertujuan merangsang perubahan sosial atau memberi masukan kepada para pembuat kebijakan. Sebagai peneliti dan ilmuwan feminis, mereka merasa bertanggung jawab untuk menyadarkan masyarakat akan masalah sosial tertentu (umpamanya, secara kritis dan berdasarkan data konkrit menyoroti kondisi buruh perempuan) atau menyumbangkan suatu gagasan, berdasarkan suatu penelitian, mengenai apa yang perlu diubah dalam undang-undang atau ketentuan hukum yang tengah berlaku. Misalnya, dengan meneliti secara kritis berbagai kelemahan yang ada dalam UU Perkawinan 1974 dan Peraturan Pemerintah No 10. Jurnal Perempuan 48
93
• Berita • Penelitian berperspektif feminis menerima dan mementingkan keanekaragaman pengalaman perempuan. Bahkan ada yang menganggap bahwa keragaman tersebut merupakan kriteria utama dalam riset feminis. Metode kasus dianggap dapat meningkatkan kualitas riset karena dapat memberikan wawasan yang lebih tepat dalam mengkonsepkan sebuah masalah. Para peneliti feminis juga harus benar-benar peka terhadap perbedaan pengalaman yang diakibatkan berbedanya status sosial ekonomi seseorang, kesukuannya, latar belakang pendidikannya, dan sebagainya. Peneliti feminis mementingkan keterlibatan dirinya sebagai individu, pengalaman pribadi peneliti dianggap sangat berharga. Ini sangat berbeda dari kriteria riset non-feminis. Mereka pada umumnya menganggap bahwa keterlibatan pribadi seorang peneliti justru akan mencemari hasil risetnya. Peneliti non-feminis juga menuntut bahwa penulisan laporan tidak menggunakan kata “saya”. Namun, dalam riset feminis – suatu proyek riset yang berdasarkan pengalaman pribadi – penyusunnya tidak begitu saja dicap non-ilmiah. Justru, pengalaman pribadi diakui sebagai faktor perangsang penelitian yang sah. Gagasan starting from one’s own experience kemudian dikembangkan untuk menghadapi riset-riset yang androsentris. Riset semacam ini juga melanggar ketentuan konvensional yang beranggapan bahwa peneliti harus mengambil jarak agar hasilnya obyektif dan netral. Peneliti feminis mementingkan keterlibatan responden atau pihak yang diteliti, karena dalam suatu proses riset yang interaktif yang justru terjadi adalah empati. Sebagai peneliti ia akan ‘masuk’ dalam kehidupan subyek yang diteliti sehingga terjadi kekaburan antara hubungan formal dan hubungan personal. Laporan yang ditulis pun akan berupa suatu narasi personal peneliti, dan subjek yang diteliti menjadi “teman-teman”, subjek narasinya. Batas antara peneliti dan subjek yang diteliti juga menjadi kabur karena peneliti secara langsung membantu subjek yang sedang diriset (memberikan konseling atau bantuan konkret lainnya). Dalam situasi yang demikian, rapport (hubungan pribadi yang harmonis dan selaras) yang kemudian tercipta akan memberikan rasa nyaman dan kelegaan tersendiri di hati peneliti bahwa ia tidak pernah dan tidak mencoba mengeksploitasi subyek yang sedang diteliti.
94
Jurnal Perempuan 48
• Berita • Pembaca juga sengaja diajak menghayati kondisi subyek yang tengah diteliti. Banyak periset berperspektif perempuan sengaja melaporkan komentar orang-orang yang telah membaca hasil risetnya dalam tulisannya. Alasannya agar pembaca bisa memahami kaum perempuan yang dijadikan subyek penelitian itu dan mengutarakan pemahamannya. Sebenarnya, pengadaan “hubungan” dengan sidang pembaca merupakan tujuan dari semua penulis, baik yang feminis maupun non feminis. Peneliti feminis memakai cara-cara yang beranekaragam untuk melibatkan sidang pembacanya: mungkin untuk menumbuhkan kesadaran para pembacanya, atau bisa juga untuk menunjukkan berbagai macam distorsi yang selama ini disebabkan riset-riset yang bersifat androsentris.
Diambil dari tulisan Saparinah Sadli, “Studi Wanita: Pengembangan dan Tantangannya”, di Jurnal Stri, Jurnal Studi Wanita Vol. 1. No. 1, Januari 2002, hal. 123.
Yayasan Jurnal Perempuan Mengundang anda penerbit buku-buku berperspektif gender untuk bergabung menjadi
Supplier Toko Buku “Perempuan” Alamat: Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810 Phone (021) 8370 2005 (Hunting) Fax (021) 8302434 e-mail :
[email protected] Hubungi: Wawan (
[email protected]) (Bagian Pengembangan Produk) Jurnal Perempuan 48
95
• Wawancara •
Kristi Poerwandari Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Wanita Universitas Indonesia:
“Membaca Kisah Lady Di dengan Metode Penelitian Feminis” Ketika jurnalis Jurnal Perempuan, Henny Irawati, bertanya tentang Metodologi Penelitian Feminis, Kristi Poerwandari yang saat ini menjabat Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Wanita Universitas Indonesia menjawab dengan kisah tragis Lady Di. Siapa tak kenal Lady Di atau Putri Diana dari Kerajaan Inggris ini? Sebagian besar masyarakat dunia, mungkin, bahkan memujanya. Apa pasal Kristi Poerwandari yang juga Dosen Psikologi ini mengaitkan kedua hal tersebut? Berikut perbincangan mengenai Metodologi Penelitian Feminis bersama Kristi Poerwandari, suatu siang, di kantornya.
Foto: Dok. YJP
96
Jurnal Perempuan 48
• Wawancara • Jurnal Perempuan (JP): Bagaimana kisah Lady Di ini bermula? Kristi Poerwandari (KP): Waktu itu Lady Di meninggal. Di Fakultas Psikologi, dalam pertemuan yang biasa kami buat sebulan sekali ada satu Bapak menyatakan keinginannya membuat kajian tentang Lady Di. Kemudian dibuatlah kajian tentang Lady Di menggunakan metode yang sangat psikologis. Bahwa dia (Lady Di – red.) lahir dari keluarga yang broken sehingga masuk kategori orang yang “bermasalah”, yang dijelaskan secara mendetail, yang menurut aku masuk akal. Lalu dia berkomentar begini, “Sayang sekali kemudian dia selingkuh.” Seketika para perempuan yang berada dalam pertemuan itu protes. Kenapa itu dipermasalahkan? Bukankah suaminya yang lebih dulu berselingkuh? Begitu tanya saya. Kok tidak dipersoalkan suaminya yang selingkuh duluan? Bapak itu menjawab, “O iya benar, suaminya itu selingkuh. Tapi sebagai pria, kalau kita selingkuh bukan berarti kita mengharapkan istri kita juga selingkuh.” Ini standar ganda. Orang sering tidak ngeh tentang hal-hal seperti itu. Kalau kita ingin orang paham Kajian Feminis atau Metode Penelitian Feminis, kita harus bantu. Ada yang salah dengan kajiankajian yang konvensional itu. Kajian yang maskulin itu misalnya, mengapa sensus hanya diwakili kepala keluarga? Mengapa kepala keluarga harus laki-laki? Mengapa dalam sensus bencana itu yang selalu dihitung 2000 KK. Aneh kan? KK? KK itu singkatan apa sih? Kartu Keluarga? Kepala Keluarga? Itu sudah menunjukkan bias. (JP): Jadi, kalau Metode Penelitian Feminis itu bagaimana? (KP): Metodologi penelitian itu lain, menurut saya. Dia menunjukkan karakteristik akademik suatu kajian, suatu lembaga. Bagaimana orang bisa mengambil kesimpulan dari suatu fenomena? Bagaimana orang bisa mengambil kesimpulan konseptual? Misalnya ada satu perempuan mengalami sexual abuse di kantor, tidak bisa kemudian kita simpulkan semua perempuan mengalami diskriminasi di dunia kerja. Kalau saya lihat, penelitian itu punya ciri khas dalam mengumpulkan data atau mengambil kesimpulan. Kalau kita berbicara tentang metode penelitian feminis berarti sejak awal kita tertarik pada topik, mengembangkan pertanyaan-pertanyaan, sampai mengumpulkan konsep-konsep, kita mesti paham akan teks feminisnya. Sederhananya, itu memberdayakan perempuan. Jurnal Perempuan 48
97
• Wawancara • Metode Penelitian Feminis itu sangat kaya, tidak standar. Berbeda dengan penelitian konvensional. Kalau yang konvensional itu standar: wawancara, observasi untuk penelitian kualitatif, untuk yang kuantitatif bikin kuesioner, skala. (JP): Pada mulanya, bagaimana metode penelitian feminis ini muncul? (KP): Sebenarnya, di dunia universitas atau di dunia akademik, tatanan ilmu pengetahuan itu androsentris, berpusat pada kepentingan lakilaki. Contohnya, bias-bias yang ada di psikologi. Dulu, orang meneliti pria, kemudian hasilnya digeneralisasi untuk perempuan. Atau karena peneliti di zaman dulu banyak laki-laki, masalah-masalah atau penelitian yang dikembangkan selalu yang menarik buat mereka dan tidak mengakomodasi kepentingan kita. Artinya, yang penting buat kita, mereka anggap tidak penting. Kekerasan terhadap perempuan dan anak, misalnya, mereka selalu melihat bahwa dalam diri perempuan dan anak tersebut memang ada karakteristik tertentu yang menyebabkan orang ingin melakukan kekerasan, they blamed the victim. Itu yang namanya perspektif. Bisa saja topiknya sama, kekerasan terhadap perempuan dan anak, tapi cara memaknainya berbeda. Cara mengajukan pertanyaannya juga berbeda. Misalnya, “Hal-hal apa dalam diri perempuan yang menyebabkan ia cenderung rentan kekerasan?” Itu kan pertanyaan yang malah menyalahkan korbannya. Berbeda dengan, misalnya, kalau kita menanyakannya begini, “Hal-hal apa yang melatarbelakangi pelaku melakukan kekerasan seksual?” Berbicara mengenai sejarah, pertama, di dunia akademik itu penelitinya banyak yang berjenis kelamin laki-laki. Topik-topik yang dikembangkan adalah topik yang mereka anggap penting. Contohnya dalam ilmu psikologi, post power syndrome. Hal seperti itu penting untuk perempuan tapi tidak terpikir oleh mereka. Jadi, cara memandangnya pun bias kepentingan. Ada banyak kritik untuk penelitian akademik yang konvensional, misalnya, gender tidak dilihat sebagai alat analisis yang penting. Orang melihat gender itu dengan pikiran, ya udah begitu aja. Mereka tidak menyadari ada ketidakseimbangan posisi antara laki-laki dan perempuan di masyarakat. Ini tidak mereka anggap sebagai kondisi yang bisa menjelaskan suatu masalah. Kritik yang lain, ada standar ganda dan stereotip pada laki98
Jurnal Perempuan 48
Foto: Dok. YJP
• Wawancara •
Sedikit orang yang sungguhsungguh memiliki perspektif feminis di bidangnya. Artinya, cukup banyak akademisi yang menganggap itu tidak perlu, atau tidak mengerti kemudian menolak, atau tidak mengerti dan menganggap tidak perlu. Jadi dia tidak mengerti, atau mungkin dia merasa sudah tahu. Dia berpikir, “Ah, sudah tahu.”
laki dan perempuan. Misalnya masalah seksualitas, mengapa orang mempermasalahkan perempuan harus perawan atau tidak, sementara laki-laki tidak dipertanyakan masih perjaka atau tidak? Perempuan yang tidak “perawan” dilihat masyarakat “bukan perempuan baikbaik”, sebaliknya keperjakaan tidak pernah dipakai sebagai alat evaluasi. Semua itu masuk dalam penelitian tanpa disadari oleh orang. (JP): Siapa yang membidani Metode Penelitian Feminis? (KP): Sebenarnya tidak ada. Berkembang sendiri-sendiri di ilmu yang berbeda-beda. Kalau kita baca, misalnya, buku Shulamit Reinharz1 yang diterjemahkan oleh Woman Research Institute, dia bicara tentang metode-metode feminis di berbagai bidang ilmu yang berkembang dengan cara yang berbeda. Kelompok perempuan akademisi merasa tidak puas dengan perkembangan ilmu yang ada, merasa perempuan tidak terwakili secara benar, digambarkan secara salah atau distorsif (melenceng dari yang sesungguhnya – red.), karena itu mereka melakukan penelitian di bidang kajian mereka masing-masing antropologi, sosiologi, sastra. Saya tidak berani mengatakan ada yang khusus membidani metode itu. Muncul begitu saja gerakan di masingmasing ilmu, kemudian mereka mengembangkannya. (JP): Saat ini, sudah sampai sejauh mana perkembangan metodologi penelitian feminis? (KP): Saya tidak berani menggeneralisasi. Kalau pada penelitian yang kualitatif, sifatnya lebih pada pendekatan penelitian, itu menurut saya. Jurnal Perempuan 48
99
• Wawancara • Penerimaan berbagai pihak sudah lebih baik sekarang tapi penelitian kualitatif tidak otomatis menjadi feministik meskipun pendekatan yang feminis itu dekat dengan yang kualitatif. Pendekatan kualitatif cenderung bertanya secara dalam, mencoba menghayati, mencari tahu penghayatan si perempuan itu, melihat inter-relasinya dengan orangorang yang terlibat dengan dia. Kompleksitas akan tertangkap dengan memakai pendekatan seperti itu. Di beberapa tempat, metodologi penelitian feminis sudah diterima lebih baik. Tapi saya rasa memang masih perlu banyak diperjuangkan. Di dunia akademik itu sering dipertanyakan, “Kajian Wanita? Apakah itu kajian akademis? Bukan satu gerakan politis saja? Apakah itu satu bidang akademik yang mapan?” Menurut mereka Kajian Wanita sekedar advokasi untuk pemberdayaan perempuan. (JP): Bagaimana pemetaan peneliti atau akademisi yang sudah berperspektif gender? (KP): Sedikit orang yang sungguh-sungguh memiliki perspektif feminis di bidangnya. Artinya, cukup banyak akademisi yang menganggap itu tidak perlu, atau tidak mengerti kemudian menolak, atau tidak mengerti dan menganggap tidak perlu. Jadi dia tidak mengerti, atau mungkin dia merasa sudah tahu. Dia berpikir, “Ah, sudah tahu.” Tapi kalau kita diskusi, kita akan melihat masih ada bias dalam pemikirannya. Sayangnya, dia tidak menyadari itu. Seperti itu cukup sering terjadi. (JP): Apa argumen mereka? (KP): Sains atau ilmu pengetahuan itu dianggap harus objektif, terukur, tidak berpihak, netral, dan sebagainya. Sementara orang yang mengklaim dirinya netral, sangat mungkin dia tidak netral. Memangnya ada orang yang netral? Orang selalu mengambil pilihan. Misalnya, dia bilang dia netral lalu dia ambil pendekatan positivistik murni. Buat saya, dia tidak netral. Dia mengambil pilihan untuk berjarak dengan objek penelitiannya, sehingga dalam posisi yang dia bilang netral itu dia tidak akan paham apa penghayatan-penghayatan terdalam dari orang ini. Mengapa dia tidak bisa keluar dari kemiskinannya? Mengapa dia bertahan dalam keterpurukannya, dalam sebuah relasi abusive (penuh pelecehan – red.). Tapi itulah yang diyakini cukup banyak, saya tidak bilang semua, akademisi. (JP): Bagaimana merespons hal tersebut? 100
Jurnal Perempuan 48
• Wawancara • (KP): Saya pribadi coba berkompromi. Saya akan menunjukkan bahwa Kajian Perempuan dengan metodologinya adalah suatu bidang yang sangat akademik, sangat penting, dan sangat sulit. Pada mereka yang suka bilang, “Oh, Kajian Wanita, kapan dibuat Kajian Laki-laki?” Supaya saya bisa diterima sebagai peneliti kajian yang baik tampaknya masyarakat butuh memperoleh bukti terlebih dahulu bahwa saya adalah akademisi “yang baik”. Saya menulis buku tentang penelitian kualitatif, hal-hal yang umum, sehingga orang berpikir bahwa saya itu peneliti yang baik. Dengan begitu, saya bisa menjalankan dua-duanya. Secara tidak langsung saya mengajak orang untuk menyadari, “Eh, iya ya. Ternyata, misalnya, terapi yang femininistik dan terapi yang tidak femininistik itu berbeda.” Orang kemudian mengerti. Cara yang lain, saya mencoba menjawab kritikan mereka. Saya melihat kritik-kritik itu secara positif, semoga. Pertama, saya akan masuk ke bahasanya. Saya akan melihat apa yang kurang dari cara pikir kita. Tapi juga, menurut cara pikir kita sendiri, mereka kurang atau tidak? Mengapa kita mengambil pendekatan seperti ini? Saya akan jawab kita tidak bisa memakai model evaluasi yang kamu lakukan, karena fenomena yang diteliti itu berbeda paradigma. Kita pergunakan bahasa dia dulu, lalu kita mencoba memahami. “Oke, kamu mengkritik kita karena cara yang begini, kamu menganggap penelitian kami seperti ini. Saya paham kritik kamu tapi sekarang kami akan membawa kamu pada penelitian kami yang dinamis, yang tidak bisa dilihat secara mekanik. Jadi, yang kamu pakai itu tidak bisa saya pakai karena standar yang kami pakai yang ini.” (JP): Misanyal kita ingin mempelajari satu kajia, yang kita tahu masuk ke ranah maskulin, tapi kita tetap ingin menggunakan perspektif gender, bagaimana? (KP): Kajian Perempuan akan membuka kekurangan-kekurangan apa yang ada di kajian yang konvensional itu. Di mana letak kesalahankesalahannya? Bagaimana penyimpulan yang dilakukan? Modelmodel standar ganda apa yang berlaku? Standar ganda itu tidak boleh mewarnai pemikiran peneliti. Kalau tidak, hasilnya, ya, seperti Bapak itu tadi. (Henny Irawati) 1
Shulamit Reinharz, Metode-metode Feminis dalam Penelitian Sosial, Jakarta, Women Research Institute, 2005.
Jurnal Perempuan 48
101
kristeva-www.transfinito.net
• Tokoh • Topik Perempuan Empu • •
Katakan dan Lawan: Bahasa dan Perjuangan Feminisme dalam Teori Julia Kristeva
Indah Lestari
N
ama Julia Kristeva sering disebut sebagai salah satu dari trio French Feminists, bersama Hélène Cixous dan Luce Irigaray. Secara intelektual ia memang dibesarkan di Prancis, walaupun sebenarnya ia lahir tahun 1941 di Bulgaria dan baru pindah ke Paris tahun 1966. Ia cepat membuktikan kecemerlangan pikirannya, misalnya dengan menerbitkan esei Pour une Sémiologie des Paragrammes (1969) di Tel Quel, salah satu jurnal garda depan terkemuka Prancis. Tel Quel juga menerbitkan karya pemikir-pemikir Prancis lain seperti Roland Barthes, Jacques Derrida, dan Gérard Genette. Ketika itu Strukturalisme, pendekatan akademis yang menelusuri elemen-elemen dasar dari terbentuknya struktur dan kemudian terciptanya makna, sedang chic. Jurnal Perempuan 48
103
Indah Lestari
www.sigu7.jussieu.fr
Katakan dan Lawan: Bahasa dan Perjuangan Feminisme dalam Teori Julia Kristeva
Roland Barthes, salah satu gembong Strukturalisme, malah menjadi mentor Kristeva. Tahun 1974-1977 ketertarikan Julia Kristeva beralih lagi dari linguistik/semiotik ke psikoanalisis dan feminisme. Landasan Semiotik Dari teori linguistik Saussure, kita tahu bahwa bahasa mempunyai dua sisi, penanda dan petanda. Benda atau hal yang diwakili bahasa adalah petanda, sedangkan katanya adalah penanda. Hubungan antara acuan dan simbol ini semena-mena. Semiotik mempelajari bahasa sebagai wacana yang diucapkan seseorang. Dengan itu ia dapat melihat keragaman bahasa, berbeda dengan strukturalisme yang menempatkan bahasa sebagai struktur homogen. Tetapi semiotik sebagai metabahasa (membahas bahasa dengan bahasa), menyamaratakan segala bahasa ketika mereka menjadi objeknya. Menurut Kristeva, dilema ini justru menumbuhkan kreativitas yang tak pernah (bisa/boleh) berhenti sebab seorang peneliti akan dituntut untuk berjarak dengan posisinya sendiri dan posisi itu harus selalu diperbaharui dengan keragaman bahasa. Ketertarikan Kristeva adalah produksi wacana seperti ini, yang selalu menentang kebuntuan bahasa (yang tunduk, sekaligus subversif, pada hukum), yang berani memikirkan bahasa untuk menentang bahasa itu sendiri dan dengan demikian memposisikan dirinya di suatu tempat yang labil. 104
Jurnal Perempuan 48
Indah Lestari
Katakan dan Lawan: Bahasa dan Perjuangan Feminisme dalam Teori Julia Kristeva
Psikoanalisis & Bahasa Konsep penanda dan petanda dalam bahasa bisa kita temukan dalam teori Jacques Lacan yang menghubungkan teori psikoanalisis Sigmund Freud dengan bahasa. Freud mengangkat peran ketaksadaran manusia dalam menyimpan dan menentukan tindakannya. Kesadaran hanyalah ‘pucuk gunung es’, sebagian kecil dari psike manusia yang terdiri dari id, ego, dan super-ego. Id bahkan sepenuhnya bersembunyi dalam ketaksadaran. Kalimat Lacan yang paling terkenal “the unconscious is structured like a language”, “struktur bahasa adalah struktur ketaksadaran”, membawa kita ke ranah bahasa. Ketika anak akhirnya bisa menyebut dirinya ‘aku’, membedakan dirinya dari orang lain dan memilih identitasnya, ia memasuki tatanan simbolik. Ia menjadi subjek yang berbicara. Menjadi penanda berarti menjadi bukan petanda. Kristeva menerima konsep teori Lacan tentang Tatanan Simbolik Falosentris dan menyarikan bahwa perempuan tak punya akses ke bahasa. Kemudian dalam disertasinya La Révolution du langage poétique, (Revolusi Dalam Bahasa Puisi), Kristeva mengubah psikoanalisa Lacan tentang Tatanan Imajiner dan Simbolik menjadi Semiotik dan Simbolik. Semiotik di sini lain dengan semiotik yang mempelajari tanda. Semiotik yang dikontraskan dengan Simbolik ini mencakup bahasa rangsangan, impuls, erotik, ritme tubuh, gerakan-gerakan yang masih tersimpan dari tahapan kanak-kanak.1 Semiotik berhubungan erat dengan tubuh maternal/keibuan, sumber awal irama, nama, dan gerak manusia. Dalam Powers of Horror, Kristeva menulis bahwa identitas seksual anak secara spesifik dibentuk melalui perjuangan untuk lepas dari tubuh ibu. Anak laki-laki bukan menolak tubuh ibu melainkan meng-abjekkannya. Abjeksi berarti mengobjekkan seseorang menjadi sesuatu yang menjijikkan (tinja, darah, lendir). Sebaliknya, semakin anak perempuan mengidentifikasi dirinya dengan tubuh ibunya, dia semakin sulit menolak atau mengabjekkannya.2 Perjuangan Feminisme Pandangan feminis Kristeva terangkum di eseinya, “Women’s Time” (1979). Menurutnya ada tiga tahap feminisme. Tahap-tahap ini tidak diurutkan berdasarkan waktu melainkan pola pikir, sehingga mereka bisa tumpang-tindih atau maju-mundur. Jurnal Perempuan 48
105
Katakan dan Lawan: Bahasa dan Perjuangan Feminisme dalam Teori Julia Kristeva
Indah Lestari
Tahap pertama feminisme menginginkan kesetaraan di segala hal, memperjuangkan hak pilih, persamaan upah, dll., dan mengabaikan perbedaan jenis kelamin. Feminisme liberal ini mendambakan masyarakat androgini, percampuran antara feminin dan maskulin. Tahap kedua gerakan feminisme (muncul setelah tahun 1968) menginginkan bahasa yang khas perempuan. Bahasa untuk pengalaman intrasubjektif yang dibungkam budaya masa lalu, wacana yang lebih dekat dengan tubuh dan emosi. Kristeva tidak setuju dengan ide écriture féminine atau parler femme (penulisan feminin/tuturan perempuan) yang banyak dibahas Cixous dan Irigaray. Ia menolak mendefinisikan ‘perempuan’ jika perempuan semata diposisikan sebagai lawan lakilaki secara biologis atau esensialis. Di tahap kedua ini juga muncul paham feminisme radikal yang ingin membangun ‘masyarakat perempuan’ sebagai tandingan masyarakat patriarki. Feminisme jenis ini menekankan perbedaan intrinsik perempuan dari laki-laki: jenis kelaminnya. Bagi feminisme radikal, perempuan harus merebut kembali kuasa atas tubuh mereka sendiri. Di masyarakat perempuan ini, jouissance atau kenikmatan feminin mereka dijunjung. Jalan keluar dari patriarki dirintis melalui seksualitas lesbian dan menjadi ibu. Tetapi menurut Kristeva, feminisme macam ini menjadi sejenis seksisme, hanya bentuknya saja yang lain. Kristeva juga mengkritik feminisme eksistensial (dan tokohnya seperti Simone de Beauvoir) dan penolakan terhadap motherhood atau keibuan. Dalam patriarki, perempuan direduksi hanya sebagai ibu yang menjalankan fungsi reproduksi. Tetapi menurut Kristeva, reproduksi juga bisa berbentuk penciptaan literer. Sastra bisa menguak pengetahuan tertentu dan terkadang kebenaran tentang semesta yang terepresi, gelap, rahasia, dan tak sadar—yang tidak pernah muncul dalam wacana maskulin. Sastra menjadi ruang imajinasi dan kenikmatan dengan mempermainkan tanda-tanda sosial yang menekan. Tapi Kristeva mengakui bahwa penulis laki-laki pun menebar mode bahasa ini. Semiotik memang tampak pada puisi Sylvia Plath, namun juga pada novel Marcel Proust atau James Joyce. Teks semacam ini merombak wacana falogosentris (teks yang falosentris, falus yang logosentris) dan menawarkan subjektivitas yang selalu berproses. Kristeva mendukung tahap ketiga feminisme yang mepertimbangkan kembali identitas dan perbedaan, dan hubungan antara keduanya. Ini 106
Jurnal Perempuan 48
Indah Lestari
Katakan dan Lawan: Bahasa dan Perjuangan Feminisme dalam Teori Julia Kristeva
kristeva.blogs.com
pengaruh teori dekonstruksi Derrida yang mengemukakan bahasa bergantung pada différance, istilah yang ia ciptakan sendiri untuk menerangkan bahwa makna adalah hasil perbedaan (difference) antara penanda sekaligus penundaan (deferral). Dengan ini penandaan menjadi fleksibel dan makna beragam, tak bisa dipatok, sebab pembentukan makna menjadi proses yang tak pernah berakhir. Kristeva lalu mempertanyakan apa itu ‘perempuan’. Penanda ‘perempuan’ bisa berarti macam-macam, tergantung pada konteks dan terbuka pada pembacaan dan penafsiran ulang. Pada tahap ini feminisme mulai sadar akan keragaman latar budaya dan ras. Ia mulai menolak mengutamakan identitas di atas perbedaan atau sebaliknya; feminisme menjelajahi identitas ganda, termasuk identitas seksual. Sebab “apa artinya identitas, bahkan identitas seksual dalam lingkup teoretis dan ilmiah jika identitas itu sendiri dipertanyakan?” tanya Kristeva dalam “Women’s Time”. Kristeva mengajukan bahwa seksualitas beragam, sebanyak individu yang ada. Representasi gender maskulin dan feminin sehari-hari ditampilkan di media yang selalu kita temui, berita, iklan, film. Di area produksi kultural, perempuan mulai bangkit aktif menghasilkan karya sastra. Menulis adalah jalan untuk mendefinisikan ragam femininitas, peran
Jurnal Perempuan 48
107
Katakan dan Lawan: Bahasa dan Perjuangan Feminisme dalam Teori Julia Kristeva
Indah Lestari
sosial, dan makna pengalaman perempuan yang spesifik dari segi sejarah dan konteks lain. Tulisan bisa berarti suatu makna dan relasi kuasa tertentu. Lalu mengapa sastra? Kristeva menjawab dengan bertanya: Apakah karena, di bawah pelototan norma-norma, sastra mengungkap sebuah kenyataan, bahkan kebenaran itu sendiri, tentang jagat yang selama ini tertekan, gelap, rahasia, dan tak sadar akan dirinya sendiri? Karena ia menggandakan kontrak sosial dengan cara mengatakan yang tak dikatakan, yang aneh? Karena ia bermain-main dengan abstraksi, menyulapnya jadi sumber kenikmatan dan fantasi?
Pemikiran-pemikiran Kristeva berkembang sesuai waktu dan subjektivitasnya.3 Setiap teori pasti memiliki kelemahan sehingga terbuka terhadap kritik dan pendefinisian ulang. Namun pandangan Kristeva tentang ‘perempuan’, feminisme, dan bahasa bisa menjadi pelajaran dan pijakan untuk feminisme generasi sesudahnya. Catatan Belakang 1
Okke K.S. Zaimar, “Julia Kristeva (1941): Penggagas Sémanalyse dan Intertekstualitas” dalam Apsanti Sjokosujatno (ed.), Wanita dalam Kesusastraan Prancis, Magelang, Indonesiatera, 2003, hal. 199.
2
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, Colorado, Westview Press, 1998, hal. 206.
3
Karya-karya Kristeva antara lain Semeiotike: recherches pour une sémanalyse (1969) dan Polylogue (1977), yang sebagian diterjemahkan menjadi Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art (1980). Tulisan lainnya: Des Chinoises (1974; About Chinese Women), Au commencement était l’amour: psychanalyse et foi (1985; In the Beginning Was Love: Psychoanalysis and Faith), Soleil noir: dépression et mélancolie (1987; Black Sun: Depression and Melancholia), dan Étrangers à nous-mêmes (1988; Strangers to Ourselves). Novel semiautobiografisnya antara lain Les Samouraïs (1990; The Samurai), tentang unjuk rasa mahasiswa di akhir 1960an, dan Le Vieil Homme et les loups (1991; The Old Man and the Wolves) dengan tokoh Stephanie Delacour, seorang jurnalis Prancis, sebagai alter-ego Kristeva. The Kristeva Reader, diedit oleh by Toril Moi, terbit pada tahun 1986 and The Portable Kristeva pada 1997.
108
Jurnal Perempuan 48
Pandu a
pentingnya gerakan penyadaran kesetaraan perempuan dalam media...
[
Seri Pemberdayaan Perempuan
n Unt
uk J u r nalis
] Harga satuan Rp. 15.000 Harga paket (3 buku) Rp. 40.000
Dapatkan Buku Terbaru Yayasan Jurnal Perempuan
MENDENGARKAN PEREMPUAN Dalam Program Radio Jurnal Perempuan, telah banyak sekali isu-isu yang berkaitan dengan perempuan diangkat. Di tengah meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan baik ruang publik maupun domestik, tingginya angka kematian ibu melahirkan dan praktek trafiking (perdagangan perempuan dan anak) serta masih kerap terabaikannya hak-hak reproduksi perempuan, Radio Jurnal Perempuan eksis untuk menjalankan fungsi raising awareness (membangkitkan kesadaran masyarakat) akan pentingnya penghormatan hak-hak perempuan. Untuk informasi lebih lanjut hubungi Bagian Pemasaran Yayasan Jurnal Perempuan Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810 Telp. : (021) 8370 2005 Fax : (021) 830 2434 E-mail :
[email protected] whatnow.intrasun.tcnj.edu
• Kata dan Makna •
Kata dan Makna
Androcentric (Androsentris) Berpusat pada laki-laki. Kata ini diperkenalkan oleh Lester F. Ward dalam bukunya Pure Sociology, terbit tahun 1903. Menurut Lester, “teori androsentris melihat jenis kelamin laki-laki sebagai yang terpenting dan perempuan nomor dua.” Kata ini kemudian dipakai dan dipopulerkan oleh Charlotte Perkins Gilman, yang memakai “Kebudayaan androsentris kita” sebagai subjudul bukunya The Man-Made World, terbit tahun 1911. Sejak itu, kata ini sering digunakan para feminis untuk menunjukkan keberpihakan pada laki-laki di hampir segala hal. Padanannya adalah falosentris dan maskulinis.
Jurnal Perempuan 48
111
• Kata dan Makna • Science (Ilmu Pengetahuan) dan Feminisme Ilmu Pengetahuan dan feminisme menurut Ruth Hubbard, Mary Sue Henifin, dan Barbara Fried adalah, “Sebuah konstruksi manusia yang muncul karena sebuah kondisi sejarah tertentu ketika dominasi lakilaki atas alam masih terlihat sebagai sesuatu yang baik dan perlu diperjuangkan. Kondisi sekarang sudah berubah, dan kita tahu perjalanan manusia sekarang mungkin sekali akan menghancurkan alam daripada melestarikan atau memperbaikinya. Perempuan sudah sering menyadari, lebih daripada laki-laki, bahwa kita adalah bagian dari alam dan nasibnya ada di tangan-tangan manusia yang sering tidak peduli.” Donna J. Haraway menyebutnya sebagai “sumber daya feminis”, tapi Hugh Drummond malah berpikir ilmu pengetahuan “seperti cerita khayalan tentang mengejar mimpi muluk .... Kenyataannya, di Harvard dan di manapun, ilmu pengetahuan tergenggam erat di tangan laki-laki, sementara perempuan, bersama dengan si miskin dan si hitam, biasanya diteliti dan tak pernah meneliti.” Virginia Woolf dengan sinis berkata, “Ilmu pengetahuan, kelihatannya, bukannya tak berjenis kelamin; dia laki-laki, seorang ayah, dan kena sifilis pula.” Menurut Barbara du Bois ilmu pengetahuan cenderung “melayani dan menguatkan nilai-nilai sosial dan konsep-konsep kenyataan yang terlanjur dominan – sesering bahkan lebih sering daripada menentang mereka.” Ilmu pengetahuan juga bisa rasis. Carol Lee Sanchez keras mengatakan, “Ilmu pengetahuan kulit putih mempelajari barang-barang mati dan menciptakan racun-racun untuk membunuh dan menyiksa binatang maupun manusia. Kalian menganggap itu kemajuan. Orang Indian menganggapnya gila. Ilmu pengetahuan kami mempelajari makhluk-makhluk hidup; bagaimana mereka bergaul dan bagaimana mereka menjaga hidup yang seimbang. Ilmu pengetahuan kalian tidak peduli – bahkan tidak percaya – tentang dunia roh: ilmu pengetahuan kami percaya dan selalu berhubungan dengannya.” Scientific Method (Metode Ilmu pengetahuan) Judith Johnson mengkritik bahwa kebanyakan metode dalam ilmu pengetahuan “tidak lebih dari menggunakan beberapa prinsip akal sehat yang kita pakai sehari-hari secara lebih sistematis. Prinsip-prinsip ini tidak bebas bias .... Siapapun, asal punya akal sehat pasti bisa melihat 112
Jurnal Perempuan 48
• Kata dan Makna • pekerjaan ilmu pengetahuan yang buruk, asal pekerjaan itu dijelaskan dengan jernih, dan asal ada cukup informasi supaya kita bisa menilainya. Kebanyakan laporan tentang penelitian ilmu pengetahuan di media massa tidak memenuhi kriteria-kriteria ini; biasanya, mereka hanya mendaftar kesimpulan dan spekulasi ilmuwan-ilmuwan yang mendukung status quo.” Scientist (Ilmuwan) Evelyn Fox Keller melihat ilmuwan seperti ini: “Seorang peneliti yang menganggap problem sebagai “sesuatu yang harus ‘diserang’, ‘dihantam’, atau ‘ditaklukkan.’ Kalau tidak ada cara lain, ya kita harus pakai ‘kekuatan brutal’, angkat ‘palu dan linggis’. Untuk ‘menakodai’ alam, untuk ‘menyerbu markas dan bentengnya,’ ilmu pengetahuan kadang-kadang terdengar seperti medan perang. Kadang-kadang, gambar-gambar itu jadi begitu parah, lebih parah daripada gambar perang sebenarnya.” June Goodfield mengusulkan, untuk penelitian ilmu pengetahuan “analogi paling tepat adalah cinta.” Katanya, “Kalau anda benar-benar ingin tahu tentang tumor, anda harus jadi tumor.” Melihat ilmu pengetahuan sebagai “memborgol alam dan menyiksanya sampai mengaku” adalah sebuah bentuk pemerkosaan. Sexism (Seksisme) Kata yang dianalogikan dengan rasisme, pertama kali digunakan tahun 1968 di Amerika dalam Gerakan Pembebasan Perempuan (Women’s Liberation Movement), sekarang sudah jadi istilah umum. Bisa didefinisikan sebagai sistem dan perbuatan yang mendiskriminasi seseorang berdasarkan jenis kelaminnya. Khususnya, kata ini berarti prasangka tak adil terhadap perempuan, upaya memberi label negatif atau stereotip terhadap perempuan, pendefinisian perempuan menurut ketersediaan seksual dan penampilan mereka di mata laki-laki (objektifikasi), dan semua asumsi baik sadar maupun tidak sadar yang menyebabkan perempuan tidak diperlakukan sebagai manusia sepenuhnya, sementara laki-laki dianggap sebagai manusia yang sesungguhnya. Walaupun laki-laki juga mengaku sebagai korban seksisme, baik dalam hubungan pribadi maupun sebagai dampak program-program affirmative action, kasus-kasus ini adalah contoh ‘inverse sexism’ (seksisme terjungkir) atau ‘reverse sexism’ (seksisme terbalik), dan sebenarnya Jurnal Perempuan 48
113
• Kata dan Makna • merupakan reaksi terhadap seksisme terinstitusi yang menjajah semua perempuan. Seperti rasisme, seksisme juga menganggap ada superioritas yang secara esensi bisa dilihat secara fisik. Tingkah laku seksis tidak perlu pembenaran karena laki-laki dianggap secara alami lebih baik daripada perempuan: dominasi laki-laki juga dilihat sebagai sesuatu yang alami, dan karena itu, benar. Dulu, seksisme ada tapi tidak bernama. Istilah ‘dominasi laki-laki’ fungsinya untuk menggambarkan kenyataan ini tanpa mengkritiknya. Feminisme, dengan memberi nama seksisme, membuat seluruh sistem ini menyolok mata dan karena itu lebih gampang untuk diubah. Banyak teori berbeda-beda tentang seksisme, kebanyakan berdasar pada perbedaan biologis yang menalikan perempuan dengan proses reproduksi. Tentu saja laki-laki tidak mengalami ini. Beberapa feminis radikal, seperti kebanyakan laki-laki seksis, menganggap dominasi lakilaki sebagai mandat biologis, sehingga satu-satunya jalan bagi perempuan untuk bebas adalah melalui separatisme atau memisahkan diri dari laki-laki. Lainnya, seperti Shulamith Firestone dan Marge Piercy, berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki baru akan bebas dari tirani sex-roles setelah tali antara jenis kelamin dan reproduksi telah diputuskan oleh teknologi reproduksi mutakhir yang akan membebaskan perempuan dari kewajiban hamil. Juliet Mitchell, Nancy Chodorow, dan Dorothy Dinnerstein adalah nama-nama paling terkenal yang menghubungkan kelatenan seksisme bukan dengan biologi, melainkan sosiologi. Dinnerstein berteori bahwa karena pengasuh utama hampir semua bayi adalah perempuan, maka anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, memecahkan masalah ambivalensi atau kebingungan mereka pada figur ibu dengan menolak otoritas perempuan dan meminta perlindungan laki-laki. Untuk mendobrak pola pikir ini, psikologi manusia harus diubah dengan memulai sistem pengasuhan anak yang baru yang melibatkan laki-laki dan perempuan secara seimbang. Dalam bukunya Woman’s Creation, Elizabeth Fisher berargumen bahwa seksisme, atau ‘domestifikasi perempuan’ menyusul setelah domestifikasi binatang: bahwa saat manusia mulai memelihara binatang (mungkin salah satu bentuk terawal dari hak milik pribadi) dan mengembangbiakkan mereka, laki-laki mulai punya keinginan untuk 114
Jurnal Perempuan 48
• Kata dan Makna •
www.n8w.com
‘memiliki’ anak dan, sama dengan yang mereka lakukan pada binatang yang mereka piara, mulai mengontrol kemampuan reproduksi perempuan dengan mewajibkan perempuan menjaga kesucian dan menekan nafsu seks. Mereka yang menganggap seksisme sebagai paksaan kultural menganjurkan reformasi hukum, pendidikan, dan hubungan personal yang sedikit demi sedikit akan menghilangkan sex-roles yang rigid, yang menjadi sebab sekaligus akibat dari seksisme. Feminis Marxis dan sosialis biasanya percaya bahwa seksisme baru bisa dihilangkan kalau sistem kelas dan kapitalisme telah tumbang. Tapi, walaupun mereka banyak berbeda dalam soal teori bagaimana seksisme muncul dan bagaimana ia dapat dihilangkan, semua feminis setuju bahwa seksisme adalah sebuah kejahatan, dan bahwa feminisme ada untuk memeranginya. Theory (Teori) Feminis Aslinya, dan biasanya, berarti “cara memandang, cara melihat, sebuah perenungan.” Oxford English Dictionary selama beberapa abad terakhir telah mencatat beberapa arti: (1) spekulasi, penglihatan, tontonan; (2) gambaran mental; (3) konsep atau skema sesuatu yang harus dilakukan, sebuah metode; (4) pernyataan sistematis tentang peraturan dan prinsip-prinsip; skema atau sistem ide-ide atau pernyataan tentang fakta atau fenomena; hipotesis yang didukung atau dibuktikan oleh observasi atau eksperimen; pernyataan hukum-hukum, prinsip, atau sebab umum; (5) abstraksi, kontras dengan praksis; (6) spekulasi, dugaan, ide, dan pandangan atau pendapat individu. Istilah feminist theory digunakan dalam berbagai cara yang mengambil artinya dari semua definisi-definisi di atas, kadang sebagai penanda prinsipprinsip umum yang mencoba menjelaskan penjajahan universal terhadap perempuan, kadang penanda untuk sebuah teori utuh seperti psikoanalisis, dan kadang untuk formula-formula abstrak yang sama sekali tidak faktual dan tidak bisa diterapkan. Dalam tulisan-tulisan Jurnal Perempuan 48
115
• Kata dan Makna • feminis, teori sering digunakan untuk memeriksa rantaian opresi berdasar jenis kelamin, gender, ras, kelas, pilihan seksual, asal usul, dan etnisitas; untuk men-demistifikasi; untuk memberi lebih banyak perhatian pada pengetahuan subjektif; dan, kalau bisa, untuk menerangkan pengalaman semua dan setiap perempuan. Ketidaksukaan feminis pada teori biasanya adalah akibat skeptisisme mereka pada Received Male Theory, bukan keinginan untuk menolak mungkin karena kita tidak membuat pernyataan-pernyataan umum tentang pengalaman perempuan. Tentang hal ini, Paula A. Treichler mengatakan, “Teori feminis, yang mementingkan pengalaman individu dan bersama perempuan dan perjuangan politik mereka, mencoba untuk membangun cerita umum tentang pengalaman mereka dari kasus-kasus tunggal. Kita masih mencari sifat dan bentuk kasus-kasus ini dan teori macam apa yang nanti bisa kita buat.” Frances Power Crabbe menyindir, “Dari semua teori tentang perempuan sekarang, tidak ada yang lebih aneh daripada teori bahwa kita perlu membuat teori tentang teori-teori itu. Bahwa perempuan adalah makhluk domestik, sosial, atau politikal; bahwa dia adalah seorang ‘dewi’, atau sebuah ‘boneka’; ‘malaikat di rumah,’ atau ‘babu’ .... Tapi karena belum ada yang pernah duduk tenang dan membuat hipotesis yang sama tentang setengah lagi umat manusia, kita tidak bisa tidak harus menyimpulkan bahwa perempuan adalah makhluk yang lebih misterius daripada laki-laki dan bahwa menurut orang banyak ia memang terbuat dari semacam plastik, yang membuatnya gampang dibekuk-bekuk supaya pas dengan teori kita tentang alam dan peradaban.” Lain halnya dengan Hillary Rose, “Teori-teori feminis tentang ilmu pengetahuan adalah bagian dari produksi teori-teori feminis lain. Tidak seperti pengetahuan ilmu pengetahuan yang abstrak dan asing, metodologi feminis menggabungkan cara subjektif dan objektif memandang dunia. Mulai dari dan selalu kembali ke pengalaman kolektif tentang penindasan.” Marilyn Frye menganggap teori feminis adalah usaha-usaha untuk mengindentifikasi dan memasukkan semua aspek penindasan terhadap perempuan. “Bayangkan sebuah sangkar burung. Kalau anda melihat dekat-dekat satu kawat saja di sangkar itu, anda tidak akan bisa melihat kawat-kawat yang lain. Kalau konsep anda tentang apa yang ada di 116
Jurnal Perempuan 48
• Kata dan Makna • depan mata anda itu ditentukan oleh fokus myopis ini (lensa mata), anda hanya akan melihat kawat satu itu, naik turun dari atas sampai ke bawah, dan akan heran kenapa burung itu tidak terbang saja lewat kiri atau kanan kawat itu dan pergilah ke mana.” Teori feminis mencoba “untuk secara makroskopis melihat keseluruhan sangkar itu.” Nancy Hartsock mengatakan, “Teori tidak hanya terlibat dalam pemahaman kita tentang dunia, tapi pemahaman kita tentang dunia itu sendiri sebuah pilihan politik juga .... Untuk seorang feminis, teori adalah penjabaran tentang kegiatannya di dunia nyata. Fungsi teori karena itu adalah untuk menerangkan apa yan kita tahu tahu tentang kegiatan kita sehari-hari; untuk mengeluarkan dan menyadarkan filosofi apa yang terajut dalam hidup kita.” Nina Baym melihatnya sebagai ‘cara menjaga’. “Teori (literer) feminis menghadapi penonton para akademis laki-laki bergengsi dan mencoba mencuri perhatian mereka. Ia berhasil, sejauh yang saya lihat, asal ia mengacuhkan dan membuang jejak langkah awal studi feminis literer, menganggapnya ‘naif’ dan mendasarkan teori-teorinya pada teori-teori lain yang sekarang sedang jadi tren di antara laki-laki yang membuat teori itu: dekonstruksi misalnya, atau Marxisme. Teori-teori dasar ini menunjukkan bukan hanya ketakmautahuan tentang tulisan perempuan; mereka berasal dari diskursus patriarkis, mereka berbau misoginis. Biasanya, pembuat teori-teori feminis menjewer saudara-saudara mereka yang melenceng. Feminisme selalu dipecah dua antara pluralis dan legalis. Para pluralis mengharapkan yang tidak diharapkan, mendukung perbedaan; legalis mencari posisi yang tepat dan menata rapi perempuan di situ. Teori memang legalistis; segala macam pelanggaran – salah teori, kesalahan teoretis, ketakacuhan pada konsekuensi teoritis – sama saja dengan kejahatan; teori itu seperti polisi.” Audre Lorde mengatakan tidak masuk akal kalau seorang feminis membangun sebuah teori menggunakan “alat-alat tuannya”: “Apa artinya kalau alat-alat patriarki yang rasis digunakan untuk memeriksa produk patriarki itu sendiri? Ya artinya kalaupun perubahan itu mungkin dan dibolehkan, pasti akan sangat terbatas sekali.” (Diterjemahkan oleh Mikael Johani dari Cheris Kramarae dan Paula A. Treichler, A Feminist Dictionary, Boston dan London, Pandora Press, 1985 dan Lisa Tuttle, Encyclopedia of Feminism, London, Arrow Books, 1987.)
Jurnal Perempuan 48
117
118
Jurnal Perempuan 48
Foto: Dok. YJP
• Profil •
Saparinah Sadli: Women’s Studies di Indonesia
Henny Irawati
S
emangat yang membidani lahirnya Kajian Wanita atau Women’s Studies (bisa juga disebut Kajian Perempuan atau Kajian Feminis) di Indonesia tidak berbeda jauh dengan semangat bangkitnya women’s studies di tempat-tempat lain, yakni semangat untuk mengenal lebih jauh pengalaman kaum perempuan (Indonesia) dan untuk menjadikan keberadaan kaum perempuan dan kondisi hidupnya lebih kasat mata. Waktu lahir, women’s studies di Indonesia langsung memasuki tahap keempat (menurut kategori Bogdon). Tahap ini ditandai ramainya kegiatan penelitian tentang perempuan dengan fokus gender differences (perbedaan gender) dan analisis ilmiah dengan perspektif perempuan1. Tahap ini memang fase yang penting, mengingat penelitian-penelitian
Jurnal Perempuan 48
119
Saparinah Sadli: Women’s
Studies di Indonesia
Henny Irawati
sebelumnya lebih didominasi oleh laki-laki dan topik atau masalah yang hanya penting untuk mereka. Penelitian-penelitian baru ini akan menghasilkan berbagai data empiris berdasarkan pilihan topik atau analisis hasil penelitian yang tidak androsentris (lihat Kata & Makna – red.) Permasalahan yang diangkat women’s studies di Indonesia awalnya dipengaruhi oleh tema-tema dalam seminar yang diadakan menyambut Dasawarsa Tahun Internasional Wanita pada tahun 1975 di Meksiko. Saat itu tema-tema yang diangkat secara tidak langsung menyinggung persoalan kaum perempuan di negara-negara berkembang. Topik yang paling populer adalah perempuan dan pembangunan. Berdasarkan data empiris yang didapatkan dari hasil penelitian sejak tahun ’70-an, ilmuwan perempuan Barat yang aktif dalam gerakan women’s studies menemukan bahwa banyak program pembangunan di negara berkembang yang merugikan perempuan. Proses pembangunan cenderung mengabaikan peran produktif yang secara tradisional telah dimainkan oleh perempuan. Dalam tulisannya di Jurnal Stri, Prof. Dr. Saparinah Sadli, yang biasa disapa Ibu Sap, mencatat adanya beberapa kelompok women’s studies yang berkembang di beberapa universitas. Mereka tergabung dalam lembaga-lembaga tertentu seperti Lembaga Kependudukan Universitas Gajah Mada, Lembaga Riset Universitas Brawijawa, dan Lembaga Riset Universitas Hasanuddin. Perkembangan ini didukung ketentuan GBHN 1988 tentang perlunya didirikan Pusat Studi Wanita. Kajian Wanita Di Universitas Indonesia, pada tahun 1989 Prof. Dr. Sujudi, Rektor UI waktu itu, menggagas berdirinya studi wanita di tingkat Pascasarjana dengan nama Program Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia (selanjutnya disebut Kajian Wanita). Satu keputusan yang menurut Ibu Sap sendiri tidak mengejutkan. Sejumlah dosen perempuan, yang telah lama merintis mata ajaran pilihan seperti Wanita dan Pembangunan di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik (FISIP) dan Psikologi Wanita di Fakultas Psikologi, menyambut hangat terobosan ini. Dukungan penuh juga diberikan Pimpinan Program Pascasarjana yang waktu itu dijabat Prof. Dr. Iskandar Wahidiyat, Direktur, dan Prof. Dr. Farid Moeloek, Wakil Direktur I. “Gagasan berdirinya Program Kajian 120
Jurnal Perempuan 48
Henny Irawati
Saparinah Sadli: Women’s
Studies di Indonesia
Wanita timbul ketika Program Studi Multidisiplin ingin ditumbuhkan. Kita membutuhkan program-program studi yang perlu dan langsung bisa dipakai atau digunakan di masyarakat. Bagi beberapa ilmuwan, pertumbuhan ilmu itu selalu dilihat dari akar, batang, atau cabangnya. Padahal perkembangan pemikiran ilmu yang baru mungkin saja tidak tumbuh dari satu akar tapi dari beberapa, dan tentu saja ini menunjukkan adanya kepentingan-kepentingan tertentu. Baik itu kepentingan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat maupun kepentingan-kepentingan lainya,” demikian komentar Prof. Dr. Farid Moeloek dalam buku Perjalanan 15 Tahun Program Kajian Wanita yang terbit tahun 2005 kemarin. Selain menjadi salah satu pengajar, Ibu Sap diserahi tampuk kepemimpinan selama 10 tahun pertama (November 1990 sampai Mei 2000). Bukan tanggung jawab yang mudah. Antusiasme tidak serta merta datang dari seluruh jajaran akademisi. Menurut Ibu Sap, Kajian Wanita dirongrong sikap para akademisi yang meragukan kejelasan pohon ilmu yang menjadi kiblat Kajian Wanita. Tapi Prof. Dr. Iskandar Wahidiyat mengatakan salah besar harus ada pohon ilmu. “Kenapa harus cari yang ada pohon ilmu?” tanyanya, “itu tidak benar. Sekarang ilmu jadi begitu berkembang, tidak perlu dari S1 yang sama. Bahwa untuk pascasarjana harus sarjana dulu, itu benar. S3 harus S2 dulu. Tapi tak usah dari bidang ilmu yang sama. Pemikiran itu yang harus diubah.” Keraguan dan kendala hadir mengiringi perjalanan Kajian Wanita. Satu komentar datang dari seorang dosen perempuan senior, “Sap, jangan kamu jadikan mereka (mahasiswa) feminis,” demikian pesannya pada acara pembukaan resmi Kajian Wanita. Ibu Sap terkejut mendengar kalimat itu. Dalam sejarah perkembangannya, studi wanita di tingkat universitas di luar negeri berkembang dengan bertumpu pada konsep dan teori feminisme. Pesan tadi membuat Ibu Sap waktu itu bertanyatanya, apa salahnya menjadi feminis? “Feminisme masih belum diterima seperti sekarang. Gerakan feminis masih dilihat sebagai “hantu”. Saya disadarkan, jangankan kata feminis, kata gender saja belum diterima,” ungkapnya baru-baru ini. Kajian Wanita berdiri tanpa dibarengi kurikulum di tingkat sebelumnya, S1. Ini tantangan tersendiri bagi Ibu Sap. Ia dipaksa menghadapi mahasiswa-mahasiswa baru yang sebagian besar belum pernah mempelajari women’s studies secara formal sebelumnya. “Orang Jurnal Perempuan 48
121
Saparinah Sadli: Women’s
Studies di Indonesia
Henny Irawati
luar negeri yang dulu membantu saya menganggap saya punya ambisi yang terlalu gila karena background-nya tidak ada,” kenangnya. Ibu Sap menyadari justru mengembangkan perspektif gender dalam diri mahasiswa itulah tantangan terbesarnya. Ia berinisiatif meluncurkan program baru yang dinamai Latihan Sensitivitas Gender, diberikan kepada setiap mahasiswa angkatan baru selama 5 hari. “Kalau dulu tidak ada seperti itu. Latihan ini terbukti membantu sekali dalam mengajar. Mereka lebih mudah menerima bahan ajaran yang diberikan. Dulu kita tidak pernah memikirkan itu. Jadi susah sekali, apalagi dengan latar belakang mereka yang berbeda-beda. Ada sosiologi, antropologi, agama, pendidikan, dan lain-lain.” Akan tetapi, Ibu Sap optimis. Dan terbukti, meskipun mahasiswa-mahasiswa baru tersebut tidak pernah belajar women’s studies sebelumnya, mereka tetap dapat menyelesaikan pendidikan di Kajian Wanita selama 4 semester dengan tesis-tesis yang bagus. Diakui oleh ibu Sap pada masa awal berdiri Kajian Wanita para pengajar pun masih mencari sistem yang tepat untuk menyampaikan materi-materi women’s studies. Kesulitan inilah yang membuat ibu Sap punya ide untuk membuat suatu program kerjasama (linkage program). Kajian Wanita bergandengan dengan Women’s Studies Memorial University Of Newfoundland, Kanada, mencoba meningkatkan profesionalitas dosen, staf administrasi, dan staf perpustakaan dalam program “Support to Women’s Studies Graduate Programme at the University of Indonesia”. Proyek yang dirancang dan dikembangkan selama dua tahun (1990-1992) itu keseluruhan dananya ditanggung Canada International Development Agency (CIDA). Dalam kurun empat tahun setengah—dimulai pada bulan September 1992 dan berakhir pada bulan April 1997—program tersebut mengadakan berbagai kegiatan, misalnya pengiriman dua staf junior Kajian Wanita ke Memorial University untuk studi tingkat S2 pada tahun 1993 dan 1994; pelatihan pengembangan profesionalitas di Kanada bagi sejumlah staf Kajian Wanita; juga penguatan pengembangan kurikulum, metode pengajaran, teori, dan metode penelitian melalui serangkaian workshops. Di samping itu, ada juga berbagai proyek penelitian yang dikerjakan. Dalam hubungan kerjasama tersebut banyak pengalaman berarti dan nyata yang didapat tentang, misalnya, kesetaraan, relasi setara, dan kerjasama non-hierarkis – sejumlah prinsip yang mennjadi landasan 122
Jurnal Perempuan 48
Henny Irawati
Saparinah Sadli: Women’s
Studies di Indonesia
perspektif feminis. Selain membantu “engendering” atau men’gender’kan (meminjam istilah bu Sap) berbagai orang yang terlibat dalam Kajian Wanita, kerjasama ini juga men’gender’kan kurikulum Kajian Wanita. Perkembangan Pemikiran
www.komnasperempuan.or.id
Selepas menduduki kepemimpinan Kajian Wanita, Ibu Sap tetap sibuk. Ia pernah memimpin Komnas Perempuan, dan masih dilibatkan dalam proses kaderisasi. Ia juga mengajar di Kepolisian untuk mata ajaran Hak Asasi Perempuan yang menjadi bagian dari mata ajaran Hak Asasi Manusia. Di luar kesibukan-kesibukan tersebut, Ibu Sap terlibat dalam riset bersama World Health Organization tentang hak reproduksi perempuan. Berdasarkan hasil risetnya, Ibu Sap mengungkapkan bahwa perempuan Indonesia, ditinjau dari sisi kesehatan, sangat terpuruk. Angka Kematian Ibu, yang dipergunakan sebagai indikator, sangat tinggi. Keadaan ini bukan baru saja terjadi, tapi sudah 30 tahun terakhir ini. Padahal, kesehatan perempuan yang rendah itu berdampak juga pada anak-anak yang dilahirkan. Seharusnya menurunkan Angka Kematian Ibu menjadi prioritas, usulnya. Pendidikan untuk setiap anak perempuan juga. Dua hal tersebut penting agar perempuan dapat memainkan perannya lebih baik. Mereka juga akan menambah lapangan kerja untuk perempuan
Jurnal Perempuan 48
123
Saparinah Sadli: Women’s
Studies di Indonesia
Henny Irawati
yang sekarang sangat terbatas baik pilihan maupun keamanannya. Tidak seharusnya, seperti yang terjadi selama ini, perempuan bekerja tanpa perlindungan, padahal itu adalah hak yang seharusnya ia dapatkan. Namun, Ibu Sap menolak untuk bersikap pesimis. “Meskipun cuma 1%, kita tidak bisa menghapus kemajuan yang sudah diraih oleh perempuan Indonesia. Kita pernah punya presiden perempuan, sekarang ada menteri-menteri perempuan, anggota DPR perempuan juga ada, meskipun kuantitasnya tidak mencapai kuota. Banyak juga perempuanperempuan yang aktif di ruang publik memperjuangkan hak perempuan. Itu juga sesuatu yang harus diakui semua pihak.” Ibu Sap pun angkat bicara tentang Perda-perda Syariat yang membelit perempuan Indonesia, “Itulah konsekuensi dari otonomi daerah, Pusat tidak mempunyai wewenang untuk menidakkan atau mengiyakan. Mereka mempunyai kewenangan tersendiri. Masalahnya memang begitu banyak perda mengatasnamakan agama, tapi disasar itu sebenarnya perempuan, itu yang merisaukan. Misalnya perda Tangerang yang tidak membolehkan perempuan ada di jalanan setelah jam 9 malam, itu kan dibuat atas nama agama. Padahal sesungguhnya untuk meminggirkan seksualitas perempuan.” Begitu juga dengan RUU Pornografi. Masyarakat kita, menurut Ibu Sap, dikacaukan oleh pengertian pornografi dan RUU pornografi. Mereka tidak dapat membedakan dua hal tersebut. Ibu Sap yakin setiap perempuan setuju pornografi itu harus dihapuskan karena pornografi itu memojokkan dan melecehkan perempuan. Akan tetapi, dengan adanya RUU tersebut perempuan malah makin dipojokkan dan dilecehkan. Usia boleh saja senja, namun ibu Sap terus meremajakan pemikiranpemikiran dan intelektualitasnya. Ia selalu mengikuti perkembangan (dan kemunduran) hidup perempuan di Indonesia dan tetap aktif dalam beragam organisasi, diskusi, dan penelitian. Semuanya untuk kesetaraan dan kemajuan perempuan Indonesia. Catatan Belakang 1
Diambil dari “Studi Wanita: Pengembangan dan Tantangannya” dalam Stri, Jurnal Studi Wanita Vol. 1 No. 1, Januari 2002.
124
Jurnal Perempuan 48
Foto: Dok. YJP
• Berita •
Manifesto Temu Nasional Aktivis Perempuan Indonesia Kami, aktivis perempuan Indonesia yang berasal dari 28 provinsi, berkumpul untuk menguatluaskan gerakan perempuan. Kami, bersama seluruh kekuatan perempuan dan kekuatan sosial lain berupaya melakukan perubahan tatanan masyarakat yang lebih adil, sejahtera dan berdaulat. Kami berkumpul atas dasar kebutuhan bersama demi kesamaan visi dan nilai-nilai yang menjunjung tinggi penghormatan atas hak asasi perempuan, pluralisme, anti diskriminasi, anti kekerasan, keadilan gender, dan keadilan sosial. Persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan secara struktural, berakar dari sistem budaya patriarkis yang membuat hubungan laki-laki dan perempuan tidak setara. Hal ini sangat nampak pada kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan dan semakin lemahnya peran negara untuk melindungi warganya akibat tekanan globalisasi. Dalam sektor ekonomi, negara lebih memberikan perlindungan kepada pemilik modal Jurnal Perempuan 48
125
• Berita • daripada menjaga sumber daya alam dan mensejahterakan perempuan. Pemiskinan secara struktural berakibat pada sulitnya perempuan mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan dasar. Perempuan secara sistematis telah dikondisikan untuk tidak berpeluang memikirkan wilayah publik dan mengambil keputusan yang sebenarnya juga menentukan keberlangsungan hidupnya, serta tidak mempunyai posisi sebagai pengambil keputusan bersama untuk sektor publik. Pelanggaranpelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Aceh, area konflik maupun Peristiwa Mei 1998, juga belum mendapatkan penyelesaian yang berarti. Berdasarkan persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan, berbagai kekuatan perempuan berkumpul di dalam Temu Nasional Aktivis Perempuan Indonesia sebagai ajang konsolidasi gerakan perempuan, untuk menciptakan sinergi antar organisasi perempuan sebagai peneguhan terhadap apa yang telah diperjuangkan selama ini. Gerakan perempuan sebagai bagian dari gerakan sosial memiliki agenda bersama untuk membangun kesadaran kritis masyarakat berbasis gender. Kami yakin perubahan terhadap kondisi perempuan tidak bisa dilakukan sendiri, tapi harus bersama dengan seluruh elemen gerakan sosial. Kami juga yakin bahwa demokrasi juga tidak akan pernah terwujud tanpa keterlibatan perempuan. Oleh karena itu kami, atas nama aktivis perempuan Indonesia, menuntut kepada Negara untuk: 1.
Menjamin perlindungan terhadap perempuan dan kelompok minoritas dari segala bentuk ancaman dan sub-ordinasi gender berdasarkan ras, agama, etnis, kelas, usia, diffability, pilihan politik dan orientasi seksual;
2.
Membuat kebijakan yang sensitif gender dan mengamandemen kebijakan yang merugikan perempuan;
3.
Mengoptimalkan kebijakan pengarusutamaan gender dan penanggulangan kemiskinan serta menolak pembangunan berbasis utang;
126
Jurnal Perempuan 48
• Berita • 4.
Menghentikan dan menolak privatisasi di sektor strategis yang didorong oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, Perusahaan Multinasional dan WTO, melakukan upaya penghapusan utang luar negeri (illegitimate debt) serta pemberantasan korupsi;
5.
Memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak warga negara, perempuan dan masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat;
6.
Mengalokasikan anggaran yang sensitif gender dan berpihak pada rakyat untuk peningkatan kesejahteraan;
7.
Pada bidang politik, Negara harus menjamin pemenuhan hak politik perempuan melalui perubahan sistem, salah satunya dengan melakukan revisi UU Pemilu supaya lebih akomodatif dan memberi akses terhadap kepentingan perempuan;
8.
Menindak tegas lembaga-lembaga yang mengatasnamakan agama dalam melakukan tindakan-tindakan yang menghancurkan gerakan perempuan, merongrong ideologi bangsa, dan mengancam NKRI;
9.
Menjamin perempuan mendapat kesempatan memperoleh pendidikan gratis dan berkualitas, dan pelayanan kesehatan yang sensitif gender, termasuk pelayanan untuk kesehatan reproduksi dan penderita HIV/AIDs;
10. Membangun sistem penanggulangan bencana alam dan konflik sosial, termasuk pemulihan yang sensitif terhadap kelompok rentan, khususnya perempuan; 11. Segera menuntaskan pelanggaran hak-hak asasi manusia/ perempuan di masa lalu.
Asrama Haji Pondok Gede, 31 Agustus 2006 Temu Nasional Aktivis Perempuan Indonesia
Jurnal Perempuan 48
127
• Berita •
Agenda Khusus 12 Isu Kritis Gerakan Perempuan Tahun 2006 - 2011 Temu Nasional Aktivis Perempuan Indonesia telah menghasilkan 12 agenda khusus gerakan perempuan untuk tahun 2006-2011. Keduabelas isu tersebut adalah :
1. Perempuan dan Kemiskinan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Mengkampanyekan penghapusan utang luar negeri Advokasi anggaran (nasional dan daerah) yang respon gender dan pro-poor Mainstream data dasar penangggulangan kemiskinan dan data terpilah Review revisi kebijakan yang diskriminatif (yang tidak responsif gender dan tidak pro-poor) Kampanye dan advokasi pemberantasan korupsi Mengembangkan ekonomi kerakyatan yang berbasis gender Mendorong lahirnya UU anti kemiskinan Mendorong partisipasi perempuan dalam proses pembangunan mulai perencanaan sampai pelaksanaan
2. Perempuan dan Hukum: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Mengembalikan semua aturan-aturan pada konstitusi UUD ’45 dan amandemen berperspektif HAM Advokasi kebijakan dan pelaku yang tidak responsif gender Kampanye tentang hak-hak perempuan dalam hukum Mengembangkan penyelesaian hukum alternatif yang sensitif gender Perlunya pendidikan kritis untuk masyarakat (paralegal) Mendorong penyelesaian kasus HAM masa lalu di mana perempuan menjadi korban Menolak hukuman mati
128
Jurnal Perempuan 48
• Berita • 3. Perempuan dan Fundamentalisme: 1. 2. 3. 4. 5.
Membangun komunikasi berkelanjutan dengan kalangan “netral” dan anti gerakan perempuan Menginventarisir isu pemahaman agama yang universal dan lokal dalam paradigma gender Memproduksi dan mensosialisasikan tafsir agama berperspektif gender yang belum tergali Mempromosikan nilai-nilai pluralisme, kesetaraan dan keadilan secara terus menerus Menuntut negara dan ormas besar untuk memperbaiki fundamentalisme garis keras
4. Perempuan dan Politik 1. 2.
3.
4. 5.
Menciptakan calon alternatif untuk duduk di eksekutif dan legislatif—berikut sistem pendukungnya Mengusulkan amandemen UU No 12 Tahun 2002 Tentang Pemilu yang tidak berperspektif perempuan (misalnya pasal 30 dan rekruitmen dengan sistem zigzag) Mendorong bentuk affirmative action yang lain dalam rangka membuka ruang yang lebih besar untuk terlibat dalam politik misalnya terbukanya peluang untuk calon independen Mendorong partai lokal yang berperspektif gender Mengkritisi dan mendorong perubahan perda-perda yang menutup ruang perempuan untuk menduduki jabatan publik
5. Perempuan dan Pendidikan: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Menciptakan pendidikan alternatif yang berdasar pada nilai-nilai pluralisme, kesetaraan dan keadilan Mendesakkan diterapkannya pendidikan dasar 9 tahun yang gratis dan berkualitas Mendorong dan menaikkan alokasi anggaran pendidikan Membuat kurikulum jangka panjang yang berperspektif gender Mendorong pelaksanaan Program pendidikan khusus perempuan yang termajinalkan (buta huruf dsb.) Membangun pusat belajar tentang gender yang bisa diakses oleh publik
Jurnal Perempuan 48
129
• Berita • 6. Perempuan dan Teknologi 1. 2. 3. 4.
Meningkatkan kapasitas perempuan dalam pemanfaatan berbagai teknologi Menggunakan teknologi untuk membangun simpul informasi dan komunikasi Memperkuat akses perempuan terhadap teknologi Melakukan kampanye teknologi yang ramah perempuan
7. Perempuan dan Media 1. 2. 3. 4.
5.
Sosialisasi UU pers dan penyiaran yang berperspektif gender (bekerja sama dengan Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers). Mendorong gerakan perempuan menggunakan media komunitas dan media lokal sebagai media pencerahan Melibatkan pers dalam kegiatan-kegiatan gerakan perempuan, networking dengan asosiasi wartawan Indonesia Mendorong perempuan untuk masuk pada industri media (investor, pekerja media) dan melibatkan perempuan pelaku media untuk melakukan perubahan Membangun dan memperkuat perspektif gender bagi kalangan media
8. Perempuan dan Budaya 1. 2. 3. 4. 5.
Menggali dan mensosialisasikan nilai-nilai kearifan lokal yang sensitif gender Melakukan kajian kritis terhadap dokumen (teks/bacaan) dan nilainilai kearifan lokal Melakukan kampanye nilai-nilai kearifan lokal yang sensitif gender melalui kesenian (teks-teks & bacaan) Memproduksi bacaan dan audio visual yang berkeadilan gender Revitalisasi dan pelestarian nilai-nilai budaya dan situs-situs sejarah
9. Perempuan dan Seksualitas 1. 2. 3.
Membangun media alternatif sebagai strategi terhadap media mainstreaming Membangun sangsi sosial dan code of conduct organisasi terhadap aktivis yang melakukan pelecehan dan kekerasan seksual Menggunakan metode yang sensitif terhadap seksualitas perempuan (seperti peer educator/pendidikan sebaya, pendekatan partisipatoris)
130
Jurnal Perempuan 48
• Berita • 4.
Mengembangkan modul menjadi MATERI DIDIK SENDIRI, yang dibangun berdasarkan pengalaman-pengalaman seksualitas perempuan
10. Perempuan dan bencana 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Membuat database tentang bencana dan permasalahannya Membangun manajemen dan melibatkan perempuan dalam penanggulangan bencana yang berperspektif gender Mendesak adanya UU yang melindungi perempuan dan anak sebagai korban konflik Mengkritisi dan mendesak RUU atau peraturan tentang penanggulangan bencana termasuk alokasi dana yang berperspektif gender Membangun sinergi antar berbagai pihak dalam penanggulangan bencana Mendesak negara untuk menyediakan pelayanan trauma healing dan psikososial
11. Perempuan dan SDA 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Mengintegrasikan isu SDA dalam gerakan sosial lain Mengkampanyekan hak asasi perempuan dalam pengelolaan SDA Pengelolaan SDA berbasis komunitas yang responsif gender (misalnya petani, nelayan, dll.) Menuntut tanggungjawab negara dan korporasi yang merusak lingkungan hidup dan melanggar hak asasi perempuan dan adat Menolak pembayaran utang luar negeri yang bersumber dari eksploitasi SDA Advokasi kebijakan dan kasus pengelolaan SDA
12. Perempuan dan Globalisasi 1. 2. 3. 4. 5.
Mensosialisasikan isu globalisasi ekonomi dan moneter serta dampaknya ke semua pihak sehingga menjadi isu bersama Menolak 3 pilar (deregulasi, privatisasi dan liberalisasi) globalisasi yang tidak berpihak kepada rakyat terutama perempuan Seluruh aset industri, termasuk TNC & MNC harus dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk masyarakat lokal Membangun jaringan perempuan melawan arus neo-lib Kaderisasi dan transfer pengetahuan globalisasi ke kader aktiv=is Jakarta, 31 Agustus 2006
Jurnal Perempuan 48
131
• Cerita Perempuan •
132 www.wilsey.net
Jurnal Perempuan 48
• Cerita Perempuan •
Kamar Kecil Milikku Sendiri
Virginia Woolf
Perempuan tak punya kesempatan menulis bukan hanya masalah ilmu pengetahuan. Sudah lama jadi masalah sastra juga. Dalam eseinya yang terkenal, A Room of One’s Own, Virginia Woolf membayangkan seandainya Shakespeare punya adik perempuan yang sejenius dia, bakal jadi apa?
T
api, kalian mungkin akan bertanya, kami ingin kamu bicara tentang perempuan dan fiksi – apa hubungannya dengan punya kamar milik sendiri? Aku akan coba jelaskan. Setelah kalian memintaku bicara tentang perempuan dan fiksi, aku pergi duduk di tepi sungai dan mulai berpikir tentang dua kata itu, perempuan, fiksi. Mungkin aku bisa menyebutkan beberapa hal yang aku tahu tentang Fanny Burney; beberapa hal lagi tentang Jane Austen; memuji Brontë bersaudara dan membuat sketsa Haworth Parsonage putih diselimuti salju; menyindir Nona Mitford kalau bisa; menyitir George Eliot; menyadur Mrs Gaskell; sudah itu saja. Tapi kemudian aku berpikir, tidak segampang itu. Perempuan dan Jurnal Perempuan 48
133
• Cerita Perempuan • fiksi bisa saja berarti, dan ini mungkin maksud kalian, perempuan dan hidup mereka, atau mungkin perempuan dan fiksi macam apa yang biasanya mereka tulis; atau mungkin juga berarti perempuan dan fiksi yang ditulis tentang mereka, atau mungkin tiga hal itu sebenarnya adalah hal yang satu, tak bisa dipisahkan, dan kalian ingin aku berkomentar tentang itu. Tapi begitu aku mulai, hal ini menarik sekali, aku juga langsung tahu, bakal ada masalah gawat. Perempuan dan fiksi adalah masalah yang tak akan pernah ada akhirnya. Aku tak akan pernah bisa memenuhi kewajiban seorang dosen untuk menghadiahi kalian, setelah sejam aku berbicara di sini, sebutir kebenaran murni yang bisa kalian selipkan di antara halaman buku catatan dan simpan di dalam saku jaket selamanya. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah memberikan pendapatku tentang satu hal sepele – seorang perempuan harus punya uang dan kamar kecil miliknya sendiri supaya ia bisa menulis fiksi; dan aku tahu, ini berarti teka-teki besar tentang hakikat perempuan dan hakikat fiksi tak akan pernah terpecahkan. Aku sadar telah meninggalkan tanggung jawab untuk menjawab dua pertanyaan ini – tapi untukku perempuan dan fiksi memang teka-teki yang sampai sekarang tidak ada jawabannya. ... Memikirkan tentang perempuan-perempuan yang harus kerja bertahun-tahun dan tetap tidak bisa menabung sekedar dua ribu pound pun, dan apa saja yang harus mereka kerjakan kalau mereka ingin mengumpulkan tiga puluh ribu pound, kepala kita rasa-rasanya hampir meledak. Betapa miskinnya manusia berjenis kelamin perempuan! Apa yang selama ini dikerjakan ibu-ibu kita, sampai mereka tak punya sepenny pun untuk diwariskan? Membedaki hidung mereka? Sibuk menonton etalase toko? Memamerkan lekuk tubuh mereka di bawah matahari Monte Carlo? ... Mungkin mereka akan menjawab begini: setiap penny yang aku dapat pasti akan diambil suamiku, dan dibelanjakan semaunya dia juga – mungkin untuk mendanai beasiswa atau menyumbang ke Balliol atau Kings – jadi bekerja dan menghasilkan uang, kalaupun aku bisa melakukan itu, tidak begitu menarik bagiku. Biarlah itu jadi urusan suamiku saja. 134
Jurnal Perempuan 48
• Cerita Perempuan • ... Aku pikir, sambil melihat buku-buku Shakespeare di rak, si pendeta benar juga paling tidak dalam hal ini: tidak mungkin, sama sekali tidak mungkin, seorang perempuan di jaman Shakespeare bisa menulis dramadrama seperti itu. Coba sekarang bayangkan, terlalu susah mencari tahu benar tidaknya, bayangkan saja, Shakespeare punya adik perempuan yang sangat berbakat, namanya Judith. ... Shakespeare sendiri disekolahkan, pastinya,– ibunya ahli waris kaya – di sekolah grammar, di situ dia belajar bahasa Latin – Ovid, Virgil, Horace – dan dasar-dasar tata bahasa dan logika. (Kemudian dia) pindah ke London, waktu itu pun kelihatannya dia sudah suka teater, sering menawarkan diri menjaga kuda dekat pintu panggung. Kemudian dia mulai kerja di situ, sukses jadi aktor, mondar-mandir di pusat jagat raya, kenal semua orang, menulis di kamarnya dan memamerkan silat lidahnya di jalanan, bahkan diundang ke istana ratu. Sementara itu, adik perempuannya yang sangat berbakat tadi tetap tinggal di rumah. Dia juga senang bertualang, berkhayal, mendambakan bisa melihat dunia seperti abangnya. Tapi dia tak pernah disekolahkan. Dia tak pernah mendapat kesempatan belajar tata bahasa maupun logika, apalagi membaca Horace dan Virgil. Dia sekali-sekali akan memungut buku yang tergeletak di kamar abangnya dan membaca beberapa halaman. Tapi orangtuanya keburu memergoki dan menyuruhnya menjahit kaus kaki, menjaga sup yang sedang masak, dan melarangnya main-main dengan buku dan koran. Mereka akan memarahinya, tak terlalu lama, karena mereka cukup pintar dan tahu bagaimana rasanya hidup sebagai perempuan dan mereka sayang padanya – bahkan mungkin sekali dia kesayangan bapaknya. Mungkin kemudian dia naik ke loteng dan menulis beberapa halaman di situ, tapi dia selalu hati-hati untuk menyembunyikan atau kalau perlu membakar tulisan-tulisannya. Tapi dia tak lama jadi remaja; bapak menjodohkannya dengan anak seorang pemintal wol, tetangganya sendiri. Dia protes, aku benci pernikahan!, dan sebagai ganjarannya bapak memukulinya. Kemudian bapak menyerah. Dia memohon, Judith jangan sakiti hatiku, jangan buat aku malu soal pernikahan ini. Bapak akan memberi kamu kalung dan Jurnal Perempuan 48
135
• Cerita Perempuan • rok cantik, katanya; air matanya menggenang. Mana mungkin Judith tidak mematuhi bapaknya? Mana mungkin dia menyakiti hatinya? Bakatnyalah yang memberinya kekuatan. Dia membungkus barangbarangnya dalam sebuah buntelan kecil, melorot turun lewat tambang dari jendela kamarnya satu malam di musim panas, dan lari ke London. Umurnya belum juga tujuh belas. Suaranya tak kalah merdu dibanding burung-burung yang bernyanyi di gerumbul semak. Telinganya cepat menangkap, persis seperti abangnya, irama kata-kata. Seperti abangnya juga, dia senang teater. Dia berdiri tegak di pintu panggung; aku ingin jadi aktor, katanya. Laki-laki di situ tertawa di depan hidungnya. Si manajer – laki-laki gendut berbibir basah – terbahak. Dia berteriak sesuatu tentang anjing pudel menari dan perempuan main sandiwara – tak bakal ada perempuan, katanya, yang bisa jadi pemain sandiwara. Dia memberi nasehat – kalian bisa membayangkan apa. Tak ada yang mau melatih Judith. Tak ada yang mau melayaninya makan malam di bar, dan semua orang menggodanya waktu berjalan sendirian tengah malam. Tapi bakat Judith memang untuk fiksi, dia rakus mengamati laki-laki dan perempuan, mempelajari cara hidup mereka. Akhirnya – ingat, dia masih sangat muda, wajahnya mirip abangnya, Shakespeare si pujangga, mata abu-abu, dahi bulat – manajer tadi, Tuan Nick Greene, berbelas kasihan; Tuan itu menghamilinya dan karena itu – siapa yang bisa mengukur panas dan kebrutalan hati penyair yang terperangkap di tubuh perempuan? – Judith bunuh diri satu malam di musim dingin dan tubuhnya dikubur di persimpangan jalan dekat bar Elephant and Castle. Sekarang bis-bis berhenti di situ, tepat di atas kuburannya. Begitulah, kira-kira, ceritanya, menurutku, kalau seorang perempuan di jaman Shakespeare ternyata sama jeniusnya seperti dia. Tapi aku setuju dengan almarhum pendeta itu – tak bisa dibayangkan seorang perempuan di jaman Shakespeare bisa sejenius dia. Seorang jenius seperti Shakespeare tidak lahir di tengah-tengah buruh, jongos, orang-orang tak berpendidikan. Dia tidak lahir di Inggris di tengah-tengah bangsa Saxon atau Briton. Dia tidak lahir sekarang dari rahim kelas pekerja. Mana mungkin ia lahir di antara perempuan yang dipaksa bekerja, menurut Profesor Trevelyan, sejak mereka terlalu besar untuk tidur di ranjang bayi, oleh orang tuanya, kuasa hukum, dan adat? Tapi seorang jenius pasti ada juga di antara perempuan-perempuan itu, karena ia ada 136
Jurnal Perempuan 48
• Cerita Perempuan •
Kutipan ini d+iterjemahkan oleh Mikael Johani. Teks asli diambil dari A Room of One’s Own by Virginia Woolf, diubah menjadi HTML oleh Steve Thomas, eBooks@Adelaide, 2004, http://etext.library.adelaide.edu.au/w/woolf/virginia/w91r/index.html.
Jurnal Perempuan 48
www.royal-grafico.de
juga di antara para buruh. Sekali-sekali seorang Emily Brontë atau Robert Burns melesat keluar dan membuktikan ia ada. Hanya tak pernah sampai ke dalam halaman-halaman buku. Tapi, waktu kita membaca tentang nenek sihir, tentang perempuan dirasuki setan, tentang perempuan tua penjual tanaman obat, atau bahkan tentang ibu seorang laki-laki jagoan, aku pikir tokoh-tokoh itu pasti jejak samar seorang novelis (di)gagal(kan), seorang penyair (di)bisu(kan), Jane Austen gagu dan miskin, seorang lagi Emily Brontë yang menyeret otaknya di atas tanah lembap Yorkshire, terseok-seok di jalanan, gila tersiksa kutukan bakatnya. Ya, aku hampir pasti kalau Anon, yang menulis begitu banyak syair tanpa menandatanganinya, sebenarnya seorang perempuan. Perempuanlah, kata Edward Fitzgerald kalau tidak salah, yang menulis balada dan lagu-lagu daerah, menyanyikannya untuk anak-anak mereka, menyihir mereka sepanjang malam musim dingin.
137
• Rak Buku •
Quran Adil Bagi Perempuan? Judul
: Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan Judul Asli : Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective Penulis : Amina Wadud Penerjemah : Abdullah Ali Penyunting : Kurniawan Abdullah Penerbit : PT Serambi Ilmu Semesta Terbit : Cetakan 1, Jakarta, 2006 Tebal : 232 Halaman
I
nilah buku yang menganalisa konsep perempuan yang langsung digali dari Alquran. Amina Wadud mengatakan mengkaji soal gender dari sebuah naskah yang berumur 14 abad memang unik, terutama bila dilihat dari perspektif kaum feminis yang menghendaki pemutusan total dari masa lampau. Namun dalam pembelaannya terhadap Alquran, Amina Wadud mengatakan: bukan teks Alquran yang membatasi perempuan, melainkan penafsiran terhadap teks, yang dianggap lebih penting daripada Alquran itu sendiri, yang membatasinya. Bila dalam agama lain, kaum feminis masih harus memasukkan perempuan ke dalam wacana agar mereka mendapatkan legitimasi, maka dengan mema-
138
hami Alquran saja, perempuan muslim, yang tidak terbelenggu oleh penafsiran-penafsiran yang ekslusif dan mengekang, bisa mendapatkan kebebasan yang tak terbantahkan (hal. 13). Konsep perempuan yang tidak muncul dalam Alquran, menurut Amina Wadud disebabkan konsep berbau gender memang tidak muncul. Namun ihwal perempuan harus diukur dari perspektif Alquran sendiri, baik sebagai kekuatan sejarah, politik, bahasa, budaya, kecendekiawanan, dan spiritualitas, maupun sebagai kitab suci yang memberi petunjuk bagi seluruh umat manusia. Dengan mengkaji Alquran berikut prinsipprinsipnya tentang keadilan sosial dan kesederajatan manusia, serta Jurnal Perempuan 48
• Rak Buku • tujuannya untuk membimbing manusia, Amina Wadud ingin melontarkan beberapa pandangan baru tentang peran perempuan. Tafsir-tafsir yang dilakukan terhadap Alquran dikategorikannya ke dalam tiga kategori: tradisional, reaktif, holistik. Tafsir kategori pertama, semuanya ditulis dan berasal dari pemikiran laki-laki. Tafsir kategori kedua, yang telah menyinggung masalah perempuan, adalah reaksi para sarjana modern terhadap keterpasungan perempuan sebagai individu dan anggota masyarakat. Kategori ketiga diisi penafsiran yang mempertimbangkan ulang semua metode tafsir Alquran di bidang sosial, moral, ekonomi, dan politik modern, termasuk di dalamnya isu perempuan. Amina Wadud membuat wacana gender dan Islamnya dengan menganalisa tafsir-tafsir teks Alquran ini. Ada empat bab yang mengulas bagaimana persepsi tentang perempuan mempengaruhi tafsir Alquran: ihwal penciptaan manusia (pada mulanya laki-laki dan perempuan sederajat), pandangan Alquran tentang perempuan di dunia ini, penuturan Alquran tentang akhirat sebagai balasan yang adil, dan beberapa kontroversi tentang hak dan peran perempuan. Tujuan penelitian ini adalah Jurnal Perempuan 48
membahas beberapa aspek kesetaraan gender dalam Weltanschauung Alquran. Jika tujuan masyarakat Islam adalah memenuhi tujuan Alquran yang berkaitan dengan hak, tanggung jawab, potensi, dan kapasitas dari semua anggotanya yang sungguh-sungguh taat, maka mereka yang benar-benar mengimani Alquran tentu akan berharap agar perempuan mendapatkan kesempatan untuk berkembang dan produktif. Hal yang sama juga diharapkan dari dan untuk laki-laki. Dalam hal ini, laki-laki harusnya juga turut bertanggung jawab mengasuh anak dan merawat keluarga di samping mengurusi masalah-masalah materi. Keduanya, laki-laki dan perempuan, seyogyanya saling melengkapi dan menguntungkan satu sama lain, tidak saja dalam keluarga namun juga dalam masyarakat. Bukankah keluarga adalah ajang awal melatih potensi khilafah? Sebagaimana sabda Nabi, “Orang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” Amina Wadud percaya bahwa Alquran dapat beradaptasi dengan konteks perempuan modern semulus ia beradaptasi dengan komunitas muslim awal abad 14 abad silam (hal. 159). Melakukan penafsiran yang sempit terhadap Alquran sama dengan melakukan kezaliman. Tidak ada satu komu139
• Rak Buku • nitas yang serupa apalagi sama dengan komunitas yang lainnya. Tujuan Alquran sendiri adalah menjunjung prinsip penting bagi pengembangan manusia: keadilan, persamaan, keseimbangan, tanggungjawab moral, kesadaran spiritual, dan kemajuan umat manusia. Motivasi merupakan bagian terpenting dari penelitian yang dilakukan oleh Amina Wadud. Berangkat dari sikap menentang keras arogansi laki-laki yang menuntut martabat dan kehormatan yang tinggi untuk diri mereka sendiri namun menolak hal yang
sama diberikan bagi manusia lain (perempuan), maka sikap Amina Wadud memberikan landasan sah untuk menentang perlakuan tak adil yang secara historis telah dialami perempuan dan secara hukum terus menggejala dalam komunitas-komunitas muslim. “Kesetaraan moral dan keagamaan antara laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan merupakan ungkapan tertinggi dari nilai kesetaraan ...” (hal. 168). Membaca buku ini seperti melewati batas wacana gender dan Islam melalui jalan tol pemikiran yang begitu analitis. (Yoke Sri Astuti)
Berdiri Tegak Di Atas Puing-Puing Kehancuran Judul Penulis Penerbit Terbit Tebal
T
: Melewati Lembah Air Mata : Mundhi Sabda Hardiningtyas : Gradien Books : Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2006 : 200 Halaman
idak terbilang jumlah sinetron yang mendramatisir kekerasan terhadap perempuan di dalam 140
rumah tangga. Namun pemunculan novel ini patut diberi acungan jempol, karena keberanian penulis Jurnal Perempuan 48
• Rak Buku • mengungkap bagaimana hidup sebagai korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) selama 9 tahun pernikahannya. Jelas, novel ini patut dan harus dibaca oleh setiap perempuan, setidaknya kita dibawa dalam keseharian kehidupan rumah tangga dan konflik suami istri yang tidak dapat dihindari. Kisah nyata penulis mengundang banyak opini publik, mulai dari aktivis LSM dalam dan luar negeri, psikolog, hingga rohaniawan, dengan perspektif gender hingga teologi. Mbak Ning, demikian nama tokoh dalam novel ini, bekerja di beberapa LSM internasional di Jakarta. Ia begitu menikmati dan mensyukuri hidup ini dengan modal ia selalu berusaha bersikap cheerful, helpful dan friendly. Pernikahan bagi kebanyakan orang dianggap sebagai takdir Ilahi. Bagi kebanyakan perempuan saat ini, menikah adalah “the biggest decision” atau bisa juga “the best decision”. Bagi orang tua, pernikahan itu ibarat takdir, suratan nasib, dan sebaliknya bercerai adalah “dosa dan aib keluarga”. Adakah katakata yang lebih bijak daripada kata orang tua ini apabila perempuan itu dalam pernikahannya harus menjadi korban KDRT? Keberanian Mbak Ning mengungkap kisah rumah tangganya membuat rekan-rekan kerja dan Jurnal Perempuan 48
teman-temannya di dalam dan luar negeri terhenyak mengetahui dirinya benar-benar menjadi korban KDRT. Kekerasan fisik dan psikis sudah menjadi kejadian sehari-hari dalam kehidupan pernikahannya dengan Arjuna, sosok pemuda tampan yang menjadi suaminya. Arjuna yang pada awalnya memikat, selanjutnya berubah menjadi seorang psikopat. Mbak Ning masih berpikiran konvensional dan menjunjung tinggi janji perkawinan, “... sampai kematian memisahkan kita”. Sebagaimana kebanyakan istri, ia berupaya mempertahankan keutuhan rumah tangga. Ia mencoba sekuat tenaga berdamai dengan segala kekerasan yang mewarnai rumah tangganya. Saat ketegangan dalam rumah tangga telah mencapai puncaknya dan ia tidak dapat lagi mentolerir kekerasan yang dilakukan Arjuna – bahkan saat ia hamil anak kedua dan ketiga – ia mulai menghadiri konseling dengan LBH Apik. Ia ikuti saran untuk lari membawa ketiga anaknya ke kantor polisi, melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya. Namun ia kecewa dengan pelecehan verbal yang dilakukan polisi saat membuat berita acara. Semua memojokkan dirinya dan mengatakan harusnya ia menjadi istri yang lebih baik dan melayani suami dengan benar. Belum cukup sampai di sini, ia 141
• Rak Buku • menjadi begitu murka saat dirinya justru dihakimi dari berbagai penjuru: “Hai, saya ini korban yang sudah jatuh, tertimpa tangga dan tercebur comberan, kenapa kalian masih tega mencemooh dan mengutuk saya?” Sungguh tidak masuk akal, harusnya para rohaniawan menolong dirinya keluar dari kemelut, namun justru ia dicekal dari kegiatan rohani. Ia merasa para rohaniawan ikut bersorak-sorai atas keterpurukan dan dosa yang diperbuatnya, entah dosa yang mana? (hal. 108). Tuhan yang sangat ditakuti, dihujatnya sebagai bukan lagi Sang Pengasih, namun Tuhan yang suka mengutuk dan menghukum (hal. 115). Kompleksitas yang dialaminya berpengaruh secara psikologis terhadap dirinya dan anakanaknya. Kerapkali ia melampiaskan kemarahannya atas perlakuan Arjuna kepada Dika, anak pertama yang menjadi saksi KDRT yang dialaminya. Dika yang jiwanya terluka begitu dalam selalu mengharapkan kematian ayahnya. Personality disorder yang dialami Dika ditanggapi oleh psikolog hanya dapat dipulihkan dengan “kesembuhan Ilahi”. Mbak Ning terus berkonsultasi dengan pelbagai pihak, mulai dari konselor senior hingga rohaniawan, lewat berbagai cara mulai dari tatap muka, telepon, sampai e-mail. Ia 142
tidak mau terpuruk, walau ditinggalkan suami yang lari ke perempuan lain, hutang menumpuk sebesar 30 kali lipat dari gajinya, dan status perceraiannya tidak kunjung jelas. Ia bangkit dan menjadi lebih kuat karena ditopang oleh Tuhan yang kembali ditakutinya. Ia mulai menulis dan membagi kisah kehidupannya dengan bakat pemberian Tuhan. Dan buku pertamanya, “Tangan Yang Menenun” lahir, memberikan berkat yang melimpah. Semuanya diyakininya datang dari Tuhan. Menjadi single parent, sudah pasti ia harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan anak baik secara fisik, spiritual, moral, maupun material. Setidaknya ia berharap mereka dapat hidup layak. Saat Dika menggugat status ’ayah’nya, ia tersadar akan masa depan anakanaknya tanpa dirinya. Ia menjadi begitu takut mati saat membayangkan Arjuna menjadi ahli waris harta yang ditinggalkannya, uang asuransi, bahkan menjadi wali asuh ketiga anaknya. Ia harus bercerai, itu merupakan keputusan terbaik untuk menyelesaikan konflik rumah tangganya. Ia bersyukur keputusan ini didukung oleh rohaniawan pembimbingnya. Prinsip dasarnya adalah memberikan perlindungan hukum bagi ketiga anaknya. Kepada kedua anak laki-lakinya ditanamkan pemaJurnal Perempuan 48
• Rak Buku • haman bahwa laki-laki tidak berhak menghindar dari tanggung jawab dan bisa menikah berkalikali. Dan kepada anak perempuannya ditanamkan pemahaman bahwa pernikahan bukanlah neraka yang yang harus dihindari. Tapi, Mbak Ning sendiri, apakah ia tetap menganggap pernikahan sebagai neraka yang harus dihindari? Atau kembali mencari suami
yang kelak dapat memenuhi kriteria sempurna? Dalam kalimat akhir dari kisahnya ia menanggapi pertanyaan itu dengan berkata: “Kalau tidak ada laki-laki yang sanggup menjadi suamiku, so what gitu loh?” (hal. 197). Memang, seharusnya setiap perempuan dan istri harus berani untuk berkata, seperti Mbak Ning: tidak ada tempat untuk kekerasan. Titik! (Yoke Sri Astuti)
Memerkarakan Praktek Poligami Judul Buku Editor Penulis Penerbit Terbit Tebal
: Wacana Poligami di Indonesia : Rochayah Machali : Anita Rahman dkk. : Mizan : Oktober 2005 : xxx + 138 halaman
T
erwujudnya masyarakat berkeadilan gender di Indonesia tampaknya masih harus menempuh jalan terjal dan berliku. Sebab, selain dihadapkan pada pekatnya budaya dan pemahaman keagamaan arus utama yang patriarkis, upaya-upaya tak kenal letih dari para penyokong gerakan keadilan gender juga masih Jurnal Perempuan 48
dihambat secara politis oleh beragam aturan hukum yang jelas lebih banyak berpihak pada kepentingan kaum laki-laki. Tak mengherankan jika praktek-praktek kekerasan (terselubung maupun terang-terangan) atas kaum perempuan sebenarnya masih terus berlangsung. Sebagai salah satu bentuk 143
• Rak Buku • kekerasan atas perempuan, praktek poligami merupakan contoh paling gamblang sekaligus paling kontroversial yang bisa kita sebut. Karena selain sejatinya tak seorang perempuan pun mendambakan poligami, dalam kenyataannya hampir tak ada hal positif yang bisa lahir dari praktek poligami selain menyudutkan kaum perempuan dalam jelaga penderitaan. Tapi masih ada juga sebagian masyarakat yang menganggapnya sebagai kebajikan yang patut dirayakan. Penyelenggaraan “Polygamy Award” beberapa tahun lalu dan masih berlangsungnya poligami di sebagian pesantren, misalnya, menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia menganggap poligami itu lumrah, bahkan ideal. Walaupun, ada juga suara-suara lain yang menentangnya dengan keras. Pendirian Posko AntiPoligami yang dikomandani oleh Sinta Nuriyah Wahid di tengah perhelatan Muktamar NU beberapa waktu lalu merupakan contoh penolakan poligami yang menarik untuk dirujuk. *** Buku berjudul Wacana Poligami di Indonesia ini merupakan antologi tulisan yang mengkaji kontroversi wacana dan praktek poligami dari perspektif sosial, politik, ideologi, yuridis-normatif, hingga teologi. Dari keenam tulisan dalam buku ini, 144
dengan jelas kita bisa melihat sikap mendua dan saling bertentangan yang ditunjukkan umat Islam Indonesia dalam menilai poligami. Sikap yang muasalnya memang bukan saja berhulu pada ketidakseragaman pemahaman atas teksteks keagamaan tapi juga hadirnya acuan yuridis-normatif yang jelasjelas masih membuka celah bagi praktek poligami. Asas monogami memang mendasari isi Pasal 3 ayat (1), Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, tapi ternyata efeknya hanya sampai di situ saja. Bunyi ayat berikutnya (ayat 2) justru membuka peluang bagi praktek poligami. Secara eksplisit, Pasal 4 ayat (1) dan (2) membuka kesempatan bagi suami untuk mempraktekkan poligami ketika seorang istri dianggap tidak mampu menjalankan kewajibannya, memiliki cacat tubuh atau penyakit yang tak bisa disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan. Tepatlah ketika para aktivis perempuan menilai undangundang di atas sebagai sebuah produk hukum yang bersifat diskriminatif dan bias gender. Mengunggulkan posisi dan kepentingan kaum laki-laki di satu sisi, sekaligus meminggirkan kepentingan kaum perempuan di sisi lain. Tersirat dengan jelas dalam Undang-Undang Perkawinan Jurnal Perempuan 48
• Rak Buku • tersebut bahwa tugas utama seorang istri “tak lebih dari melayani” suami dan karena itu mau tak mau harus menerima poligami ketika memiliki salah satu kelemahan yang disebutkan di atas. Selain aspek yuridis-normatif seperti itu, sandaran teologis juga bisa (dan biasa) dijadikan basis argumen untuk melegalkan praktek poligami. Padahal, melalui pemahaman yang komprehensifkontekstual, tak sulit untuk menyimpulkan bahwa monogamilah sejatinya asas perkawinan yang diserukan ajaran Islam. Ingat misalnya kisah murkanya Nabi Muhammad ketika Ali ibn Abi Thalib berencana untuk berpoligami dan malah menyuruh Ali untuk menceraikan istrinya jika masih keukeuh untuk berpoligami. Maraknya praktek poligami juga kian dikokohkan oleh pelbagai mitos dan logika bias gender yang kerap dijadikan sebagai alat pembenar. Mitos pertama, misalnya, mengandaikan poligami sebagai solusi bagi pelakunya untuk menjauhi perselingkuhan atau zina. Logika dari mitos yang biasanya diteriakkan oleh para pelaku poligami ini secara jelas memposisikan istri semata-mata sebagai objek seksual dalam sebuah perkawinan. Ada juga mitos lain: jumlah penduduk perempuan Indonesia Jurnal Perempuan 48
yang konon jauh lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki. Padahal, mengacu sensus tahun 2000 saja, misalnya, jumlah perempuan ternyata (hanya) 51% dari seluruh penduduk Indonesia. Mitos-mitos ini bisa berkembang pesat di tengah masyarakat karena rendahnya tingkat pendidikan perempuan – akibat lain ketimpangan posisi antara laki-laki dan perempuan yang menghasilkan pendidikan diskriminatif dan bias gender. *** Alhasil, untuk mewujudkan masyarakat yang betul-betul mampu merayakan kesetaraan posisi antara perempuan dan laki-laki dalam segala aspek, kita masih menghadapi banyak pekerjaan rumah yang musti segera diselesaikan. Apa yang dilakukan beberapa negara seperti Yordania, Maroko, Turki, dan Pakistan, yang memiliki aturan hukum lebih tegas dalam membela kepentingan perempuan, tampaknya layak diteladani negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini. Semakin beradab sebuah masyarakat, semakin langka dijumpai praktek poligami. Hasil kajian cukup komprehensif perihal wacana dan praktek poligami di Indonesia, seperti dihidangkan sepanjang buku ini, barangkali bisa kita jadikan salah satu titik-tolak menuju ke situ. (Damanhuri) 145
• Rak Buku •
Kisah Pemberontakan Perempuan Cina Judul Buku Judul Asli Penulis Penerjemah Penerbit Terbit Tebal
S
: Snow Flower : Snow Flower and The Secret Fan : Lisa See : A. Rahartati Bambang Haryo : Qanita Mizan, Bandung : Cetakan I, Juni 2006 : x + 556 Halaman
ampai tingkat tertentu, sastra melukiskan kecenderungankecenderungan utama dalam masyarakatnya, baik karena sebuah teks dengan sadar atau tak sadar mengungkapkannya, maupun karena teks tersebut dengan sengaja atau tanpa sengaja menghindari atau mengelabuinya. Sebuah cerita bisa saja melukiskan situasi kejiwaan seorang individu, tetapi situasi kejiwaan tersebut dapat menjadi metafora untuk keadaan masyarakat tempat tokoh bersangkutan hidup. Novel Snow Flower karya Lisa See, pengarang kelahiran Prancis keturunan Cina ini, menyuguhkan cerita yang banyak mengungkap kepedihan kehidupan para tokohnya, namun bukan berarti 146
novel ini menjadi novel yang cengeng karena melalui para tokohnya pula, tercermin ketegaran dalam menghadapi penderitan, baik dari kungkungan tradisi maupun dari berbagai peristiwa pahit yang harus mereka lalui. Selain menyajikan cerita yang menyentuh dan plot yang enak diikuti, novel ini juga sarat dengan budaya Cina abad ke-19, khususnya mengenai kehidupan kaum perempuannya, yang ditampilkan melalui penggambaran tradisi pengikatan kaki, nu shu (rahasia kaum perempuan yang tidak boleh diketahui kaum lelaki), upacara perjodohan hingga pernikahan, serta kehidupan keseharian para perempuan Cina dalam menjalani siklus kehidupan mulai kecil hingga Jurnal Perempuan 48
• Rak Buku • masa tuanya. Salah satu hal yang paling menarik dalam novel ini adalah penggambaran mendetail tradisi pengikatan kaki. “Hanya melalui rasa sakit kaudapatkan kecantikan. Hanya melalui penderitaan kaudapatkan kedamaian”, demikian makna filosofis dari tradisi ini. Mungilnya kaki seorang perempuan kelak akan ditunjukkan sebagai bukti kepada calon mertua dan ipar tentang kekuatan dalam pengendalian diri, serta kemampuan untuk menahan penderitaan dalam persalinan. Di Cina masa lampau, kecantikan perempuan diukur dari bentuk kakinya. Seorang gadis dianggap cantik jika memiliki telapak kaki kecil dengan bentuk jari-jemari mengarah ke tumit menyerupai kuncup bunga teratai. Namun sayangnya, jalan untuk mendapatkan kaki mungil itu harus ditebus perempuan Cina dengan penderitaan yang luar biasa. Melalui novel ini, Lisa See seolah hendak menegaskan bahwa setiap kebudayaan di setiap masa memiliki definisi yang unik soal kecantikan perempuan. Definisi yang tak jarang justru menyiksa perempuan itu sendiri. Sikap dan pandangan hidup masyarakat Cina abad ke-19 terhadap kaum perempuan pun Jurnal Perempuan 48
tergambar dengan jelas dalam novel ini. Perempuan Cina hidup dalam kungkungan tradisi. Setelah menjalani pengikatan kaki, hidup mereka dihabiskan di ruang atas dan dapur yang terpisah dari kaum lelaki. Setelah menikah, mereka harus hidup melayani suami, mertua, hingga ipar-iparnya. Tugas terberat mereka adalah melahirkan anak laki-laki sebagai penerus keluarga suami. Jika tidak berhasil, mereka akan disisihkan dan dapat digantikan posisinya sewaktuwaktu. Hal tersebut terjadi karena dalam budaya Cina saat itu melahirkan anak laki-laki adalah fondasi bagi harga diri perempuan sekaligus mahkota kemuliaan baginya. Kisah dalam novel ini dimulai ketika seorang perempuan tua jatuh pingsan di sebuah stasiun daerah pedesaan Cina. Polisi menggeledah barang-barang miliknya dan menemukan selembar kertas berisi kode rahasia. Perempuan itu ditahan dan dicurigai sebagai mata-mata musuh. Tetapi, para cendekiawan yang mengurai tulisan itu mendapati bahwa kode tersebut adalah nu shu. Tulisan itu digunakan oleh para perempuan di derah terpencil di selatan Provinsi Hunan, dan diyakini berkembang seribu tahun yang lalu. Novel berdasar penelitian mendalam Lisa Lee ini ditulis dengan 147
• Rak Buku • gaya memoar seorang perempuan berusia 80 tahun yang bernama Lily, yang menceritakan pengalaman hidupnya bersama Bunga Salju (snow flower), laotong(kembaran sehati)-nya. Mereka berdua dipertemukan sebagai sepasang kembaran sehati oleh nasib dan tradisi. Persaudaraan laotong melibatkan dua orang gadis dari desa yang berbeda dan berlangsung seumur hidup. Kedua gadis tersebut harus dilahirkan pada hari, tanggal, bulan, dan tahun yang sama. Lily dan Bunga Salju memenuhi seluruh syarat sebagai laotong. Komunikasi Lily dan Bunga Salju sebagai sepasang laotong dikuriri sebuah kipas yang berisi tulisan nu shu. Kipas inilah yang kelak menjadi titik pijak persahabatan mereka. Perbedaan mereka terletak pada status sosial. Lily berasal dari keluarga petani sederhana, sementara Bunga Salju berasal dari keluarga terpandang dan terpelajar. Tetapi, perbedaan ini justru membuat mereka saling melengkapi. Lily memulai kisahnya pada 1828, ketika dia berusia 5 tahun dan tinggal di desa Puwei, di barat daya Cina. Kebebasan masa kecilnya tibatiba terampas ketika dia harus menjalani pengikatan kaki. Harus, karena perempuan Cina yang kakinya tidak diikat atau berkaki 148
lebar adalah perempuan ‘rendahan’ yang nantinya hanya pantas dijadikan pelayan atau ‘menantu kecil’ yang tak berharga. Ketika Bunga Salju dan Lily telah berusia 11 tahun dan kaki mereka telah membentuk bunga lili yang indah, mereka pun masingmasing dijodohkan. Lily dijodohkan dengan anak kepala desa Tongkou yang memiliki reputasi sebagai keluarga terpelajar sekaligus dihormati oleh masyarakatnya, sedangkan Bunga Salju dijodohkan dengan anak seorang tukang jagal. Sebuah perbedaan nasib. Novel ini menceritakan kisah pemberontakan perempuan Cina terhadap tradisi yang mengekang dan menomorduakan perempuan. Pemberontakan itu disalurkan dengan sebuah tulisan rahasia kaum hawa yang disebut nu shu. Dengan nu shu, perempuan Cina bisa berbagi cerita dengan temantemannya, termasuk mengungkapkan arti mencintai dan dicintai. Dan masih banyak lagi tradisitradisi dan kultur masyarakat Cina abad 19 yang terungkap dalam novel ini. Walau sarat dengan paparan budaya Cina yang eksotis, novel ini tidaklah membosankan. Secara piawai, Lisa See meramu unsur-unsur tersebut menjadi sebuah cerita yang anggun. (Nur Faizah) Jurnal Perempuan 48
• Rak Buku •
Portal berita perempuan pertama di Indonesia dengan corak jurnalisme yang sensitif gender, kami ingin menampilkan kesetaraan dalam aktualitas.
Ikuti: • Berita perempuan terkini • Profil tokoh perempuan • Artikel perempuan • Feature perempuan • Agenda-agenda YJP terbaru • Konselling • Produk-produk YJP • Program-Program YJP • dsb
Jurnal Perempuan 48
149
• Tips •
Apikasi Kebijakan Gender Budgeting sebagai Metodologi Feminis: Menghapus Bentuk-bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Melalui Alokasi Anggaran Pemerintah 1 Jurnal Perempuan edisi 46 yang mengangkat tema “Sudahkah Anggaran Kita Sensitif Gender?” telah banyak membahas bagaimana anggaran yang berkeadilan gender (gender budgeting) bisa menjadi sebuah alat analisa dan praktek yang cukup efektif menjawab persoalan diskriminasi terhadap perempuan. Dalam edisi tersebut telah dibahas pula bagaimana untuk banyak negara gender budgeting terbukti bisa menjadi resep manjur untuk menurunkan angka kematian ibu melahirkan, tingkat kekerasan domestik, memerangi kebodohan perempuan dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Gender budgeting adalah salah satu metodologi feminis dalam hal kebijakan anggaran yang diterapkan agar pemerintah di sebuah negara berkonsentrasi membantu kelompok yang kekurangan (kelompok perempuan) dan menyediakan tempat untuk mereka. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban untuk memprioritaskan pelayanan terbaik untuk kebutuhan dan keuntungan masyarakat. Dan kita tahu, diskriminasi terhadap perempuan sering menjadi kendala utama dalam mencapai hal ini. Oleh karena itu, UNIFEM (United Nations Development Fund for Women) melalui IWRAW (The International Women’s Rights Action Watch) – sebuah organisasi internasional yang memperjuangkan hak-hak asasi perempuan melalui CEDAW (lihat bawah) dan instrumen hak asasi manusia internasional lainnya – membuat sebuah panduan tentang budget checklist untuk pasal-pasal dalam Konvensi CEDAW atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan untuk memudahkan aplikasi kebijakan ini. IWRAW dan the Commonwealth Secretariat (1996) berhasil menciptakan sebuah panduan atau metodologi yang sangat berguna bagi Anda, terutama bagi Anda di lembaga pemerintah, LSM, Pusat Studi Wanita, dan organisasi perempuan untuk membuat dan menilai laporanlaporan ke CEDAW. Panduan ini memuat banyak sekali pertanyaan 150
Jurnal Perempuan 48
• Tips • tentang undang-undang, kebijakan dan program. Meski tidak terlalu banyak membicarakan anggaran, panduan ini memberikan contoh beberapa pertanyaan tentang anggaran yang bisa digunakan untuk mengukur keadilan gendernya. Panduan dari IWRAW/Commonwealth Secretariat ini menjadi salah satu bahan masukan penting bagi pemerintah, LSM, dan organisasi perempuan jika mereka ingin meneliti aspek-aspek anggaran CEDAW. Berikut adalah tabel panduan pertanyaan-pertanyaan anggaran sekaligus indikator yang dihasilkan untuk mengaplikasikan beberapa pasal-pasal dalam CEDAW sebagai sebuah metodologi agar anggaran memiliki respon terhadap kepentingan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
Pasal 1: Batasan diskriminasi terhadap perempuan Untuk keperluan Konvensi CEDAW istilah diskriminasi terhadap perempuan adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, atau pembatasan yang diberlakukan atas dasar jenis kelamin yang bertujuan mengurangi atau menghapuskan pengakuan atas, penikmatan, atau pelaksanaan oleh perempuan tanpa mempertimbangkan status perkawinan mereka atau atas dasar asas kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, hak asasi, dan kebebasan atau kemerdekaan mereka dalam sektor politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan lain-lain No. Beberapa Pertanyaan Tentang Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Adakah undang-undang anti diskriminasi? Jika ada, berapa besar dana yang diberikan untuk melaksanakannya? Misalnya, adakah uang yang dialokasikan untuk ombudsperson kepada siapa seseorang dapat mendaftarkan tuntutan diskriminasi? 2. Adakah dana untuk badan-badan lain, misalnya komisi perempuan, yang mendorong hak-hak perempuan?
Berapa banyak kasus diskriminasi yang diajukan kepada ombudsperson dan berapa banyak keluhan yang muncul dari kaum perempuan dan berapa dari laki-laki?
Berapa jumlah perempuan dan laki-laki yang menerima bantuan hukum untuk membawa kasus diskriminasi ke muka pengadilan? Berapa jumlah rata-rata bantuan yang diterima perempuan dan laki-laki tersebut dalam hal ini? 3. Adakah dana bantuan hukum unApa yang “diberikan” oleh komisi gender tuk membantu orang membawa ka- atau badan sejenis? Misalnya, berapa sus diskriminasi ke muka pengadilan? banyak proyek penelitian yang mereka
Jurnal Perempuan 48
151
• Tips • danai? Berapa banyak kasus yang mereka bawa ke mahkamah konstitusi atau pengadilan lain? Berapa banyak lokakarya peningkatan kesadaran yang mereka adakan, dan berapa banyak perempuan dan laki-laki yang hadir dalam lokakarya tersebut?
Pasal 2: Kewajiban untuk menghapus diskriminasi Negara mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam semua bentuk dan setuju untuk, dengan segala cara dan sesegera mungkin, mengusahakan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, dan, dalam hal ini, menyatakan bahwa negara: a) Akan mengakui asas kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam undang-undang atau peraturan negara dan melaksanakan asas-asas tersebut; b) Membuat kebijakan atau melaksanakan tindakan yang sesuai, termasuk sangsi jika perlu, yang melarang semua diskriminasi terhadap perempuan; c) Menerapkan perlindungan hukum atas hak-hak perempuan sesuai asas kesetaraan antara perempuan dan laki-laki serta memastikan lewat unsur peradilan nasional atau badan publik dilaksanakannya perlindungan bagi perempuan terhadap tindak diskriminasi; d) Menarik diri dari segala tindakan atau praktek-praktek diskriminasi terhadap perempuan dan memastikan badan serta lembaga berwenang publik bertindak sesuai dengan ketentuan ini; e) Melaksanakan semua tindakan yang perlu untuk menghapus praktek diskriminasi terhadap perempuan oleh siapapun, organisasi atau perusahaan manapun; f) Melaksanakan semua tindakan yang perlu termasuk membuat kebijakan untuk menghapus peraturan, undang-undang, ketentuan, kebiasaan, dan praktek-praktek lama yang mendiskriminasi perempuan; g) Menghapus semua ketentuan pidana yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan. No. Beberapa Pertanyaan Tentang Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Berapa besar dana yang telah dialo- Berapa banyak (perempuan dan lakikasikan untuk melatih personil polisi, laki) anggota kepolisian, personil pepengadilan, penjara, dan kesehatan ngadilan, personil penjara, dan personil zuntuk menangani kasus kekerasan kesehatan yang menerima pelatihan berbasis gender? penanganan kekerasan berbasis gender? 2. Apakah kementerian mengalokasikan Berapa banyak korban/korban selamat dana untuk memberi nasehat atau kekerasan berbasis gender yang menebimbingan kepada korban kekerasan? rima layanan nasehat dan bimbingan dari badan pemerintah?
152
Jurnal Perempuan 48
• Tips • 3. Apakah kementerian menyediakan bantuan keuangan kepada NGO yang menawarkan layanan kepada korban dan perempuan yang berhasil selamat dari kekerasan berbasis gender? 4. 5.
Berapa jumlah LSM yang memberikan layanan bagi korban kekerasan berbasis gender yang menerima bantuan finansial dari pemerintah? Berapa rata-rata jumlah yang diterima di kawasan pedesaan dan perkotaan? Berapa jumlah orang dibantu oleh LSM pedesaan dan perkotaan yang menerima bantuan finansial dari pemerintah?
Pasal 3: Pengembangan dan pemajuan perempuan Negara wajib mengambil, dalam semua bidang khususnya bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, semua tindakan yang perlu, termasuk membuat peraturan, untuk menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan secara penuh, yang tujuannya adalah menjamin pelaksanaan dan penikmatan hak asasi dan hak dasar mereka sesuai asas kesetaraan dengan laki-laki. No. Beberapa Pertanyaan Tentang Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Berapa besar dana yang telah dialokasikan pemerintah pada programprogram untuk mengurangi beban kerja tanpa bayaran perempuan – misalnya penyediaan tenaga listrik dan air bersih di dekat tempat tinggal, penyediaan tempat perawatan dan penitipan anak setelah sekolah, subsidi kepada LSM yang memberikan layanan kepada anak-anak? 2.
Berapa jumlah rumah tangga yang memperoleh listrik dan air bersih untuk pertama kalinya dalam tahun anggaran tersebut?
3
Berapa jumlah anak yang mendatangi tempat perawatan dan penitipan anak sesuai sekolah? Berapa jumlah LSM (di desa dan kota) yang menerima bantuan penyediaan perawatan dan penitipan anak usai sekolah?
Pasal 4: Percepatan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan 1. Semua tindakan sementara oleh negara yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tidak akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap Konvensi CEDAW akan tetapi dalam segala hal semua tindakan sementara yang menyebabkan tetap bertahannya ketimpangan atau ketidaksejajaran tersebut harus dihentikan setelah tujuan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan telah dicapai.
Jurnal Perempuan 48
153
• Tips • 2. Pelaksanakan tindakan khusus oleh negara, termasuk tindakan yang direkomendasikan Konvensi CEDAW untuk melindungi kehamilan, tidak akan dianggap diskriminatif. No. Beberapa Pertanyaan Tentang Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Sudahkah pemerintah mengalokasikan anggaran bantuan khusus perempuan, misalnya dana khusus bagi perempuan untuk menikmati pendidikan lanjutan, atau mengambil jurusan teknis? 2. Sudahkah pemerintah mengalokasikan skema kredit khusus bagi perempuan?
Berapa jumlah perempuan yang tertolong oleh dana khusus? Berapa jumlah rata-rata dana khusus tersebut? Berapa jumlah perempuan dengan dana khusus terdaftar dalam bidang kajian yang berlainan? Berapa jumlah perempuan pedesaan dan perkotaan yang menerima kredit dari skema kredit khusus? Berapa jumlah rata-rata pinjaman tersebut?
Pasal 5: Peran jenis kelamin dan pelabelan negatif Negara wajib mengambil semua tindakan yang perlu untuk: a) mengubah pola sosial dan budaya yang mengatur tindak-tanduk perempuan, guna menghapuskan kebiasaan yang penuh prasangka serta praktek-praktek lain yang dilandasi gagasan tentang inferioritas salah satu jenis kelamin dan stigma peran perempuan; b) memastikan pendidikan keluarga mencakup pemahaman yang memadai bahwa melahirkan adalah sebuah fungsi sosial dan pengakuan atas kesamaan tanggungjawab antara perempuan dan lakilaki dalam membesarkan dan mendidik anak-anak mereka, dengan memahami bahwa kepentingan anak adalah yang paling utama mengalahkan semua pertimbangan lain. No. Beberapa Pertanyaan Tentang Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah buku bacaan yang dikaji kan dana untuk meninjau kurikulum untuk memastikan buku-buku tersebut sekolah, untuk memastikan kuriku- tidak mendorong gagasan yang bersifat lum tersebut tidak bias gender? seksis? 2. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah guru (perempuan dan kan dana untuk melatih para guru laki-laki) yang menerima pelatihan agar peka gender dalam cara mereka kepekaan gender? mengajar dan memperlakukan murid perempuan dan laki-laki? 3. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah anak perempuan yang kan dana untuk mendorong anak telah menerima insentif untuk perempuan untuk mengambil jumengambil jurusan non-tradisional? rusan non-tradisional?
154
Jurnal Perempuan 48
• Tips • 4. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah pegawai negeri laki-laki kan dana cuti melahirkan bagi pega- yang telah mengambil cuti melahirkan wai negeri untuk mendorong laki- tanpa dan dengan bayaran? laki memainkan peran sebagai perawat dan membesarkan anak-anak?
Pasal 6: Tekanan terhadap eksploitasi perempuan Negara wajib mengambil semua tindakan yang perlu termasuk membuat undang-undang untuk menekan semua bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi perempuan dalam pelacuran. No. Beberapa Pertanyaan Tentang Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1 Berapa besar dana yang telah dialokasikan pemerintah untuk mengawasi, mengadili, dan menghukum praktek perdagangan perempuan dan anak perempuan? 2 Berapa besar dana yang telah dialokasikan pemerintah untuk mengawasi, mengadili, dan menghukum perempuan yang terlibat dalam usaha seks komersial? 3 Berapa besar dana yang telah dialokasikan pemerintah untuk mengawasi, mengadili, dan menghukum germo dan pihak lain yang meraup keuntungan dari usaha seks komersial? 4 Berapa besar dana yang telah dialokasikan pemerintah untuk badan pemberi kerja yang membantu perempuan mencari jenis pekerjaan lain? 5 Berapa besar dana yang telah dialokasikan pemerintah untuk pelatihanpelatihan, yang membantu perempuan memperoleh ketrampilan untuk melakukan pekerjaan lainnya?
Berapa jumlah pelaku perdagangan manusia dan pelanggan yang dituntut, dinyatakan bersalah dan dihukum?
Berapa jumlah pekerja seks komersial yang telah dituntut, dinyatakan bersalah dan dihukum?
Berapa jumlah perempuan yang hampir terpaksa melakukan usaha seks komersial dibantu badan pemberi kerja pemerintah mendapatkan jenis pekerjaan lain? Berapa jumlah perempuan yang hampir terpaksa melakukan usaha seks komersial menerima pelatihan untuk perkerjaan lain lewat programprogram pemerintah?
Pasal 7: Kehidupan politik dan publik Negara wajib mengambil semua tindakan yang perlu untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan publik di wilayah negara dan secara khusus menjamin hak yang sama bagi perempuan, sesuai prinsip kesetaraan dengan laki-laki, untuk: a) memberikan suara dalam semua pemilihan umum dan referendum dan
Jurnal Perempuan 48
155
• Tips • untuk dipilih dalam semua badan hasil pemilihan umum; b) ikut serta dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya dan menjabat jabatan publik serta melaksanakan fungsi publik pada semua jenjang pemerintahan; c) bergabung dengan LSM dan organisasi yang mengurusi kehidupan publik dan politik negara. No. Beberapa Pertanyaan Tentang Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Berapa jumlah dana yang dialokasi- Berapa jumlah perempuan dan laki-laki kan pemerintah untuk pendidikan yang melaksanakan berbagai bentuk pemilih lewat beragam jenis media, program pemerintah untuk mendidik dan ditujukan untuk beragam jenis pemilih? pembaca/penonton/pendengar? 2. Berapa jumlah dana yang dialokasi- Berapa proporsi keanggotaan kan pemerintah untuk merawat perempuan dan laki-laki pada parlemen anak-anak anggota parlemen atau atau legislatif yang memanfaatkan dana legislatif? perawatan yang dibiayai pemerintah? 3. Berapa jumlah dana yang dialokasi- Berapa jumlah perempuan yang kan pemerintah untuk pelatihan khu- dibantu lewat pelatihan khusus dan sus dan tindakan-tindakan lain untuk tindakan lain untuk membantu mereka memastikan perempuan menduduki meraih jabatan publik yang lebih jabatan publik yang lebih tinggi? tinggi? 4. Berapa jumlah alokasi dana gaji ma- Berapa jumlah perempuan dan laki-laki sing-masing anggota legislatif atau yang menjadi anggota parlemen, masing-masing anggota komisi legislatif, atau anggota komisi kemasyarakatan? kemasyarakatan (dan memperoleh gaji dan tunjangan)?
Pasal 8: Perwakilan dan partisipasi internasional Negara wajib mengambil semua tindakan yang perlu untuk menjamin atas dasar syarat dan ketentuan yang sama dengan laki-laki dan tanpa diskriminasi, kesempatan untuk mewakili pemerintah mereka di kancah internasional dan ikut serta dalam proyek badan internasional. No. Beberapa Pertanyaan Tentang Anggaran 1. Sudahkah pemerintah mengalokasikan anggaran pelatihan khusus bagi perempuan untuk memperoleh keterampilan mewakili negara mereka secara internasional? 2. Berapa dana yang telah dialokasikan oleh pemerintah untuk membantu wakil internasionalnya dalam pengeluaran keluarga?
156
Beberapa Indikator Hasil Akhir Berapa jumlah perempuan dan laki-laki yang mewakili negara mereka di kancah internasional pada tingkatan, dan tingkat upah, yang berbeda-beda?
Jurnal Perempuan 48
• Tips • Pasal 9: Kewarganegaraan 1. Negara memberi perempuan hak yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraan mereka. Negara wajib menjamin bahwa perkawinan dengan orang asing atau perubahan kewarganegaraan suami selama perkawinan tidak dengan sendirinya mengubah kewarganegaraan isteri, atau menganggapnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau memaksanya memiliki kewarganegaraan yang sama dengan suami. 2. Negara memberi perempuan hak yang sama dengan laki-laki menyangkut kewarganegaraan anak-anak mereka. No. Beberapa Pertanyaan Tentang Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Sudahkah pemerintah mengalokasikan anggaran untuk memberitahu perempuan dan laki-laki hak-hak kewarganegaraan mereka, pasangan mereka, dan anak-anak mereka? 2. Sudahkah pemerintah mengalokasikan anggaran untuk melatih pejabat pemerintah sehingga mereka tidak melakukan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki ketika mengurus permohonan kewarganegaraan mereka?
Berapa jumlah perempuan dan laki-laki memohon agar kewarganegaraan pasangan dan anak mereka diubah? Berapa dari permohonan ini yang diterima? Berapa jumlah pejabat pemerintah yang menerima pelatihan tentang cara mengurus permohonan kewarganegaraan tanpa diskriminasi?
Pasal 10: Pendidikan Negara wajib melaksanakan semua tindakan yang perlu untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan, untuk menjamin kesamaan hak mereka dengan laki-laki di bidang pendidikan dan khususnya, atas dasar asas kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, untuk memastikan: a) Syarat yang sama untuk panduan karir dan kejuruan, akses kepada pendidikan, dan perolehan ijasah dari lembaga pendidikan di semua kategori di desa ataupun di kota; kesetaraan ini harus dijamin dalam pendidikan pra-sekolah, teknik umum, keahlian, perguruan tinggi teknik, dan semua jenis pendidikan kejuruan; b) Akses ke kurikulum yang sama, ujian yang sama, staf pengajar dengan kualifikasi yang sama, dan lokasi serta perlengkapan sekolah dengan standar kualitas yang sama; c) Penghapusan segala bentuk stigma konsep peranan wanita pada semua jenjang dan semua bentuk pendidikan dengan mendorong proses belajar bersama dan bentuk pendidikan lain yang akan membantu mencapai tujuan ini dan khususnya revisi buku acuan dan programprogram lain serta penyesuaian metode pengajaran; d) Kesempatan yang sama untuk memperoleh manfaat bea siswa dan hibah sejenis;
Jurnal Perempuan 48
157
• Tips • e) Kesempatan yang sama untuk mengakses program untuk melanjutkan pendidikan, termasuk program pemberantasan buta huruf orang dewasa dan masyarakat khususnya yang ditujukan untuk memperkecil kesenjangan pendidikan sedini mungkin antara laki-laki dan perempuan; f) Penurunan angka perempuan putus sekolah dan membuat program untuk anak perempuan atau perempuan putus sekolah; g) Kesempatan yang sama untuk ikut serta secara aktif pada olah raga dan pendidikan jasmani; h) Akses ke informasi pendidikan khusus untuk memastikan kesehatan dan kesejahteraan keluarga, termasuk informasi dan saran tentang perencanaan keluarga. No. Beberapa Pertanyaan Tentang Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Berapa besar dana yang dialokasikan Berapa jumlah mahasiswa perempuan pemerintah untuk masing-masing dan laki-laki yang diterima untuk jenjang pendidikan dan pelatihan masing-masing jenjang pendidikan dan dan masing-masing jenis lembaga? masing-masing jenis lembaga? Berapa yang dialokasikan untuk setiap mahasiswa pada masing-masing jenjang pendidikan dan pada masingmasing jenis lembaga? 2. Berapa besar dana yang dialokasikan Berapa jumlah mahasiswa perempuan pemerintah sebagai anggaran khusus dan laki-laki yang menerima dana dan kredit untuk bidang studi yang khusus dan pinjaman untuk bidang berbeda pada jenjang yang berbeda? studi yang berbeda dan pada tiap jenis lembaga? Berapakah jumlah rata-rata untuk mahasiswa perempuan dan untuk mahasiswa laki-laki dalam hal ini? 3. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah mahasiswi dan kan dana untuk menampung maha- mahasiswa yang diberi penampungan siswa pada jenjang yang berbeda? gratis pada jenjang yang berbeda? 4. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah mahasiswi dan kan dana untuk prasarana olahraga mahasiswa yang ikut serta dalam yang berbeda? cabang olahraga yang berbeda?
Pasal 11: Lapangan Kerja 1. Negara wajib melaksanakan semua tindakan yang perlu untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang lapangan kerja untuk menjamin, berdasar asas kesetaraan perempuan dan laki-laki, persamaan hak-hak khususnya: a. Hak untuk bekerja sebagai hak asasi manusia yang paling hakiki; b. Hak untuk memperoleh kesempatan bekerja yang sama, termasuk penetapan kriteria yang sama dalam seleksi suatu pekerjaan;
158
Jurnal Perempuan 48
• Tips • c. Hak untuk memilih profesi dan pekerjaan, hak kenaikan jabatan, jaminan kerja dan semua manfaat serta ketentuan pelayanan dan hak untuk memperoleh pelatihan khusus dan pelatihan kembali, termasuk magang, pelatihan khusus tingkat mahir dan pelatihan pemutakhiran; d. Hak atas imbalan yang sama, termasuk manfaat dan perlakuan yang sama untuk pekerjaan dengan nilai yang sama juga kesetaraan perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan; e. Hak atas jaminan sosial khususnya menyangkut pensiun, pemutusan hubungan kerja, sakit, cacat, hari tua, dan ketidakmampuan lainnya;f. Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan di tempat kerja, termasuk perlindungan fungsi reproduksi. 2. Untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan atas dasar perkawinan atau peristiwa melahirkan dan untuk menjamin efektifitas hak untuk bekerja, negara wajib mengambil tindakan yang perlu: a. Untuk melarang, dengan ancaman sangsi, pemecatan karena alasan kehamilan atau melahirkan dan diskriminasi pemecatan karena alasan status perkawinan; b. Untuk memperkenalkan cuti melahirkan dengan bayaran atau tunjangan sosial sejenis, tanpa kehilangan pekerjaan, tunjangan senioritas atau sosial; c. Untuk mendorong disediakannya layanan bantuan sosial yang diperlukan sehingga orangtua dapat menggabungkan kewajiban keluarga dan tanggungjawab pekerjaan dan partisipasi dalam kehidupan publik, khususnya dengan mempromosikan pembangunan dan pengembangan jaringan fasilitas penitipan anak; d. Untuk memberikan perlindungan khusus bagi perempuan selama kehamilan untuk jenis-jenis pekerjaan yang terbukti membahayakan mereka. 3. Undang-undang perlindungan untuk hal-hal yang dicakup oleh pasal ini wajib ditinjau secara periodik secara ilmiah dan teknis dan direvisi, dibatalkan atau diperpanjang jika perlu. No. Beberapa Pertanyaan Tentang Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Sudahkah pemerintah mengalokasikan dana asuransi pengangguran atau bentuk jaminan sosial lainnya? Khususnya, sudahkah pemerintah mengalokasikan dana jaminan sosial untuk kehamilan dan melahirkan? 2. Sudahkah pemerintah mengalokasikan atau memberi subsidi perawatan di tempat kerja?
Berapa jumlah perempuan dan laki-laki yang memperoleh manfaat dari masingmasing jenis jaminan sosial yang didanai pemerintah tersebut? Berapa rata-rata jumlah yang diterima?
Berapa jumlah perempuan dan laki-laki yang memanfaatkan dana perawatan subsidi pemerintah di tempat kerja bagi anak-anak mereka? 3. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah perempuan dan laki-laki kan dana bagi lembaga/komisi yang yang dipekerjakan pada sektor-sektor
Jurnal Perempuan 48
159
• Tips • meninjau dan membuat rekomendasi tentang upah dan kondisi kerja? Jika ya, apakah lembaga/komisi ini mencakup pembantu rumah tangga atau pekerja informal lainnya? 4. Sudahkah pemerintah mengalokasikan dana bagi suatu lembaga atau ombudsperson kepada siapa orang mendaftarkan sengketa atau keluhan terkait pekerjaan? Sudahkah pemerintah mengalokasikan dana untuk cuti melahirkan dengan bayaran penuh, cuti merawat bayi, atau bantuan finansial lainnya kepada pegawai negeri perempuan yang memikul tugas melahirkan dan membesarkan anak? 5.
6.
yang dikaji oleh lembaga/komisi yang mengurusi masalah gaji dan kondisi kerja?
Berapa jumlah perempuan, laki-laki, dan anak-anak yang menerima layanan kesehatan gratis dan berapa yang harus membayar jasa tersebut? Berapa jumlah pekerja kesehatan desa dan masyarakat yang dipekerjakan pemerintah?
Berapa jumlah perempuan dan bayi mereka yang menerima perawatan anti-retroviral untuk mencegah penularan penyakit dari orangtua/ibu kepada anak? Berapa jumlah perempuan dan laki-laki lain yang menerima dukungan antiretroviral yang didanai pemerintah?
Pasal 13: Manfaat sosial dan ekonomi Negara wajib melaksanakan semua tindakan yang perlu untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan pada wilayah kehidupan ekonomi dan sosial lainnya untuk menjamin, atas dasar kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, kesamaan hak, khususnya: a) Hak atas tunjangan keluarga; b) Hak atas kredit perbankan, hipotek, dan bentuk-bentuk bantuan finansial lainnya; c) Hak ikut serta dalam aktifitas rekreatif, olah raga dan semua aspek kehidupan berbudaya. No. Beberapa Pertanyaan Tentang Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah perempuan dan laki-laki kan dana subsidi perumahan dan penerima subsidi perumahan dan tanah? tanah? Berapa besarnya rata-rata untuk perempuan dan laki-laki? 2. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah perempuan dan laki-laki kan dana penyediaan pinjaman atau penerima pinjaman dan kredit dari kredit kepada warganya? anggaran pemerintah? Berapa besarnya
160
Jurnal Perempuan 48
• Tips • rata-rata untuk perempuan dan lakilaki? 3. Sudahkah pemerintah memberi ke- Berapa jumlah pasangan, ibu tunggal, ringanan pajak kepada orang-orang dan ayah tunggal penerima keringanan yang memiliki anak? pajak untuk anak-anak mereka? 4. Apakah orang yang telah menikah Berapakah proporsi perempuan dan dan tidak menikah diperlakukan ber- laki-laki yang berpartisipasi dalam beda dalam hal pajak? aktifitas olahraga nasional? 5. Berapa besar proporsi belanja pemerintah untuk olahraga yang umumnya dimainkan atau dinikmati lakilaki dibandingkan perempuan?
Pasal 13: Bantuan khusus untuk perempuan pedesaan 1. Negara wajib mempertimbangkan permasalahan khusus yang dihadapi perempuan di pedesaan dan peranan penting yang dimainkan perempuan pedesaan bagi kelangsungan ekonomi keluarga mereka, termasuk pekerjaan mereka pada sektor informal, dan wajib melaksanakan semua tindakan yang perlu untuk memastikan diterapkannya ketentuan Konvensi CEDAW bagi semua perempuan di kawasan pedesaan. 2. Negara wajib melaksanakan semua tindakan yang perlu untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di pedesaan untuk menjamin, atas dasar kesetaraan perempuan dan laki-laki, mereka ikut serta dan memperoleh manfaat dari pembangunan desa dan secara khusus memastikan hak-hak perempuan tersebut untuk: a. Ikut serta dalam pengembangan dan pelaksanaan perencanaan pembangunan pada semua tingkatan; b. Memperoleh akses ke fasilitas kesehatan yang memadai, termasuk informasi, bimbingan, dan layanan perencanaan keluarga; c. Memperoleh manfaat langsung dari program jaminan sosial; d. Memperoleh semua jenis pelatihan dan pendidikan, formal dan informal, termasuk pelatihan dan pendidikan tentang melek huruf dalam masyarakat, di antaranya, manfaat semua perluasan layanan masyarakat untuk meningkatkan kelancaran teknis mereka; e. Mengatur kelompok bantuan mandiri dan koperasi untuk memperoleh akses yang sama terhadap kesempatan ekonomi lewat pemberian kerja atau wiraswasta; f. Ikut serta dalam semua aktivitas masyarakat; g. Mempunyai akses kepada kredit dan pinjaman pertanian, fasilitas pemasaran dan teknologi yang tepat serta perlakuan yang sama dalam reformasi tanah dan agraria termasuk skema perolehan tanah; h. Menikmati kondisi hidup yang mencukupi, khususnya dalam hal papan, sanitasi, listrik dan air bersih, sarana transportasi, dan komunikasi.
Jurnal Perempuan 48
161
• Tips • No. Beberapa Pertanyaan Tentang Anggaran
Beberpa Indikator Hasil Akhir
1. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah perempuan dan laki-laki kan dana kredit dan pinjaman permemperoleh manfaat dari kredit dan tanian? pinjaman pertanian subsidi pemerintah? Berapa besaran rata-rata untuk perempuan dan laki-laki? 2. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah perempuan dan laki-laki kan dana layanan pengembangan penerima layanan pengembangan pertanian? pertanian dari pemerintah? 3. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah perempuan dan laki-laki kan dana untuk membantu petani penerima bantuan teknologi dari pedesaan dengan teknologi? pemerintah? 4. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah perempuan dan laki-laki kan dana untuk membantu petani penerima bantuan pemasaran dari pedesaan dengan pemasaran? pemerintah?
Pasal 15: Kesetaraan di muka hukum dan semua perkara hukum 1. Negara wajib memperlakukan perempuan sama dengan laki-laki di muka hukum; 2. Negara wajib memberikan kepada perempuan dalam semua perkara hukum, kapasitas hukum yang sama dengan laki-laki serta kesempatan yang sama untuk melaksanakannya. Negara secara khusus wajib memberi perempuan hak yang sama untuk membuat perjanjian dan mengurus harta benda dan memperlakukan mereka secara sama dalam semua tahap acara di muka pengadilan atau mahkamah; 3. Negara setuju bahwa semua kontrak dan dokumen pribadi apapun bentuknya yang mempunyai kekuatan hukum yang ditujukan untuk membatasi kapasitas hukum perempuan akan dianggap tidak berlaku dan tidak sah; 4. Negara memberikan hak yang sama kepada laki-laki dan perempuan dalam hal hukum yang menyangkut kepindahan seseorang dan pilihan tempat tinggal serta domisili mereka. No. Beberapa Pertanyaan Tentang Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Sudahkah pemerintah mengalokasikan dana untuk membantu perempuan dan laki-laki membiayai perceraian?
Berapa jumlah perempuan dan laki-laki penerima bantuan finansial dari pemerintah untuk menutup biaya perceraian?
Pasal 16: Kesetaraan di dalam perkawinan dan undang-undang keluarga 1. Negara wajib melaksanakan semua tindakan yang perlu untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua hal yang
162
Jurnal Perempuan 48
• Tips • menyangkut perkawinan dan hubungan keluarga serta, khususnya, menjamin, atas dasar kesetaraan perempuan dan laki-laki: a. Hak yang sama untuk memasuki suatu perkawinan; b. Hak yang sama untuk secara bebas memilih pasangan dan masuk ke dalam perkawinan hanya atas kemauan bebas dan penuh mereka sendiri; c. Hak dan tanggungjawab yang sama dalam suatu perkawinan dan setelah suatu perkawinan berakhir; d. Hak dan tanggungjawab yang sama sebagai orangtua tanpa mempertimbangkan status perkawinan mereka dalam hal-hal yang berhubungan dengan anak-anak; dalam segal hal kepentingan anak wajib dinomorsatukan; e. Hak yang sama untuk secara bebas dan bertanggungjawab memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak mereka dan untuk memperoleh akses kepada informasi, pendidikan, dan sarana-sarana untuk membantu mereka melaksanakan hak-hak tersebut; f. Hak dan tanggungjawab yang sama terkait perwalian, pengawasan, pembimbingan serta pengangkatan anak atau lembaga sejenis lain di mana konsep-konsep ini diakui undang-undang negara tersebut; dan dalam segala hal kepentingan anak wajib dinomorsatukan; g. Hak pribadi yang sama sebagai suami dan isteri termasuk hak untuk memilih nama keluarga, profesi, dan pekerjaan; h. Hak yang sama untuk kedua pasangan tersebut atas kepemilikan, pengambilalihan, pengelolaan, administrasi, penikmatan dan disposisi properti baik secara gratis atau dengan biaya tertentu. 2. Pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak mempunyai pengaruh hukum dan semua tindakan yang perlu, termasuk pengesahan, wajib dilaksanakan untuk menetapkan usia minimal untuk menikah dan menjadikan pendaftaran perkawinan sebagai suatu kewajiban. No. Beberapa Pertanyaan Tentang Anggaran
Beberapa Indikator Hasil Akhir
1. Sudahkah pemerintah mengalokasi- Berapa jumlah perempuan dibantu kan dana untuk fasilitas khusus di pemerintah memperoleh pembayaran pengadilan cerai atau perkawinan? tunjangan anak dari ayah anak-anak mereka? 2. Sudahkah pemerintah mengalokasikan dana untuk meninjau hukum perkawinan adat, agama, dan umum? 3. Sudahkah pemerintah mengalokasikan dana untuk menegakkan undangundang dukungan/tunjangan anak?
1
(diambil dari Buku Panduan The International Women’s Rights Action Watch (IWRAW), UNIFEM, Bab 5: Budget Checklists for CEDAW Articles)
Jurnal Perempuan 48
163
• Puisi • Semua puisi dan data-data diambil dari buku Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, terbitan Jakarta, keluaran Penerbit Garba Budaya dan Kalyanamitra tahun 1999. Kutipan Buiten het Gareel di halaman 115, “Wanita” di halaman 403 (versi Contemporary Progressive Indonesian Poetry di halaman 280), dan petikan “Kemerdekaan” di halaman 346.
Lepas dari Kekangan Kutipan dari Roman Buiten het Gareel1 Soewarsih Djojopoespito “Tentang urusan cinta aku mau sepenuhnya atau tidak sama sekali. Cinta macam apakah itu, jika kamu harus berbagi dalam segalanya?” “Janganlah terlalu murung sebelum habis segala-galanya. Tapi memang, poligami bisa mengubah manusia jadi binatang ... Barang siapa menepuk dada sendiri sebagai revolusioner, tidak akan mungkin memandang perempuan lebih rendah dari laki-laki.” Soelastri, dengan sangat ironis, wajah penuh kerut-mirut dan mulut geram, melirik suaminya tajam-tajam: “Di mulut semua laki-laki mengiyakan. Tapi dalam perbuatan kalian sewenang-wenang terhadap perempuan.”
Wanita Damairia2 Kami bukan lagi bunga pajangan yang layu dalam jambangan. Cantik dalam menurut indah dalam menyerah molek tidak menentang ke neraka mesti mengikut ke sorga hanya menumpang. Kami bukan juga bunga tercampak dalam hidup terinjak-injak. Penjual keringat murah buruh separuh harga tiada perlindungan 164
Jurnal Perempuan 48
• Puisi •
tiada persamaan, sarat dimuati beban. Kami telah berseru dari balik dinding pingitan dari dendam pemaduan dari perdagangan di lorong malam dari kesumat kawin paksaan: “Kami manusia”.
petikan dari “Kemerdekaan” Sugiarti3 Kami bukan lagi sekadar melahirkan calon prajurit. Tapi kami sendiri adalah prajurit. bukan sekadar istri pahlawan bangsa, karena kami sendiri pahlawan bangsa dan ketika benteng-benteng jaman dihancurkan dan kaum pekerja bangkit berdiri di tanah air tak lagi kita sekadar menengok ke kubur membaca doa dan meratap bagi yang gugur kita pun bagian barisan terdepan. Catatan Sumber 1
Buku ini terbit dengan judul Buiten het Gareel, Indonesische Roman, Utrecht, penerbit De Haan, 1940.
2
Damaira adalah nama pena penyair dan penulis cerpen Lekra, Sugiarti Siswadi yang meninggal di Yogyakarta tahun 1983. “Wanita” dimuat pertama kali di majalah Api Kartini, Maret 1959, halaman 2. Bandingkan baris 7-8 dengan ungkapan Jawa, swarga nunut neraka katut, [perempuan] ke surga menumpang ke neraka ikut terbawa [lakilaki]. Dalam buku Saskia Wieringa puisi ini dimuat dua kali. Versi yang lain diambil dari Contemporary Progressive Indonesian Poetry, terbitan Lekra tahun 1962, halaman 65, tanpa judul, kata-katanya sama, hanya 4 stanza (kelompok baris) pertama digabung menjadi dua, satu dengan dua, tiga dengan empat, sehingga total jumlah stanzanya jadi tiga bukan lima.
3
Dan kali ini Sugiarti memakai nama (pertama) aslinya. “petikan dari ‘Kemerdekaan’” ini menurut keterangan Saskia ia ambil juga dari bunga rampai Contemporary Progressive Indonesian Poetry, halaman 66, satu halaman setelah versi “Wanita”-nya. Petikan dari “Kemerdekaan” ini gayanya sangat mirip dengan “Wanita” (dimulai juga dengan “Kami bukan lagi”). Tidak jelas apakah Sugiarti telah memanjangkan “Wanita” menjadi puisi panjang berjudul “Kemerdekaan” (mungkin untuk keperluan bunga rampai ini) atau mereka tetap dua puisi terpisah, hanya dimuat berurutan dua halaman.
Jurnal Perempuan 48
165
t terbai ru h a l e b T ter isme bukug femin n tenta
Feminisme: Sebuah Kata Hati Karya: Dr. Gadis Arivia
”Buku ini merupakan koleksi tulisan yang lengkap tentang isu-isu feminisme. Apa yang dituangkan di dalam buku ini ditulis oleh seorang pemikir dan hati feminis. Penindasan yang ditentang dan dipersoalkan oleh seorang feminis mencerahkan dan membebaskan kelompok-kelompok tertindas lainnya”.
Harga Rp. 60.000
Dapatkan di toko buku, bursa buku atau Koperasi Mahasiswa terdekat Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
!
Untuk pemesanan hubungi: Ima 0812 981 1969 Marketing YJP (021) 8370 2005
Permohonan Maaf Kepada Pembaca JP
Redaksi memohon maaf atas keterlambatan Jurnal Perempuan Edisi 48 ini, karena harus mengumpulkan tulisan-tulisan sekaligus mematangkannya dengan waktu yang lebih dari biasanya. Karena rencananya Jurnal Perempuan tema ini akan dipakai untuk sosialisasi ke berbagai Pusat Studi Wanita di Indonesia.
Nantikan Siaran Radio Jurnal Perempuan setiap minggu di 187 Stasiun Radio kesayangan anda di seluruh Indonesia No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65
Stasiun Radio
GUNTUR GLOBAL DUTA DEWATA SONORA 100,9 FM HARMONI THE FAMILY RADIO STATION SUARARIA SANTANA SONORA JOGJA PRIMA UNISI YOGYA RRI YOGYAKARTA SWARA GADJAH MADA FM YASIKA FM JAKARTA NEWS FM SUARA METRO SMART FM SWARA SELEBES GITASWARA PRAPITASARI/GSP ANTASSALAM MUSTIKA BUK GAJAH MEGASWARATAMA (Radio BG) RIA CINDELARAS KELUARGA CIHANJUANG SEPULUH / KC-10 KAUMAN BOGOR/ERKAEM MARITIM SUARA GRAFIA MARTHA FM QUANTUM FM TASIKMALAYA REKA KHARISMA SWARA ALFINA 720 AM ANITA BAYUSAKTI BIMASAKTI BINTORO 1314 AM BSP (SWARA BAHUREKSA) CHANDRA POP DAMASINTA FM CANDI SEWU CBS DIAN SWARA GIS JPI FM RIA FM FEMALE SAS FM MANDALIKA POP JEPARA PRIMA FM MERAPI INDAH / RMI GSM - FM MULIA ARIFTA SWARAGRAHA MURIA KUDUS PERMATA POLARIS POP BREBES POP KUDUS POP PATI FM POPFM PURWODADI SUARA MRAPEN ABADI POPFM PURWOREJO 93,4 FM POPFM REMBANG POP SEMARANG FM CHANNEL 99 (eks RADIKS) TOP FM - SEMARANG “W” FM IMELDA 168 POP SRAGEN FM POP YOGYA FM
Frekuensi Propinsi 104.4 FM 96,5 FM 92,6 FM 101,1FM 98,1 FM 103,7 FM 97,4 FM 104,75 FM 91,1 FM 98,45 FM 95,3 FM 97,4 FM 91,0 FM 95, 9 FM 100,2 FM 100,9 FM 102,65 FM 107, 5 FM 87,60 FM 1134 KHz 106,15 FM 1134 AM 102,65 FM 98,5 FM 101, 3FM 94,6 FM 103,35 FM 720 AM 106, 6 FM 792 AM 98,8 FM 1314 AM 103, 8 FM 99,85 FM 101,6 FM 106,15 FM 91 FM 98,2 FM 90,4 FM 106,3 FM 98,8 FM 104,3 FM 12,78 AM 97, 3 FM 104 FM 104,9 FM 91,5 FM 101, 95 FM 1440 AM 900 AM 105,45 FM 95,3 FM 93,7 FM 91, 5 FM 94,6 FM 98,2 FM 93,4 FM 95,2FM 103,7 FM 99,15 FM 89,40 MHz 100,1 FM 104,4 FM 88, 8 FM 99,5 FM
Kota
Jadwal Siar
Bali Singaraja Jumat: 11:30 Bali Tabanan Minggu: 11:20 Bali Denpasar Minggu: 15:00 Bangka Pangkalpinang Minggu: 09:00 Banten Serang Rabu: 19:30 Bengkulu Bengkulu Setiap Hari: 15:30 DI Yogyakarta Yogyakarta Rabu: 09:00 DI Yogyakarta Pasar Kembang Kamis: 13:05, Minggu: 10:00 DI Yogyakarta Kota Baru Sabtu: 09:00 DI Yogyakarta Yogyakarta Rabu: 06:30 DI Yogyakarta Karangkajen Jumat: 11:00 DKI Jakarta Jakarta Selatan Minggu: 11:00 & 17:00 DKI Jakarta Jakarta Selatan Minggu: 09:30 & 16:30 DKI Jakarta Jakarta Pusat Minggu: 07:48 Gorontalo Gorontalo Sabtu: 18:00 Jambi Jambi Sabtu: 10:30 Jawa Barat Bandung Rabu: 16:30 Jawa Barat Bandung Senin: 19:15 Jawa Barat Indramayu Sabtu: 18:30 Jawa Barat Indramayu Kamis: 05:15 Jawa Barat Indramayu Sabtu: 10:00 Jawa Barat Bogor Sabtu: 11:00 Jawa Barat Cirebon Rabu: 08:00, Minggu: 20:00 Jawa Barat Cirebon Selasa:10:00 Jawa Barat Tasikmalaya Rabu: 17:00 Jawa Barat Tasikmalaya Kamis: 18:00 Jawa Barat Garut Kamis: 13:00 Jawa Tengah Pemalang Sabtu: 06:00 Jawa Tengah Tegal Rabu: 10:10 Jawa Tengah Kroya Minggu: 13:00 Jawa Tengah Kebumen Minggu: 10:00 Jawa Tengah Demak Sabtu:10:30 Jawa Tengah Pekalongan Sabtu: 10:30 Jawa Tengah Pekalongan Minggu: 07:30 Jawa Tengah Pekalongan Minggu: 07:30 Jawa Tengah Klaten Minggu: 11:30 Jawa Tengah Banjarnegara Sabtu: 12:45 Jawa Tengah Purwokerto Jumat: 10:00 Jawa Tengah Wonogiri Minggu: 09:00 Jawa Tengah Solo Sabtu: 07:00 Jawa Tengah Solo Senin 21:00 Jawa Tengah Solo Sabtu: 10:30 Jawa Tengah Jepara Minggu: 08:00 Jawa Tengah Jepara Minggu: 08:30 Jawa Tengah Jepara Sabtu: 06:00 Jawa Tengah Muntilan Selasa: 06:00 Jawa Tengah Muntilan Minggu: 10:30 Jawa Tengah Kebumen Rabu: 09:00, Minggu: 17:00 Jawa Tengah Kudus Sabtu: 08:50 Jawa Tengah Kartasura Sabtu: 12:00 Jawa Tengah Magelang Rabu: 09:00 Jawa Tengah Brebes Sabtu: 10:00 Jawa Tengah Kudus Minggu: 07:00 Jawa Tengah Pati Rabu: 09:00 Jawa Tengah Purwodadi Minggu: 06:45 Jawa Tengah Purwodadi Selasa: 08:00 Jawa Tengah Purworejo Minggu: 12:00 Jawa Tengah Rembang Minggu: 08:30 Jawa Tengah Semarang Minggu: 07:00 Jawa Tengah Semarang Minggu: 16:30 Jawa Tengah Semarang Senin: 09:00 Jawa Tengah Semarang Minggu: 09:00 Jawa Tengah Jurnal Semarang Selasa: 08.00 Perempuan 48- 09.00 Jawa Tengah Sragen Selasa:09:00 Jawa Tengah Salam Minggu: 13.30
Nantikan Siaran Radio Jurnal Perempuan setiap minggu di 187 Stasiun Radio kesayangan anda di seluruh Indonesia No. 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81
Stasiun Radio
PTPN RASITANIA PURNAMASIDI RONA PUSPITA AM.900 RPK FM SATRIA FM SBS - PURBALINGGA SUARA GARUDA SAKTI SWARA KRANGGAN PERSADA WIJAYA ZENITH ANDIKA FM ARUPADATU BEST FM DUTA CAKRAWALA SERASI FM (DCS) GIGA FM LIUR
Frekuensi Propinsi 99,6 FM 101,95 FM 101,6 FM 107,2 FM 648 AM 828 AM 1243 AM 882 AM 102,6 FM 702 AM 106,5 FM 94,00 FM 103 FM 101,6 FM 99,85 FM 90, 9 FM
Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur
Kota Surakarta Wonosobo Kendal Temanggung Aji Barang Purbalingga Blora Temanggung Cilacap Salatiga Kediri Mojokerto Jember Madiun Sidoarjo Tulungagung
Jadwal Siar Sabtu: 10:30 Sabtu: 17:00 Jumat: 19:30 Jumat: 09:00 Sabtu: 12:00 Sabtu: 06:00 Minggu: 08:00 Kamis: 19:30 Minggu: 13:00 Sabtu: 09:00 Senin: 11:45 Kamis: 12:00 Senin: 07:20 Rabu: 09:00
Kamis: 06:00 & Jumat: 12:00 82 MITRA ADI SWARA 104, 5 FM Jawa Timur Malang Senin, Kamis: 11:45 91.45 FM Jawa Timur Pasuruan Jumat: 07:00 83 PASURUAN WARNA PESONA (Warna 91.45 FM) 101,3 FM Jawa Timur Jember Rabu, Kamis: 05:45 84 PROSALINA 85 CITRA 98,2 FM Jawa Timur Jombang Sabtu: 17:00 93,5FM Jawa Timur Kediri Minggu: 18:00 86 SABDOTOMO 105, 10 FM Jawa Timur Kediri Senin - Jam: 09.30 87 BONANSA 88 SONORA 98,0 FM Jawa Timur Surabaya Rabu: 09.00 96,4 MHz Jawa Timur Banyuwangi Rabu: 08:15 89 SUARA MANDALA 95.6 FM Jawa Timur Banyuwangi Senin : Jam 08,00 90 RADIO SWARA WANGI 91 SWARA KARIMATA 100,2 FM Jawa Timur Pamekasan - Madura Minggu: 16:15 98,8 FM Jawa Timur Mojokerto Kamis & Sabtu: 08:00 92 WIKA FM 98,8 102,3 FM Kalimantan Barat Singkawang Kamis: 10:00 93 ARYA BOMANTARA 94 BIMAREKSA 104,4 FM Kalimantan Barat Sanggau Rabu: 09:00 95 DERMAGA 936 AM Kalimantan Barat Pontianak Selasa: 11:00 828 KHZ Kalimantan Barat Pontianak Kamis: 11:30 96 MAHKOTA NGABANG GEMASWARA 97 PRIMADONA 99,1 FM Kalimantan Barat Pontianak Rabu & Sabtu: 09:00 98 RADIO PEMERINTAH DAERAH KETAPANG 1088 AM Kalimantan Barat Pontianak Sabtu: 14:00 96, 7 FM Kalimantan Barat Pontianak Sabtu: 09:00 99 SONORA 100 VOLARE 103, 4 FM Kalimantan Barat Pontianak Rabu: 08:00 101 RAMA 107,5 FM Kalimantan Barat Pontianak Senin: 10.00 738 AM Kalimantan Barat Mempawah Selasa: 10:00 102 MELATI GRAMEDYA 103 POLAREKSA 104,15 MHz Kalimantan Barat Sintang Senin: 09:30 104 DBS / DIRGANTARA PERMAI 101,6 FM Kalimantan Selatan Banjarmasin Sabtu: 09:00 102, 7 FM Kalimantan Selatan Banjarmasin Sabtu: 10:00 105 NUSANTARA ANTIK 106 SMART (RADIO SWARA MAIDA ARTANUSA) 100,1 FM Kalimantan Selatan Banjarmasin Minggu: 11:30 107 GEMAYA REKAYASA 104,7 FM Kalimantan Timur Balikpapan Kamis: 09:00 101,3 FM Kalimantan Timur Balikpapan Senin: 11:00 108 SWARA MEDIA SENTRANADA 109 MESRA/DAYAPENCA PUTERA 102,3 FM Kalimantan Timur Samarinda Minggu, Senin: 09:30 110 BORNEO RADIO CHANNEL 96 FM Kalimantan Timur Samarinda Selasa: 18:15 97,6 FM Kalimantan Timur Samarinda Selasa: 12:30 111 RRI - SAMARINDA 112 RASUBHA 100,2 AM Lampung Bandar Lampung Rabu: 11:00 113 SUARA WAJAR 96, 8 FM Lampung Bandar Lampung Jumat: 10:05 Bastiong - Ternate Kamis: 10:00 114 ISTANA BAHARA SWARA (RADIO ISTANA) 101 MHZ 101,25 FM Maluku 115 MILENIA 104,75 FM Maluku Ternate 116 GEMA HIKMAH 103 FM Maluku Ternate Kamis: 08:30 103 FM Maluku Ambon Kamis: 07:30 117 SANGKAKALA 118 SWARA INDONESIANA 107,2 FM Maluku Tidore Kamis: 09:30 119 GEMA PERTIWI 104,6 FM Maluku Halmahera Selatan Rabu, Kamis, Jumat: 09:00, Sabtu: 10:00 120 ADYEMAJA 104,4 FM NAD Lhokseumawe Kamis: 09:00 121 KAZUMA BAWANASWARA - NAD Lhokseumawe Senin: 19:30 NAD Lhokseumawe Minggu : 7.45 122 PRO 2 FM 123 ANDYTA RASISONIA 105,10 FM NAD Bireun Rabu, Minggu: 16:00 124 BAITURRAHMAN 98,5 FM NAD Banda Aceh Minggu: 09:00 106, 10 MHz NAD Langsa Jumat: 13:30 125 GYPSI 126 MEGAPHONE 105,60 FM NAD Pidie Sabtu:169 09:00, Minggu: Jurnal Perempuan 48 11:00, Senin: 10:00
Nantikan Siaran Radio Jurnal Perempuan setiap minggu di 187 Stasiun Radio kesayangan anda di seluruh Indonesia No.
Stasiun Radio
Frekuensi Propinsi
127 128 129 130 131
SUARA MAHARDIKA GEMPITA CITRASUARA NUANSA LOMBOK / CNL MITRA IDOLA KITA SWARA MAYA PESONA INDAH BAYU GITHA SWARA
132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187
KENANGAN 96, 5 FM GYPSI FM 94,5 FM OISVIRA FM 95,1 FM KISSORA GRAHA PERSADA 105,1 FM NADA MUDA CAKRAWALA (RADIO CAKRAM) 97,05 FM PEMERINTAH DAERAH - NGADA SONIA 102,9 MHz TIRILOLOK 100,9 FM ARTHUR PERKASA 105,1 FM MOVE FM 1003 MHZ 103 FM SUARA KASIH AGUNG (RSKA) 106,5 FM VOP FM 100,2 FM CITRA DAYANG SURI 104,8 FM MELODY 88,80 FM SHINE 92.5 FM 92,5 FM CYNTHIA RHAMA BROADCASTING CORP. 100,2 FM GEMA BENTARA 107 FM KENCANA RIA INDAH SUARA 102,3 FM SORERAM 1044 AM 1044 AM SWARAKHARISMA TRISAD/STAR 107,5 FM 107,5 FM BHARATA RASIHIMA 106,5 FM MAKARA FM 103,6 FM RINA BESTARI 738 KHz MERCURIUS TOP FM 104,4 FM SMART (RADIO MAKASSAR ARTATIARA) 100,9 FM SWARA SENTOSA PRATAMA 103,7 FM BEST FM 101,6 FM MALEO 103, 7 FM NEBULA NADA 101FM NUGRAHA TOP 102,6 MHz BULAVA 100,2 FM GEMA ANGKASA SWARA ALKHAIRAT FM 1170 AM SWARA PRAJA MUKTI / RADIO PEMDA POSO 97,8 FM SUARA PUBLIKA 103,35 FM SWARA RAMAYANA JELITA 1404 AM BITTARO 1341 KHz GEMA KENDARI FM 92, 40 MHz SUARA ALAM 99,2 FM AL-KHAIRAT (RAL) 102,65 FM GITA LESTARI 105,10 FM KOSMO FEMALE 96,1 FM ROM 2 FM 101,6 FM SMART(SWARA MANADO RADIO TRENDI) 100,9 FM 101,2 FM SWARA CITRA ESA ENANG 104,4 FM SWARA MAESAAN WAYA / MERSI 98, 5 FM SWARA NUR HADDAD FM 100 MHz BIMANTARA 98,8 FM BUKIT TINGGI 101,5 FM GEMA KARANG PUTIH (CLASSY 103 FM) 103,4 FM SUSHI FM 100,2 FM SONORA PALEMBANG (PT RADIO GEMA ATMAJAYA) 102,6 FM SMART (SWARA MAQEBA ARTATIARA) 101,9 FM ADI UTAMA LAKSAMANA (RAU 104.75 FM) 104,75 FM LA FEMME 88 FM MASS (MADINA SORA SERE) 101 FM 170 YASKA JAYA 100,2 FM
95,3 FM 792 AM 98,8 FM 93,00 FM
NAD NTB NTB NTB NTB
Kota Blang Pidie Mataram Selong Lombok Lombok
Jadwal Siar
Minggu: 10:00 Senin: 09:00 Jumat: 17:30 Selasa: 17:30 Minggu Jam : 10.00 Kamis Jam : 19.00 NTB Sumbawa Barat Selasa:17:00 NTB Sumbawa Minggu: 08:00 & 19:30 NTB Sumbawa Jumat: 17:00 NTT Kupang Rabu: 14:00 NTT Maumere-Flores Rabu: 18:00, Sabtu: 07:30 NTT Flores Senin: 18:30 NTT Maumere Sabtu: 08:30 NTT Kupang Senin: 10:30 Papua Jayapura Selasa: 10:00 Papua Jayapura Jumat: 17:00 Papua Jayapura Selasa: 09:00 Papua Jayapura Rabu: 15:06 Riau Dumai Minggu: 08:00 Riau Dumai Senin: 19:00 Riau Dumai Kamis: 21:00 Riau Pekanbaru Selasa: 13:00 Riau Batam Rabu: 10:00 Riau Batam Kamis: 12:00 Riau Pekanbaru Kamis: 15:05 Riau Bengkalis Jumat: 10:00 & 18:00 Sulawesi Selatan Makassar Minggu: 13:00 Sulawesi Selatan Kota Palopo Sabtu: 10:00 Sulawesi Selatan Tana Toraja Sabtu: 17:45 Sulawesi Selatan Makassar Rabu: 08:00 Sulawesi Selatan Makassar Jumat: 15:00 Sulawesi Selatan Makassar Minggu: 09:00 & 20:00 Sulawesi Tengah Palu Sabtu: 15:30, Minggu: 09:00 Sulawesi Tengah Tojo Unauna Kamis:11:00 Sulawesi Tengah Palu Senin & Kamis: 09:30 Sulawesi Tengah Palu Senin, Rabu & Jumat: 11:30 Sulawesi Tengah Poso Kamis: 20:30 Sulawesi Tengah Palu Minggu: 13:00 Sulawesi Tengah Poso Rabu: 10:15 Sulawesi Tengah Palu Senin: 13:00 Sulawesi Tengah Palu Selasa: 14:30 Sulawesi Tengah Toli-Toli Selasa: 11:00 Sulawesi Tenggara Kendari Jum’at & Minggu: 09:40 Sulawesi Tenggara Kendari Sabtu: 10:00 Sulawesi Utara Menado Rabu: 10:15 Sulawesi Utara Bitung Rabu: 18:00 Sulawesi Utara Manado Sabtu: 08:00 Sulawesi Utara Manado Rabu: 17:30 Sulawesi Utara Manado Sabtu: 11:35 Sulawesi Utara Manado Rabu: 18:30 Sulawesi Utara Manado Minggu: 15:00, Senin: 07:00 Sulawesi Utara Bolaang Mongondow Senin & Kamis: 11:15 Sumatera Barat Bukittinggi Junat: 10:00 Sumatera Barat Bukit Tinggi Rabu: 10:00 Sumatera Barat Padang Selasa: 11:00 Sumatera Barat Padang Minggu: 20:00 Sumatera Selatan Palembang Minggu: 09:30 Sumatera Selatan Palembang Selasa: 19:00 Sumatera Utara Pdg Sidempuan Jumat: 20:00 Sumatera Utara Medan Rabu: 18:00 Sumatera Utara Mandailing Natal Senin: 10:30 Jurnal Perempuan Sabtu: 4809:30 Sumatera Utara Terbing Tinggi
Jangan lewatkan tema-tema menarik tentang isu-isu perempuan yang dikemas oleh Radio Jurnal Perempuan, berikut ini:
RJP-327
Pendampingan Perempuan Positif HIV
RJP-328
Masalah Perempuan dan Pendidikan
RJP-329
Perempuan dan Musik
RJP-330
Reproduksi Perempuan Positif HIV
RJP-331
Pengamen Perempuan
RJP-332
Setahun lebih Paska Pemberlakuan Undang Undang PKDRT
RJP-333
Perempuan Bermotor
RJP-334
Keterwakilan Perempuan dalam Pengambilan Kebijakan Publik
Anda bisa mendapatkan rekaman kaset program Radio Jurnal Perempuan dengan tema-tema yang anda inginkan seharga Rp. 15.000,- per kaset.
Hubungi kami untuk informasi lebih lanjut. Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810 Telp. : (021) 8370 2005 Fax : (021) 830 2434 E-mail :
[email protected] Surat Pembaca Feminis Laki-laki Salam kenal. Menurut saya Jurnal Perempuan merupakan wadah yang bagus untuk memberikan pemahaman tentang peran dan fungsi perempuan yang selama ini dianaktirikan oleh sistem partriarki. Namun satu yang saya sesalkan, sepeninggal Mansour Fakih, belum ada figur seorang laki-laki yang menonjol dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Karena bagi saya, bukan hanya perempuan yang berhak memperjuangkan hak perempuan, tapi juga laki-laki. Saya harap jurnal perempuan juga membahasnya. Agri (
[email protected]) Terimakasih Agri. Dulu kami pernah menerbitkan JP “Male Doing Feminism, Why Not?”. Tapi baiklah akan menjadi agenda JP untuk melihat perkembangan partisipasi kaum laki-laki dalam perjuangan kaum perempuan. JP RUU APP Saya seorang muslimah sangat kagum dengan jerih payah saudarasaudara saya yang memperjuangkan perempuan seperti Anda (redaksi JP). Tapi sayang kenapa harus menentang Hukum Tuhan. Sungguh saya sangat kecewa. Terlebih lagi saat saya membuka JP edisi terbaru, saya membaca pernyataan sikap MENOLAK RUU APP. Bukankah Allah SWT membuat peraturan hidup, termasuk cara berpakaian, yang termaktub dalam kalam-nya itu untuk melindungi dan memenuhi hak perempuan? Raa (
[email protected]) Raa yang baik, senang sekali Anda telah membaca jurnal kami edisi RUU APP. Berharap Anda benar-benar membacanya. JP Pertambangan Sudah dua tahun saya selalu membeli buku tentang perempuan karena saya ingin belajar dan ingin mengetahui banyak masalah perempuan, setelah kemarin saya masuk di salah satu toko buku di Yogyakarta saya menemukan JP berjudul sangat menarik, “Perempuan di Pertambangan”. Kebetulan saya berasal dari Papua, daerah yang rawan sekali dengan kekerasan yang disebabkan oleh berbagai hal mulai dari militer sampai perusahaan. Demikian, maju terus. JP adalah inspirasiku. Mekaa (
[email protected]) Terimakasih Mekaa. Salam untuk perempuan-perempuan Papua yang perkasa. 172
Jurnal Perempuan 48
Tentang Penulis Damanhuri. Wartawan freelance; tengah menempuh S2 di Universitas Islam Negeri Malang. Sebelumnya sempat menempuh program S2 jurusan Filsafat Islam di Islamic College for Advanced Studies (ICAS)-Paramadina, Jakarta. Kini juga terlibat aktif di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung. Elli Nur Hayati. Adalah Direktur di RAnnisa (Rifka Annisa) dan Staf Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Menyelesaikan program S1 di Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta dan program S2 dalam bidang Public Health di Umea University, Swedia. Henny Irawati. Lulusan Universitas Padjajaran Bandung, anggota Kelompok Belajar Nalar atau Institut Nalar Jatinangor. Sekarang bekerja di Yayasan Jurnal Perempuan sebagai penanggungjawab jurnal perempuan online. Indah Lestari. Freelance translator yang sedang menerjemahkan novel-novel sastra Afrika Selatan untuk penerbit Jalasutra dan menyunting terjemahan novel-novel Arab klasik untuk Ilman Books; sehari-harinya bekerja di Tempo. Mariana Amiruddin. Redaktur Pelaksana Jurnal Perempuan dan Manajer Program Yayasan Jurnal Perempuan. Menyelesaikan program S2 di Program Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia. Mikael Johani. Sebelumnya penyunting di Metafor Publishing, Jakarta. Kini bekerja sebagai Editor Jurnal Perempuan di Yayasan Jurnal Perempuan. Misiyah. Menempuh S-1 di Fakultas Ilmu Politik Universitas Jember dan menyelesaikan S2 di Program Pasca Sarjana Sosiologi FISIP Universitas Indonesia. Pendiri KAPAL Perempuan, sejak tahun 2000 bekerja di KAPAL Perempuan Jakarta. Nur Faizah. Alumnus Jurusan Akhwal Assakhsiyyah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, pengurus Pondok Pesantren Putri “Nurul Ummah” Kotagede Yogyakarta. Nur Iman Subono. Staf pengajar tetap di Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Indonesia, mengajar Pascasarjana Kajian Wanita dan Hubungan Internasional, Universitas Indonesia. Selain itu bekerja sebagai peneliti pada Perkumpulan DEMOS, Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi. Rahmad Hidayat. Lulusan S1 Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, aktif di Lembaga Kajian dan Pengembangan Ilmu (LKPI) di Surabaya. Bukunya berjudul “Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin” telah diterbitkan oleh Penerbit Jendela tahun 2004. Rocky Gerung. Pengamat masalah sosial dan politik dan pengajar filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Widjajanti M. Santoso. Peneliti di Pusat Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan pengajar Gender dan Kemiskinan di Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia. Yoke Sri Astuti. Lulusan Filsafat Universitas Indonesia, kini bekerja sebagai Manager Office dan Implementasi di Yayasan Jurnal Perempuan.
Jurnal Perempuan 48
173
Dapatkan di toko buku terdekat, di kota anda! JAKARTA TB. GRAMEDIA: Jl. Matraman Raya No. 46-48 Jakarta Pusat, Jl. Melawai III No. 12-18 Blok M Jakarta Selatan, Gd. HERO Jl. Gatot Subroto Kav. 64 Jakarta Selatan, Mall Kelapa Gading Jl. Raya Kelapa Gading Jakarta Utara, Mal Cempaka Mas Jl. Letjend. Suprapto No. 1 Jakarta Pusat, TB. GUNUNG AGUNG: Blok M Plaza Jl. Bulungan Jakarta Selatan, TB. KARISMA: Mall Taman Anggrek lt. 3 Jl. S. Parman Slipi Jakarta Barat, Mall Puri Indah lt 1 No. 134 Kebon Jeruk Jakarta Barat, Cijantung Mal Jl. Raya Bogor, Ruko Cibubur Indah Jl. Raya Cibubur, Hero Plaza Jl. Raya Kalimalang, Citra Mall lt. 5 Klender Jl. I Gusti Ngurah Rai, Jl. Raya Cilandak KKO Cilandak Timur. TB. NEWS STAND: Pasar Festival Jl. HR. Rasuna Said TB. BENGKEL DEKLAMASI TIM Jl. Cikini Raya Jakarta Pusat, JAKARTA BOOK CENTER Jl. Raya Kalibata Jakarta Selatan, Toko ANEKA Univ. ATMAJAYA Jl. Jend. Sudirman Jakarta Selatan, TB. KALAM Jl. Utan Kayu No. 68H Jakarta Timur. TB. Pro27 STT Jakarta Jl. Proklamasi No. 27 Jakarta Pusat, BOOK UNIVERSE Gd. Sarinah Lt. 6 Jl. MH. Thamrin No. 11 Jakarta Pusat, PUSAT STUDI WANITA UI Gd. Rektorat lt. 4 Jl. Salemba Raya Jakarta Pusat, The News Stand WTC Gd. WTC (Basement) Jl. Jend. Sudirman Kav. 29 Jakarta Selatan, Lobby HOTEL MANDARIN Jl. MH. Thamrin Kav. 1 Jakarta Pusat, The News Stand 99 Ranch market Jl. Sultan Iskandar Muda No. 21 Pondok Indah, KEDAI BUKU SINAU Jl. Bekasi Timur No 32. Jakarta Timur, TB. Gabe Jaya Jl. Kramat Raya No. 4-6, Jakarta Pusat. KOPERASI MAHASISWA: Univ. MUHAMMADIYAH Jl. Ciputat Raya Jakarta Selatan. Bukafe Duren Tiga Jl. Duren Tiga Raya No. 6A Jaksel, Telp. 7942462. Counter PT Akses Media Favorite Jl. Pulo Kambing 1/24 Pulo Gadung Jaktim, MP Book Point Jl. Puri Mutiara Raya 72,Cipete,Jakarta Selatan. BALI TB. GRAMEDIA: DUTA PLAZA Jl. Dewi Sartika Denpasar, MALL BALI GALERIA Lt. 2 Blok D. Jl. Raya By-Pass, Ngurah Rai, Kuta 80361 BALIKPAPAN TB. GRAMEDIA Balikpapan Center Lt. 1, Jl. Jend. Sudirman BANDUNG TB. GRAMEDIA Istana Plaza Jl. Pasar Kaliki No.121-123, TB. Kecil (d.h. PASAR BUKU) Jl. Kyai Gede Utama No. 8, TB. LITERA Jl. Ciembeluit No. 155, TB. Ultimus Jl. Karapitan 127, TB. Cahaya Media Jl. Raya BandungSumedang Km 21 No. 161 A UNPAD Jatinangor. Institut Perempuan Jl. Dago Pojok No. 85, Cablong BANJARMASIN TB. GRAMEDIA Jl Veteran No. 61
DEPOK TB. GRAMEDIA: Cinere Mal Jl. Raya Cinere, Jl. Margonda Raya Km. 4 Pondok Cina Beji, Depok, TB. KARISMA: Mall Cinere lt. Dasar Jl. Raya Cinere, Borobudur Dept. Store Lt.1 Jl. Margonda Raya No. 166. KOPERASI MAHASISWA: Fak. SASTRA UI Depok, Fak. HUKUM UI Depok, Fak. EKONOMI UI Depok, Departemen Filsafat -FIB UI Gd. III lt. 2 Kampus UI Depok, Toko Buku Bloc Kampus FISIP UI Depok JEMBER TB. GRAMEDIA Jl. Trunojoyo No. 85 KEBUMEN INDIPT Jl. Tentara Pelajar Gg Srandil No 2 KENDARI Ade Agency Jl. Sasarani No.301, Solidaritas Perempuan Kendari Jl. Beringin No.2 KUPANG TB. GRAMEDIA Jl. Jend. Sudirman No. 163 LAMPUNG TB. GRAMEDIA Jl. Raden Intan No. 66 Tanjung Karang. MALANG TB. GRAMEDIA Mitra II Lt. 2 & 3, Jl. Letjen Sutoyo No. 32-34. Kedai Buku SINAU, Jl. Bogor Atas No. 1C (Samping SMA Sriwedari). MATARAM Kedai Seni Mana Jl. Pemuda No. 20 NTB, Jl. Majapahit (Taman Budaya) MEDAN PIKIR MEDAN Jl. Sei Musi No. 59 Medan 20154, Telp. (061) 4158918 PADANG TB. GRAMEDIA Jl. Damar No. 63 PALEMBANG TB. GRAMEDIA Jl. Kol. Atmo No. 45 PONTIANAK EQUAL Agency Jl. Ya’ M. Sabran Gg. Sutra No. 9 Rt. 05 Rw.03, Kel. Tanjung Hulu.
PURWOKERTO TB. GANESHA Jl. Overste Isdiman No. 1A RIAU TB. GRAMEDIA Jl. Jendaral Sudirman No 245. Pekanbaru SAMARINDA TB Gramedia Jl. S. Parman Mal Lembuswana Blok B. No 02 SALATIGA KOPERASI MAHASISWA: TB. WANCANA MULIA Univ. Satya Wacana Jl. Diponegoro No. 52-60. SEMARANG TB. GRAMEDIA Jl. Pandanaran No.122, TB. KARISMA HERO Jl. Sultan Agung No. 90, TB. MERBABU Jl. Pandanaran No. 108, LBH Semarang Jl. Parang Kembang No. 14, Bumi Tlogosari, KOSUMA UNDIP Jl. Hayam Wuruk No. 1, LRC-KJHAM Jl. Lemah Gempal 2 No 766 A, Warung Buku Perdikan Jl. Bedagan 481. SOLO TB. SINAR BARU Jl. Kebangkitan Nasional Kios No. 84-86 SURABAYA TB. GRAMEDIA Jl. Jend. Basuki Rahmad No. 95; Jl. Manyar Kertoarjo No.16.; TB. Toga Mas Super Bookstore Gedung Surabaya Indah Jl. Embong Malang 33-37 TANGERANG TB. GRAMEDIA: Bintaro Jaya Plaza Jl. Bintaro Utara Sektor III A Bintaro, Mall WTC Matahari 2nd Floor Jl. Raya Serpong No. 39 Km. 8, LIPPO Supermall Unit G No. 11-12 Karawaci Tangerang. GRIA BUKU (1) Jl. Ibn Batutah No.1 BBS (Depan Koperasi UIN) Ciputat.(2) Jl. Pesanggrahan No. 74 (samping Kampus UIN) Ciputat. YOGYAKARTA TB. GRAMEDIA Jl. Jend. Sudirman No. 54-56 TB. SOSIAL AGENCY Jl Gejayen Mrican No. 43, Jl. Prof. Herman Yohanes No. 1170, Jl. Laksada Adisucipto No. 22, TB. Social Agency Baru - Sagan Jl. Kaliurang Km. 8,5 No. 25 Jogjakarta, TB. TOGA MAS Jl. Gejayan Mrican No.1, TB. INSIST Perum Sawitsari Jl. Kemuning No. B7, LSPPA Jl. Mangkunegaran Kidul No. 21, KOPERASI MAHASISWA Univ. Gajah Mada Jl. Bulaksumur H-7. GALERI SATUNAMA Jl. Sambisari No. 99 Desa Duwet RT 07/34, Sendangadi, Sleman, Jogjakarta, Telp. (0274) 867745-47